Chapter 44
|| Apa alasan kalian bertahan membaca cerita ini?
Sudah diberitahu ke semua penghuni Eidothea jika ada beberapa ruangan yang punya jam atau batas digunakan. Biasanya menjelang malam, beberapa ruangan di kastil utama, sudah tak boleh digunakan. Kecuali beberapa ruangan tertentu. Begitu juga area latihan terutama bangunan latihan yang ada jamnya, sayang sekali, pemberontakan selalu hadir di asrama atau perlahan tumbuh di jiwa anak-anak baru.
Harusnya bangunan latihan di sebelah timur akademi sudah kosong sejak makan malam tadi hingga esok pagi. Namun, malah terlihat remang-remang cahaya lentera kuning hampir jingga. Celah pintunya terbuka, memberitahukan jika ada seseorang di dalam. Apalagi suara gesekan pedang terdengar.
Satu pedang ditancapkan ke tanah, lentera itu mati bukan karena tertiup angin, tetapi memang sengaja dimatikan. Ruangan itu gelap dan dingin akibat angin malam berembus. Pintu masuk bangunan latihan itu tertutup dengan sendirinya. Setelahnya, pedang tertancap tadi ditarik, digenggam erat, kilauan bilah pedang itu terlihat di tengah gelapnya ruangan tersebut. Bagaimana kalau dia disebut sebagai Sibilah Satu.
Di tengah ruangan, berdiri sosok tidak jelas apakah manusia, boneka, patung, atau makhluk lain. Namun, sosok itu juga membawa pedang dan mampu menggerakkan seluruh tubuhnya. Kini sosok itu mengangkat kedua pedangnya, ya, dua bilah pedang digunakannya sekaligus tanpa kesusahan.
Hitungan mundur dimulai, tiga, dua, satu. Maka dengan tangkasnya, Sibilah Satu menerjang ke depan, tetapi serangannya ditahan. Tak mau membuang waktu, lekas dia menyerang kembali hingga suara dentingan pedang saling bersahutan memenuhi ruangan latihan tersebut. Sosok pembawa dua pedang itu begitu mahir karena selalu berhasil menangkis serangan, tetapi lawannya tidak lemah bahkan jauh lebih kuat karena satu pedang itu berhasil mengikis kedua pedang musuhnya berangsur-angsur.
Sibilah Satu menapakkan kakinya, pedang yang awalnya diangkat kini perlahan diturunkannya hingga ujung pedang berada sekitar 2 sentimeter di atas tanah, kini digenggam dengan kedua tangannya lalu dieratkan hingga pedang tersebut takkan terlepas dari tangannya kecuali pergelangan tangan itu dipenggal. Musuhnya itu yang awalnya mengenakan jubah, dibuanglah jubah itu sembarang arah, memperlihatkan sosok itu mengenakan tunik yang ujung bawahnya kotor akibat debu.
Memasang kuda-kuda dengan melebarkan kaki. Pedang kiri diarahkan ke langit-langit sedangkan pedang kanan diarahkan pada Sibilah Satu. Maka giliran sosok itu menyerang, gerakan yang sangat cepat hingga tak satu pun mata mampu membaca serangan itu, sayangnya Sibilah Satu dengan mudah membacanya bahkan sebelum serangan kedua, ketiga, keempat dilakukan. Sibilah Satu sudah tahu ke mana arah serangan itu sehingga dia mampu menahannya bahkan melakukan serangan balik. Tak terbesit lelah di wajah Sibilah Satu padahal dia tidak menggunakan neith sedikit pun.
Serangan bertubi-tubi diberikan oleh sosok yang tuniknya tak ia sadari sudah tergores-gores itu ternyata menjadi kesialan baginya karena para Dewa lebih senang melihat Sibilah Satu menang, atas inilah, kedua pedang itu semakin terkikis hingga Sibilah Satu menyadari bahwa ini kesempatan terbaiknya. Maka dengan serangan kejutan, dia berhasil menyerang hingga kedua bilah pedang lawannya berhasil dipotongnya tanpa hambatan sedikit pun.
Sosok itu terdorong hingga tersungkur sedangkan dua bilah pedangnya tertancap ke tanah. Baru dia mendongak, pedang panjang bersinar di ruangan itu berada tepat di hadapannya yang menjadi jawaban jika sosok itu telah kalah. Apakah pertarungan ini sudah selesai? Tanpa berucap apa pun, Sibilah Satu mengayunkan pedangnya, memenggal leher lawannya begitu mudah, kepala yang tak lagi menyatu dengan tubuh itu berguling hingga di dekat potongan bilah pedangnya dan cairan merah pekat keluar melalui ujung leher dan mulutnya, menggenang di sana.
Sibilah Satu menunduk, menatap pada tubuh tanpa kepala di depannya ini, melamun, terhenyak kemudian.
"ELOISE!" ujar Nathalia sambil mempercepat langkahnya agar seimbang dengan gadis bermata amber itu.
"Kau masih bebal, sudah kubilang jangan ganggu aku," sahut Eloise sambil menggeleng, melangkah melewati semak-semak sedangkan Nathalia masih mengikuti.
"Tidakkah kau sadar jika kita sudah diperingatkan profesor Astrophel agar tidak melanggar aturan lagi. Kau mau poin asramamu dikurangi." Nathalia benar-benar lelah karena tidak pernah ada Minggu di mana mereka tak dipanggil, akibat sering berbuat kerusuhan dan melanggar aturan akademi termasuk berkeliaran di malam hari seperti ini.
