Chapter 45

|| Chapter ini mengandung adegan darah, menjijikan, dan mengganggu!

|| Silakan searching internet untuk kata-kata yang tak dipahami, seperti tunik, lira, dan lainnya

Waktu bergulir tanpa ada yang sadar, tugas silih berganti menjadi sebuah ujian kecil membuat setiap murid bersiap karena ingin mendapatkan nilai tertinggi dan berbahagia kemudian hari.

Di sebuah kamar—ruangan rapi, terdapat meja bundar yang hanya bisa menampung dua orang, kursi kecil tanpa sandaran. Di atasnya ada satu piring berisi sepotong kue yang tak dihabiskan, aroma melati bercampur lemon tercium dari teko sedangkan di dalam cangkir teh sudah tak bersisa isinya. Gulungan koran dari media Lè Ephraim jatuh sehingga berayun-ayun tertiup sepoi angin malam nan dingin. Sudah tak ada siapa pun di kursi tersebut karena tamunya pergi melewati jendela kamar yang dibiarkan terbuka, membiarkan sepotong kue begitu saja tanpa dihabiskan.

Ditelusuri, terlihat jejak langkah di rerumputan, sebelah Utara dari kastil utama akademi hampir dekat dengan Prairie Lynx Woods, di tempat yang dapat dipijak karena sekelilingnya lebih banyak semak belukar dan pepohonan rindang. Seorang gadis berdiri di sana, samping kanannya melayang sekitar delapan lembing yang ujungnya sudah diasah semakin tajam, dipoles agar mengkilap, bersinar kebiruan karena dilapisi neith.

Malam ini, bulan sabit tertutupi awan. Gadis berambut kehitaman dan dikepang panjang—Aalisha malah mengenakan baju berlengan sangat panjang jadi digulung hingga mencapai bawah siku, celana agak menggantung, tetapi kainnya tebal, lalu dia mengenakan sepatu yang biasa digunakan dalam latih tanding.

Sepoi angin melewati poninya yang menyentuh mata, tidak sama sekali mengganggu pandangannya karena gadis itu sangat fokus, tatapan setajam pisau seolah habis diasah selama enam jam lebih, manik matanya hitam legam bak kedalaman laut yang tak diketahui ujungnya. Perlahan lengan kecil dan kurusnya itu bergerak, tak gemulai, melainkan tangkas menuju lembing di sampingnya, digenggam kuat lembing tersebut secara terbalik membuat cahaya kebiruan sedikit menyelimuti jari-jari hingga pergelangan tangannya.

Kaki kanannya dimundurkan, memasang kuda-kuda, bahu kanannya diangkat hingga sejajar dengan leher, bahu kiri dan lengan kiri sedikit diangkat. Lembing mengacung, mata lembingnya terlihat kilauan cahaya karena sinar bulan yang terpantul setelah awan-awan berarak pergi. Aalisha terlihat seperti seorang prajurit perang yang akan membuka perang melalui lembing yang melesak kencang hingga membelah lautan dan membinasakan prajurit musuh. Terlihat begitu ahli, proporsi tubuhnya tak cacat, sempurna seperti selalu berhasil diayunkan lembingnya itu.

Sasaran mata lembingnya adalah sebuah pohon besar yang daunnya sudah berguguran tertiup semilir angin. Dengan mantap tanpa keraguan, lembing di tangannya meluncur, terbang melintasi pepohonan lain dan semak belukar yang memisahkan antara tempatnya berdiri dan sasarannya yang bak seekor lembu gemuk. Tidak ada yang bisa melemparkan lembing sedemikian jauhnya mengalahkan anak panas—tubuh gadis itu bahkan kecil, seorang ahli sekali pun akan gagal, sudah dipastikan jika lembing itu akan melenceng jauh dari sasarannya.

Ternyata tidak! Tak disangka, gadis itu malah menyeringai. Pohon sasarannya itu tidak diibaratkan sebagai lembu gemuk, melainkan seorang kesatria dari pihak musuh. Kesatria dengan baju tempur berdencing-dencing, menjadi targetnya kali ini maka mata lembing yang tajam itu menembus baju tempur tersebut, melesak hingga mendorongnya, menembus dan mengoyak tubuhnya, lalu terjengkang. Mata lembing itu berhasil menancap di tanah hingga menyebabkan tanah menjadi cekung. Begitulah kondisi pohon yang berhasil dihancurkan lembing Aalisha, mudah baginya menargetkan sasaran jika diibaratkan manusia.

Mengetahui lembingnya berhasil menghancurkan pohon tersebut, lekas digenggamnya lembing lain dan diluncurkan dengan begitu cepat. Menembus pohon lain, menghancurkan bebatuan, membuat tanah retak akibat mata lembing yang begitu dahsyat mendaratnya. Peluh keringat menetes dari dagunya, ia terengah-engah seolah habis menyelam di laut dan berusaha mengambil pasokan oksigen agar masuk ke paru-parunya. Sangat puas dirinya kini, perlahan disapunya poni yang menutupi pandangannya.

"Harusnya lembing seperti itulah yang mampu membunuhku, itu pun jika aku yang melemparnya," ujar Aalisha sambil menepuk-nepuk tangannya untuk membersihkan kotoran di telapak tangan.

Kejadian tempo lalu, entahlah tak ingat sudah berapa hari berlalu setelah itu, Aalisha tak peduli. Sayang sekali kesalnya masih tersisa, jadi secara diam-diam, di malam hari, dia selalu mencari waktu, tempat sepi, selain untuk mengusir kesal dan bosannya, juga untuk melatih ketangkasannya.

"Sayangnya sasaran di sini semua diam, aku suka sasaran yang bergerak, tetapi bukan binatang. Kasihan mereka, tak berdosa. Jadi aku butuh makhluk berdosa, seperti manusia atau iblis."

Cyubes-nya dimunculkan, diliriknya sesaat, ada pesan dan dibacanya pesan itu yang berasal dari Arthur. "Mungkin bisa kucoba menembus dada master itu dengan lembingku yang termasyhur."

Pesan dari Arthur berisi pertemuan Aalisha dengannya untuk melatih gadis tersebut. Di antara semua murid, nilai Aalisha paling rendah, entah dari mata pelajaran biasa seperti Biologi hingga mata pelajaran mantra maupun latih tanding. Gadis itu sulit sekali mengobrol neith-nya, beberapa kali menolak tak mau ikut praktik latihan neith dengan profesor Ambrosia. Ia juga sudah tak terhitung jumlahnya, terkena banting ke tanah oleh kakak tingkat yang diminta master Aragon untuk menjadi pelatih atau melawan murid lain di kelas pun gadis itu kalah telak. Sudah tak terhitung selama tiga bulan ini, berapa kali Aalisha masuk rumah sakit. Namun, gadis itu tak terlihat jera atau kewalahan, membuat para profesor paham jika gadis itu sungguh egois.

