Chapter 38
Hari ini kelas ramuan dipercepat karena profesor Xerxes akan ada keperluan beberapa hari ke depan. Para murid bercerita jika pihak keluarga Nerezza memanggil profesor Xerxes sehingga kelas untuk besok hingga seminggu nanti bisa tidak ada. Dikarenakan hal ini, profesor Xerxes meminta pada pengelola akademik untuk memajukan pertemuan pada Minggu ini serta menjadikan kelas hari ini sebagai kelas gabungan.
Maka di kelas inilah para murid dari angkatan tahun pertama berkumpul, satu ruangan kelas gabungan yang di menara sebelah Utara, lantai empat. Bayangkan betapa lelahnya sebagian dari mereka harus menaiki tangga karena lift sangat penuh. Kini di atas meja mereka ada peralatan ramuan serta bahan-bahan yang akan digunakan.
Pelajaran hari ini adalah teori singkat sekaligus praktikum membuat ramuan penyembuhan paling dasar seperti menyembuhkan luka akibat sabetan pedang atau terluka karena jatuh dari menara—koreksi, dari tangga maksudnya.
Beberapa murid ada yang tidak menyukai kelas gabungan karena gabungan artinya menempatkan setiap murid di ruangan yang sama. Sehingga beberapa dari mereka akan bertemu dengan musuh atau seseorang yang tak mereka sukai atau seseorang yang mereka kagumi? Mereka juga melihat kumpulan anak-anak populer di meja yang sama, kebanyakan dari mereka berasal dari bangsawan yang mengelilingi keturunan cabang Majestic Families. Kesombongan begitu terpancar dari mereka. Apalagi ketika mereka mengobrol kemudian terkekeh kecil serta sesekali melirik ke murid lain padahal sedang diam saja.
Ada juga murid-murid yang berada di circle tersendiri sehingga tidak menerima murid lain menimbrung karena merasa tidak nyaman jika ada orang luar. Beberapa murid yang cerdas juga terlihat dikelilingi murid lain serta murid cerdas lainnya. Sungguh, tidak hanya di luar akademi yang manusia berkumpul hanya dengan kasta atau kelompok mereka sendiri, tetapi di akademi ini juga. Bahkan bisa lebih parah karena pemikiran anak-anak yang belum matang sepenuhnya.
"Bukankah gila menempatkan seluruh angkatan untuk kelas ramuan, bayangkan jika terjadi ledakan ketika meramu obatnya." Mylo bisa membayangkan kehebohan dan kericuhan pada kelas ini.
Anila berujar, "kau benar, kelas bersama profesor Solana saja, heboh banget pas Ingger Morium menyerang. Apalagi kelas ramuan yang banyak bahayanya, bisa-bisa ada yang salah membuat obat malah racun kemudian tersebar ke satu kelas."
"Semoga terjadi," ujar Aalisha kemudian.
"Dasar bocah ini," sahut Mylo, "bisa jangan berkata aneh-aneh dan mengerikan!"
"Kan itu hanya kemungkinan yang bisa terjadi ...."
"Tak kusangka jika dia pendek sekali." Suara itu terdengar dari satu barisan belakang sebelah kiri Aalisha.
"Ya kan, adikku saja yang berumur delapan tahun jauh lebih tinggi darinya," balas temannya dengan rambut pirang.
"Aku tak menyangka jika dia yang berani menatap langsung mata tuan Kieran Zalana."
"Kutahu juga dia sempat berseteru dengan Eloise Clemence."
"Sombong sekali, padahal berasal dari kaum proletar. Sekuat apa dia sampai berani begitu—"
Para gadis-gadis tukang gosip itu langsung terdiam membisu ketika Anila berdiri dari posisi duduknya kemudian menatap mereka tajam dengan wajah menggelap seolah gadis Andromeda itu siap mengempaskan seseorang ke tanah dengan sihirnya, sekarang juga.
Kini Anila meminta Aalisha untuk bertukar tempat dan gadis kecil itu menurut jadi Anila duduk di pinggir lalu sebelum duduk kembali, dia sempat menatap pada gadis-gadis tukang gosip sambil berujar meskipun suaranya tak terdengar, tetapi mampu dipahami dengan membaca gerakan bibirnya. "Persetan kalian."
