Chapter 46

|| Let's go, 40 vote dan 30 komen

Semua murid angkatan baru berkumpul di aula, tidak terlihat para kakak tingkat, barangkali mereka sudah dikumpul per angkatan dan disampaikan informasi. Setiap murid berbaris sesuai dengan asrama masing-masing. Di pojok aula, murid asrama Drystan sedang mengoceh sambil mengelilingi Killian yang baru saja mendapatkan pedang baru serta tameng terbuat dari emas dengan ukiran aksara kuno, tentu saja pemberian dari Marquess Cornelius, ayahnya.

Di sisi asrama lain, ada Ixchel dan Victoria yang juga memamerkan barang baru mereka diberikan oleh ayah atau ibu atau keluarga cabang mereka. Victoria paling senang karena mendapat sapu tangan rajut hasil dari sulaman tangan ibunya, terukir juga lambang kebanggaan keluarga Adrastus. Setiap anak kalangan bangsawan selalu memamerkan apa yang mereka dapatkan terutama jika berasal dari keluarga atau relasi keluarga mereka. Berbeda dengan kelas sosial dibawah mereka, hanya bisa diam saja, tetapi ada yang beruntung dan juga bisa bercerita tentang barang yang diberikan orang tua mereka, meski sederhana seperti sebuah sweater rajut atau masakan rumahan yang dimasukkan dalam kotak khusus sehingga masakan itu bertahan lama. Mungkin tak semua mendapat barang atau hadiah, tetapi seluruh murid pasti mendapat surat dari orang rumah.

Ah, Aalisha baru ingat jika bulan-bulan ini akan menjadi bulan bertukar kabar atau mendapatkan kiriman dari rumah. Pantas saja menjadi ajang saling menyombongkan diri. Oh, apa tadi dikatakan jika seluruh murid mendapat surat? Harus diralat, karena yang tidak mendapat surat hanyalah Aalisha, bahkan tak terlihat sedikit pun burung hantu atau burung pengantar surat dengan tujuan namanya.

Bagaimana mau mendapatkan surat, ia bahkan tak pernah menulis surat satu pun sejak di akademi ini. Bukan karena tak bisa menulis atau menganggap surat-menyurat adalah kegiatan membuang waktu, tetapi pada siapa suratnya berlabuh?

Andai Aalisha memiliki ibu, pasti dia akan menulis surat setiap bulannya atau malah setiap Minggu. Barangkali setiap hari, pasti diceritakan segala hal yang dilaluinya di akademi ini. Sayangnya tak pernah terjadi, jangankan terjadi, meski ia berdoa hingga 1001 malam sekali pun takkan pernah dikabulkan para Dewa karena kematian yang memisahkannya dengan ibunya yang tak Aalisha tahu bagaimana wajah dari ibunya itu; cantikkah, putih, manik matanya berwarna apa, rambutnya seindah apa, bagaimana ibunya tersenyum?

Tak ada lukisan sang ibu yang bisa Aalisha lihat, seolah semua itu hangus terbakar. Sengaja para Dewa tak mengizinkannya untuk melihat bagaimana wajah ibunya. Barangkali terlalu banyak dosa yang ia bawa sejak lahir jadi tak heran jika kesengsaraan selalu mengikutinya.

Profesor Madeleine memasuki aula bersama dengan profesor lain mengajar di angkatan atas—profesor Zahava. Ya, Aalisha ingat sekali pria itu yang ia temui di malam setelah pertunjukan opera. Berada di depan semua murid yang hening seketika setelah melihat tatapan profesor Zahava; begitu menusuk dan mengerikan. Apa profesor angkatan atas selalu seseram ini? Minggu lalu murid baru terkena jera setelah bertengkar dan ketahuan oleh profesor Rosemary. Bayangkan bagaimana amarah profesor cantik itu. Kini Zahava diam saja di depan dengan wajah datar, tetapi aura terpancar begitu mengerikan. Tidakkah ia sadar kalau para murid ketakutan?

"Kabarnya dia dulu salah satu dari Inquisitor organisasi Alastair. Kemudian berhenti entah karena alasan apa dan kini mengajar di akademi," ujar salah satu anak Arevalous yang bercerita pada Aalisha dan lainnya, namanya Carlo.

"Inquisitor?" tanya Gilbert, "Alastair, organisasi apa? Sering kudengar."

"Masa kau tak tahu?" bisik Anila.

"Tak semua harus kutahu, kapasitas otakku tak sepertimu!" balas Gilbert berbisik.

Alastair adalah organisasi dibawah Kekaisaran. Organisasi ini bergerak untuk menyelidiki tentang praktik sihir hitam atau orang-orang jahat yang menggunakan sihir hitam untuk melakukan hal-hal di luar norma dan peraturan undang-undang kekaisaran Ekreadel. Organisasi ini juga bertugas untuk menumpas penyimpangan yang dilakukan oknum dengan menggunakan sihir hitam. Kemudian bertugas pula menyelidiki dengan hal-hal berhubungan dengan sekte iblis atau penggunaan kekuatan Iblis.

Alastair memiliki banyak tim dan anggota yang tersebar di seluruh penjuru Kekaisaran. Terutama di kota-kota besar padat penduduk. Tingkatan anggota dari Alastair ada cukup banyak, salah satunya adalah Inquisitor.

"Inquisitor atau penyelidik. Peran mereka adalah turun ke lapangan langsung dan menyelidiki akan adanya praktik sihir hitam dan berhubungan dengan sekte iblis," jelas Mylo sebelum Anila membuka mulutnya.