"Kurasa master Arthur hendak melatihku atau memberikan ceramah panjang, mana yang benar? Tetap saja, aku tak bisa menolak." Perlahan Aalisha mengangkat tangan kanannya yang bersinar kebiruan, menjentikkan jari, dan berbalik dari sana hendak pergi ke titik yang Arthur kirimkan melalui cyubes. Dari kejauhan, perlahan-lahan lembing yang Aalisha luncurkan tadi, melebur menjadi cahaya biru hingga tertiup angin dan hilang begitu saja seolah-olah tertelan sinar bulan.

****

Malam ini, atas permintaan master Aragon. Arthur hendak melatih gadis itu secara langsung karena tidak lama lagi ada kompetisi yang diadakan teruntuk angkatan baru sehingga wajib mengikutinya. Jika Aalisha tak juga kunjung mengendalikan kekuatannya atau paham teknik dasar bertarung, ditakutkan gadis itu akan dibantai murid lain pada hari kompetisi.

Langkah Aalisha menuju barat kastil akademi terdengar, sebuah daerah yang banyak pepohonan rimbun, tetapi ada jalan setapaknya. Arthur pasti sengaja memilih tempat sepi untuk melatihnya. Sebenarnya Aalisha ingin menolak latihan ini, tetapi ancaman Arthur membuatnya berpikir berkali-kali lipat.

Dari kejauhan, sosok pria itu terlihat sedang duduk di kursi, berfokus pada bukunya bersampul kecokelatan. Sadar Aalisha datang, meski tak sempat berujar sepatah kata pun gadis itu. Arthur mendongak, menutup bukunya, berdiri dari sana. Pria itu begitu tinggi, proporsi tubuhnya terlalu sempurna; gagah, berotot, bahu lebar. Wajahnya sangat menawan apalagi terkena pantulan sinar bulan. Definisi ciptaan Dewa yang tak tertandingi.

Kini Aalisha tidak hanya memuji para Dewa karena begitu baik ketika menciptakan Arthur, tetapi dia perlu memuji betapa pahamnya manusia itu dalam memilih pakaian. Tunik praetexta, begitu sempurna melekat dan melilit tubuh Arthur, warna putih gading dengan tepinya dijahit berwarna ungu kemerahan. Dia juga mengenakan sandal.

Aalisha merasa jika di hadapannya adalah sosok pangeran atau raja dari benua barat karena tunik menjadi ciri khas benua barat. Ciri khas benua barat yang lainnya seperti dawai atau lira, minuman anggur di dalam cawan emas, para penari perempuan maupun lelaki dengan cadar menutupi wajah mereka, patung-patung besar berukiran wajah raja-raja berkuasa, upeti hampir seperti harta karun tersembunyi, serta masih banyak lagi. Ingin Aalisha kunjungi benua itu jika umurnya cukup.

"Aku terkadang bingung, harus memuji dengan kalimat apa lagi, setiap melihat pakaian Anda. Adakah alasan Anda, mengenakan pakaian ini? Atau Anda juga bermain lira, bisa tunjukkan padaku?"

Semerbak aroma yang harum tak menyengat tercium dari master Arthur. Aalisha bingung hendak mengatakan aroma apa ini, seperti aroma citrus; buah lemon bercampur jeruk, tetapi tercium juga wangi kayu-kayuan.

"Aku mendapat tunik ini sekitar seminggu lalu, salah satu kenalanku memberi ini setelah mengunjungi benua barat. Kupikir harus kukenakan sebagai bentuk menghargai, tetapi aku merasa tak percaya diri. Sayangnya, aku tak ada bakat bermain lira."

Hendak Aalisha mengumpat. Tidak percaya diri, katanya? Entah memang makna sesungguhnya; menunjukkan jika Arthur benar tak percaya diri atau ada makna konotatif; berniat rendah diri untuk sombong. Padahal nyatanya, tunik itu benar-benar mendapatkan pemilik yang sempurna.

"Harusnya aku tak perlu memuji Anda. Namun, Master, Anda yakin hendak mengajariku dengan pakaian itu? Jika tuniknya sobek, jangan salahkan aku."

"Jika wanita saja mampu berperang dengan gaunnya, mengapa aku tidak? Lagi pula antara gaun dan tunik, kurasa gaun seribu kali lebih menyusahkan," ungkapnya seperti paling ahli dalam dunia pakaian. "Selain itu, aku tak yakin, kau bisa mengalahkanku."

"Baiklah, baiklah, jika itu kehendak Anda, aku tidak bisa berdebat lagi. Jadi persingkat waktu saja, bisakah kita mulai?" Untung saja Aalisha tak marah dengan kalimat terakhir Arthur.

Arthur melirik pada meja dan kursinya tadi, perlahan semua itu menghilang yang kini menyisakan tempat yang cukup untuk melakukan latihan. Setelahnya dia menilik gadis kecil yang terbalut baju kebesaran sehingga lengannya harus digulung, dia juga mengepang rambut hitamnya. Helaan napas panjang terdengar, Arthur teringat pembicaraan para pengajar lain mengenai gadis kecil ini.

"Sebelum itu, aku ingin bertanya dulu padamu," ujarnya sambil berjalan membuat tuniknya tersibak akibat sepoi angin. "Apakah kau tak ada keinginan memperbaiki nilai atau serius sedikit dalam mata pelajaran, hampir seluruh nilaimu rendah."

"Rendah sampai aku harus dikeluarkan dari sekolah?" sahut Aalisha cepat.

"Tidak, maksudku, nilaimu berada di rata-rata target lulus. Hanya saja jika dibandingkan dengan teman-temanmu atau murid lain, kau mendapatkan nilai terendah ... di semua mata pelajaran. Terutama pelajaran neith dan nereum, latih tanding, dan juga mantra dasar. Di bidang ramuan, kau masih lebih baik, tetapi kurang-kurangilah menciptakan ledakan."

Aalisha meniup poninya yang menghalangi pandangan, lalu dia duduk bersila di rerumputan tanpa dipersilakan oleh Arthur. "Jadi kau ingin aku menambah kapasitas otakku, biar secerdas Anila atau Kennedy?"

"Aku tak bilang kautidak cerdas," sahut Arthur yang kini cahaya rembulan semakin menyinari pria itu sehingga wajahnya yang tampan begitu terpampang jelas. "Aku bilang seriuslah meski hanya sedikit." Dia menekan setiap frasa yang keluar dari mulutnya.

"Jika aku serius, maka kejadian Ixchel Nerezza akan terulang kembali," ungkapnya tanpa beban, tanpa rasa bersalah, serta dianggapnya perkataan Arthur sekadar angin lewat tak bermakna. "Lagian Master, jangan terlalu melebih-lebihkanku, aku bukanlah orang suci."

Arthur yang tadinya bersedekap kini sedikit membungkuk agar bisa menatap jelas manik mata Aalisha. "Aku tak melebihkan, aku hanya ingin kau serius dalam bersekolah di sini, apalagi ketika ada pelajaran, bukan sekadar mencari musuh dan menciptakan perang."

