Chapter 42
|| Selain yang pernah gue promosikan langsung. Dari mana kalian tahu cerita ini?
Latihan dimulai dengan master Arthur yang mengawasi murid-muridnya sambil mengisi semacam buku yang bisa saja merupakan buku penilaian. Master Arthur juga membenarkan ucapan mantra yang salah sehingga menyebabkan syarat mantra tersebut tidak terpenuhi-syarat menggunakan mantra adalah pelafalan yang benar-tidak hanya itu, meskipun sudah benar secara pelafalan, tetapi tidak bisa menyeimbangkan neith maka mantra tersebut bisa saja gagal atau kekuatan yang dihasilkan tidak terkendali.
Master Arthur merasa pusing karena ada saja murid yang ketiga mantra, pelafalannya salah semua, entah memang tidak sampai menyebut nama mantranya atau namanya terlalu susah diucapkan. Tidak bisa dibayangkan jika murid-muridnya ini harus melafalkan mantra tadi yang dia contohkan, bisa-bisa lidah mereka akan sakit sebelum mantranya berhasil.
Sebenarnya nama mantra yang susah diucapkan serta panjang selalu menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai karena setiap terciptanya mantra baru, selalu saja susah dilafalkan begitu juga mantra kuno atau lama yang akan sama saja bahkan lebih sulit lagi. Atas inilah, pihak kekaisaran maupun Majestic Families selalu mencari cara untuk mempersingkat nama mantra, hanya saja jika cara ini dilakukan maka penggunaan mantranya membutuhkan usaha lebih besar lagi dan kemungkinan gagal juga besar. Sehingga beberapa penyihir yang tak mampu menggunakan mantra yang disingkat namanya terpaksa melafalkan mantra yang panjang dan berbelit-belit. Yah, meskipun cara ini sama saja tidak efektif karena ada kemungkinan gagal juga apalagi ketika pertarungan, tidak punya waktu untuk melafalkan mantra yang begitu panjang.
Beberapa penyihir akhirnya memilah mantra mana yang akan mereka pelajari serta berdasarkan kekuatannya. Dikarenakan tidak semua mantra mampu dikuasai seorang penyihir apalagi ada beberapa tipe mantra yang memerlukan tenaga atau neith lebih banyak serta keahlian dalam mengendalikan dan mengontrol sihir tersebut. Jika tidak, maka sihir tersebut gagal, kekuatan yang dihasilkan tidak sesuai, serta parahnya malah tak terkendali.
Berdasarkan kurikulum di akademi Eidothea, mantra yang dipelajari haruslah sesuai dengan kelas atau tingkatan murid sehingga murid tahun pertama haruslah mempelajari mantra dasar atau tergolong mudah. Sehingga tingkatan selanjutnya maka jenis mantra yang dipelajari akan meningkat juga. Hal ini dilakukan untuk mencegah kejadian buruk menimpa para murid karena tidak matang dalam menggunakan suatu mantra. Eidothea sangat melindungi muridnya tanpa membedakan kasta. Meskipun begitu ada murid-murid tertentu yang sudah dituntut untuk mempelajari mantra yang tidak sesuai dengan tingkatan mereka atau sudah diharuskan mempelajari mantra tingkat menengah ke atas. Tidak perlu dipertanyakan, murid mana yang masuk dalam kategori tersebut, ya, para bangsawan kelas atas dan tentunya Majestic Families.
Sudah bukan rahasia lagi bahkan seluruh dunia ketahui, jika setiap garis keturunan Majestic Families selalu dididik dengan keras oleh pihak keluarga mereka-tidak peduli garis keturunan utama atau cabang-sejak mereka kecil. Mereka harus menguasai banyak hal dimulai dari ilmu pengetahuan hingga teknik berpedang dan teknik sihir. Permasalah politik dan hukum saja mereka pelajari. Di umur yang belia itu, kebanyakan dari mereka akan dipanggilkan guru khusus atau pengajar privat, masuk pelatihan khusus, atau langsung diajarkan oleh pihak keluarga mereka demi membesarkan keturunan yang menguasai banyak hal bahkan jika diperlukan tanpa celah sedikit pun.
Dilihat dari kacamata kemanusiaan, apa yang dilakukan Majestic Families terkesan sangat kejam, ada juga yang berpendapat jika merenggut kebahagiaan masa kecil keturunan mereka. Namun, semua ini demi keturunan Majestic Families itu sendiri karena kematian selalu mengintai mereka setiap harinya. Mereka tidak hanya tumbuh untuk melindungi Athinelon, tetapi melindungi diri sendiri dari segala kebengisan dunia ini.
Atas inilah, Arthur tidak heran dengan sifat para Majestic Families yang sangat angkuh bahkan menganggap manusia lain sebagai makhluk di bawah mereka. Meskipun begitu Arthur tidak bisa membenarkan perbuatan mereka yang selalu semena-mena itu. Bagi Arthur meskipun takdir yang berpihak pada mereka-para keturunan Majestic Families-selalu kejam, mereka tidak bisa seenaknya merendahkan manusia lain karenanya Arthur harus menangani sifat mereka itu. Yah, kadang saja karena Arthur lelah harus mengurus anak-anak ayam angkuh itu, maksudnya keturunan Majestic Families.
Arthur mengedipkan mata beberapa kali ketika melihat pemandangan salah satu muridnya yang gagal menggunakan mantra, malah menyebabkan ledakan kecil yang kini membuat wajahnya hitam serta pakaiannya jadi bolong-bolong. "Pergilah ke toilet untuk membersihkan wajahmu lalu kuberi izin karena kau juga terluka."
"Ba-baik Master!" Maka murid itu bergegas pergi.
"Oh Dewa, kenapa selalu berakhir meledak terus wajah menghitam, terlalu klise. Apakah kegagalan menggunakan mantra tidak diganti menjadi hujan uang atau semacamnya yang menguntungkan?" Arthur bergumam pelan lalu beralih pada cyubes-nya yang sejak tadi terus-menerus mendapatkan pesan dari profesor Eugenius.
Arthur mengecek pesan tersebut yang ternyata berisi permintaan profesor Eugenius untuk bertemu Arthur sekarang juga karena ada hal genting yang harus dibahas. Bagus, ada urusan lain di tengah-tengah mengajar, tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada kelas ini karena semua muridnya adalah pembuat onar.
"Perhatian! Aku akan pergi karena ada urusan dengan profesor Eugenius. Kelas masih tersisa satu jam lebih, jadi aku ingin latihannya tetap dilanjutkan."