"Tumben?" ejek gadis itu.

"Karena kutahu kalau kau lelah menjelaskan, jadi aku saja," balas Mylo berbisik.

"Bagus, ada juga gunanya tuh otak," sahut Anila.

Mylo melotot, kesal dia. "Sialan."

"Apa dia hanya Inquisitor?" ujar Frisca.

"Aku dengar dari kakak tingkat," ucap murid yang berujar sebelumnya. "Dia juga sempat ambil bagian sebagai eksequtor pada penyihir hitam tingkat atas, jadi eksekusi secara kejam yang melakukannya adalah dia. Tidak hanya sekadar hukum pasung, cambuk, atau rajam, tetapi sampai menghukum oknum di atas batu panas ... menari di atas batu panas sampai mati."

Mendengar cerita singkat, tetapi mengerikan itu jadi membuat tubuh mereka meremang. Gilbert dan Mylo sampai meneguk saliva saking tak habis pikirnya. Sedangkan Aalisha sedikit menoleh pada Carlo. "Bagaimana bisa manusia sepertinya menjadi pengajar akademi?"

"Hush, Aalisha, pelankan suaramu," tegur Frisca.

"Entahlah, tak ada jawaban pasti, cuma rumor berkata jika dia lelah dengan pekerjaannya jadi dia berhenti dan mengajar di sini," jelas Carlo sedikit melirik pada Zahava yang berdiri tegap dengan kedua tangannya disampirkan ke belakang.

"Alasan bodoh untuk seorang algojo mengajar di akademi," sahut Aalisha.

"Aalisha," tegur Frisca agak frustrasi.

Agak terkejut Carlo, tetapi tidak lama karena sudah mendengar kabar akan gadis bernama Aalisha ini. "Selain mengajar, dia salah satu yang bertugas untuk mengatur proses hubungan akademik dengan dunia luar, seperti kini, jika ada tamu penting yang hendak berkunjung ke sini, maka dia yang bertugas untuk mengatur pertemuan atau kunjungan itu."

Cerita dan obrolan mereka selesai ketika profesor Madeleine mulai berbicara. Aalisha memperbaiki posisinya, semakin tegap, tangan di belakang, dia menatap pada profesor Zahava yang tak bergeming sedikit pun. Teringat beberapa kejadian antara Aalisha dengan Zahava terutama di kandang Piyo. Bagaimana aura mengerikan terasa pada pria itu, sontak Aalisha harus menjauh. Ya, tentu saja Zahava masuk ke daftar manusia yang harus Aalisha waspadai. Bersama dengan profesor Hesperia dan juga Ambrosia.

"Profesor Zahava, silakan," ujar profesor Madeleine menyerahkan semacam pengeras suara yang berbentuk bundar dan melayang di udara pada Zahava.

Pria itu maju ke depan memperlihatkan eksistensi dirinya pada setiap murid baru. Tubuhnya jangkung lebih tinggi dibandingkan master Arthur, tetapi tidak lebih dari master Howard. Kulitnya sawo matang, hidungnya panjang agak bengkok, ada bercak-bercak di sekitar hidung hingga pipi, dagunya agak lancip, ada goresan luka di sekitar leher dan dagunya. Rambut pria itu seperti cokelat, agak kusut dan agak panjang dengan manik mata senada rambutnya serta mata agak bulat.

Aroma yang tersebar ketika jubahnya tersibak adalah aroma rusa kesturi bercampur wangi vanilla—begitu mahal, itulah yang hendak diberitahukan melalui aroma parfumnya.

"Maaf karena telah memanggil kalian secara dadakan dan memotong aktivitas kalian semua, tetapi apa yang hendak kusampaikan adalah hal penting," jelasnya dengan suara sangat berat, tetapi dibawa ringan saja.

Manik matanya yang cokelat itu menerawang ke sana-kemari, mencari sesuatu tanpa sepengetahuan pada murid, lalu jatuh di barisan murid-murid Arevalous, pada gadis kecil dengan rambut hitam terurai lalu senyuman Zahava terukir setelah tahu bahwa Aalisha ada di sana.

"Lusa nanti, tamu penting akan hadir ke mari. Seorang Viscount yang terhormat. Ada sesuatu yang hendak ia bicarakan dengan profesor Eugenius sekaligus mengecek keadaan akademi. Beliau yang berkunjung adalah salah satu orang yang bisa mengirim kalian mengikuti pelatihan lanjutan setelah dari akademi atau menjadikan kalian sebagai salah satu kesatria di pasukan ekspedisi Zero Domain. Di sini, aku memberitahu sekaligus memberi peringatan dan juga berharap pada lusa nanti, kalian bisa menjaga sikap kalian. Lalu aku membutuhkan perwakilan, sekitar enam orang yang akan membantuku sekaligus membawakan pertunjukan kecil ketika tuan Viscount berkunjung ke sini."

Tidak para murid sangka jika profesor itu berujar panjang tanpa jeda dan kewalahan. Di sisi lain, beberapa murid senang atas kunjungan ini karena mereka bisa unjuk bakat, barangkali posisi orang tua mereka akan naik derajatnya karena anak mereka membuahkan prestasi di hadapan seorang Viscount.

"Daftar murid yang menjadi perwakilan, silakan keluar dari barisan dan temui aku," sambung Zahava. Aalisha perhatikan keenam orang sudah ada yang dua diantaranya adalah Ixchel dan Victoria. Tidak heran, mereka Majestic Families pasti terpilih.