"Apa yang membuat Anda berpikir jika aku tak serius?" Satu alis Aalisha terangkat, tanda ia meremehkan.

"Kau tak pernah benar-benar mendengarkan materi disampaikan pengajar, lebih banyak melamun, tidak mencatat, meski kaukerjakan tugas, kebanyakan selalu salah. Berkali-kali profesor Ambrosia meminta untuk kauberlatih mengontrol neith sampai dia menyisihkan waktu untuk membantu, tapi kautak kunjung berlatih atau menemuinya. Teknik dasar berpedangmu juga masih banyak salah. Ketika bertarung, kau selalu asal-asalan, seranganmu absurd. Pelajaran biologi, kau jarang mau menjawab pertanyaan profesor Solana padahal dia begitu baik. Sungguh Aalisha, jika kusebutkan semua, maka akan jadi satu bundel buku."

Tidak Arthur sangka, gadis kecil ini malah menatap ke arah lain dengan kedua tangan menutupi telinga, sengaja sekali dia mengejek Arthur. Amarahnya perlahan terasah dan siap terhunus jika gadis ini masih bersikap kurang ajar. "Sudah?" ujar Aalisha melepaskan tangannya dari telinga. "Anda cocok jika menjadi pendeta di kuil, pendeta yang akan melakukan doa panjang saat upacara persembahan dengan membawa seribu ekor lembu."

"Dan kaucocok menjadi salah satu dari persembahan yang harus dibakar ke kobaran api." Sontak Aalisha bermuram durja, meski dibuat-buat, sayangnya tak berhasil di hadapan Arthur. Jadi dia terkekeh kecil. "Baiklah intinya apa? Anda mau aku serius dalam pelajaran 'kan? Sepertinya aku harus mencari otak pengganti terlebih dahulu."

Arthur abaikan kalimat terakhir Aalisha. Dia memahami akan gadis ini, jika ditanggapi, maka semakin tak tahu diri jadi sebaiknya didiamkan saja. "Kecerdasan dan pengetahuan memang diperlukan, tetapi keahlian dalam bertarung tak kalah penting. Sehingga keduanya haruslah seimbang. Jika dalam perang, kau tak mampu bertarung, maka kau akan menjadi mangsa paling mudah tuk dihabisi. Sebaliknya, jika kau tak bisa menggunakan kecerdasan, maka kau akan kalah dalam strategi musuhmu, alih-alih mengatur pasukan, kau akan membinasakan pasukanmu sendiri dengan mudahnya.

"Aalisha, tidak lama lagi ada pertandingan yang wajib diikuti setiap murid baru, meski pertandingan ini berkelompok, tetapi kau haruslah mampu melindungi dirimu sendiri. Apa kau mau terus-terusan dibanting dan dianggap remeh?"

Cukup lama Aalisha menatapi rerumputan yang bergerak karena terkena sepoi angin malam. Jika dia mendebat master Arthur, bisa-bisa, semalaman dia hanya mendengar ceramah nan sepanjang kereta api ini. Kantuk sudah agak menyerang, ia hendak berbaring di kasurnya jadi mau tak mau, dianggapnya jika masalah ini adalah salahnya dan mengalah pada Arthur. "Baiklah, aku salah. Aku turuti permintaan Anda untuk mengajariku, lagi pula itu memang tugas Anda. Jadi kapan? Sekarang atau malam lain?"

"Sebelum itu, kuingin kaumenjawab satu pertanyaanku, apa kau akan mulai serius?"

Aalisha menyeringai sambil bangkit dari posisi duduknya, ditepuk-tepuk belakang pakaiannya dari debu rerumputan, lalu bersedekap dan menatap Arthur sedikit sombong. "Tergantung bagaimana suasana hatiku."

"Aku sudah menduganya ...." Tanpa peringatan, Arthur seketika melesat hingga ke depan Aalisha dan melepaskan satu tinju di perut gadis itu hingga Aalisha terempas ke belakang dan terbanting di tanah.

Dirasakan Aalisha jika sikunya berdenyut, dielusnya pelan sambil menatap Arthur. "Mengapa tiba-tiba! Jahat!"

"Tergantung suasana hatiku, teruntukmu, aku akan lebih kejam," ujar Arthur, "itu baru serangan tanpa neith, jika kugunakan kekuatanku, maka kau akan berakhir menembus pohon di sana atau pingsan seperti keledai bodoh."

"Setidaknya gunakanlah hati nurani Anda, tidak tahu apa, perbedaan besar tubuh kita terlalu jauh!" teriak Aalisha.

"Untuk apa kugunakan hati nuraniku pada manusia yang tak punya hati? Aku benar bukan, kautak punya hati nurani."

Sepertinya perkataan Arthur ibarat anak panah yang menembus dada Aalisha, tepat sekali sasarannya, membuat api di dalam diri Aalisha terpantik. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya yang masih menyentuh tanah, manik matanya berubah kelam dan dingin. Ia berang seperti seekor singa yang tak sabar untuk menerkam mangsanya kemudian mencabik-cabiknya hingga keluar seluruh isi perut mangsa tersebut. Sayangnya, Aalisha tak pernah menyukai seekor singa, dia lebih menyukai seekor kelinci berbulu putih.

"Dengan neith atau tidak," ujarnya tenang.

Arthur tersenyum tipis. "Tanpa neith, aku ingin melihat kekuatanmu tanpa dilapisi neith atau sihir."

Dihirup pasokan oksigen, diembuskan melalui mulut. Aalisha langsung menerjang ke arah Arthur dengan serangan menggunakan tangan kanannya, tetapi berhasil dielak Arthur. Lekas gadis itu menyerang lagi sambil mencari titik vital tanpa perlindungan, tetapi Arthur cerdas jadi tak dibiarkan celah sedikit pun. Posisi pria itu tak bergeser sama sekali meski Aalisha menghujamnya dengan berbagai serangan dan tinju. Tuniknya sama sekali tak menjadi penghalang, malah sebaliknya, Aalisha kesusahan bergerak seolah ada rantai yang menahan gerakannya sehingga setiap serangan yang dilancarkan selalu berhasil Arthur tangkis, bahkan membuat Aalisha harus mundur karena pria itu berhasil mengembalikan serangan Aalisha.

"Kau masih kaku, napasmu tak beraturan jadi ketika menyerang, kau cepat kewalahan, lalu apa-apaan kuda-kuda berantakan dan serangan tak beraturan ini?" Arthur berdecak sebal. "Bukankah Aragon sudah mengajari teknik dasarnya, gunakanlah teknik itu, jangan asal menyerang karena hanya akan membuang tenaga sedangkan seranganmu tak berguna sama sekali!"