Arthur kemudian membuka lebar telapak tangannya lalu muncul pentagram sihir berwarna kuning di atas meja. Perlahan pentagram sihir itu mengeluarkan seekor kucing dengan bulu putih, berkacamata bulat, membawa buku serta pena berbulu, bahkan kucing itu mengenakan pakaian meskipun sederhana dan kini ia duduk anteng di atas meja.
"Perkenalkan namanya adalah Miko, kucing ini yang akan mengawasi serta mencatat penilaian latihan sihir kalian. Maju sesuai urutan yang Miko sebutkan."
"Dia bisa bicara Master?" tanya salah seorang murid.
"Ya dia-"
"Tentu saja aku paham bahasa manusia, nyaw. Jadi jangan macam-macam padaku nyaw," sahut Miko yang ternyata suaranya cukup berat, lalu ada penambahan kata nyaw yang kemungkinan karena sifat kucingnya.
"Dia tidak sepenuhnya paham bahasa kita, hanya kata-kata mudah saja atau yang memang kuajarkan sesuai dengan keahliannya jadi kalau diajak curhat, dia takkan paham. Baiklah, Miko akan memanggil nama kalian jadi perhatikan baik-baik. Sekian."
"Terima kasih Master."
"Oh ada lagi," ujar master Arthur dan aura mengerikan terpancar darinya. "Jangan berbuat keributan, jika ada saja yang melakukannya, maka akan kuhukum. Paham."
"Pa-paham Master!"
Aalisha terkekeh kecil. Langsung saja Anila dan Mylo menatap padanya. "Kenapa kau?" tanya Mylo.
Gadis itu menunjuk pada kucing kecil di sana. "Miko, Mylo, kalian saudara yang terpisahkan ya?"
Anila jadi ikutan tertawa sedangkan Mylo sudah mengepalkan tangannya dengan wajah memerah bahkan berapi-api karena rasa kesal pada Aalisha. "Suatu hari kusihir kau menjadi kucing lalu kutenggelamkan ke danau."
"Kita lihat siapa yang duluan tenggelam." Aalisha menyeringai kecil lalu kembali beralih menatap kertas yang berisi nama tiga mantra yang harus dia coba.
Aalisha memang dianggap sebagai gadis kasta bawah, tetapi dia tidak bodoh dan sangat sadar jika ada sekitar empat, tidak delapan lebih murid yang kini menatap nyalang padanya. Terutama yang paling Aalisha sadari adalah tatapan penuh amarah dan kebencian dari Ixchel, Victoria, dan juga Killian. Kenapa Cornelius itu malah ikut-ikutan? Posisinya bahkan tidak setara dengan mereka.
"Menyebalkan," gumam Aalisha menopang dagunya lalu menutup matanya.
Para murid kembali dipanggil sesuai dengan urutannya. Dikarenakan Miko hanya bertugas menilai teknik sihir, maka tidak ada pembenaran yang dia lakukan seperti yang master Arthur lakukan sebelumnya. Bahkan ada murid yang sempat cek-cok karena mengolok-olok yang tidak bisa menggunakan mantra paling mudah, Miko sama sekali tidak peduli. Seolah memang bukan tugasnya untuk menangani hal-hal itu.
Anila sejak tadi sudah tidak sabar dengan gilirannya, tetapi tak kunjung dipanggil juga. Begitu pun Mylo yang terlihat menunggu meski lelaki itu sedikit gugup. Sedangkan Aalisha? Sungguh, Anila tak habis pikir, bagaimana bisa gadis kecil itu malah tertidur sambil menopang dagunya dengan tangan?! Tidakkah dia gugup atau kepercayaan dirinya begitu tinggi sampai-sampai dia tidak khawatir sama sekali.
"Aku hanya pasrah Anila, bukan percaya diri," sahut Aalisha akhirnya membuka mata lagi.
"Bagaimana?" Heran sekali Anila seolah gadis kecil itu mampu membaca isi pikirannya.
Aalisha menoleh setelah menguap lebar. "Karena kau selalu saja khawatir akan hal-hal sepele, jadi sudah terbaca isi pikiranmu."
"Apa kau tak mau berusaha sedikit saja?" sahut Mylo yang menguping pembicaraan keduanya. "Jangan pasrah begitu saja."
"Opini jelek," balas Aalisha membuang wajahnya dan memperhatikan Miko yang fokus mencatat.
"Kau ini!" Mylo mengacak kertasnya. "Jika kukuasai mantra ini, maka kujadikan kau objek percobaan."
"Ha ha, lucu," balas Aalisha lagi. "Coba sihir aku jadi bakul nasi."
"Kau memang ngajak perang ya!!" sahut Mylo sedangkan Anila terlihat menahan tawa.
"Kenapa kau?" ucap Aalisha dan Mylo bersamaan.
"Peniru," sahut Aalisha.
"Aku duluan yang bertanya," balas Mylo.
"Tak apa, aku hanya merasa jika kau terlihat bahagia hari ini, kenapa?" ucap Anila yang disetujui Mylo karena gadis itu semakin banyak bicara bahkan memperlihatkan ekspresi yang lebih kentara.
Aalisha memutar bola matanya, tak mau menatap mata Anila atau pun Mylo, perkataan itu juga terdengar menyebalkan. Bahagia? Begitukah Aalisha terlihat, dia sama sekali tak berpikiran jika dirinya merasa bahagia. Namun, ada sesuatu yang tak dipahaminya menyeruak, tetapi sudah diusirnya. "Kurasa aku terlihat bahagia karena aku senang bisa mengerjai kalian yang berpikiran jika aku adalah putri kekaisaran. Benar 'kan?"
"Diam! Kau mau kubakar hah!! Jangan bahas itu lagi!" ucap Anila.
Mylo menyahut juga. "Aalisha, berhenti bercanda, itu tidak lucu. Tak kaupikirkan bagaimana jantung kami berhenti sesaat?"
"Gak peduli sih."
"Anak ini ...." Sudahlah Mylo pasrah saja.
Aalisha menggeleng. Sebenarnya tidak buruk juga menganggap jika dirinya sedang berbahagia, lagi pula ada hal yang dia tunggu sejak tadi yaitu takdir para Dewa yang akan memberi kejutan entah apa itu. Sangat berharap jika takdir itu adalah kebahagiaan seperti yang Anila dan Mylo katakan. Sehingga Aalisha bisa tahu jika dirinya benar-benar bahagia bukan sekadar sandiwara.
"Nyaw, nyaw, urutan selanjutnya! Chris Calvin, Josephine, Ixchel Nerezza, Victoria Adrastus, Killian Cornelius, dan Aalisha. Silakan maju ke depan, nyaw!!"