"Nathalia. Kau Gwenaelle, aku Faelyn. Jika aku yang berbuat, asramamu takkan dikurangi," jelas Eloise agak pusing dengan sifat keibuan Nathalia. "Jadi bisakah kau diam karena sebentar lagi aku akan kembali ke kamar."
"Tetap saja. Jika kau, Athreus, Nicaise yang berbuat, aku juga akan kena ...."
Nathalia langsung menunjukkan gelagat waspada begitu juga dengan Eloise yang tangannya sudah berada di dekat sarung pedangnya. "Kau sadar?" ucap Nathalia setengah berbisik.
"Tentu, area latihan." Tanpa menunggu apa pun, Eloise melesat pergi ke bangunan latihan, membuat Nathalia memendam kesal lagi karena gadis itu tak memikirkan rencana apa pun. Akhirnya Nathalia, mau tidak mau, bergegas menyusul Eloise.
Sampai di depan pintu masuk, Eloise tak langsung menerjang, tetapi diam sesaat setelah menekan neith-nya agar tidak diketahui musuhnya, mengintip melalui celah pintu yang terlihat ada bayang-bayang di dalam.
Menutup matanya sambil merapalkan mantra, maka suara gebrakan terdengar ketika pintu tersebut terbuka bersamaan menyalanya api-api di lentera bangunan tersebut. Terangnya ruangan itu, tetapi sama sekali tak bisa menangkap gesitnya Eloise dengan bilah pedang tajamnya yang dengan cepat menerjang hingga berjarak beberapa inchi di leher targetnya. Cukup terkesima karena targetnya tidak melakukan perlawanan atau menahan serangan Eloise hingga gadis itu pun sadar jika sosok di depannya tak lain dan tak bukan adalah kawannya sendiri.
"Mau memenggalku karena dendam kesumat?" Athreus berujar sambil tersenyum tipis.
"Sialan, ternyata kau!" Eloise menarik pedangnya.
"Oh Dewa, kalian ini!" ucap Nathalia yang baru tiba dengan napas tak beraturan, peluh keringat menetes jadi diusap dengan punggung tangannya.
"Bukan salahku, dia tiba-tiba menyerang," ujar Athreus tak tahu-menahu.
Eloise berang. "Benar kau 'kan?! Apa yang kau lakukan malam-malam di sini dan apa-apaan aura kuat itu?"
Athreus bukannya langsung menjawab, tetapi mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk, wajahnya dibuat-buat, sengaja agar Eloise semakin kesal. Setelahnya menggeleng pelan. "Bukan aku. Percayalah."
"Bajingan," umpat Eloise.
"Kalau bukan kau, jadi siapa, lalu kenapa kau di sini?" Nathalia berujar setelah merapikan rambutnya.
"Entah." Athreus mengedikkan bahu. "Aku kemari karena merasakan sesuatu dari sini, sama seperti kalian."
"Kalau kau berbohong, akan kubakar kau di sini," ancam Eloise.
"Nona Clemence, bukan aku, sungguh." Ditekannya setiap kata terucap.
"Baiklah, baiklah." Nathalia menengahi. Dia paling mahir jika harus menghentikan pertengkaran kecil seperti ini karena di antara ketiganya, Nathalia paling penyabar. Sifatnya selembut ibu yang begitu sayang pada anak-anaknya, tetapi akan semengerikan amarah Dewi jika terjadi pertengkaran. "Jika bukan kau lalu siapa? Jawab dengan serius!"
Athreus menyampirkan kedua tangan di belakang, manik matanya menelusuri setiap titik bangunan ini yang tak sedikit pun cacat dengan artian masih seperti umumnya. Pedang-pedang pada penyangga kayu, boneka latihan berbaris rapi, tombak dan lembing yang bertumpuk tanpa kurang, serta tak ada bau aneh—hanya bau angin malam dan ruangan kosong bercampur remah-remah dinding batu.
"Sungguh aku tak tahu, lagi pula ruangan ini, baik-baik saja. Kalau ada yang menggunakannya pasti ada bekas setidaknya jejak kaki atau boneka terhambur. Bukankah kau mampu merasakan hawa, Eloise?" Athreus menatap gadis dengan rambut terurai yang kini melangkah menuju jajaran boneka kayu.
"Tapi mustahil! Barusan aku dan Nathalia merasakan sesuatu dari sini, kau juga 'kan?! Meskipun sudah hilang."
"Kalau begitu, apa mungkin seseorang menggunakan tempat ini, lalu merapikan tanpa jejak ketika tahu kita kemari?" Nathalia menimpali.
Ketiganya diam, memikirkan segala kemungkinan yang ada. Hanya terdengar suara derit pintu masuk karena tertiup angin. "Bisa jadi," ujar Athreus menatap Nathalia.
"Kemungkinan aura yang kami rasakan karena kau juga," ucap Nathalia, "sejak tadi aku mau bertanya. Pasti ada alasan kau kemari 'kan?"
"Bosan jadi aku hendak berlatih terus merasakan sesuatu di sini, segera aku kemari, tapi tak menemukan apa pun. Malah, boom, Eloise muncul hendak memenggal kepalaku." Athreus sangat mengharapkan permintaan maaf dari Eloise sayangnya tak dipedulikan.
"Jeda antara kau datang kemari karena merasakan aura aneh di sini dengan segala kekacauan di sini dirapikan begitu mudah tanpa celah, hanya bisa menggunakan teknik tinggi atau bantuan Orly ...." Suara Eloise menjadi pelan karena sambil berpikir lalu menatap Athreus dan Nathalia berganti. "Di mana Nicaise? Pasti manusia itu pengacaunya!"