Aalisha mengusap peluhnya di pipi dan dagu membuat bekas tanah terukir di sana. Meski berkeringat, ia tak gerah akibat angin malam yang semakin bertiup dingin. Perlahan Aalisha memasang kuda-kuda seperti diajarkan master Aragon, tangannya yang semula terkepal kuat kini dibukanya dengan kelima jari ditekuk. Ia akan menyerang dengan telapak tangannya yang dibuat sekuat mungkin.

Arthur membenarkan tuniknya, lalu kedua tangannya disampirkan ke belakang dengan satu tangan memegangi pergelangan tangannya. Kepalanya sedikit mendongak, menunggu serangan gadis itu. Ketika angin bertiup membelai rambut guru dan murid tersebut, satu daun terbawa angin, dan perlahan jatuh hingga menyentuh rerumputan. Maka Aalisha kembali berlari dan melancarkan serangannya, kini dilapisi sedikit dengan neith. Hanya saja, Arthur kembali menangkis serangan tersebut bahkan dibelokkannya dan berbalik menyerang Aalisha di area ulu hati, gadis itu terbatuk kesakitan.

Aalisha tak mau kalah, dia terus-menerus menyerang, sayangnya Arthur selalu berhasil. Serangan demi serangan Aalisha lancarkan sekuat tenaga, tetapi Arthur selalu mampu menahannya atau menyerang balik hingga tak terhitung sudah berapa kali Aalisha terkena serangan balik; di wajah, bahu, dada, perut. Merasa jika serangan Aalisha tak kunjung mengenai Arthur dan malah membuang tenaga. Maka Arthur menangkap satu lengan Aalisha, memelintirnya hingga gadis itu menjerit, lalu dibanting tubuh gadis itu ke tanah. Suara berdebum terdengar nyaring, area sekitar tanah retak. Aalisha merasakan jika tulang-tulangnya bergeser beberapa sentimeter.

"Kautak memberikanku kesempatan," ungkap Aalisha harus memuntahkan salivanya.

Arthur tak terbesit sedikit pun rasa senang atau bangga karena gadis itu sudah berusaha sekuat tenaga. Wajahnya memang terlihat datar dan dingin, tetapi jauh di dalam dirinya, ia marah berkali-kali lipat. "Aku tak tahu, kau terlalu payah atau memang tak punya bakat. Namun, kau tak mendengarkan perkataanku untuk menggunakan kuda-kuda selayaknya diajarkan Aragon."

"Sudah kugunakan! Tak kau tahu, kalau sejak awal aku cacat! Aku tak—"

"Bahkan yang cacat sekali pun tahu benar cara menggunakan teknik dasar meski pada akhirnya akan kalah." Arthur menutup matanya dengan helaan napas berat. Mengajari Aalisha seribu kali lebih melelahkan dibandingkan memenggal kepala prajurit iblis. "Sampai di sini saja latihannya, kita sambung di lain waktu, tetapi pada malam hari. Kau akan terus berlatih hingga hari pertandingan itu. Selamat malam, Nona Aalisha."

Arthur menyibak tuniknya, lalu melenggang pergi dari sana tanpa menunggu jawaban Aalisha atau pergi berbarengan dengannya. Gadis itu masih diam di posisinya sambil menatap kepergian Arthur dan tuniknya yang berwarna putih gading. Cahaya rembulan meredup akibat tertutupi awan putih yang menjadi pertanda hujan akan segera turun. Jemari gadis itu bergerak, direnggangkan sehingga terdengar bunyi kretek-kretek.

Harusnya amarah Aalisha meledak karena perkataan Arthur yang hampir seperti hinaan, benar-benar menyerang harga diri Aalisha, sayangnya dia sama sekali tidak terbesit amarah.

Arah jam dua, bertengger seekor burung hantu berbulu putih yang seperti memperhatikan Aalisha, entah sejak kapan di sana, gadis kecil itu tak peduli. "Sulit untuk menyembunyikan kekuatan di hadapannya. Untung aku sudah melakukan antisipasi," ujar Aalisha lalu berjongkok dan menggulung ke atas celana kanannya hingga mencapai lutut. Di kulit betisnya, terdapat ukiran menyerupai tato kuning yang berpendar. Kini satu jarinya menyentuh tato tersebut, lalu dirapalkan mantra singkat yang perlahan tato itu menghilang.

"Akan aneh kalau kusingkiran manusia itu jadi untuk saat ini biarkan saja," sambungnya sambil menurunkan gulungan celananya.

Rintik hujan jatuh di atas kepalanya, ia sedikit mendongak dengan tangan menengadah, makin banyak rintik hujan yang jatuh, kini terciptalah gerimis hujan di malam hari—burung hantu putih lekas pergi dari sana. Aalisha tak kebasahan karena dia membuat selubung neith sehingga tak satu pun air menyentuh pakaian maupun kulitnya. Perlahan-lahan gerimis itu menjadi hujan deras beserta gemuruh petir dan kilat terukir di langit malam. Kabut mulai menyelimuti tempat itu, awalnya Aalisha masih terlihat di antara kabut hingga pelan-pelan seolah ditelan kabut, sosoknya menghilang dari sana.

****

Di suatu wilayah antah-berantah, hujan turun cukup deras sehingga tak satu pun warga hendak melintas di jalan setapak yang mengarah ke hutan maupun danau atau tak ada penghuni di wilayah tersebut, barangkali wilayah itu sedang dilarang dibangun peradaban karena terdengar desas-desus akan iblis berkeliaran. Desa di sekitar wilayah tersebut sudah melapor pada penguasa setempat, mereka takut jika desas-desus itu benar dan iblis menjajah desa mereka. Sayangnya laporan mereka tak didengar, tuli sekali para bangsawan itu yang menganggap omongan masyarakat bawah sebagai gonggongan anjing.

Dikirimlah beberapa hari lalu seorang utusan oleh kepala desa menuju penguasa lebih tinggi, berharap sampai pada Count atau Marquess atau Duke, keajaiban juga didengar oleh Archduke Majestic Families. Namun, sudah lima hari berlalu, tak kembali juga utusan kepala desa. Resah para warga, akhirnya seorang pemuda di desa itu—bernama Jorry menawarkan diri bersama beberapa warga untuk pergi sekaligus mencari sang utusan. Di tengah perjalanan, satu-satunya jalan yang menjadi akses desa tersebut ke desa lain serta wilayah yang dilarang dibangun peradaban, ditutupi kabut tebal yang menghalangi pandangan Jorry dan warga yang ikut bersamanya. Kuda mereka tak mau jalan, dipaksa, tak juga hendak melangkah malah kaki-kaki kuda gemetaran hebat.

Maka Jorry turun sambil menggenggam kuat pedangnya yang sudah diasah setajam mungkin, para warga lain, sekitar lima warga mengikuti di belakang. Mantra penerangan digunakan, tetapi tak kunjung memperbaiki keadaan. Kabut semakin tebal dan kini menyerang pernapasan, sesak hingga mereka batuk-batuk. Sialan, kenapa kabut ini membuat napas mereka sesak? Kini langkah mereka pelan karena menginjak genangan lumpur. Tak tahu ke mana melangkah, mereka tersesat. Digunakan peta cyubes malah tak berfungsi, kehilangan arah seperti kapal yang tak tahu membaca kompas.