Hening menyeruak seketika karena nama-nama itu adalah manusia fenomenal yang sekitar setengah jam lalu sempat membuat kelas menjadi ajang debat politik. Tak lain dan tak bukan adalah gadis bernama Aalisha dan bangsawan kelas atas serta dua cabang Majestic Families. Betapa sialnya takdir gadis kecil yang berhadapan dengan singa kelaparan sedangkan dirinya hanyalah seekor kelinci tak bertahta.
Lalu bagaimana mungkin pembagian kelompoknya begitu? Apakah Arthur sengaja atau Miko salah sebut?
"Aalisha, jika tak mau, bisa minta diubah saja kelompoknya," ujar Anila.
Mylo jadi merasa tidak enak dan kasihan. "Ya, biar aku saja kalau kau tak mau maju sekarang."
"Tak perlu khawatir, aku sudah ribuan kali melewati kematian kurasa hal sepele seperti ini takkan membunuhku," ujar Aalisha seringan kapas lalu mulai menuruni tangga sedangkan Anila dan Mylo hanya bisa menatap kepergian gadis kecil itu dengan dipenuhi rasa khawatir.
"Dia hanya menyembunyikannya, dia tidak baik-baik saja," ujar Mylo.
"Ya dia keras kepala, kurasa kita harus tahan menghadapi sifat keras kepalanya itu," ucap Anila.
****
Aalisha tidak heran jika takdir selalu sial padanya. Jadi dia sudah menebak kalau namanya akan berada di urutan yang sama dengan manusia dari kaum borjuis itu.
Posisi Aalisha saat ini hanyalah manusia yang lahir di posisi terbawah dalam rantai kehidupan. Diibaratkan juga sebagai penjahat buruk rupa yang digambar oleh Dewa menggunakan tangan kiri padahal Dewa tidak kidal jadi tentu saja hasilnya begitu jelek dan buruk bagaikan boneka dengan wajah yang hancur. Aalisha tentu saja tidak bisa disandingkan dengan manusia-manusia yang lahir dengan penuh keberkahan dan posisi di atas segalanya.
"Oh lihatlah siapa ini, binatang cacat, tapi banyak bacot." Melihat Aalisha seperti kebahagiaan tersendiri bagi Victoria karena sejak tadi dia menahan amarah pada manusia tak tahu diri dan berani berdebat dengannya serta Ixchel.
"Kurasa Dewa tahu mana manusia yang perlu didukung dan manusia mana yang harus dibuang ke neraka karena mulutmu yang tak bisa dikontrol itu," ucap Ixchel.
Tidak mau kalah, maka Killian ikut-ikutan menghina Aalisha, ya, lelaki itu terlihat bangga berada dipihak Majestic Families dan perlahan-lahan menghancurkan gadis sombong itu. "Kau benar, gadis ini sejak awal memang selalu lepas kendali, seperti hewan saja, mungkin juga karena tidak diajari tata krama yang baik oleh kedua orang tuanya."
Aalisha menatap ketiganya dengan datar lalu tanpa basa-basi, gadis itu nyelonong menuju posisinya yang di hadapannya adalah boneka kayu. Sontak apa yang Aalisha lakukan membuat ketiga manusia bangsawan itu hanya bisa melongo. Barusan gadis itu mengabaikan mereka?
"Bajingan, berani kau mengabaikanku yang seorang Majestic Families ini, hah?!" Ixchel mencak-mencak. "Dasar gadis kasta bawah!"
"Kau pasti takut kan, makanya mengabaikan kami?" ucap Victoria sangat yakin.
Bukannya menjawab, Aalisha malah menatap kertasnya seolah hendak berfokus dalam latihan. Semakin saja ketiga manusia bangsawan itu mengepalkan tangannya dengan amarah menyeruak dalam.
"Kalian mau diam saja nyaw, cepatlah, waktunya tidak banyak!" teriak Miko.
"Diamlah kau kucing menyebalkan." Ixchel menyahut lalu menuju posisinya.
Latihan dimulai dengan Ixchel, Victoria, dan Killian bermaksud menyelesaikannya lebih cepat agar menonton gadis rendahan yang terlihat kesusahan untuk menggunakan mantra. Kelas itu juga hening karena mereka memperhatikan Aalisha dengan saksama, menjadikan gadis itu sebagai tontonan. Layaknya pertunjukan teater, maka ada komentar-komentar yang dilayangkan meskipun hanya berupa bisikan-bisikan pada teman dekat mereka, tetapi tawa begitu jelas terdengar.
Berada di sisi gadis yang menjadi sorotan satu kelas itu, Aalisha mengepalkan tangan kirinya karena tak satu pun mantranya yang berhasil padahal penyebutannya sudah sangat benar. Miko menurunkan kacamatanya dan melirik pada Aalisha. "Nyaw, konsentrasi lagi dan seimbangkan neith-mu agar mantranya bekerja."
"Ha ha, bahkan seekor kucing saja lebih paham menggunakan mantra dibandingkan manusia sepertimu," ucap Killian akhirnya bisa membalas perbuatan Aalisha ketika di kelas profesor Ambrosia.
Tidak menggubris perkataan Killian. Aalisha menutup matanya dan mulai mengikuti instruksi diberikan oleh Miko. Tangan kanannya yang gemetar itu terarah pada boneka kayu, dia mulai merasakan neith menjalar di seluruh tubuhnya kemudian semakin besar di sekitaran tangan kanannya. Semua murid tidak melakukan aktivitas lain selain memperhatikan gadis itu. Rasa penasaran menguar di seluruh kelas-apakah Aalisha akan berhasil ataukah kegagalan seperti yang lain ucapkan? Terlebih lagi ini adalah percobaan terakhir karena tiga kali sudah gadis itu mencoba dan tidak ada yang berhasil, jika percobaan keempat gagal maka gadis itu takkan mendapatkan nilai apa pun.
"Dia akan gagal, gadis itu kan bodoh."
"Mantra semudah itu saja, dia tak mampu, bagaimana bisa masuk Eidothea."
"Adikku saja mampu menggunakan mantra itu, masa dia tidak."
"Apa hidupnya hanya bermain di sawah atau kebun jadi tak belajar sihir sama sekali."
"Eidothea harus memperbaiki cara memilih para muridnya, tahun ini benar-benar payah."
"Kurasa gadis itu bertahan di sini karena mulut banyak omongnya, jika tidak, dia sudah keluar."
"Kurasa Dewa, tidak sedikit pun memberikannya keberuntungan. Selain cacat secara fisik, dia juga cacat secara kekuatan."