****
Aalisha terbangun di pagi Minggu karena kelopak matanya perih tersorot cahaya matahari. Pundak kanannya sedikit kedinginan karena selimutnya terbuka, kena tiupan angin sepoi yang masuk melalui jendelanya yang terbuka, tidak dia ingat kapan terbukanya jendela itu, tak peduli juga. Perlahan dia berbalik ke kiri ranjang, bertumpu pada tangan kanan karena bantalnya jatuh ke bawah, menatap daun jendela yang sempat singgah burung biru lalu pergi.
Matanya terpejam kembali, masuk ke dalam buih-buih mimpi. Dia rasa mimpinya semalam cukup menyenangkan, tidak seperti malam-malam lalu yang tak jelas. Waktu kembali bergerak, matahari bertengger tepat di ambang jendela jadi gadis itu bangun. Duduk tegak, setengah sadar, menguap, sambil merenggangkan tubuhnya. Dia menyapu poni yang menutupi pandangannya. Lalu menekuk kedua kakinya hingga menyentuh dada, dipeluk kedua kaki tersebut, kepalanya diletakkan di kedua lutut sambil menatap jendela.
Terdengar di luar suara riuh dari para murid yang bermain bola, menaiki sapu terbang, melakukan sihir sederhana untuk menghibur teman-teman, berbaring di halaman belakang sambil meresapi cahaya matahari pagi, atau mencicil tugas dikumpulkan esok. Aalisha melewatkan jogging paginya, barangkali Anila mengetuk pintu kamarnya, tapi tak dia ketahui. Hari ini dia merasa lebih malas dan lelah dibandingkan hari sebelumnya, pasti karena ujian mata pelajaran biologi, tak ada harapan untuk nilainya.
Aalisha sangat sadar jika tiga bulan lebih sudah berlalu, dalam kurun waktu itu, banyak hal yang dipelajari, menambah pengetahuan akan sihir atau mantra, maupun, pelatihan yang meremukkan tulang-tulangnya. Meskipun Aalisha kadang mengacau atau membuat seseorang marah dengan mulutnya yang setajam pedang, tetapi para profesor tidak mempermasalahkannya, meski Anila dan Mylo yang harus sakit kepala selain memperingatkan Aalisha untuk berhenti mencari musuh, mereka juga harus membantunya padahal Aalisha tak memerlukan bantuan siapa pun.
Gadis itu turun dari ranjangnya tanpa mengenakan alas kaki, menuju jendela, melongok karena melihat seekor burung hantu pembawa pesan sedang mengantar surat-surat pada setiap murid. Aalisha tutup jendela tersebut karena tidak mungkin dia mendapat surat, sejak masuk ke asrama ini hingga detik ini hanya dia gadis menyedihkan yang tak mendapat surat atau hadiah kecil. Lagian Aalisha tak suka hadiah. Para Dewa pasti berpikir dari pada Aalisha membuang semua hadiah pemberian, maka lebih baik tak diberikan hadiah satu pun. Jangankan hadiah, dia saja tidak tahu kapan hari ulang tahunnya. Seumur hidupnya, tak pernah dia merayakan ulang tahun atau berdoa pada Dewa agar dirinya punya umur panjang.
Lalu apa yang selama ini dia haturkan ketika di kuil?
"Mundus Servetur," ucapnya, pelan-pelan setiap barang atau benda yang berhamburan langsung tertata rapi le tempatnya berada. Selimut terlipat rapi, bantalnya yang jatuh naik ke ranjang dengan sendirinya. Buku-buku berserakan masuk tertib ke rak buku, pedangnya terbungkus kain melayang ke lemari penyimpanan. Sekejap saja ruangan ini bersih mengkilap. Membuat gadis itu sedikit tenang.
Tangannya terulur mengambil tumpukan kertas yang berisi coretan tak jelas, seperti coretan tangan Mylo yang merasa bosan di kelas jadi menggambar naga di sana, Anila ikut-ikutan, sayang sekali gambarannya buruk dibandingkan Mylo. Ada juga kertas dibentuk jadi burung bangau, kupu-kupu, bahkan katak. Terlihat juga coretan berupa wajah dari Aalisha, Anila, Gilbert, Frisca, dan Mylo yang digambar oleh Kennedy, mau tidak mau Aalisha memuji lelaki itu yang pintar menggambar seperti Mylo.
Merasa semua ini tak diperlukan jadi gadis itu berbisik pelan maka percikan api muncul di ujung kertas yang berangsur membakar seluruhnya. Abu bekas bakaran itu sebelum menyentuh lantai sudah berubah menjadi gas kemudian menguap ke udara tanpa bau sama sekali. Melihat perbuatannya ini, Aalisha sadar jika keras kepalanya takkan bisa diubah bahkan taruhan dari Arthur sekalipun. Baginya mereka semua tak lebih dari sekadar manusia yang akan mencampakkannya dalam waktu dekat.
Hari yang Aalisha jalani selama di Eidothea tidak selalu berjalan baik, bahkan duka serta kesialan lebih sering berkunjung ketimbang bahagia, ah, dia tak tahu apa hal yang membuatnya bahagia. Kalau tertawa tentu saja pernah, tapi setelahnya dia akan merasa kosong kembali. Semua itu berlalu dengan cepat tanpa meninggalkan kesan.