Jorry menutupi penciumannya karena sesaknya kini berganti menjadi keinginan memuntahkan seluruh isi perutnya. Tercium semerbak bau tak sedap. Sangat menjijikkan seperti campuran bau antara binatang sejenis sapi atau kijang yang mati, dikeluarkan isi perutnya hingga terlihat ususnya dikerubungi ribuan lalat lalu di sampingnya ada seonggok manusia dengan seluruh isi perutnya keluar juga, kedua hal itu menyatu hingga menciptakan bau menjijikkan ini sampai-sampai Jorry dan para warga yang mengikutinya harus memuntahkan seluruh perbekalan mereka di tanah berlumpur.

"Sialan, apa-apaan ini!" Jorry berujar yang sudah tak tahan lagi dengan bau yang diibaratkannya sebagai bangkai. Dia lelah memuntahkan isi perutnya sampai-sampai tenggorokannya terasa sangat serak sedangkan air yang ia bawa sudah habis sejak tadi.

"Ada yang tak beres! Sesuatu pasti terjadi di sini," sahut pria berjanggut yang kemungkinan sudah berumur 30 tahun.

"Oh Dewa, tolong lindungilah kami," ucap pria lain yang seumuran Jorry.

Entah Dosa apa yang dimiliki mereka, para Dewa tak berpihak karenanya malaikat kematian dikirimkan. Bertepatan dengan langkah kaki selain mereka, semerbak bau busuk nan menjijikkan semakin tercium mendekati mereka. Pria berdoa tadi mendongak ketika kaki besar berhenti di hadapannya, tak sempat berteriak atau merapalkan mantra. Akar panjang berduri seketika menerjang tubuh pria malang yang kini diangkat tubuhnya hingga Jorry dan empat warga lainnya bisa melihat tubuh teman mereka ditebus banyak akar hitam menjalar bahkan menembus mulutnya hingga dikoyak dan darah segar berjatuhan bak air terjun lalu menyatu dengan tanah berlumpur.

"VERO!!" teriak Jorry langsung mengangkat pedangnya berhasil ditebas satu akar, tetapi puluhan akar hitam lain menerjang.

Pria berumur 30 tahun lekas menggunakan mantra api yang membakar sekitarnya, tetapi tak berhasil mengenai monster akar di hadapan mereka. Monster itu berbalik menyerang dengan mengerahkan akar-akar ke tanah. Mereka berempat termasuk Jorry terdiam sambil waspada terhadap serangan, dari tanah berlumpur terlihat gelembung hingga ratusan akar menerjang ke atas, langsung menusuk tubuh pria berumur 30 tahun, disusul dengan dua warga lainnya. Tubuh mereka diangkat setinggi langit membuat cahaya rembulan menyinari seluruh isi perut mereka yang perlahan berjatuhan.

Jorry dan warga terakhir—Kurts berhasil selamat dengan memasang pelindung dari neith. Mereka lekas menjauh, tetapi Kurts kembali muntah karena melihat penampakan usus-usus dari teman-temannya yang bergelantungan, bersamaan dengan terpampang jelas sosok dari monster yang menyerang mereka—tidak, tidak! Bukan monster maupun iblis melainkan sosok Orly yang menjadi malapetaka bagi mereka.

"Orly, itu Orly 'kan?! Aku tahu!!" teriak Jorry sambil terkekeh, air matanya berjatuhan, agak gila kiranya dia melihat teman-temannya mati. "Kita bisa selamat! Kita harus mencari dan membunuh master Orly itu agar selamat!"

Kurts matanya membulat, masih tak menyangka akan sosok Orly di hadapan mereka ini. Lalu tanpa aba-aba dia menonjok wajah Jorry hingga temannya itu terjatuh di lumpur. "Gila kau ya, kau pikir mudah?! Dihadapan kita itu, tidak hanya Orly tingkat tinggi, melainkan Orly kuno jenis Moraissiass!"

Moraissiass adalah salah satu jenis Orly kuno yang bentuknya seperti monster karenanya jelek dan buruk rupa. Tinggi Orly itu sekitar dua meter, tangan dan kaki panjang, cakar besar agak kehitaman, tubuh bongkok, kepala menyerupai kerangka tengkorak binatang kerbau dengan moncong mulut lebih panjang, tanduknya menjulang seperti ranting pohon, sedangkan kulitnya seperti lichen atau lumut kerak. Sekitar punggung bongkoknya keluar akar-akar hitam panjang.

Jorry memegangi pipinya berdenyut hebat, air matanya tak bisa terbendung lagi. "Harus bisa! Harus bisa! Aku harus pulang dengan selamat karena hendak melamar kekasihku! Aku harus pulang!"

"Kau pikir aku tidak?!" balas Kurts dengan mata memerah. "Anakku sebentar lagi berulang tahun, istriku hamil besar dan banyak keperluan yang dibutuhkannya, dia juga membutuhkanku!"

Keduanya hening karena hanya terdengar Orly itu yang menyeret kaki besarnya di lumpur perlahan-lahan menuju mereka. Jorry menelan salivanya kasar, begitu juga Kurts.

"Kau merasakannya? Master Orly itu ada di sini," ujar Kurts.

Jorry mengangguk pelan. Lalu menoleh pada Orly berjenis Moraissiass itu. Meski kerongkongannya terasa sakit, dadanya sesak, Jorry tetap berusaha berujar, "mengapa kau menyerang kami?"

"Menuruti ... perintah ... tuan." Setiap frasa dituturkan Orly itu, embusan napas berupa uap panas dikeluarkan dari moncongnya. "Phantomius, pengikut Sang Raja Iblis!"

Mereka berdua tak menyangka jika dalang dibalik semua ini adalah para Phantomius, para pengikut dari sekte iblis. Jika melawan mereka, sudah dipastikan akan kalah apalagi Jorry dan Kurts tidak lebih dari masyarakat kasta bawah yang belajar sihir hanya untuk pekerjaan desa saja.

"Dewa, mengapa nasib mengenaskan selalu pada rakyat jelata?" ujar Kurts. Lalu beralih pada Orly tersebut. "Kau dan tuanmu tak lebih dari makhluk rendah yang menyerang kami! Kami manusia yang selalu ditimpa kesialan! Kau dan tuanmu akan tersiksa nanti—AKHHHH."

Kurts kehilangan suaranya ketika satu akar menusuk mulutnya dan menarik kejam lidahnya hingga darah mengucur dari sana. Akar lainnya seketika mengoyak seluruh tubuh Kurts hingga tak bersisa. Jorry menatap bawah yang menggelinding kepala Kurts dengan mata melotot sebelum kepala itu pecah akibat akar-akar di lumpur.