"Ha ha ha, kau benar, jika orang lain ada fasenya menuju boneka yang hancur, sejak awal, Aalisha itu sudah diciptakan para Dewa dengan keadaan buruk rupa, boneka yang sejak awal sudah hancur."
Aalisha bisa mendengar semua perkataan itu yang sengaja diucapkan dengan suara lantang, tetapi dia sama sekali tidak peduli karena sebagian dari perkataan mereka adalah benar.
Bukankah sebagai makhluk ciptaan Dewa, kita harus menerima dan menghargai opini atau argumentasi yang lain? Maka Aalisha terima dengan senang hati.
Gadis itu membuka matanya lalu merapalkan mantranya dengan perlahan. "Fortisum Ventus." Mantra itu menciptakan serangan berupa angin yang akan mengempaskan atau melempar atau mendorong kuat objek dengan cepat.
Harusnya boneka kayu di depan Aalisha terempas ke belakang, jika mantranya sempurna maka boneka itu mampu membuat retakan di tembok belakangnya saking kuatnya serangan mantra tersebut mengempaskan boneka. Namun, di tangan Aalisha, mantra itu tidak bekerja sama sekali dikarenakan boneka itu tidak berpindah sedikit pun dari posisinya dan malah berputar 280° lalu terdiam.
"Cukup bagus nyaw," ujar Miko.
Detik itu, tawa satu kelas menguar dahsyat seolah barusan saja mereka menyaksikan opera komedi yang menggelitik perut mereka. Tidak hanya tawa dari kalangan bangsawan, tetapi murid-murid lain juga menganggap jika Aalisha pelawak dadakan dan mungkin selamanya akan begitu.
Mereka yang tidak tertawa hanyalah Anila, Mylo, Frisca, Gilbert serta Kennedy dan beberapa murid yang menganggap jika hal ini tidak lucu, itu pun hanya bisa dihitung jari saja karena murid lain begitu puas tertawa.
"Padahal awalnya mereka kesal karena dihina kaum bangsawan, tapi kini mereka menertawakan. Benar-benar sifat manusia," gumam Aalisha.
Demi seluruh Dewa yang bertahta di alam semesta. Aalisha sama sekali tidak terusik dengan hinaan dan tawa mereka. Tentu saja karena Aalisha juga menganggap dirinya lucu dengan kecacatan yang dia miliki.
Hidup Aalisha bagaikan ditulis para Dewa menggunakan tangan kiri atas inilah hasilnya begitu buruk, jelek, dan cacat. Andai saja para Dewa itu kidal atau tangan kanan mereka yang digunakan untuk menulis kehidupan Aalisha maka tidak bisa Aalisha bayangkan akan sebahagia apa hidupnya.
"Aku sudah bertemu banyak manusia badut sepertimu, tetapi tidak selucu dirimu." Ixchel melangkah hingga ke depan Aalisha.
"Nyaw, kalian kembalilah ke bangku masing-masing," ujar Miko, tetapi diabaikan.
Ixchel berada tepat di hadapan Aalisha. "Kurasa harus kutunjukkan cara untuk menggunakan mantra dengan baik dan benar. Seperti ini, Fortisum Ventus."
Dalam sekejap boneka kayu itu terempas ke dinding, boneka itu juga retak bahkan tangan dan kakinya patah berjatuhan ke lantai.
"Kini kau paham bagaimana caranya, gadis rendahan?" ujar Ixchel.
"Oh wow," sahut Aalisha, "haruskah aku bertepuk tangan untukmu? Atau kau mau jadi guru privat untuk mengajariku. Namun, maaf aku tak akan membayarmu, gimana?"
Ixchel yang sudah kehabisan kesabarannya, seketika membuka telapak tangannya dan merapalkan mantra yang sama pada Aalisha. Sukses membuat gadis itu terempas ke belakang. Suara berdebum nyaring terdengar ketika tubuh Aalisha menghantam lantai dengan keras bahkan kepalanya membentur lantai.
"IXCHEL NEREZZA!" teriak Anila berdiri dari bangkunya dan berniat menuju Aalisha.
Sayang sekali, Ixchel dengan cepat menggunakan mantra yang menciptakan rantai tidak terlihat lalu menjerat leher Aalisha, sesaat ia merasa sesak napas karena lehernya terkekang rantai, kemudian Ixchel menarik gadis itu dengan paksa hingga Aalisha kembali berdiri tepat di hadapan Ixchel. Gadis itu menatap Ixchel yang tersenyum puas lalu tanpa izin sedikit pun, keturunan Nerezza tersebut menyentuh leher Aalisha lalu dicengkeramnya kuat lalu diarahkan gadis itu ke hadapan salah satu boneka kayu. Belum selesai, Ixchel lekas mencengkeram lengan kanan Aalisha, ditariknya, dan juga dia arahkan ke boneka kayu. "Biar kuajarkan cara menggunakan mantra, dasar gadis bodoh."
Kini parameter kesabaran Aalisha melewati batasnya, amarahnya tercipta. Dia bisa merasakan tangan lelaki itu menyentuh kulitnya. Aalisha benci sekali ketika seseorang menyentuhnya tanpa izin! Tidak peduli punya posisi setinggi apa. Baik perempuan apalagi laki-laki yang berani menyentuh Aalisha tanpa izinnya, takkan pernah Aalisha maafkan sama sekali!!
Aalisha tidak peduli jika dia akan dihukum gantung karena menyakiti seorang Majestic Families. Bagi Aalisha, harga diri dan kehormatannya di atas segalanya dan dia tidak akan ragu menyeret siapa pun ke neraka karena sudah berlaku tak sopan padanya.
Maka dengan sangat kuat, dia menyikut perut Ixchel hingga lelaki itu tersedak dan kesakitan. Aalisha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Ixchel, lalu dalam sekejap, satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri lelaki Nerezza itu. Tangan gadis itu kecil, tetapi tenaganya mengejutkan. Kepala Nerezza itu tertoleh ke samping dengan kasar, kulitnya perih, bekas merah ada di sana, bibirnya berdenyut, serta darah keluar dari hidungnya. Suara Aalisha yang bernada rendah, diselimuti amarah, tatapan nyalang, tetapi gelap terukir jelas. "Bajingan, beraninya makhluk sepertimu menyentuhku."
"Dasar kau gadis gila!" teriak Victoria lalu tercekat ketika Aalisha berhasil menendang perut Ixchel hingga lelaki itu terempas ke belakang, kepalanya membentur lantai. Ixchel sambil memegangi perutnya yang terasa sakit, menatap pada Aalisha.