Gosip, rumor, dan pembicaraan mengenainya dari mulut ke mulut masih senantiasa berkumandang, tak mau berhenti bahkan setelah tiga bulan berlalu, pasti ada oknum yang membencinya jadi sebisa mungkin mengungkit setiap kesalahan Aalisha dan menebar kebencian. Apalagi rumor beredar jika gadis itu punya sesuatu yang spesial makanya dia sombong, barangkali otak secerdas Majestic Families Drazhan Veles sehingga nilainya akan memuaskan atau sempurna. Barangkali seahli Keluarga Clemence dan De Lune ketika menggunakan sihir atau secantik Kieran Zalana dalam mengayunkan pedangnya.
Sayangnya hanyalah kekecewaan yang menjawab karena selama pembelajaran, nilai Aalisha selalu dibawah bahkan lebih tinggi nilai Mylo dam Gilbert dibandingkan dirinya. Dia tak mahir menggunakan sihir, paling tertinggal di antara yang lain. Selalu kalah ketika latihan fisik dan pedang sampai-sampai master Aragon harus berteriak ada gadis itu agar serius dalam latihan. Ini menjadi kesempatan bagi Killian untuk semakin menindas gadis payah itu. Normalnya, orang-orang akan bereaksi atau mencari cara untuk memperbaiki nilai dan citra diri, Aalisha tidak, dia acuh tak acuh. Lebih memilih hanyut dan tenggelam di dalam ribuan kata buku yang ia baca atau hilang tiba-tiba dan ditemukan sedang berada di tempat sunyi sambil berbicara dengan para kelinci. Gadis itu punya tingkah yang tak hanya membuat orang lain geleng-geleng kepala, tetapi sakit kepala.
Hanya saja, teman-temannya terutama Anila dan Mylo tidak terlihat hendak menjauh dari gadis kecil itu. Jika ditanya, alasan apa mereka masih berteman dengan Aalisha? Mereka tak mampu menjelaskan dengan gamblang, perlu ditafsirkan, dianalisis dengan berbagai studi kepustakaan atau interdisiplin. Ada sesuatu yang membuat mereka selalu tertarik bahkan mengikuti Aalisha. Terkadang mereka merasa kalau gadis itu terlihat rapuh, mudah hancur, mudah dipatahkan. Namun, tak pernah mereka melihat Aalisha menurunkan pandangannya ketika menghadapi musuhnya. Bagai ksatria yang berperang dan tak mau kalah meski musuhnya dilindungi armor ditempa oleh Dewa sekali pun. Walaupun Ksatria itu menang, bukankah dia tetap memiliki luka. Maka itulah Aalisha di mata Anila dan Mylo.
Luka apa yang disembunyikan dan alasan apa yang membuatnya selalu mampu tuk berdiri tegak?
****
Selain menjalani kehidupan akademi dengan gosip tentangnya masih senantiasa dijadikan topik utama selain para Majestic Families dan murid berprestasi. Menyinggung para Majestic Families, Aalisha tak berharap jika hubungan mereka akan membaik atau dirinya dianggap tak terlihat. Para Dewa suka sekali membuat hidupnya diambang kematian karena para Majestic Families; Eloise, Athreus, dn Nicaise selalu punya waktu tak terduga untuk mengganggu gadis itu atau membuatnya frustrasi. Apalagi berhadapan dengan Eloise dan Athreus. Kedua manusia itu benar-benar duplikat iblis bermata satu. Nicaise masih cukup normal karena dia tidak mengganggu Aalisha seperti Athreus yang seolah hendak menusuk Aalisha dengan pedangnya lalu dibuang ke laut mati untuk menjadi santapan binatang Ethel. Meskipun begitu, jika bersama Nicaise, ada sesuatu yang memenuhi dada Aalisha hingga jantungnya terpaksa berdenyut tak karuan. Namun, Aalisha lekas mengingat jika Nicaise sama berengseknya, kapan pun bisa merenggut nyawa Aalisha. Jadi dia berusaha menghindari lelaki itu.
Atas hal ini, Aalisha seringkali tidak sengaja bertemu dengan salah satu dari mereka terutama Athreus, barangkali juga lelaki itu malah sengaja menemui Aalisha terang-terangan bahkan untuk sekadar menyapa dengan panggilan little girl. Awalnya Aalisha kesal, lama-kelamaan dia sudah tak peduli dengan sapaan Athreus atau ketika lelaki itu muncul di hadapannya maka Aalisha hanya perlu mengabaikan, menjauh, dan ia anggap angin lalu atau makhluk halus. Hanya saja pertemuan ini, apalagi dari sudut pandang orang lain yang melihat Aalisha dengan Athreus, mereka mulai bergosip lagi jika gadis kasta bawah itu mulai mencari target yang tak segan-segan adalah Majestic Families.
Gosipnya semakin parah yang mengatakan jika Aalisha hendak mendekati atau menjilat para Majestic Families itu terutama si Keturunan Kieran Zalana. Pasti ada niat tersembunyi dan tak tulus yang direncanakan gadis itu, barangkali dia hendak menggaet atau membuat Athreus jatuh cinta padanya, barangkali juga hendak panjat sosial karena citranya sudah sangat buruk jadi kalau dia berhasil melakukan semua niat buruknya itu, pasti citra Aalisha akan berubah drastis—kemenangan sudah pasti milik gadis itu.