Semakin saja para gadis tukang gosip terdiam seperti patung. Mereka lekas berpura-pura melakukan kesibukan karena tidak mau semakin berurusan dengan Andromeda itu.
Anila merapikan posisinya, membuka buku pelajaran hari ini. Gadis itu tentu saja menjadi salah satu gadis yang dihormati dan ditakuti di angkatan murid baru karena pengaruh serta posisinya yang merupakan keturunan dari bangsawan Count Andromeda. Di kota yang menjadi kediaman bangsawan Andromeda, sosok Anila begitu disanjung dan dihormati terlebih akhir-akhir ini beberapa Majestic Families memuji kecerdasan kepala keluarga Andromeda.
Meskipun begitu, ayah Anila tetaplah murah hati dan tidak sombong sehingga tidak hanya membuat para bangsawan menghormatinya, tetapi masyarakat kelas bawah juga mengaguminya.
Kembali pada Aalisha. Sejujurnya para murid terutama yang tidak berasal dari kelas bangsawan atas, merasa iri terhadap Aalisha, si gadis kasta bawah dan tak punya nama keluarga itu. Gadis kecil itu, dikelilingi oleh mereka yang berasal dari kaum bangsawan semua.
Dimulai dari Ronald, meskipun seorang Baron, tetapi Ronald tetaplah bangsawan yang punya relasi dengan bangsawan lain. Kemudian Frisca Devorez. Lalu yang paling mencolok adalah Anila Andromeda dari Count Andromeda dan Mylo Cressida berasal dari Viscount Cressida. Aalisha begitu dekat dengan mereka karena sejak awal masuk akademi, gadis kecil itu sudah bersama dengan kedua bangsawan tersebut.
Akhir-akhir ini juga, Aalisha terlihat dekat dengan Kennedy Cymphonique. Posisi bangsawan Cymphonique setara dengan Cornelius yang sama-sama seorang Marquess. Sehingga punya militernya masing-masing. Jika Aalisha benar-benar bisa menggaet Kennedy ke pihaknya maka gadis itu bisa mendapat perlindungan melawan Killian Cornelius yang selalu mengusiknya.
Entah sihir hipnotis apa yang Aalisha gunakan untuk membuat mereka semua selalu berada di sekitarnya. Apa yang mereka lihat dari gadis kasta bawah itu sehingga mereka melindunginya?
"Setelah materi yang kujelaskan, silakan buka buku kalian halaman 25 kemudian sekarang juga buat kelompok tiga sampai empat orang karena praktikumnya akan berkelompok!"
Para murid kemudian mencari kelompok mereka, kebanyakan bersama dengan teman di samping, depan, atau belakang mereka. Setelah itu mereka berada di posisi siap untuk praktikum hari ini. "Baiklah perhatikan semuanya, di depan kalian ada alat-alat untuk praktikum ramuan serta bahan yang digunakan. Tugas kalian adalah membuat ramuan penyembuhan seperti yang kujelaskan tadi. Ingat, perhatikan benar-benar sambil melihat penjelasan juga di buku agar tidak terjadi kesalahan. Jika semisal ada kesusahan maka kalian bisa meminta bantuan padaku, jangan seenaknya mencampurkan bahan nanti malah meledak! Atau kalian malah membuat racun! Paham?!"
"Paham Profesor!!" teriak para murid cukup antusias karena kelas ramuan menjadi kelas yang mereka tunggu-tunggu terutama jika praktikum membuat ramuannya.
"Mylo jangan berbuat kebodohan." Anila memperingatkan. Mereka bertiga, yaitu Anila, Aalisha, dan Mylo menjadi satu kelompok.
"Kenapa hanya aku, bagaimana dengan Aalisha?" sahut Mylo.
"Aku sebenarnya lebih cerdas dari kau." Aalisha tersenyum tipis memandang Mylo.
"Baiklah, baiklah, aku akan selalu mengalah untuk kalian, salahkan saja aku kalau ramuannya meledak!" ucap Mylo.
"Memang begitu rencana kami," sahut Aalisha.
Maka mereka mulai untuk meracik ramuan penyembuhan sesuai dengan instruksi Anila dan juga buku. Sebenarnya lebih berperan besar Anila karena gadis itu benar-benar cakap seolah sudah menghafal setiap tata cara yang ada di buku pelajaran ramuan dasar.