Tidak mau ada jeda sedikit pun, lekas Aalisha melompat mundur lalu kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka lebar terarah ke depan. Dalam hitungan detik, muncul pentagram sihir, aliran neith tidak stabil terpancar di seluruh tubuh Aalisha. Tidak ada yang tahu apa yang hendak gadis itu lakukan, tetapi merasakan aliran neith tak terkendali memenuhi ruangan kelas ini membuat para murid yakin jika bencana hendak dibawa gadis itu.
"Gila, kaumau apa?!" teriak Killian yang merasa takut karena aura gelap, pekat terlihat pada Aalisha bak badai hitam yang sedang mendekat.
"Biar kuajarkan satu mantra pada kalian semua!" Pentagram sihir berwarna biru pudar itu perlahan mengelilingi Ixchel, Victoria, dan Killian serta murid lainnya yang berada di depan kelas. Miko sudah melepas kacamatanya yang kini matanya membulat karena gadis itu berniat mencelakakan semua orang.
"Aalisha hentikan!" teriak Mylo.
"Nyaw, jangan!!" teriak Miko.
Sayangnya gadis itu tak peduli dan malah tersenyum bahagia sambil merapalkan mantra dengan suaranya yang cukup lantang. "Igniesco!!"
Tidak punya waktu untuk terkejut karena Aalisha berani menggunakan mantra tingkat tinggi dan baru sekali dicontohkan master Arthur-setiap murid berusaha melindungi diri sendiri ketika pentagram sihir itu memancarkan cahaya yang hanya dalam hitungan detik saja ledakan dahsyat terjadi di kelas tersebut. Kepulan asap memenuhi kelas, barang-barang termasuk boneka kayu bergeser dari posisinya, suara batuk para murid terdengar. Mereka mulai berlarian menuju sudut kelas yang tidak begitu dipenuhi asap lalu fokus mereka teralihkan pada pentagram sihir yang membentuk barrier di sekitar Ixchel.
"Gadis sialan! Kau berusaha membunuhku hah!! Kau akan mati setelah ini!" berang Ixchel tak terluka parah karena dia berhasil melindungi dirinya. Meskipun begitu, sebagian seragam Ixchel sobek.
"Kau akan mampus setelah ini, dasar gadis cacat! Kau akan dihukum oleh pihak keluargaku!" Victoria ikutan berteriak, terlihat wajahnya ada bekas hitam akibat serangan Aalisha.
"Kubunuh kau!" teriak Killian.
Sayangnya semua ancaman itu tak mempan sekali pun karena Aalisha kembali mengayunkan tangan kirinya dan pentagram sihir berwarna biru muncul kembali.
"Sial," gumam Ixchel dengan mata membulat.
"Igniesco." Gadis kecil itu merapalkan mantranya dan ledakan dahsyat tercipta lagi yang kini membuat kelas semakin berantakan, buku-buku di atas meja terhambur, lukisan dinding berjatuhan, lampu gantung bergetar, furniture di kelas itu terlempar tak tentu arah, begitu juga boneka kayu yang kini terempas ke sisi kelas. Setiap murid berteriak sambil mendekati teman mereka yang mampu membuat pelindung kecil. Namun, tetap tak bisa melindungi mereka. Murid lain membuka jendela kelas agar asap-asap itu keluar jika tidak mereka akan mati akibat sesak napas.
Ixchel terkapar di lantai dan terbatuk-batuk, saliva dimuntahkannya cukup banyak meskipun bukan darah, tetapi menjadi jawaban jika lelaki itu merasa sakit akibat serangan Aalisha. Victoria yang terempas ke belakang, tidak mampu bergerak karena dia tidak sempat memasang barrier, tetapi dia masih mampu terjaga. Sedangkan Killian terempas cukup jauh, terbaring tak berdaya, tangannya mengeluarkan darah, dan kini pandangannya agak buram karena hitungan detik lagi, lelaki itu pasti pingsan.
Serangan Aalisha berupa mantra tingkat tinggi itu memang belum sempurna atau di tataran tidak baik digunakan karena energinya tidak stabil. Akibatnya, serangan itu jadi tidak beraturan dan malah menghasilkan efek tak menguntungkan baik bagi pengguna maupun lawan. Gadis itu juga cacat, seorang niteleum yang aliran neith-nya tidak stabil, dia juga tidak bisa mengontrol neith-nya sehingga mantra yang digunakannya antara tidak bertahan lama, tidak dapat dikeluarkan, atau tidak terkendali yang dapat menjadi pisau bermata dua.
Aalisha sama sekali tak peduli hal itu karena ketidakstabilan inilah yang dia incar. Dia hanya ingin membuat Ixchel kesakitan karena berani menyentuhnya tanpa izin. Jadi Aalisha tak peduli pisau bermata dua yang kini melukainya juga. Buktinya, darah menetes dari hidung Aalisha, begitu juga telinga kanannya. Gadis itu menutupi mulutnya karena terbatuk, alhasil darah segar terlihat pada telapak tangannya. Sungguh demi Dewa, dia memuntahkan darah, tetapi sama sekali tak terusik bahkan kesakitan saja tidak.
"Aalisha cukup," ujar Anila yang turun dari tangga, disusul Mylo dan lainnya. Mereka terkejut karena gadis kecil itu ikutan berdarah. "Kumohon sudah."
"Aalisha hentikan ...." Mylo berujar pelan. Dia hendak mendekati Aalisha, tetapi gadis itu malah mengayunkan tangannya lagi hingga terarah pada Ixchel yang kini menatap pada Aalisha dengan senyuman.
"Kau mau melakukannya lagi? Tidak kau lihat jika kau pun terluka. Setelah ini kau akan lebih menderita karena berani menyerangku," ujar Ixchel, "kau akan dihukum keluargaku."
"Tak masalah, aku tak peduli hukuman pihak keluargamu karena yang terpenting, kau cacat lebih dulu. Aku sangat puas melihat hal itu. Bukankah sekarang kau sedang bersujud di depanku."
Dengan posisi Ixchel bertumpu pada kedua kaki dan tangannya yang berada di lantai, dia merasa sangat kesal karena bisa-bisanya dia berada di bawah gadis cacat ini. Harga dirinya terasa begitu hancur dikarenakan seorang kasta bawah tanpa nama keluarga berani mengacungkan tangan padanya.