Tidakkah kalian mengerti?! Semua itu bukan salahku, Majestic Families itu yang menghampiriku duluan. Sudut pandang orang-orang melihat jika aku hendak menarik perhatian mereka, tapi nyatanya, mereka berusaha membunuhku.
Setelahnya Aalisha berpikir perlu memberikan tepuk tangan pada setiap manusia di akademi ini karena mereka dengan mudah menilai suatu kabar tanpa mencari tahu keasliannya. Salah satu sifat manusia yang dibenci oleh Aalisha, ia yakin jika para Dewa juga benci sifat manusia yang satu ini. Percaya pada berita bohong, tanpa mau menggunakan otak mereka untuk mencari tahu kebenarannya. Sungguh, percuma saja para Dewa menciptakan yang namanya otak.
Sesekali Aalisha berpikir hendak menghentikan gosip gila ini dengan cara apa pun bahkan dengan membinasakan para penyebar gosip. Itu hal mudah untuk kulakukan. Sayangnya semua itu pasti memerlukan tenaga, waktu, dan tentu saja ada pihak yang akan marah padanya. Jadinya Aalisha berpikir jika ia harus menghadapi masalah ini dengan cara yang normal, meskipun begitu banyak oknum yang membuat kepalanya jadi sakit.
Salah satunya adalah Jasmine Delilah. Gadis itu paling banyak termakan gosip mengenai Aalisha. Akibatnya, dia jadi menaruh pengawasan terhadap gerak-gerik Aalisha, tidak mau hidup gadis kecil itu tenang jadi Jasmine beserta teman-temannya dengan sengaja mengganggu Aalisha atau selalu memperingatkannya untuk berhenti bersikap caper dan kecentilan pada Majestic Families terutama Athreus dan Nicaise.
Hari ini juga, gadis Delilah itu melancarkan serangannya dengan memaksa Aalisha ikut ke sebuah taman untuk berbicara empat mata dengannya. Ya, empat mata harusnya. "Jika kau hanya mau berbicara berdua denganku, mengapa kau bawa antek-antekmu itu?"
"Antisipasi jika kau menjadi liar dan berusaha menyerang Jasmine," sahut Bethany.
Bingung hendak menjawab, Aalisha hanya memperhatikan Jasmine yang dikelilingi oleh Bethany dan tiga temannya lagi, entah siapa. Dia lalu berfokus pada Jasmine yang memasang wajah songong, mirip sekali gadis itu dengan lukisan putri kerajaan, sayangnya Delilah itu tak lain hanyalah keturunan bangsawan kasta bawah. Maka Aalisha tersenyum tipis. "Baiklah, terserah, jadi apa yang kau inginkan?"
"Kau bisa mendengarkan? Paham juga bahasa manusia—"
"Aku bahkan paham bahasa binatang," potong Aalisha.
Rahang Bethany mengeras, dia berang. "Apa maksudmu?!"
"Kenapa kau? Merasa binatang," balas Aalisha.
"Bethany tenanglah," ujar Jasmine, tidak habis pikir dia. Mengapa gadis kecil ini masih saja angkuh padahal selama tiga bulan lebih gosip akan dirinya masih saja terdengar, meskipun para angkatan atas tidak terlalu membahas, tapi angkatan baru sudah tahu akan gadis ini dan banyak yang tak menyukainya, itulah informasi yang Jasmine dapatkan dari Killian Cornelius.
"Baiklah gadis menyebalkan," ujar Jasmine, "bukankah sudah kukatakan berkali-kali. Berhenti untuk bersikap sombong dan kecentilan terutama pada tuan Athreus dan tuan Nicaise. Harusnya kau paham jika kelakuanmu persis seekor anjing yang hendak menjilat kaki majikannya, menjijikkan."
Tanpa ditebak pun Aalisha sudah tahu jika masalah ini lagi yang diungkit oleh Jasmine. Tindak-tanduknya seperti perempuan yang tersakiti—malah seperti dianiaya oleh Aalisha dan kini Jasmine harus memberikan peringatan bahkan balasan agar tak semakin tersakiti lagi. Memikirkan kedua Majestic Families itu pastinya mereka selain dihormati sebagai keturunan Agung, mereka juga disukai banyak murid perempuan dengan artian cinta, lelaki idaman, dan siapa yang tak mau menjadi pendamping hidup mereka? Terkecuali Aalisha, tentunya.
Jasmine pasti juga begitu apalagi dia bangsawan. Para bangsawan sering sekali meminta dijodohkan dengan Majestic Families. Melihat Aalisha yang gencar mendekati Nicaise atau Athreus—dari sudut pandang orang-orang—padahal gadis kecil itu berasal dari rakyat jelata, membuat Jasmine jadi tak mau kalah. Karena itu dia harus mengantisipasi agar gadis itu tidak berhasil.
"Yang mana?" ujar Aalisha.
"Apa maksudmu?" sahut Jasmine.
"Nicaise atau Athreus? Kau menyukai mereka, 'kan? Jadinya kau berusaha untuk menyingkirkanku agar tak mendekati mereka, kau merasa tersaingi dan takut kalah. Aku tak tahu bagaimana cara otakmu bekerja, tapi perlu kau ketahui aku tak tertarik dengan mereka."
Mimik wajah Jasmine sedikit berubah, perkataan Aalisha pasti menusuk ke dadanya. Entah sejak kapan, tetapi taman ini sudah banyak yang berkumpul untuk menyaksikan Aalisha dan Jasmine, serius, mereka pasti menganggap ini adalah tontonan gratis. Selain itu, Jasmine juga sengaja memilih taman ini agar siapa pun yang bisa lewat dapat melihat keduanya. Jasmine yang tak kunjung berkata, Aalisha kembali berujar, "kenapa diam? Aku benar 'kan?"