Jorry dengan tangis tak terbendung, mata memerah sebam, maju dengan pedangnya terangkat. "Sampaikan pesanku pada tuanmu wahai makhluk hina! Meski aku mati, meski kau membunuh seluruh warga di desaku! Harus kau ketahui!"

Moraissiass itu meraung, suaranya campur antara seekor beruang dengan singa ganas. Lalu suara tulang bersinggungan terdengar ketika akar-akar hitam di punggung Orly itu mulai memanjang. Jorry tak gentar, dia mengangkat pedangnya sangat tinggi dan suaranya tetap lantang.

"Di malam ini, aku berdoa dan menyerahkan seluruh hidupku pada Dewi Penghakiman dan Peperangan, Dewi Aarthemisia D'Arcy! Bahwa kau dan tuan serta para Phantomius lainnya akan diberi hukuman yang setimpal! Entah hukuman langsung dari tangan Suci nan Agung Aarthemisia atau melalui titisan sang Dewi---"

Satu akar berhasil menusuk perut Jorry, disusul akar-akar hitam lainnya hingga tak terhitung berapa banyaknya lubang tercipta, darah mengucur ke lumpur karena akar hitam menembus tubuhnya. Namun, Jorry tak merasa hidupnya menyedihkan, dia tersenyum hampir menyeringai dengan mata yang mengeluarkan darah merah, menatap sinis pada Orly tersebut. Kembali suara seraknya terdengar, "cepat atau lambat kalian akan mendapat hukumannya. Aku tak peduli jika Dewi menurunkan malaikat kematian langsung untuk kalian. Namun, kalian pasti merasakan rasa sakit ... ketika ... ditarik ke neraka ...."

Tubuhnya terbelah menjadi dua dengan mudahnya, seolah merobek kertas. Lalu kedua bagian tubuh yang terbelah itu dibuang sembarang arah hingga darahnya berceceran di mana-mana. Bau amis tak tertahankan memenuhi malam itu, tetapi sang Orly tak terganggu sedikit pun, barangkali pemandangan seperti ini sudah menjadi kesehariannya. Malah ia merasa aneh jika tak diberi perintah untuk membunuh makhluk lain atau mempermainkan isi perut mereka.

"Kem ... bali ...." Suaranya yang berat itu terdengar sambil diseretnya kaki besar melewati tanah berlumpur.

****

Di sisi lain hutan, rembulan bersinar tanpa ditutupi awan-awan. Memperjelas sosok berjubah abu-abu yang memasuki daerah pepohonan paling rimbun, setelah melewati salah satu pohon cedar yang sangat besar, perlahan kondisi hutan di sekitarnya berubah dan kini menjadi sebuah bangunan tua. Pasti yang dilewatinya berupa selubung neith yang menyembunyikan keberadaan bangunan tua tersebut dari tamu-tamu tak diundang. Tak disangka, Orly jenis Moraissiass yang beberapa waktu lalu berhasil membinasakan tujuh warga desa juga mengikutinya melewati selubung neith tersebut.

"Senang?" tanya si jubah abu-abu.

"Menyenangkan Master," sahut sang Orly dengan embusan napasnya terasa panas, seperti ketel uap.

"Bagus jika kau senang." Di balik jubah abu-abunya, sosok itu tersenyum tipis. Semakin jauh dia melangkah, terlihat beberapa titik di dinding diberi lentera sebagai penerangan. Hingga langkahnya berhenti karena di hadapannya ada pintu begitu besar, terbuat dari kayu mahoni, dilapisi segel agar tak ada orang asing memasukinya, tetapi mustahil ada yang hidup sampai ke titik ini terkecuali tamu-tamu yang diundang. Sang Orly berhenti mengikuti langkah masternya.

Pintu berderit, si jubah abu mulai memasuki ruangan tersebut barangkali aula karena begitu besar, kemungkinan 30 manusia bisa berada di dalam. Melewati daun pintu, perlahan-lahan jubah yang dikenakannya bersinar kemerahan, berangsur-angsur menjadi sebuah gaun berwarna biru kelam lengkap dengan sarung tangan mencapai siku.

Ternyata di dalam aula itu sudah ada beberapa makhluk, barangkali manusia yang duduk di kursi masing-masing mengelilingi meja mereka dengan di tengah meja ada api mengambang. Sekitar dua belas pemilik kursi ditambah sosok jubah abu yang kini menjadi mengenakan gaun biru adalah tamu mengisi aula ini. Sebelum mencapai kursinya, salah satu yang sudah menempati kursi—pria jangkung dengan rambut putih dan mengenakan topeng menutupi bagian matanya saja, perlahan berdiri tegap penuh wibawa lalu membuka kedua tangannya dalam gerakan penyambutan. Pakaiannya menyerupai tunik, tetapi lebih panjang dan besar lagi, hampir seperti pakaian suci yang digunakan pendeta ketika melakukan upacara doa di kuil.

Pria itu pasti pemimpin dari pertemuan kali ini, aura begitu kuat terpancar darinya. Ia menjadi salah satu Phantomius terpercaya yang kini dengan kelompoknya, ia akan menjalani perintah dari para Apos'teleous. Tak diketahui nama aslinya, tetapi para bawahan memanggil dengan nama lain—Casimir.

"Akhirnya, akhirnya kaudatang juga wahai salah satu pelayan yang mengagungkan sang raja iblis! Dengan ini, kita akan memulai rencana kita. Sebelumnya izinkan aku untuk menyambut pelayan terakhir kita di sini!"

Sosok bergaun biru perlahan mengambil kursinya, duduk tegap bak seorang anak dari bangsawan ternama yang sudah dijejali etiket sejak kecil.

"Mari sambut, sahabat kita yang akan membawa kita menuju keberhasilan, Nona Agrafina Briella Ambrosia!" Casimir menyebutkan nama itu dengan sangat lantang. Kemudian para Phantomius lainnya mengangkat gelas minuman mereka, begitu juga Ambrosia yang mengangkat gelasnya juga. Setelah bersulang, mereka habiskan minuman tersebut sekali teguk.

Ambrosia perlahan menyeka bibirnya dengan sapu tangan di atas meja. Wajahnya begitu dingin bak boneka yang habis dipoles atau diukir, riasan wajahnya tak begitu tebal memberikan kesan cantik padanya terutama manik matanya yang seolah bersinar bagaikan permata di aula yang tak begitu banyak lenteranya ini.

Casimir tersenyum puas sambil menatap Ambrosia yang tak kunjung berujar, hanya duduk diam layaknya patung yang harus disentuh dulu baru akan bergerak. "Ambrosia, harus kuperkenalkan padamu, Viscount Lugaldaba, kurasa kalian akan menjadi teman."

"Senang bertemu dengan Anda, Tuan Lugaldaba," ujar Ambrosia menoleh pada pria yang sangat tinggi, kulitnya pucat dengan rambut hitam begitu juga matanya. Ada dua gigi taring terlihat ketika dia tersenyum pada Ambrosia.