"Lusa nanti, pelajaran untuk kalian ditiadakan. Beberapa ekstrakulikuler akan menampilkan persembahan, kalian bisa menonton, meski begitu, kalian harus tetap menjaga sopan santun. Hanya itu yang hendak kusampaikan, terima kasih." Profesor Zahava membungkuk sesaat sebelum pergi meninggalkan aula bersama dengan keenam perwakilan.

"Profesor Madeleine!" Murid Gwenaelle mengangkat tangannya. "Izin bertanya."

"Ya, silakan sebelum kububarkan kalian," sahut wanita tua itu.

"Pakaian tetap seragam sekolah atau seragam khusus dari keluarga masing-masing?"

Langsung saja beberapa pasang mata menatap tajam dan sinis pada lelaki yang bertanya itu. Kebanyakan dari mereka adalah bangsawan tingkat bawah hingga kasta proletar.

"Tetap seragam sekolah karena acara ini tak berlangsung lama," sahut profesor Madeleine paham akan tatapan murid-muridnya yang lain. Tidak semua murid punya seragam khusus dari keluarga—pemilik seragam khusus ini biasanya dari kaum bangsawan yang juga memiliki lambang atau emblem keluarga. Sedangkan mereka yang murid biasa dengan artian kasta proletar tak memilikinya. Alih-alih hanya mengenakan pakaian biasa.

"Karena tak ada lagi pertanyaan, kalian dipersilakan bubar, terima kasih."

****

Mereka berlima berjalan bersisian menuju kastil asrama, beristirahat di sisa waktu adalah pilihan terbaik sebelum hari esok apalagi lusa. Aalisha juga harus menyimpan energi untuk malam nanti berlatih dengan master Arthur.

"Sepertinya kami tak bisa ke kastil, asrama, ada rapat mengenai pertunjukkan opera," ujar Frisca segera menarik lengan Gilbert karena lelaki itu juga bagian dari anggota opera.

"Maaf yah!" teriak Gilbert.

Kini tersisa tiga orang yang berjalan sejajar. Dikarenakan mereka tidak ada ikut ekskul jadi tak ada waktu sibuk mempersiapkan ini dan itu. Terkadang terbesit pertanyaan, mengapa Anila yang cerdas tidak ikut satu pun ekskul? Bahkan gadis Andromeda itu tidak ikut klub membaca atau ramuan atau barangkali klub yang isinya murid cerdas semua. Mungkin karena dia sudah cukup cerdas jadi tidak perlu ikut ekskul yang hanya membuat tubuh lelah.

"Kurasa lusa nanti aku tak di sini," ujar Anila sambil memberikan tatapan sinis pada gerombolan lelaki karena menatap pada mereka bertiga sejak tadi.

"Aku juga, lusa nanti aku harus pulang ke rumah," sambung Mylo. Sambil melirik Aalisha, tetapi gadis itu tak kunjung berujar bahkan tak terbesit rasa penasaran hendak bertanya. "Tidakkah kau harusnya bertanya pada kami?!"

"Aku tak penasaran," balas Aalisha.

"Gadis pendek menyebalkan," gumam Anila, "kami lusa tak ada dan kau begitu tenang?"

"Haruskah aku panik?" Akhirnya dia menoleh pada Anila dan Mylo. Wajah kedua manusia itu terlihat sedih. Aalisha tak suka sikap mereka ini yang seperti anak kecil, jadinya dia menghela napas dan mengalah saja. "Baiklah, baiklah, ke mana kalian sampai lusa tak di sini? Apalagi hari penting."

Anila langsung sumringah. "Itu, aku mendapatkan surat tadi pagi. Ayahku bilang kalau salah satu relasi terdekat keluarga Andromeda, putrinya melakukan debutante, jadi aku harus hadir karena itu aku mulai besok izin pulang."

Mylo berujar, "wah aku juga kurang-lebih sama. Jadi ada relasi keluargaku juga, putranya melakukan penobatan karena jadi kepala keluarga, terus mengadakan acara dan keluargaku diundang. Aku harus hadir, kedua kakakku juga hadir. Jadi mulai besok, kami izin sampai tiga hari."

Meskipun keduanya akan pulang ke rumah dan bertemu orang tua mereka setelah tiga bulan lamanya, tetapi mereka malah memasang wajah sedih. Aalisha tak mau memahami makna dari kesedihan mereka. Aneh sekali, mengapa juga harus sedih? Karena Aalisha?

"Enak ya, yang punya keluarga." Sengaja Aalisha mengatakan hal itu sambil melangkah lagi.

"Aalisha ... bukan begitu," ucap Anila bermuram durja, "atau kaumau ikut aku, kuyakin ayah dan ibuku—"

"Tidak terima kasih Anila. Kau tak perlu mengasihaniku sampai seperti itu," sahut Aalisha cepat, "aku baik-baik saja."

"Baiklah, maafkan aku," jawab Anila.

Mylo merasa suasana jadi canggung jadi dia lekas mencari topik baru. "Berbicara tentang debutante, berapa umur debutante dari putri keluarga yang kau kunjungi itu?"

"Seingatku sembilan tahun," sahut Anila.

"Aku dulu debutante berumur delapan tahun, padahal saudaraku yang lain hampir sepuluh tahun. Jadi saat itu, aku benar-benar kecil sekali ketika banyak bangsawan hadir," jelas Mylo teringat ketika dia mengenakan pakaian formal begitu mewah, pedang kecil di sampingnya, mengenakan jubah merah agak panjang.