Ada empat bahan utama pembuatan ramuan penyembuhan, ramuan ini lebih menggunakan tanaman sehingga tidak ada bahan-bahan yang rumit, tetapi tata cara pembuatannya tetaplah rumit karena jika salah sedikit saja, maka ramuannya akan gagal.
Bahan pertama adalah Ogriva Setriza, tanaman yang waktu itu dijelaskan dalam kelas biologi. Jadi tanaman itu sudah dicabut dari potnya dan setiap kelompok akan mendapatkan tiga tanaman. Mereka hanya menggunakan daun dan batangnya saja, bagian lain dari tanaman itu tidak diperlukan. Proses pemotongan daun dan batang haruslah menggunakan pisau steril dan memilah daun yang tidak terlalu tua.
"Jangan dipotek pakai tangan, kau pikir ini sayur kangkung, hah!" teriak seorang gadis berkacamata di bangku belakang.
"Mana daun yang sudah kupotong?" tanya lelaki jubah Arevalous di bangku depan. "Hei, kenapa kau makan daunnya!"
Temannya yang memakan daun itu menyeringai kecil tanpa rasa bersalah. "Pantas kata profesor Solana, para monster suka tanaman ini, rasanya manis seperti permen."
Beralih kembali ke kelompok Aalisha yang berhasil memotong daun serta batang dan menaruhnya dalam wadah bersih. Mereka membuka halaman selanjutnya. Anila mulai menginstruksikan dengan membaca setiap kalimat di buku tersebut.
"Harus digeprek, kemudian direbus dengan air, jadi airnya yang digunakan."
Aalisha mengangguk setelah mendengar penjelasan Anila. "Geprek ya, biar kulakukan." Maka Aalisha sudah mengepalkan tangannya dengan bahan selanjutnya yaitu Uphrid yang siap untuk digeprek oleh Aalisha.
"Woy, woy, bukan pakai tangan!" cegat Mylo cepat.
"Jangan tangan, gunakan badan pisau untuk menggepreknya, kau ini," ucap Anila agak pasrah karena hampir saja gadis kecil itu menggunakan tangannya.
"Tenanglah aku hanya bercanda." Jelas saja Aalisha tahu jika melakukannya tidak menggunakan tangan, dia hanya sengaja membuat kedua manusia ini khawatir dan panik.
"Dasar kau ini, biar aku yang ambil alih," sahut Mylo menarik wadah berupa talenan putih bersih yang di atasnya ada sepuluh buah dari tanaman Uphrid.
Uphrid adalah nama tanaman yang menghasilkan buah berwarna cokelat dengan garis-garis hitam, bentuknya sedikit lonjong dengan besarnya seperti jari jempol orang dewasa. Rasa dari buah ini sepat sehingga hanya digunakan untuk membuat ramuan obat, tidak untuk dikonsumsi langsung apalagi dimakan begitu saja.
"Anila sekalian baca instruksi selanjutnya untuk kedua tanaman lain, kemudian kita bagi tugas biar lebih cepat," ujar Mylo sambil menggeprek buah Uphrid tersebut.
"Oh kau benar juga. Tanaman selanjutnya adalah Aeyegus, jadi harus ditumbuk atau dihaluskan hingga menjadi serbuk lalu diayak biar semakin halus. Terakhir ada, Klibe yang perlu dipotong tipis. Klibe ini dicampur paling terakhir."
Aeyegus adalah biji dari pohon Yegus yang punya manfaat seperti Ogriva Setriza. Pohon Yegus sebesar pohon cabai, kemudian berbuah sebesar buah rambutan dengan cangkangnya yang sangat keras, ketika dibelah, isi cangkang itu akan keluar biji yang bentuknya seperti ketumbar, biji-biji itu adalah Aeyegus yang berwarna hitam pekat dengan titik putih kecil di tengahnya. Sedangkan Klibe adalah tanaman berwarna hijau yang panjang seperti lidah buaya, tetapi tidak sekeras lidah buaya.
"Aku haluskan Aeyegus-nya," ujar Aalisha kemudian memasukkan semua biji Aeyegus ke dalam mortar lalu dihaluskan menggunakan alu. Anila juga sudah mulai memotong tipis Klibe.