"Setidaknya aku berada di kasta bangsawan yang mulia untuk menjadi pendamping mereka." Jasmine melangkah pelan hendak membuat Aalisha terpojok. "Tidak seperti kau, rakyat jelata, tanpa nama keluarga, gadis cacat. Harusnya kau sadar diri dan berhenti bersikap seolah kau, orang terhormat layaknya bangsawan.
"Kau benar, jika aku menyukai keduanya, karena aku akan menjadi kandidat calon dari pendamping mereka di masa depan. Namun, aku lebih mengincar seseorang, yang jauh lebih terhormat lagi ...."
Sangat tidak terduga. Aalisha malah berpikir jika Delilah ini akan mengincar Athreus atau Nicaise begitu gila dan akan menggunakan berbagai macam cara layaknya wanita psikopat dalam novel-novel thriller. Lalu siapa lelaki yang menjadi incaran Delilah ini?
"Kau pasti penasaran 'kan? Sudah kuduga karena kaupasti ingin memiliki apa yang kuinginkan juga, sayangnya, kaubukanlah bangsawan melainkan rakyat jelata yang takkan bisa merangkak untuk mendapat lelaki terhormat seperti para Majestic Families."
"Baiklah terserah apa yang kaumau, tapi apa yang membuatmu percaya diri jika aku tak bisa mendapatkan lelaki itu?"
Jasmine berujar songong. "Karena dia begitu terhormat dan termasyhur. Dia, keturunan utama De Lune, Aldrich De Lune."
"HAHAHAHA." Tawa Aalisha pecah, senyaring genderang yang ditabuh sebagai pertanda adanya serangan dari pihak musuh. Gadis itu sampai-sampai memegangi perutnya, terasa sakit, lelah tertawa dia, air matanya menetes karena merasa perkataan Jasmine adalah lawakan.
Jasmine jadi berang karena gadis ini telah menghinanya, dia tertawa padahal Jasmine menyebut nama salah satu keturunan Agung. Apa-apaan gadis ini! "Kenapa kau tertawa, hah!"
"Maaf-maaf, sebentar, perutku masih sakit ... aku atur napas dulu." Sialan, Aalisha tak menyangka akan tertawa selepas ini setelah dia mengerjai Anila dan lainnya mengenai identitas putri Kekaisaran.
"Kau sangat tak sopan yah, tertawa begitu," ucap Bethany.
"Aku tertawa karena merasa lucu. Apa salahnya? Dan Jasmine, kupikir karena kau adalah seorang bangsawan maka kau takkan berhalusinasi setinggi itu. Tidakkah kau berpikir jika kastamu dengan dia, Aldrich De Lune, terlalu jauh. Kau hanyalah bangsawan menengah, pastinya, keluarga itu hendak mencari pendamping yang setara. Lagi pula, apa kau seyakin itu bisa bersama dengannya?"
"Diam kauuu!" Jasmine mengepalkan kedua tangannya, urat-urat tangannya terlihat sekilas, matanya mengukir amarah. "Setidaknya aku masih punya kesempatan, tidak sepertimu! Aku masih bisa dilirik oleh keluarga Agung itu, sedangkan kau, terlihat seperti sampah di mata mereka. Kasihan, ibumu pasti kecewa karena putrinya hanyalah sampah."
Semakin panas, begitulah pikir para murid di sekitar mereka yang tak berniat untuk pergi atau melakukan aktivitas lain. Menonton ini jauh lebih seru ketimbang kelas membahas mantra.
Aalisha menghela napas, lagi-lagi menyinggung perihal ibunya. "Jika benar, nama keluargamu mampu berdamping dengan mereka. Setidaknya dalam sejarah para Majestic Families, ada nama keturunan Delilah yang menjadi bagian keluarga Agung itu, sayangnya, tidak pernah ada. Bahkan kaukalah dari keluarga Andromeda yang keturunan mereka pernah menikah dengan Keturunan Majestic Families. Opss, kurasa keluargamu tidak sehebat itu."
Jasmine mengatupkan mulutnya, giginya gemeretak, auranya menggelap akibat amarah. Jasmine mengangkat tangannya hendak menampar wajah gadis ini. "Sialan kau, dasar bedebah—"
"Kupikir banyak yang berkumpul karena ada pertunjukkan opera, ternyata lebih dari sekadar opera ...."
Aalisha lekas mundur selangkah karena Athreus muncul di antaranya dan Jasmine. Embusan angin terasa ketika lelaki ini datang. Semua yang di sana membeku sesaat, lalu tanpa perintah, mereka semua langsung membungkukkan badan, tanda penghormatan, begitu juga dengan Jasmine meski dia masih setengah terkejut.
Hanya Aalisha yang tak membungkuk, tak bermaksud memberikan penghormatan karena dia malah berdiri dengan tegap sambil menatap tajam pada Athreus yang menyeringai kecil.
Banyak yang membatin jika Aalisha sangat berani sampai tidak memberikan penghormatan. Gadis itu gila, sangat gila!
Dirasa sudah cukup, Jasmine cepat berdiri lalu berujar, "tuan Kieran Zalana—"
"Tinggalkan kami berdua karena ada yang hendak kubicarakan dengan gadis ini." Suara Athreus sedingin salju membuat Jasmine tercekat. Bahkan dia tak berniat mendengar perkataan Jasmine hingga akhir.