"Aku juga umur delapan tahun," ucap Anila.

Debutante atau acara debut adalah pesta digelar oleh bangsawan ketika anak-anak mereka mencapai umur untuk debut di kalangan sosial dengan artian memperlihatkan pada kalangan sosial masyarakat akan putra atau putri mereka. Biasanya umur debut adalah dua belas tahun, tetapi semakin bertambah zaman, seorang anak sudah bisa debut di umur delapan tahun jadi kini patokan debutante pada umur 8—12 tahun. Biasanya acara debutante diselenggarakan dengan begitu meriah dan mengundang banyak kalangan sosial terutama relasi keluarga yang menyelenggarakan acara debutante. Setiap sex—baik laki-laki dan perempuan akan melakukan debutante ketika umur mereka cukup.

"Aku teringat malam debutante-ku, saat itu, ayahku berdansa denganku pada malam harinya sebagai penutup acara. Meski aku tak mahir berdansa, tetapi karena ayahku yang menuntun, aku tak melakukan kesalahan hingga akhir," jelas Anila yang menganggap kenangan malam debutante-nya adalah kenangan paling indah.

"Aku senang ketika pendeta berdoa untukku," sambung Mylo, "entah mengapa terlihat hebat ketika pendeta melantunkan syair doa begitu panjang. Seolah-olah berkah Dewa langsung turun padaku." Senyuman Mylo merekah.

Biasanya dalam debutante akan didatangkan pendeta dari kuil untuk mendoakan sang anak yang melakukan debutante agar hidupnya dipenuhi kebahagiaan serta keberkahan.

"Itu juga favoritku," ujar Anila menatap pada Aalisha yang sejak tadi diam saja. "Bagaimana dengan ...." Sialan, Anila tercekat, bibirnya terkatup, ia jadi membisu karena baru teringat sesuatu. Begitu juga Mylo yang paham maksud dari diamnya Anila. Mereka berdua baru sama-sama sadar. Kini keduanya merutuki diri sendiri.

"Bagaimana denganku?" Aalisha berujar karena Anila tak melanjutkan perkataannya. "Aku tak menjalani debutante, toh tidak ada juga yang bisa menyelenggarakan debutante untukku. Tak ada juga yang bisa kuundang, apalagi mendatangkan pendeta."

"Aalisha sungguh, kami minta maaf—"

"Kalian berdua, aku lebih senang jika kalian bercerita seperti tadi tanpa memedulikanku atau merasa sungkan dan iba." Aalisha menghentikan langkahnya. Kini mereka berada di depan pintu kastil asrama Arevalous.

"Kalian tidak perlu merasa tak enak, kasihan, iba ketika menceritakan kebahagiaan kalian hanya karena aku tak mendapatkan semua kebahagiaan itu. Ceritakan saja kebahagiaan kalian padaku tanpa perlu memedulikanku atau takut aku merasa sedih. Dari hal itu, aku bisa tahu kalau kalian menghargaiku apa adanya." Aalisha menyentuh gagang pintu asrama Arevalous sambil berujar lagi. "Karena sungguh demi para Dewa, aku tak suka dikasihani oleh manusia."

Dibukanya pintu kastil, dia masuk lebih dulu dan menutup pintu sedikit dibanting. Anila dan Mylo terdiam di luar dengan perasaan campur aduk, tetapi lebih kentara perasaan bersalah.

Berada di kamar, Aalisha mengunci pintunya. Terdiam di sana sejenak, lalu perlahan melepaskan sepatu dan kaos kakinya. Melangkah menuju meja kecil, dibuka rak meja tersebut yang di dalamnya ada sebuah foto tanpa bingkai. Ia ambil foto tersebut dan ditatapnya dengan ekspresi sulit digambarkan; apakah ia marah, sedih, kecewa, hancur.

"Jangan menangis karena menangis hanya untuk manusia lemah." Perlahan ujung foto tersebut terbakar yang kini hanguslah foto digenggamnya itu tanpa bersisa sedikit pun.

****

Aalisha membersihkan diri sebelum makan malam nanti, dia juga menggunakan beberapa cairan yang bermanfaat untuk perawatan kulitnya. Aromanya kini menjadi wangi bunga mawar bercampur zaitun serta buah peach, tercium manis, tetapi tidak pekat dan menusuk hidung. Rambut hitamnya sedikit bersinar setelah keluar dari kamar mandi. Dia mengenakan pakaian yang cukup tebal, tetapi tidak menghalangi geraknya. Sengaja ia mengenakan pakaian ini karena sekalian latihan malam hari bersama master Arthur.

"Mana sih master itu," ujarnya menatap cyubes karena tak ada pesan dari Arthur. Biasanya pria itu akan menghubunginya sekitar sore hari untuk memberitahu jam berapa latihannya serta lokasinya di mana karena malam kemarin, lokasi latihan berpindah. Barangkali lokasi malam ini di tempat yang sama atau malah berbeda. Namun, tak kunjung juga pesan itu ada. Aalisha enggan menghubungi Arthur lebih dulu.

Merasa tak kunjung juga pesan itu ada padahal jam sudah menunjukkan pukul lima sedangkan makan malam nanti sekitar pukul enam lewat. Jadi Aalisha memilih untuk duduk di kursi yang mengarah keluar jendela yang sengaja dibuka agar angin sore masuk ke kamarnya. Menopang pada daun jendela, dia memperhatikan burung-burung hantu yang masih berlalu-lalang sambil membawa surat. Ada juga burung hantu yang pergi membawa surat balasan dari para murid. Tentu saja hingga sore hari sampai esok mungkin masih banyak surat berdatangan, apalagi jumlah murid di sini mencapai ratusan lebih, barangkali seribu murid. Sayangnya, di antara ribuan surat itu, tak ada satu pun ditujukan pada Aalisha.