"Jika kau berbicara harga diri ...." Muncul kembali pentagram sihir biru pudar yang terasa semakin kehilangan kendali. "Maka aku berdiri di sini karena harga diriku juga. Berani kau menyentuh seorang Lady seenaknya. Aku tidak perlu maaf darimu karena aku tak mau mendengar kata itu keluar dari makhluk sepertimu, jadi selamat karena kau akan cacat sepertiku. Ignies-"
"Sudah selesai perkelahiannya?" ucap master Arthur yang seketika berada di tengah-tengah antara Aalisha dan Ixchel.
Pentagram merah muncul sebagai barrier kemudian melenyapkan secara perlahan pentagram biru pudar milik Aalisha. Tanpa belas kasihan, master Arthur lekas mencengkeram lengan Aalisha lalu dengan mudahnya, dia melempar tubuh Aalisha hingga gadis itu membentur lantai serta tumpukan boneka kayu di pinggir kelas hingga dinding kelas.
"Aalisha!!" teriak Mylo langsung menuju Aalisha yang terbaring di lantai. Sakit memenuhi tubuh gadis itu.
Anila berujar cepat. "Master Arthur, apa yang Anda-"
"Sudah kubilang untuk tidak bertengkar 'kan? Apa kalian semua tuli? Padahal aku sudah memberikan latihan terbilang mudah tanpa harus ada pertengkaran tak berarti." Master Arthur mengedarkan pandangannya pada seluruh murid yang hanya terdiam. Tidak Arthur sangka, murid sebanyak ini, hanya diam saja melihat pertengkaran. Antara mereka tidak berani melerai dan takut atau menikmati pertengkaran ini.
Lalu Aalisha, tidak Arthur sangka jika gadis ini menggunakan igniesco, mantra tingkat tinggi padahal dia tahu jika efeknya juga akan menyakitinya.
"Aalisha, kau akan kuhukum atas segala yang kauperbuat di kelas ini," ujar master Arthur.
"Tidak adil!" teriak Anila, "mereka yang lebih dulu berbuat! Mereka mengganggu Aalisha hanya karena Aalisha tidak mampu menggunakan sihir. Lalu Nerezza itu menyentuh Aalisha secara tidak sopan. Tidak adil jika Anda memberikan hukuman pada Aalisha sedangkan berengsek itu tidak!"
"Master Arthur," ucap Mylo melangkah hingga di hadapan Arthur. "Anda tahu 'kan, etiket seorang bangsawan. Kami diajarkan untuk tidak menyentuh seseorang secara sembarangan tanpa izin, baik laki-laki maupun perempuan. Terkecuali dalam sebuah pertarungan atau hal mendesak."
"Aalisha melakukan ini karena sebagai bentuk pembelaan diri." Frisca angkat bicara juga. "Tuan Ixchel Nerezza itu menyentuhnya di leher padahal dia tidak harus melakukan hal itu. Dia seorang bangsawan yang harusnya paham etiket dasar, tapi dia mengabaikannya."
"Apa bagi Anda pembelaan yang Aalisha lakukan adalah kesalahan?" ucap Gilbert meski agak gemetar. "Anda mengabaikan pembelaan Aalisha hanya karena dia bukan berasal dari bangsawan? Di mana keadilan Anda sebagai seorang pengajar akademi!"
"Master, Aalisha tidak bersalah sepenuhnya karena Nerezza itu yang lebih dulu berulah. Jika Anda tidak percaya pada kami, maka tanyakan pada murid lainnya," ujar Anila meski tidak yakin karena pastinya murid-murid di kelas ini lebih memilih untuk bungkam dibanding berseteru dengan keturunan Majestic Families.
"Di-dia benar Master!" ucap seseorang yang tak disangka-sangka adalah Kennedy. "Ixchel Nerezza itu duluan yang mengusik Aalisha, jadi Aalisha hanya melakukan pembelaan atas harga dirinya. Apa Anda tahu jika perbuatannya itu, bisa disamakan dengan tindak pelecehan terhadap perempuan."
Senyuman tipis Arthur terbentuk lalu dia beralih pada Ixchel yang terlihat hanya terdiam saja. "Ixchel Nerezza, kau tahu kan kalau sanksi sosial akan lebih mengerikan dibandingkan hukuman pihak sekolah? Nama gadis itu takkan tercemar karena dia berasal dari kasta proletar, sedangkan kau akan mencemari nama keluarga cabangmu karena perbuatanmu yang tak sopan pada seorang wanita. Kurasa ada beberapa Orly menguping di sini dan bersiap menyebarkan hal ini hingga ke Lè Ephraim."
"Maaf Master," ujar Ixchel meski tangannya terkepal kuat. "Aku takkan menuntut apa pun pada gadis itu. Aku memaafkannya karena ini juga bermula dariku sendiri."
"Bagus. Sekarang pergilah ke rumah sakit bersama nona Victoria dan ... tuan Killian juga, kurasa dia pingsan, tolong yang lain bantu dia. Lalu hukuman kalian bertiga akan menyusul," ujar master Arthur. Lekas teman Killian membopong lelaki itu dan Ixchel serta Victoria menuju rumah sakit.
"Dan Aalisha." Arthur beralih pada Aalisha yang sudah duduk di lantai. Gadis itu memegangi kain putih-diberikan oleh Anila-untuk menutupi telinga kanannya yang mengeluarkan banyak darah. Kain putih ini menjadi merah karenanya. "Kau ikut aku segera."
"Dia harus ke rumah sakit Master!" ucap Anila.
"Aalisha akan ke rumah sakit nanti, setelah beberapa hal kubahas mengenai hukumannya."
"Tapi Master-"
"Aku tak apa," ucap Aalisha cepat kemudian berdiri dan mengikuti langkah master Arthur. "Kalian pergilah, susul aku di rumah sakit."
"Kelas bubar! Kembalilah kalian semua," ujar master Arthur terakhir kali sebelum meninggalkan kelas bersama dengan Aalisha.
****
Langkah kaki keduanya terdengar beriringan. Berada di depan gadis kecil itu, seorang pria berpakaian bangsawan dengan sedikit jubahnya berterbangan karena tertiup angin. Entah ke mana pria itu menuntun Aalisha karena sejak tadi Aalisha bingung, koridor ini sangat asing karena dia sama sekali tak pernah lewat sini. Apalagi bangunan koridor ini sedikit berbeda. Banyak lentera biru, begitu juga gantungan lampu berwarna biru juga. Selain itu lantai yang dipijak terdapat karpet merah. Aalisha yakin jika perubahan struktur bangunan ini karena kekuatan sihir, apalagi tadi mereka melewati pintu besar yang seolah membawa mereka ke dunia berbeda.