"Senang bertemu dengan Anda juga." Viscount Lugaldaba memiliki suara khas, nada piano yang rendah, tetapi menyeramkan jika terus-menerus didengarkan.

"Kalian berdua akan menjadi pion utama dalam rencana ini," ucap Casimir, "kuharap kalian mampu saling bekerja sama."

"Tentu saja!" Viscount Lugaldaba tersenyum sampai-sampai kedua ujung bibirnya hendak menyentuh mata, matanya sedikit melotot, betapa ia senang bertemu dengan sosok secantik Ambrosia.

Perlahan ia berdiri, lalu melangkah, hanya ketukan sepatunya yang terdengar di seluruh aula. Ia berhenti tepat di samping Ambrosia, tangan kanannya terjulur ke depan, sedikit membungkuk bak pangeran memberikan penghormatan pada tuan putri kerajaan. Maka Ambrosia perlahan memberikan tangan kanannya, digenggam jemari Ambrosia oleh Viscount Lugaldaba, lalu mengecup punggung tangan Ambrosia begitu lembut.

Di tengah kegelapan karena lentera tak begitu menyinari, air mata Ambrosia menetes melalui mata kirinya yang sekejap saja sudah dihapuskan oleh jemari Viscount Lugaldaba. "Jangan menangis, Ambrosia. Kau akan aman bersamaku karena kita akan mencapai kemenangan demi tuan Agung kita."

"Ya, lakukanlah."

Viscount Lugaldaba, menarik tangannya lalu diletakkan di dada kiri sambil membungkuk pelan memberi penghormatan. Setelahnya ia kembali ke kursi, lalu Casimir memecah keheningan dan semua Phantomius tertuju padanya. "Sebelum membahas rencana kita. Aku ingin mendengar cerita, jadi katakan Ambrosia, apa yang kaudapatkan setelah membunuh manusia-manusia itu?"

"Ya, Ambrosia, ceritakan. Aku ingin mendengar suara indahmu bercerita!" sambung Viscount Lugaldaba.

"Menyenangkan, jeritan mereka begitu indah terutana ketika darah-darah menetes seperti hujan malam hari."

"Benar sekali! Suara jeritan memohon ampun adalah yang terbaik!" timpal Phantomius lainnya begitu semangat.

"Adakah kata-kata yang diucapkan mereka sebelum kematian menjemput?" ucap Casimir.

Perlahan Ambrosia memperbaiki posisi duduknya, menyilang kedua kaki, kedua tangan ditumpuk di atas paha, kepalanya mendongak dengan tatapan sangat tajam. "Salah satu dari mereka, berdoa agar kita mendapat hukuman."

Suara tawa pecah seketika, memenuhi aula yang semula tak ramai itu kini begitu hiruk-pikuk seolah seribu manusia ada di dalamnya. Casimir masih dengan tawanya lalu perlahan berujar, "hukuman? Siapa yang mampu menghukum kita semua?"

Ambrosia berujar dengan tenang. "Titisan Dewi Aarthemisia D'Arcy."

"Ha ha ha, sungguh lucu," ucap salah satu Phantomius yang disusul tawa lainnya.

"Bodoh!" teriak Viscount Lugaldaba, "tak pernah ada! Itu hanya kebodohan semata, hanya kisah pengantar tidur anak-anak! Titisan itu tak pernah ada di dunia. Jika pun ada, aku lah yang akan membunuhnya!"

"Tak ada hukuman bagi kita! Hanya para Apos'teleous dan Keagungan Raja Iblis yang bisa menghukum kita!" sahut Phantomius lain.

Phantomius berbaju putih tak mau kalah jadi ikutan berujar, "manusia-manusia itu sungguh picik! Takkan ada yang membantu mereka, sekali pun mereka memberikan persembahan hingga seratus ekor lembu! Bangsa iblis akan selalu menang!"

"Diaammm!!" teriak Casimir dan hening menyeruak, ia berdiri dengan tangan terlentang. "Kita akan membahas rencana demi Yang Mulia Raja Iblis paling Agung, jangan khawatirkan hukuman karena mati demi Raja kita seribu kali lebih termasyhur. Tidak peduli apa pun, kita akan berhasil, bahkan jika titisan Dewi Aarthemisia D'Arcy benar-benar ada, dia takkan menghancurkan kita. Titisan itu, takkan pernah mampu!"

"Mari kita lihat," ucap Ambrosia sangat lantang hingga seluruh Phantomius menatap padanya. "Apakah benar, kita berhasil memenuhi perintah Raja kita atau titisan Dewi Aarthemisia turun ke Athinelon lalu menghancurkan kita."

"Ya, mari lihat takdir itu." Casimir menyeringai.

Malam itu menjadi malam yang sangat panjang. Sinar rembulan tak terlihat karena tertutupi awan-awan yang berarak. Hingga perlahan-lahan waktu bergulir, matahari terbit menggantikan malam nan dingin, memancarkan cahayanya yang begitu terik.

Suara dentingan antar pedang terdengar sangat kuat. Bilah pedang berkilauan akibat pantulan sinar matahari. Para murid sedang berlatih pedang sesuai dengan instruksi master Aragon. Setiap murid harus mencari pasangan dan mulai bertarung satu sama lain.

Ketika murid lain sudah mulai gesit dalam mengayunkan pedangnya, seorang gadis kecil dengan rambut terurai—awalnya diikat—masih berusaha mengalahkan lawannya yang tak bergeming sedikit pun. Seolah-olah perbedaan kekuatan mereka terlalu besar atau gadis kecil itu malas mengayunkan pedangnya dan memilih untuk terus bertahan. Akibatnya, gadis kecil itu terempas kuat hingga terjengkang dan tubuhnya ambruk ke tanah dengan bilah pedang musuhnya teracung tepat di depan wajahnya.

"Kau kalah Aalisha, kalah ... lagi," ujar Anila dengan napas memburu serta kecewa karena dia menang lagi. Bukan bermaksud sombong, tetapi sudah percobaan ke berapa kalinya dan Aalisha selaku kalah, tak sedikit pun gadis kecil itu berhasil memojokkan Anila.

"Kau terlalu kuat," sahut Aalisha melepaskan genggaman pedangnya dan sekalian merebahkan seluruh tubuhnya karena terlanjur berada di tanah.

Anila menghela napas karena tingkah gadis kecil ini jadi ia tancapkan pedangnya lalu berangsur duduk di sampingnya. Kedua kakinya ditekuk sambil merasakan sepoi angin membelai setiap helai rambutnya. "Tapi kau sudah lebih baik, tidak seperti Minggu lalu."

"Karena master Arthur menyiksaku setiap malam dengan latihannya! Tak kaubayangkan bagaimana rasanya dibanting ke tanah berkali-kali!" oceh gadis itu yang tak nyenyak lagi tidurnya karena merasa tulang-tulangnya selalu bergeser.