"Lebih baik aku bersiap untuk makan malam." Aalisha bangkit, menaruh kursinya pada tempatnya, menutup jendela. Dikarenakan cuaca di luar agak dingin jadi dia beralih mengambil sweater berwarna biru dongker dan ia kenakan. Baiklah sekarang pakaian jadi berlapis ganda tebalnya.

Entah hanya perasannya saja, tetapi terdengar suara ketukan, jadi diedarkan pandangannya mencari sumber suara. Hingga manik matanya, menangkap seekor burung hantu putih bersih, di paruhnya mengapit surat berwarna krem hampir kecokelatan, burung hantu itulah yang mengetuk-ngetuk jendela kamarnya.

Mata Aalisha agak membulat, tak berkedip, ia mematung beberapa detik, tak jadi ia mengenakan sebelah sepatunya, karena lekas melangkah ke jendela dengan satu sepatu sudah terpasang di kaki kanannya. Gerakannya agak terburu-buru, seolah di dalam benaknya ia menunggu surat tersebut padahal sebelumnya tak terlintas keinginan mendapatkan surat.

Jendelanya terbuka, burung hantu mengepakkan sayap lalu masuk hingga di dekat Aalisha. Ditatapnya burung hantu itu setengah tak percaya, perlahan ia mengambil surat tersebut, tak sedikit pun ia berkedip karena di tangannya kini sebuah surat yang entah siapa pengirimnya. Namun, akan segera Aalisha ketahui, jadi ia buka perlahan surat tersebut, tak mau sobek atau melakukan kesalahan bodoh yang membuat suratnya rusak. Pertama-tama yang dilakukan adalah menelusuri isi surat, sengaja tidak membaca nama pengirimnya seperti hendak jadi sebuah kejutan. Benar, kejutan yang tak pernah ia harapkan.

****

Arthur memperhatikan cyubes-nya, Aalisha terlambat hampir setengah jam. Tumben sekali, pikir Arthur karena tidak seperti biasanya; Arthur yang kadang terlambat dan Aalisha akan mengoceh padanya. Kira-kira alasan apa yang membuat gadis itu tidak hadir tepat waktu?

Kini pria itu menyipitkan mata, di kejauhan Arthur bisa melihat sosok gadis berbalut sweater biru dongker tengah melangkah dengan terburu-buru, membuat Arthur jadi menegakkan tubuhnya dan menatap bingung pada Aalisha. Gadis itu terlihat membawa pedang, bukan pedang kayu seperti yang digunakannya malam lalu, melainkan pedang sungguhan yang mengkilap karena tak ada sarungnya menutupi.

Semakin bingung Arthur karena gadis itu terlihat penuh amarah, wajahnya mendongak, rahangnya mengeras, otot-otot tangannya semakin menggenggam pedang tersebut yang diketahui begitu tajam karena diasah gadis itu lebih dulu. Ya, Aalisha menghabiskan setengah jamnya untuk mengasah pedang.

Langkah Aalisha yang semakin cepat itu, tetapi tidak membuat Arthur bergerak dari posisi duduknya dan masih terlihat begitu santai. Wajah Aalisha terpampang jelas ketika sinar rembulan mengenainya.

Jarak keduanya semakin terpangkas, Aalisha memasang sikap pertama dengan menguatkan kedua bahunya, tangan kanan menggenggam pedang yang kini mengarah ke belakang; back stance. Sekonyong-konyong Aalisha mengayunkan pedang tajamnya, memotong jarak hingga tepat berada di depan tenggorokan Arthur. Hanya perbedaan tiga jari saja antara mata pedang dengan tenggorokan pria itu. Aalisha sama sekali tidak takut dan gentar padahal telah mengacungkan pedang sungguhan pada seorang master Eidothea. Begitu pula Arthur yang tak takut jika lehernya dipenggal.

"Sepertinya kau sangat marah," ujar Arthur masih santai, tak terbesit rasa takut, malah dia takjub atas keberanian Aalisha. "Sampai-sampai kau harus melakukan sesuatu untuk melampiaskan amarahmu itu. Coba katakan apa yang membuatmu begitu marah?"

"Harusnya Anda sudah tahu alasan apa yang membuat amarahku berlabuh, Master Arthur Hugo Ellard."

Arthur menatap tangan kiri Aalisha yang bergerak, lalu menyodorkan sebuah surat berwarna cokelat karena ditulis di atas kertas dluwang.

"Ah karena itu kaumarah padaku?" ujar Arthur, tersenyum tipis. "Harusnya kau berterima kasih padaku."

Semakin saja gadis itu dongkol karena Arthur masih bisa tersenyum begitu mudahnya. "Beritahu aku Master, apa alasan Anda mengirimiku surat?" Ternyata pengirim surat tadi sore adalah Arthur. Surat yang berisi perintah latihan Aalisha pada malam ini dengan lokasi dan jam berapa.

"Hanya untuk menghiburmu, kurasa kausedih karena kausatu-satunya murid Eidothea yang tak mendapatkan surat," jelasnya begitu gamblang tanpa ditambahkan majas hiperbola sedikit pun.