Aalisha tidak membutuhkan lagi kain yang Anila berikan karena pendarahan di telinga kanannya sudah berhenti meski terlihat bekas memerah di sekitar telinganya. Mimisan gadis itu juga usai, tetapi tenggorokannya terasa sakit dan serak karena beberapa kali darah dimuntahkan dari mulutnya.
"Apa Anda berniat membunuhku jadi membawaku kemari? Koridor bagian mana ini? Kurasa akademi ini selain struktur bangunannya yang memusingkan, tetapi juga menyimpan banyak rahasia, menyebalkan sekali." Aalisha memulai percakapan karena sejak tadi masternya ini hanya diam.
Tidak ada sahutan bahkan tak ada niat bagi Arthur untuk berbalik dan menatap gadis itu. Dia terus melangkah, Aalisha jadi kesal karena Arthur mengabaikannya. "Master, Anda mau membawaku ke mana?"
Langkah itu tetap terdengar bahkan terasa lebih cepat, membuat Aalisha harus mempercepat langkahnya juga. Sulit sekali mengimbangi Arthur karena pria itu sangat tinggi. "Master! Bisakah Anda pelan sedikit, aku susah menyamakan langkah kaki kita!"
Arthur sangat jahat, itulah yang terlintas dibenak Aalisha ketika pria itu malah semakin mempercepat langkahnya. Tidak mau mendengar satu pun perkataan yang keluar dari mulut Aalisha. Tidak sekali pun hendak memperlambat langkahnya.
"Master Arthur, tolong pelan sedikit! Aku lelah. Tenagaku habis karena sihir tadi, kakiku juga sakit."
Kini manik mata gadis itu menatap punggung Arthur yang semakin menjauh. Langkah Aalisha menjadi lambat, tetapi Arthur tak mau menghentikan langkahnya, ia semakin jauh. Benar-benar semakin jauh, seolah-olah sulit untuk digapai. Sontak Aalisha mengepalkan kedua tangannya, ia gemetar, dan jantungnya berdegup tak karuan, napasnya sesak. Terasa sangat menyakitkan dan menusuk. Aalisha membenci situasi ini. Aalisha benci melihat apa yang ada di hadapannya. "Hei bajingan, kaudengar aku?! Ke mana kaumau membawaku hah! Coba hentikan langkahmu itu! Coba dengarkan aku!"
Arthur akhirnya berhenti, helaan napas terdengar sebelum dia berbalik menatap Aalisha. Sungguh menguji kesabaran jika menghadapi Aalisha. Ketika ia berbalk, melihat gadis kecil itu, mata Arthur sedikit membulat dan alisnya terangkat karena Aalisha yang meskipun menatapnya penuh amarah. Namun, ada air mata yang tertahan. Seolah gadis itu tak mau menangis. "Harusnya kau bakar sekalian sekolah ini karena mantra ini mampu menghanguskan desa dalam sekali serang saja, tapi penggunanya akan mati setelah itu."
"Aku tak peduli, jawab pertanyaanku, ke mana kau mau membawaku?"
"Kau tahu 'kan, kalau kaupunya batasan. Bagaimana bisa kau menggunakan mantra tingkat tinggi yang akan mencelakai dirimu sendiri? Terlebih lagi mantramu itu masih cacat."
Amarah Aalisha kembali menyelubungi karena bukannya menjawab pertanyaan Aalisha, pria itu malah berceramah tak bermutu. Sialan sekali, tetapi tak masalah, bagaimana jika Aalisha turuti saja keinginan Arthur? "Cacat kau bilang? Maaf Masterku yang terhormat, tapi mantra tadi, aku sengaja menurunkan daya serangannya. Karena jika aku sungguh-sungguh, maka bisa saja, ada yang nyawa muridmu yang terenggut terutama Nerezza sialan itu."
"Benarkah?" sahut Arthur tidak menunjukkan ekspresi yang kentara. "Kurasa kautercipta untuk selalu menantang maut. Jadi karena itu, bagaimana jika kaubertarung melawanku? Jika kaumampu menyudutkanku, maka aku tak jadi menghukummu."
"Dengan senang hati karena sejak awal, aku berniat menghajarmu jadi tanpa mantra pun, aku bisa!"
Aalisha menerjang dengan cepat dan melayangkan tinjunya, Arthur berhasil menghindar. Lalu gadis itu kembali menyerang menggunakan kakinya, sayang sekali Arthur berhasil menangkisnya. Kini Aalisha melompat ke belakang, sulit sekali menghajar pria yang masih terlihat tenang itu.
Kepala Aalisha berdenyut, pasti karena efek mantra yang digunakan di kelas tadi, apalagi Aalisha belum disembuhkan sama sekali. Harusnya dia bisa saja mengalah dan dengan lapang dada menerima hukuman dari Arthur, tetapi keinginan untuk menghajar wajah pria itu jauh lebih tinggi.
Maka Aalisha menjulurkan tangannya berniat menggunakan mantra yang akan membuat lawannya terlempar jauh, tetapi bukannya Arthur terkena serangan itu. Dia malah menghindar dan gerakan yang cepat itu seketika Arthur sudah berada di belakang Aalisha. Gadis itu terkejut, lalu dalam hitungan detik, Arthur berhasil menghantam wajah Aalisha ke tanah, lalu mengunci gerakan gadis itu. Memelintir tangan kecil Aalisha.
"Kaukalah Nona Aalisha."
Aalisha berusaha melepaskan diri, tetapi master Arthur malah semakin kuat menekan tubuhnya seolah ada gravitasi pemberat yang membuat tubuh gadis itu tak mampu bergerak.
"Bukankah sudah berkali-kali kuperingatkan kau untuk tidak berbuat masalah apalagi mengibarkan bendera perang? Tapi kurasa kau memang keras kepala, susah sekali dinasihati."
"Aku tak perlu nasihat darimu! Lagi pula, aku tak pernah menyesal atas perbuatanku tadi."
"Bahkan jika ke depannya hidupmu akan terasa seperti di neraka?"
Perlahan di sela-sela tubuhnya yang tak mampu digerakkan, Aalisha tersenyum. "Bicara apa kau padaku Master? Neraka. Apa kau pernah berjalan di atasnya?"
Master Arthur menutup matanya lalu menghela napas pelan. Dia melepaskan Aalisha kemudian berdiri. "Kau memang gadis keras kepala. Lelah sekali menghadapimu. Namun, bukankah karena kejadian tadi, kau mengetahui satu hal."
"Apa?" Aalisha berada di posisi duduk dan menatap Arthur yang melangkah hingga di depannya.