"Sudah selesai? Cepat sekali!" Mylo muncul dari arah lain dengan bermandikan peluh keringat.

"Ya, dia sangat pemalas. Aku menang terus sejak tadi karena dia tak mau berusaha sedikit pun," sahut Anila.

"Bukan tak mau berusaha, kau terlalu kuat Nona Anila Andromeda!" sahut Aalisha.

Mylo memutar bola matanya lalu menaruh pedangnya dan tanpa permisi ikutan berbaring di samping Aalisha. Sontak gadis kecil itu sedikit menjauh.

"Mylo! Keringatmu itu!" ucap Aalisha.

"Kau berpikir, kau tak berkeringat?" sahutnya mulai menjadikan kedua tangannya sebagai bantal untuk kepala, kaki kirinya ditekuk sedangkan kaki kanannya diangkat kemudian ditaruh di atas kaki kiri. Aalisha memperbaiki posisinya, tetap berbaring, tapi tak begitu dekat Mylo karena ia tak suka kulitnya bersinggungan dengan lawan jenis.

"Jadi latihanmu dengan master Arthur bagaimana?" tanya Mylo tanpa menoleh.

"Seperti di neraka. Dia sama sekali tak baik hati, harusnya kutolak saja," sahutnya.

"Kau bukannya bersyukur dilatih langsung, malah menggerutu," balas Anila.

Aalisha berdecak. "Kalau gitu gantikan aku?"

"Tidak terima kasih." Anila terkekeh kecil. Dia juga berpikir kalau takkan sanggup berlatih langsung dengan Arthur yang notabenenya menjadi salah satu petarung terkuat di akademi ini.

Mereka bertiga hening, menikmati posisi masing-masing terutama sinar mentari tertutupi awan jadi tak begitu panas lagi, sedangkan angin semakin bertiup. Aalisha dan Mylo berbaring di rerumputan, Anila duduk. Namun, mereka merasakan hal yang sama yaitu ketenangan dan rasa damai. Barangkali kelas telah usai dan semua murid beristirahat ke rumah pohon jadi menyisakan mereka bertiga di lapangan hijau itu.

"Aku tahu kalimat ini terdengar menjijikkan." Mylo mulai berujar. "Tapi menghabiskan waktu di akademi dengan kalian adalah salah satu hal yang kusyukuri."

"Ya, aku tak bisa menyangkalnya," balas Anila sedangkan Aalisha hanya diam, tak menyahut sedikit pun karena gadis itu menutup matanya sejak tadi, mungkin tertidur. Kasihan sekali dia karena setiap malam harus berlatih dengan Arthur.

Terukir jelas di wajah Mylo dan Anila jika mereka berharap pertemanan mereka akan terus berlanjut, tanpa kejadian atau malapetaka yang akan menghancurkan mereka. Cukup banyak kisah yang mereka dengar dari kakak tingkat akan pertemanan yang hancur, bukan karena keegoisan kemudian terputusnya pertemanan. Namun, sesuatu yang lebih dari itu. Mengenai kematian salah satu dari teman mereka. Setiap murid akan ada waktunya ketika harus turun ke masyarakat entah menjadi kesatria di ekspedisi Zero Domain, mendapatkan misi dari kerajaan atau kekaisaran, maupun menjadi perwakilan nama keluarga. Tak ada yang tahu kapan kematian menjemput dan jenis kematian apa yang ditetapkan para Dewa untuk manusianya. Namun, mereka berdoa, agar mendapatkan kebahagiaan setimpal dengan setiap usaha dan pengorbanan mereka di dunia ini.

"Hooooiii!" teriak Gilbert mendekati mereka bersama dengan Frisca dan Gilbert. "Mau di sini saja? Kita disuruh berkumpul oleh Profesor Madeleine!"

"Pasti tak ada yang membaca pesan di cyubes," ujar Frisca bersedekap melihat ketiga manusia yang begitu damai menikmati suasana di sini.

"Untuk apa?" tanya Anila.

"Ada yang mau diinformasikan oleh profesor pada semua murid baru," jelas Kennedy, "katanya ada yang mau berkunjung ke Akademi. Kita disuruh berkumpul di aula."

"Baiklah." Anila bangkit dan menarik pedangnya. "Aalisha, Mylo, ayo!!"

Mylo perlahan duduk, lalu berdiri sambil membawa pedangnya. Dia menendang ujung sepatu Aalisha karena gadis itu tak kunjung bergerak dari posisinya bahkan masih menutup mata. "Aalisha bangun, atau kau ditinggal!"

"Iya, iya, bawel," balas Aalisha pelan-pelan membuka matanya. Melihat manusia-manusia di sampingnya sudah berdiri, tinggal pergi saja, tetapi memilih untuk menunggunya. Ya, mereka benar-benar menunggu Aalisha karena tak mau meninggalkan gadis kecil itu. Jadi lekas Aalisha bangkit, diraihnya pedangnya. Lalu yang lain perlahan beranjak dari sana.

Aalisha tidak langsung menyusul langkah teman-temannya. Pedangnya digenggam sangat kuat. Sesaat dia berbalik dan menatap lapangan hijau terhampar luas itu. Rerumputan bergoyang akibat sepoi angin yang segar.

Entah mengapa, ada sesuatu yang mengusik benaknya. Perasaan tak nyaman dan was-was menjalar ke dadanya. Dia merasa jika badai segera menerjang akademi ini. Barangkali lebih dari sekadar badai. Sialan, dia harus membuang sifatnya yang selalu berpikiran negatif terhadap segala di sekitarnya. Namun, Aalisha dididik untuk mencurigai banyak hal, waspada terhadap apa pun yang hendak terjadi karena malaikat kematian takkan tersenyum ketika mencabut nyawa makhluk ciptaan para Dewa dan Dewi.

Akhirnya Aalisha berusaha mencari tahu perasaan tak nyaman yang menimbulkan was-was ini. Hingga ia tahu sebabnya. "Aku lupa," gumamnya.

"Aalisha ayo!" teriak Anila.

Gadis itu menoleh pada Anila, menatap pada Mylo, Frisca, Gilbert, dan Kennedy yang ternyata menghentikan langkah mereka demi menunggu Aalisha. Kini ia pun mulai melangkah. "Aku lupa. Sudah cukup lama, aku tidak berdoa langsung di salah satu kuil Dewi Aarthemisia, maafkan aku, Dewi ku."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Ini adalah salah satu chapter favorit gue^^

Hmm, jadi Ambrosia adalah Phantomius, penyembah Raja Iblis, tak disangka-sangka ya ....

Lalu bagaimana dengan takdir yang para Phantomius itu bicarakan, apakah mereka akan berhasil atau dihancurkan titisan Dewi Aarthemisia? Siapa ya titisan yang dimaksud itu?

Berikan teori kalian, apa pun itu:)

Prins Llumière

Kamis, 05 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top