Selanjutnya Mylo yang sudah selesai menggeprek buah Uphrid, kemudian mengambil beaker glass dan mengisinya dengan air hingga setengah beaker glass tersebut lalu memasukkan Uphrid ke dalamnya. Kini dia beralih mengambil kaki tiga—penyangga yang terbuat dari besi berfungsi untuk menyangga dalam proses pemanasan sampel—lalu dia menaruh kasa, semacam lapisan di atas kaki tiga.
Mylo mengedarkan penglihatannya. "Aalisha tolong ambilkan spiritus," ujarnya karena benda yang dia maksud berada di dekat Aalisha.
"Jauh," sahut Aalisha.
"Itu loh di sampingmu!"
Aalisha memutar bola matanya lalu mengambil spiritus yaitu cairan yang digunakan untuk membakar atau memanaskan sampel, di ujung botol spiritus ada sumbu yang harus dinyalakan dengan api baru spiritus itu bisa digunakan untuk membakar atau memanasi sampel.
"Makasih," ujar Mylo tanpa jawaban balik dari Aalisha. "Ada korek tidak?"
Kini giliran Anila beralih menatap Mylo, tanpa menyahut perkataan Mylo, gadis itu mendekatkan jari telunjuknya ke ujung sumbu spiritus. "Parivius Ignis." Maka sumbu tersebut terbakar dengan api kecil berkat mantranya.
Sontak Aalisha bertepuk tangan pelan, seolah-olah memuji. "Hebat. Kau tak bisa ya, Mylo?" ejeknya kemudian.
"Aku bisa. Aku hanya tidak kepikiran pakai mantra, kau sendiri emangnya bisa?" Mylo kesal karena sekali memasang wajah mengejek, gadis kecil ini benar-benar menusuk dan menyebalkan. Sepertinya wajahnya memang diciptakan untuk mengajak bertengkar terus.
"Tentu aku bisa," ujar Aalisha tak berbohong. "Tapi kalau kulakukan bukannya api kecil yang muncul, malah kebakaran. Mau coba?"
"Jangan!!!" sahut Mylo dan Anila bersamaan ketika Aalisha sudah mendekatkan jari telunjuknya ke sumbu spiritus yang ada api berpendar kecil di sana.
"Aku hanya bercanda," ujar Aalisha.
Sungguh dari mana bercandanya, wajah gadis kecil itu terlihat sangat serius! Anila dan Mylo hendak meneriaki hal itu, tetapi mereka mampu mengontrol emosi mereka.
Setelah Uphrid direbus menggunakan spiritus, Mylo mematikan apinya. Kini Aalisha juga selesai mengayak Aeyegus. Serta Anila sudah menyiapkan wadah berupa panci terbuat dari besi agak besar, api juga dinyalakan dengan mantra yang sama. Kemudian mereka mengisinya dengan air sebanyak setengah panci tersebut, lalu memasukkan Ogriva Setriza sambil diaduk.
"Langsung masukkan bahan lain juga?" tanya Mylo.
Anila berujar cepat. "Jangan! Kita harus ukur dulu seberapa banyak Uphrid yang harus dimasukkan, kalau enggak, bakal—"
Suara ledakan besar terdengar dari kelompok lain yang menyebabkan asap hitam membumbung ke udara dan kini wajah mereka jadi hitam terkena abu dari ledakan ramuan gagal. Tak hanya kelompok itu, tetapi kelompok lain, seperti Killian serta kelompok Frisca, Kennedy, serta Gilbert yang gagal juga.
Beberapa murid menertawakan murid lainnya karena wajah mereka menghitam seperti menggunakan arang sebagai bedak. Profesor Xerxes langsung berteriak dan suaranya menggelegar ke seisi ruangan. "Sudah kubilang, jangan langsung mencampurkan semua bahan! Kalian harus menakarnya dulu terutama air rebusan dari Uphrid! Lalu harus sesuai urutan dengan Aeyegus diakhir karena bahan itu yang menjadi penyempurna ramuan!"
"Profesor sudah kami takar sesuai panduan, tapi tetap gak berhasil!" teriak seorang murid yang ramuannya tidak meledak, tapi malah menggumpal hingga keras.
"Itu artinya proses awal kalian sudah salah! Perhatikan panduan lagi! Bah, kalian ini membuat sakit kepala saja!"
"Ya, jangan teriak-teriak kalau gak mau sakit kepala," ujar Aalisha yang langsung disenggol Anila dengan sikunya.