"Hanya karena aku tak pernah mendapat surat satu pun, jangan pernah mengasihaniku dengan mengirimi surat bodoh seperti ini!" balas Aalisha penuh amarah yang mampu membelah lautan serta menggetarkan gunung-gunung.

"Mengapa kauanggap serius? Bukankah kau tak pernah menunggu sepucuk surat sama sekali. Jadi ketika ada surat datang untukmu entah candaan atau serius, harusnya kautak menanggapinya begitu dalam, seperti sekarang ini. Bukankah Nona Aalisha, tak pernah berharap pada manusia lain?"

Aalisha mengayunkan pedangnya ke samping dengan cepat yang membuat Arthur harus bergerak mundur. Beruntung wajah dan leher pria itu tak tergores serta ia bisa bergerak leluasa karena mengenakan pakaian normal. Baru Arthur menyentuh tanah dengan kedua kakinya, Aalisha sudah kembali menerjang dengan pedangnya yang tajam, lekas Arthur menghindar, tetapi gadis itu menyerang kembali menggunakan kaki kirinya yang berhasil ditangkis Arthur dengan kedua tangan. Namun, Arthur harus termundur beberapa langkah lagi. Kini jarak tercipta antar keduanya.

Pedang Aalisha diarahkan ke bawah hingga mata pedang menyentuh tanah, gadis itu mengatur napasnya berulang kali. Ditaruhnya surat Arthur tadi ke dalam invinirium. Setelahnya neith kebiruan menyelubungi seluruh tubuh hingga mencapai pedang.

Berada di jarak ini, perlahan Aalisha membuka kedua kaki selebar bahu, kaki kiri maju dengan mengarah ke depan, kaki kanannya sedikit dimundurkan, diputar 45 derajat atau lebih. Ia sedikit menekuk lututnya. Kemudian diperkuat genggaman pada gagang pedang. Aalisha mulai menggunakan sikap atau posisi dalam teknik berpedang, yaitu Ox atau Ochs yang artinya lembu;sapi. Ada juga yang mengartikan dengan tanduk lembu yang tajam.

Sikap ini dimulai dengan ia mengangkat pedangnya hingga di atas kepala, gagang pedang agak dipegang ke samping; di sisi kaki belakang. Lengannya agak ditekuk, ibu jari di bawah. Ujung pedangnya mengarah ke depan, ke wajah atau leher Arthur. Posisi ini seperti seekor lembu yang memiliki tanduk panjang kemudian menjulang ke depan, tepat ke hadapan musuhnya. Kuda-kuda bertarung yang terlihat begitu kokoh.

"Kurasa kau memang ahli mengontrol ekspresi. Meski kini kaumarah, tetapi tidak membiarkan amarah menguasaimu, buktinya kaumampu membuang amarah itu agar tetap fokus bertarung. Mengapa baru sekarang kautunjukkan?"

Seperti yang pria itu ocehkan. Aalisha benar-benar membuang amarahnya, kini pandangannya begitu tenang. Meski kenyatannya ia berniat memenggal kepala manusia. "Karena baru kutemukan alasanku untuk bertarung serius, yaitu membunuhmu," ujarnya tanpa nada gemetar, melainkan sangat mantap.

Arthur tersenyum bangga yang kini dari manik matanya. Aalisha terlihat melesat cepat, seakan menghilang lalu muncul persis di hadapan Arthur. Gadis itu melancarkan serangan, pedangnya terlihat begitu ringan seolah penari jalanan yang bergerak dengan gemulai tanpa cacat sedikit pun. Namun, Arthur begitu ahli, mudah sekali bagi pria itu mengindari serangan Aalisha lalu membalas dengan dengan kedua telapak tangan terbuka seperti teknik karate dan mengincar bagian perut gadis itu, beruntung Aalisha mengetahui tempo serangan Arthur jadi berhasil mengelak lalu menyerang kembali dengan mengayunkan pedangnya ke atas.

Sayang sekali Arthur kembali menghindar, kini seolah menghilang, ia muncul tepat di samping Aalisha. Pria itu tanpa belas kasihan hendak menyerang batang leher Aalisha, tetapi berhasil ditangkis Aalisha dengan bilah pedangnya yang membuat keduanya terempas ke belakang akibat benturan energi mereka.

"Bagus sekali," puji Arthur tersenyum tipis, "kau mampu membaca tempo seranganku, tapi masih kurang karena energimu belum stabil. Coba lebih stabilkan lagi."

"Tidak perlu." Aalisha memasang kuda-kuda baru, tak sesuai dengan ajaran master Aragon. Sudah ditebak jika kuda-kuda atau posisi bertarung ini pasti sesuka hati gadis itu.

Pedangnya di arahkan ke jam 10 sehingga sedikit miring. Perlahan neith menjalar di sekujur tubuhnya. Membuat sinar kebiruan muncul sementara lalu hilang setelah Aalisha merapalkan mantra. "Tiorius Ventus Gladio."

Arthur berdecak, sambil berdiri tegap dengan tangan kiri disampirkan ke belakang sedangkan tangan kanannya dijulurkan, telapak tangan terbuka, jari-jarinya dirapatkan. "Bukankah kukatakan agar menstabilkan neith-mu sebelum menggunakan sihir."

"Sayangnya aku adalah manusia bebal yang tak suka diperintah, Master."