"Baiklah," ucap Jasmine.
Aalisha bisa lihat ekspresi gadis itu yang penuh rasa sakit akibat dicampakkan Athreus. Setelahnya semua pergi dari taman ini, menyisakan Aalisha dan Athreus saja. Benar-benar kehebatan Majestic Families yang perkataannya ibarat titah raja.
Menatap Athreus, lelaki ini benar-benar tinggi; jangkung. Aalisha lelah harus mendongak hanya untuk menatap matanya yang biru; sebiru laut Galirael—atau sebiru batu tanzanit atau malah safir. Rambut hitam lebatnya yang acak-acakan karena terkena sepoi angin, sebagian helainya menyentuh matanya, tetapi tidak menghalangi keindahan manik matanya. Kulitnya putih dan mulus, bercak dan bintik merah tak ada di sana berbeda dengan lelaki lain yang Aalisha temui. Curi-curi dengar, lelaki ini juga merawat kulitnya, terbukti dari tabir surya yang dioleskannya. Mata, hidung, mulut, serta rahangnya dibentuk dengan goresan tegas hampir sempurna, tak ada yang miring atau bengkok, tak ada yang terlalu kecil atau besar—semuanya sangat pas, seolah ditoreh dengan pisau paling tajam, dipahat oleh pemahat paling termasyhur di dunia ini.
Sadar sekali Athreus jika gadis kecil ini memandangnya. "Halo Little Girl, kita bertemu lagi dan kurasa kau tak bisa ya tidak menarik perhatian dan berbuat kekacauan?"
Tangan kanannya bergerak menuju tangan kecil Aalisha, hendak diraihnya, digenggam, serta dicium punggung tangannya layaknya penghormatan seorang pria sejati pada nona, sebelum melakukan dansa di pesta bangsawan. Dia bahkan sudah setengah membungkuk.
Sayangnya, Aalisha tepis dengan cepat sebelum jemari Athreus menyentuh kulitnya. "Kaulah yang pembuat onar, Athreus. Lalu perlu kuberitahu jika aku tak senang bertemu denganmu."
"Jahat sekali kau."
Bisa dicium oleh hidung Aalisha. Aroma rumput, bunga tulip, serta bunga lain di sekitaran taman, tetapi yang paling mengalihkannya adalah aroma dari rambut Athreus yang dikeramas dengan cairan berbau delima dan bunga mawar; lalu aroma lain yang berasal dari tubuh lelaki itu yang tak bisa digambarkan oleh Aalisha. Aroma yang manis, tetapi bukan sekadar manis dan tak menyengat. Aromanya sangat kuat, tapi tidak tajam dan tak memabukkan, sehingga tak membosankan jika terus mencium aroma ini. Mungkin campuran antara bunga lily dan vanila; bisa juga wangi citrus yang segar. Benar-benar sulit digambarkan.
"Sungguh, aku bertanya-tanya, apakah kau reinkarnasi dari raja tirani karenanya kau tak takut apa pun, bahkan padaku?"
"Aku hanya takut pada Penciptaku, pada Dewaku." Berbalik Aalisha mulai melangkah meninggalkan Athreus, sayangnya lelaki itu mengikuti langkah kecilnya.
"Jelas, semua takut pada Dewa, tapi ... tak adakah yang membuatmu takut lagi?"
"Kau tak perlu tahu, bisakah pergi? Karena sikapmu ini, aku semakin dibicarakan satu sekolah."
"Malah bagus 'kan? Kau jadi semakin terkenal. Lagian aku hendak tahu, apa benar kau berniat menggoda dan menjadikanku pacarmu?"
Padahal Athreus sudah membuat pertahanan diri, siapa tahu gadis itu menyerangnya, tetapi Aalisha malah terus melangkah tanpa menyahut dan tak terbesit amarah di sana. Sialan, gadis itu mengabaikanku! Malah Athreus yang kesal karena tak dihiraukan.
Dengan bisikan, lelaki itu menggunakan mantra menciptakan pentagram sihir yang melalui itu melesak semacam panah kecil hingga menembus tanah, bersamaan itu darah menetes dari pipi serta leher Aalisha karena sengaja Athreus menyerang gadis itu.
"Jangan abaikan ketika Majestic Families berbicara di hadapanmu, Nona Aalisha." Suaranya sangat dingin, tetapi wajahnya malah ceria.
Aalisha yang langkahnya terhenti, merasakan darah segar menetes ke bahunya, perlahan diusapnya darah di pipi itu. Lukanya tak dalam, tak juga ngilu, tak juga sakit, tapi membuat pakaiannya jadi kotor. Darah termasuk noda yang sulit dihilangkan apalagi bajunya kini berwarna ungu. Sudahlah, tak peduli jadi dia menghentikan pendarahan di lehernya dengan menekannya menggunakan telapak tangan yang membuat ujung bajunya ikutan terkena darah.
Berbalik dia pada Athreus, seperti yang diinginkan lelaki itu; menatapnya. Ada satu aroma yang terkadang tercium darinya semacam kacang almond yang Aalisha ketahui jika racun sianida juga berbau almond. Sangat cocok untuk Athreus—keturunan utama Kieran Zalana, keluarga gila yang ingin mencapai puncak militer tertinggi melebihi keluarga lainnya. Mereka semua beracun, racun mematikan.
"Mengapa hanya diam? Mana sifat temperamentalmu itu?" ujar Athreus.