"Jika taruhan kita, akulah yang akan memenangkannya. Paham maksudku?" Master Arthur tersenyum simpul.
Gadis kecil itu pasti paham jika yang Arthur maksudkan adalah pembelaan yang Anila, Mylo, Gilbert, Frisca, bahkan Kennedy layangkan. Mereka membela Aalisha padahal pertemanan mereka belum menyentuh satu tahun. Namun, tanpa pikir panjang mereka melindungi gadis kecil itu padahal bisa saja kehidupan mereka akan berantakan karena yang mereka lawan adalah seorang Majestic Families.
"Aku tak pernah meminta mereka melakukannya," sahut Aalisha.
"Bukan masalah meminta, Nona Aalisha, tetapi mereka melakukannya tak memerlukan persetujuan atau permintaanmu. Melainkan keinginan mereka sendiri."
"Itu kebodohan. Membuang waktu, membuang tenaga hanya untuk manusia sepertiku!"
"Apa yang membuatmu sampai menyangkal semua itu, menyangkal mereka?"
Aalisha terdiam, dia perlu mendongak agar bisa melihat jelas wajah Arthur. Situasi ini mengingatkan Aalisha akan bayang-bayang masa lalunya. Posisi yang sama ketika dirinya hanya bisa menatap sosok itu dari kejauhan.
"Karena aku tak memerlukan semua itu. Mereka akan membuangku. Bukankah karena itu kita bertaruh? Dan akulah pemenangnya, Master. Kau akan lihat hasilnya dengan mata kepalamu sendiri."
"Sudah kuduga, berdebat denganmu takkan ada ujungnya. Namun, hasil dari taruhan ini masih beberapa bulan lagi jadi kita lihat saja, siapa pemenangnya." Arthur hendak melangkah pergi. "Nona Aalisha, kau keras kepala, tapi kauharus paham jika sudah berada di sini. Akan ada banyak perubahan dan perbedaan yang sebelumnya tak kauketahui. Aku tak tahu bagaimana cara perasaanmu bekerja, tapi bukankah melihat secara langsung pembelaan teman-temanmu itu, kau merasakan sesuatu?"
Aalisha tidak menjawab, gadis itu diam membisu jadi Arthur berujar kembali. "Hukumanmu akan kuberitahu lewat cyubes karena tidak terlalu berat. Aku membawamu kemari hanya untuk berbicara empat mata saja. Sekarang kauboleh pergi."
Aalisha yang masih berada di posisi duduk itu menatap Arthur yang berbalik, memperlihatkan punggungnya, perlahan akan menjauh lagi. Sesaat Aalisha menggigit bibirnya. Bayang-bayang masa lalu itu kembali memenuhi dirinya.
"Kau bahkan tak bertanya keadaanku," ujar Aalisha.
"Apa?"
"Kau tak bertanya sedikit pun akan keadaanku! Atau bertanya langsung padaku, kira-kira apa alasanku menyerang Ixchel, kau malah langsung ingin menghukum dan menceramahiku."
Dengan susah payah, Aalisha bangkit lalu melangkah gontai hingga jaraknya tak terlalu jauh dengan Arthur. "Sejak tadi kau terus yang bertanya-tanya. Kini giliranku bertanya padamu.
"Master, kaubanyak bicara seolah paham sekali tentang kehidupan. Berarti kau juga pasti paham 'kan untuk jangan menilai seseorang seenaknya saja karena kau tak tahu bagaimana kehidupan yang selama ini dia jalani. Kau tak tahu bagaimana hidupku, jadi jangan pernah menilaiku seenak pemikiranmu saja."
Bibir Arthur terkatup. Lalu ia berujar, "apa yang kau inginkan?"
"Bertanya padamu." Senyuman Aalisha terukir yang membuat Arthur membulatkan mata. Senyuman yang tak dimengerti apakah gadis itu merasa senang, marah, sedih, sakit, atau malah hancur.
"Master Arthur, menurutmu apakah seseorang bisa mengubah takdir yang telah para Dewa tetapkan?"
Tak ada jawaban meski satu menit berlalu. Maka Aalisha berujar, "mengapa? Apa pertanyaanku terlalu sulit?"
Arthur masih terdiam.
"Kalau begitu pertanyaan kedua saja. Master, bisakah kau beritahu aku. Cara untuk mendapatkan akhir yang bahagia terutama di dunia yang hina ini? Setidaknya tolong katakan padaku, apa itu kebahagian karena aku tak paham sama sekali."
Arthur terdiam, benar-benar bak patung yang tak mampu menyahut sepatah kata pun. Hal itu membuat Aalisha tersenyum kecewa.
"Sudah kuduga, jika kau dan semua manusia di Athinelon ini sama saja. Sama-sama makhluk yang perlu dikasihani."
Perlahan Aalisha memundurkan kaki sebelah kirinya, tangan kanannya diayunkan ke sebelah kanan dengan tangan kiri yang mengikuti lalu diletakkan ke dada kanannya, tubuhnya sedikit membungkuk. "Pembicaraan kita usai, sampai bertemu lagi, Master."
Maka Aalisha berbalik tanpa menunggu jawaban dari master Arthur lalu ia melenggang pergi. Dari kejauhan, pria berpakaian bangsawan itu, menaruh kedua tangannya di belakang, memperhatikan seorang gadis kecil yang melangkah mantap serta angkuh sekali. Tidak sedikit pun terlintas rasa bersalah setelah apa yang dilakukannya pada keturunan cabang Majestic Families. Tidak sedikit pun ia gentar meski hatinya terkoyak.
Gadis itu yang bagaikan prajurit, bukan, bukan, melainkan seorang pemimpin pasukan yang habis datang dari medan perang serta membunuh banyak kehidupan, masih dibalut seragam perang, tubuhnya berlumuran darah, terluka, dan kini melewati aula megah lalu hendak melapor pada kaisar bahwa dia berhasil membawa kemenangan perang.
Hanya saja Arthur lebih menyukai analogi; seorang boneka cacat yang meskipun terluka parah masih mampu melangkah tegap menuju malaikat kematian.
"Lihatlah, manusia yang kubawa kemari yang tak diketahui dunia asal-usulnya itu."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Sebenarnya maunya Aalisha ini apa sih? Apa masa lalunya? Alasan dia nggak percaya orang lain?
Kenapa dia terima aja dibilang cacat? Jadi dia beneran cacat atau hanya sandiwara?
Menurut kalian, gimana hasil taruhan Aalisha dengan Arthur, apakah teman-teman Aalisha akan membuangnya?
Prins Llumière
Rabu, 21 Desember 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top