Aalisha juga memusatkan neith di pergelangan hingga telapak kakinya, jadi ketika berpijak, kekuatan kedua kakinya yang mendorong tubuhnya karena hendak berlari membuat tanah di bawahnya sedikit retak. Sihir yang tadi dia gunakan—Tiorius Ventus Gladio merupakan mantra yang menciptakan sihir berupa angin yang menyerupai pedang kemudian akan bergerak dan menyerang sesuai dengan instruksi dari penggunaanya. Jadi ketika Aalisha menyerang dengan pedangnya, serangan angin juga mengikuti yang menjadikan serangan Aalisha seolah lebih banyak dan bertubi-tubi. Ayunan pedang Aalisha diikuti serangan mantra yang digunakan, jadi Arthur tidak hanya menghindari pedang tajam Aalisha melainkan mantra angin yang perlahan-lahan membentuk pedang juga.

Tidak mau kalah, Arthur mempercepat tempo serangan balik yang dipusatkan pada telapak tangannya serta mencari titik lemah gadis itu. Begitu mahir Arthur menghindari setiap serangan pedang Aalisha begitu juga mantranya, membuat gadis itu harus memuji Arthur berkali-kali karena kedigdayaannya.

Akibat tidak stabilnya neith Aalisha membuat mantra yang ia gunakan tidak bertahan lama jadi Aalisha kembali memusatkan kekuatan pada pedang yang dipercepat juga tempo serangannya. Namun, sudah terlihat siapa yang lebih unggul. Meskipun Arthur bertarung tanpa pedang dan hanya menggunakan tangan kosong, tetapi serangannya lebih dulu mengenai Aalisha.

Rasa sakit menyeruak ketika tiga jari Arthur menyerang perut gadis itu, dilanjutkan serangan dengan telapak tangannya yang berhasil mengenai ulu hati Aalisha hingga gadis itu terbatuk keras dan langkahnya mundur perlahan-lahan. Jika diibaratkan sebuah tarian, maka Arthur memimpin tarian dan mengendalikan gerakan Aalisha. Pria itu berhasil melancarkan serangannya satu per satu, semakin banyak dan cepat, membuat langkah Aalisha mundur dengan rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya.

Tidak hanya menyerang titik lemahnya, Arthur juga tak segan menghantam wajah Aalisha hingga tergores, terluka, dan mengeluarkan darah dari bibir serta hidungnya.

Bajingan, dia tak memberiku kesempatan. Gadis itu tak punya waktu mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya karena berusaha membalikkan keadaan. Jika terus seperti ini, maka dia akan kalah telak. Atas keegoisannya yang tak mau kalah. Maka Aalisha menambah kapasitas kekuatannya, membuat neith-nya semakin tak terkendali. Dia kembali menyerang Arthur karena yakin setelah ini akan berhasil memojokkan pria itu. Sayang sekali, takdir tak berpihak padanya karena Arthur mudah sekali membaca serangan Aalisha.

"Kau terlalu meremehkan orang lain," ujar Arthur disela-sela pertarungan tanpa napas tersengal.

"Bajingan!" umpat Aalisha.

Gadis itu tak bisa menggunakan sihir karena sudah memusatkan neith pada sekujur tubuhnya. Alhasil Arthur berhasil meraih lengan kanan Aalisha yang menggenggam pedang, kini direbutnya pedang Aalisha dan gadis itu terempas begitu jauh setelah Arthur menendangnya tepat di perut. Suara berdebum terdengar kencang ketika punggung Aalisha menghantam pohon beringin, sepersekian detik, mata Aalisha sempat memutih—hampir pingsan gadis itu.

Kedua lututnya menyentuh tanah, sebelum wajahnya membentur tanah, Aalisha sadar kembali dan langsung menerjang ke depan. Arthur menggeleng sambil mengeratkan kepalan tangannya pada pedang yang telah direbutnya.

Apa dia akan menyerang tanpa pikir panjang? Arthur memasang kuda-kuda paling mudah yang biasa digunakan ketika dia sudah tahu hasil jika ia akan menang. Sangat berharap pria itu jika Aalisha masih memiliki kejutan lain ataukah gadis itu sudah mencapai batasannya?

Ketika jarak keduanya hampir dekat, gadis itu mengembuskan napas, lalu berbisik sangat pelan. "Illusio Motus."

Arthur mengayunkan pedangnya begitu ringan dan mahir, melalui matanya, dia benar-benar melihat Aalisha tertebas pedangnya hingga darah memuncrat. Namun, seketika gadis itu berubah buram, perlahan menjadi kabut, dan menghilang dari sana. Dari arah belakang, sosok asli gadis itu muncul dengan tangan terarah pada Arthur bersamaan pentagram biru pudar muncul di sekeliling keduanya.

"Igniesco!" teriak gadis itu begitu lantang dan detik selanjutnya ledakan api tercipta membuat gemuruh dahsyat, angin bagaikan badai, serta asap hitam tebal membumbung ke langit.

Pedang di tangan Arthur terlempar ke udara, berputar, dan tertancap di tanah, jauh dari posisi keduanya. Berangsur-angsur asap hitam menghilang tergantikan dengan sinar berupa selubung neith yang mengelilingi Arthur, berhasil melindunginya dari serangan tak sempurna milik Aalisha. Sedangkan gadis itu terdiam, sweater biru dongkernya rusak dan terjatuh dari tubuhnya, sedangkan kaos yang ia kenakan sebagian sobek serta menghitam. Celananya beberapa bagian juga sobek. Wajah gadis itu agak menghitam akibat serangannya sendiri, sedangkan sisanya—terluka karena serangan Arthur sebelumnya.