"Kurasa kau harus sedikit belajar mengendalikan amarah, jika aku juga bisa belajar selama beberapa bulan ini, mengapa kautidak, Tuan Kieran Zalana yang terhormat." Lalu Aalisha membuang wajah dan kembali melangkah, Athreus diam seribu bahasa melihat punggung kecil itu yang semakin menjauh.
"Wah, kaubelajar ya selama beberapa bulan ini, tak kusangka, kalau begitu mengapa tak kauajarkan aku?" Masih dengan keras kepalanya, Athreus menghentikan langkah Aalisha dengan menarik ujung bajunya. Lihatlah, gadis ini menggunakan baju yang kebesaran, pasti sulit menemukan ukuran yang pas di tubuhnya.
"Lepaskan aku," ucap Aalisha yang sedikit gelisah.
"Tidak, kecuali kaumenjawab perkataanku tadi."
"Athreus Kieran Zalana, lepaskan aku segera."
"Aku tak menyentuh kulitmu, mengapa apa kau marah?"
"Lepaskan sebelum kita berdua mati."
Athreus malah terkekeh geli. Mati? Mengapa gadis ini jadi bicara ngelantur. "Mari mati bersama kalau begitu."
"Dasar menyebalkan ... Percussorem Impetum."
Aalisha merapalkan mantra itu dengan cepat, Athreus berhasil terempas ke belakang, punggungnya membentur tanah meski tak keras. Gadis itu sangat gila karena menyerang seorang Majestic Families, tetapi bukan itu masalah utamanya karena detik selanjutnya malapetaka terjadi dengan sangat cepat.
Dari arah utara, melesak sangat kencang sebuah lembing yang dilapisi neith sehingga memancarkan warna kemerahan. Lekas Aalisha menoleh pada lembing yang sejak tadi disadarinya, hendak dihentikan atau membuat selubung pelindung dari neith, tetapi tak berhasil karena waktunya tak cukup. Alhasil lembing tersebut menggores perut kanan bawahnya. Membuat seragamnya terkoyak begitu juga kulitnya. Dia langsung terjatuh dengan bertumpu pada lututnya, tangannya lekas menekan darah yang memuncrat dari perutnya.
"Hei ...." Tangan Athreus terulur, berniat menolong, tetapi malah tercekat ketika Aalisha menoleh dengan tatapan tajam padanya, pandangan gadis itu sangat gelap seolah amarahnya sudah tak terbendung.
"Sudah kukatakan 'kan? Apa kau mau mati denganku, sialan." Dia menyeringai kecil. "Pergi! Aku tak butuh bantuanmu, bukankah menjijikkan harus menolong manusia rendahan sepertiku? Lalu kurasa kaulebih perlu mengejar musuhmu yang gagal membunuhmu."
Kepalan tangan Athreus terbuka, dia meraih lembing tadi. Lalu pergi begitu saja menuju arah serangan berasal. Tanpa bermaksud sedikit egois untuk menolong Aalisha, bukankah hal ini yang diinginkan gadis itu? Bukankah benar perkataan Aalisha, untuk apa sosok Terhormat seperti Athreus menolong gadis itu?
Kini hanya Aalisha sendiri di sana. Embusan semilir angin bertiup membawa bau rerumputan. Cukup lima detik, Aalisha terdiam di sana dengan memegangi perutnya yang mulai perih. Dia bangkit, tertatih-tatih menuju pohon besar, berada di belakang pohon itu yang cukup banyak semak belukar. Aalisha mencari tempat kosong lalu ambruk kembali, dia memuntahkan banyak darah, peluh keringat menetes, keram menyusuri setiap ototnya hingga tangannya gemetar. Ditatapnya genangan darah itu. Dia merangkak pelan. Bibirnya mencebik. Kini dia berada dalam posisi sujud dengan dahinya benar-benar menyentuh rerumputan.
"Sialan, ternyata ada racunnya, harusnya tak kuselamatkan dia," gumam gadis itu susah payah. Wajahnya pucat pasi.
Perlahan cahaya kuning-keemasan muncul di sekitar leher, pipi, dan perut hingga bersinar di dalam mulutnya meski agak redup. Menyembuhkan setiap luka, menetralisir racunnya meski terasa sakit sekali. Gadis itu tak berteriak sedikit pun padahal rasa sakit ini seperti besi panas yang menyentuh kulit. Keringat menetes, berusaha mengatur napasnya yang tak beraturan hingga racun itu dirasa sudah benar-benar hilang.
Masih di posisi sujud itu, tangan kanannya mengacak rerumputan. Kukunya jadi kotor, dia semakin menekan dahinya, embusan napas tak beraturan meniup debu di tanah. "Masih kurang, serangan ini tak seberapa dan takkan pernah membunuhku. Dasar makhluk payah."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Hola, ini Prins^^
Sudah sejauh ini masih abu-abu ya siapa Aalisha ini? Gue jadi penasaran juga identitasnya siapa kwkw.
Lalu mau bilang, jadi cerita ini akan tamat di Arc 6 atau 7 sedangkan gue sudah nulis sampai Arc 5, target gue selesai dalam bulan Januari ini jadi pas masuk kuliah bulan Februari nanti sudah selesai ceritanya, semoga bisa ya:)
Mau bilang juga, gue ada pesan atau komis satu ilustrasi untuk salah satu chapter nanti. Semoga kalian suka ilustrasinya, habisnya bikin dompet menangis nih ilustrasi setara harga novel Harry Potter, he he.
Prins Llumière
Senin, 2 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top