Tak berkutik gadis itu, ia berdiri tegap, kedua tangan di samping dengan tubuhnya tegang, hal ini karena dua jari Arthur menyentuh sendi bahunya. Perlahan jari-jari Aalisha hendak digerakkan, satu jari saja cukup agar ia mampu menggunakan mantra lagi, tetapi bukannya berhasil, sekujur tubuhnya kaku hampir lumpuh.

"Sayang sekali, kaukalah Nona Aalisha," ucap Arthur sambil menarik tangannya.

Harusnya itu kesempatan Aalisha untuk menyerang Arthur, alih-alih ia gunakan kesempatan itu, Aalisha tak paham mengapa langsung ambruk begitu saja ke tanah. Tubuhnya mengejang hebat, ia sama sekali tak bisa menggerakkan seujung jari pun, ibarat manusia terkena stroke maka begitulah kondisi Aalisha. Barangkali dia menjadi lumpuh kini.

Perlahan Arthur menatap Aalisha, sedikit membungkuk dia agar bisa mengetahui secara langsung bagaimana kondisi gadis menyedihkan yang terkapar di tanah. "Apa kauberpikir jika aku melancarkan serangan ke bagian tertentu tubuhmu hanya untuk melukaimu?" Arthur menggeleng pelan. "Tidak Nona Aalisha, tidak. Aku tepatnya menyerang aliran neith-mu, menutup setiap titik aliran itu, membuatnya tak terkendali. Sehingga perlahan-lahan melumpuhkanmu."

"Ke-pa-rat-ka-u," ujar Aalisha terbata-bata, bahkan menggerakkan bibir saja sulit untuknya.

"Terkadang, teknik serangan seperti ini jauh lebih efektif dibandingkan serangan membabi-buta menggunakan sihir."

Tangan Arthur bergerak lalu menyentuh pelipisnya, mengetuk-ngetuk dengan jari telunjuknya di sana. "Sudah kukatakan sejak pertemuan lalu. Gunakanlah otak serta strategi ketika bertarung, maka seperti inilah hasilnya."

Pria itu menuju pedang Aalisha yang tertancap di tanah, diraihnya, lalu kembali ke dekat Aalisha dan menancapkan pedang tersebut tepat di samping gadis kecil yang masih terbaring lumpuh. "Kau akan kembali normal, sekitar dua jam lagi—setengah jam paling cepat jika kau mampu, kebanyakan tidak mampu bahkan kakak tingkatmu yang sudah di tahun keenam. Sampai di sini latihan kita, mari sambung lusa nanti, kuberi kau libur untuk malam esok."

Perlahan master Arthur meletakkan satu tangannya di dada, membungkuk sebagai penghormatan. "Selamat malam Nona Aalisha. Sampai bertemu lagi." Arthur berbalik dan mulai melangkah, lalu teringat sesuatu jadi dia berujar lagi. "Oh ya, semoga setelah dua jam kaukembali normal jika tidak, kauakan tidur di luar untuk malam ini." Maka Arthur tanpa belas kasihan atau memikirkan nasib muridnya, dia pergi begitu saja dari sana.

Aalisha masih terbaring di rerumputan, ia memejamkan mata, berfokus merasakan apakah neith Arthur masih ada atau sudah hilang sepenuhnya. Karena dirasa Arthur sudah benar-benar pergi dan menyisakan Aalisha sendiri. Maka gadis itu menggerakkan jemarinya, perlahan-lahan dari posisi berbaring itu ia ke posisi duduk tanpa kesusahan sedikit pun. Dia merenggangkan otot-ototnya yang terasa sangat kaku, sungguh tak bisa dimungkiri jika rasanya sakit sekali tadi, tetapi tak berlangsung lama.

Ia meluruskan kedua kakinya, kedua tangannya di belakang sebagai pondasi tubuhnya karena kini dia tengah menatap langit-langit malam dengan ratusan bintang yang indah.

"Dua jam, katanya? Aku bahkan tidak sampai lima menit." Aalisha terkekeh. Kini dia sedang berpikir, bagaimana bisa kakak tingkatnya memerlukan dua jam agar kembali normal setelah terkena serangan Arthur? Sungguh menyedihkan.

"Master Arthur, benar yang Anda katakan, bahwa dalam pertarungan, kecerdasan juga tak kalah penting. Namun, di sini ... aku sedang memainkan permainan anak-anak. Jadi untuk apa aku serius?"

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Hola^^

Di Athinelon atau tepatnya di Kekaisaran Ekreadel, debutante dilakukan baik laki-laki maupun perempuan ketika sudah mencapai umur tertentu, biasanya pada umur 8—12 tahun. Debutante ini biasanya dilakukan keluarga bangsawan untuk menunjukkan bahwa anak-anak mereka siap debut di kalangan sosial. Setelah debutante ada Upacara Kedewasaan yang dilaksanakan pada umur 17 atau 18 tahun.

Alastair meskipun dianggap organisasi yang hebat karena menumpas pengguna sihir hitam dan bertugas melawan sekte iblis, nyatanya banyak yang takut pada organisasi ini karena anggota mereka kebanyakan tak berperasaan atau lebih mementingkan misi dibandingkan kemanusiaan.

Fun fact: Arthur adalah sosok paling dekat dengan profesor Eugenius dibandingkan para pengajar lainnya. Kemungkinan ada masa lalu dan rahasia yang mereka berdua sembunyikan. Perlahan semua itu akan terungkap seiring berjalannya cerita ini.

Prins Llumière

Senin, 9 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top