"Jangan bilang aneh-aneh, kau mau kita dihukum," bisik Anila yang tak tahu lagi bagaimana cara menghadapi Aalisha yang selalu spontan dan gamblang dalam berbicara.
"Segini larutan Uphrid-nya?" ujar Mylo memperlihatkan larutan tersebut yang ditakar menggunakan gelas ukur.
"I-iya, takarannya 23,5 mililiter terus nanti ditakar lagi, takarannya sama. Sampai tiga kali. Masukkan ke pancinya, satu-satu dengan jeda dua menit."
"Bulatkan saja gak sih jadi 25 mililiter?" ujar Aalisha.
"Mana bisa begitu! Kau mau membuat takaran sendiri! Salah dikit saja meledak apalagi kau bulatkan seenaknya!" balas Mylo jadi gemetar sambil menuang larutan tersebut perlahan ke panci.
"Aalisha tenang dulu ya, jangan aneh-aneh, nyawa dipertaruhkan di sini," ucap Anila menepuk pelan puncak kepala gadis kecil itu.
"Ya sudah," balas Aalisha lalu merapikan rambutnya yang kemungkinan berantakan karena Anila. Kini dia menatap pada panci hitam di sana, dia yakin, pasti ramuannya akan meledak.
Detik demi detik berjalan. Beberapa kelompok sudah banyak yang gagal, jika tidak karena ramuan mereka menjadi sekeras baru, ya tentu saja meledak. Namun, beberapa kelompok tentu saja berhasil terutama garis cabang Nerezza yang di sana karena memang keahliannya dalam membuat ramuan. Profesor Xerxes lebih banyak menggeleng dan sakit kepalanya bertambah karena angkatan tahun ini lebih parah dari angkatan sebelumnya. Sudahlah, tak masalah, masih praktikum pertama. Jika praktikumnya selanjutnya masih sehancur ini maka Xerxes akan menghukum satu angkatan!
Semetara itu, di kelompok Aalisha, akhirnya sampai pada satu bahan terakhir untuk menyempurnakan ramuan mereka. Gadis kecil itu menatap pada orang-orang di sekitarnya yang menjauh darinya serta ramuan di depannya yang terlihat mendidih serta mengeluarkan cairan hijau yang aneh.
"Kau yakin Aalisha? Aku tak yakin," ujar Anila yang tidak berani karena tinggal bahan terakhir yang harus dimasukkan yaitu Aeyegus sedangkan kondisi ramuannya saat ini tidak meyakinkan.
"Hei, tadi ramuan kami juga begitu setelah dimasukkan Aeyegus malah meledak," sahut gadis dengan rambut merah mencapai bahu. Dia dan kelompoknya berada di sebelah kelompok Aalisha serta sudah gagal karena ramuan mereka meledak.
"Kurasa kita akan gagal juga, aku takut, bisakah tidak usah dimasukkan bahannya, sudah pasti akan meledak itu," tutur Mylo yang dia sadari jika beberapa murid menatap pada Aalisha karena penasaran dengan hasilnya.
Aalisha tak peduli dengan perkataan manusia di belakangnya maupun segala jenis tatapan dari murid-murid lain di sebelah kanannya. Dicoba atau tidak, hasilnya pasti sama karena akan meledak. Sejak awal sudah ada tahap yang salah dari pembuatan ramuan ini, tetapi Aalisha tidak menemukan titik kesalahan itu. Kira-kira apa ya, Aalisha masih memikirkannya hingga detik ini.
Dari sekian banyaknya kelompok di kelas ini, hanya sekitar enam kelompok yang berhasil termasuk kelompok garis cabang Nerezza. Itu pun, ramuannya tidak sempurna karena efek penyembuhannya sangat lambat ketika diperiksa profesor Xerxes.
"Sudahlah, aku malas memikirkannya," ujar Aalisha pasrah lalu mengambil Aeyegus yang sudah ditakar sebelumnya kemudian perlahan dia masukkan ke dalam panci yang cairan kehijauan keluar dari panci itu.
Para murid di belakang Aalisha sontak melindungi wajah mereka menggunakan tangan karena bersiap untuk ledakan lagi. Sedangkan Aalisha menutup matanya dan memalingkan wajah karena tak mau ledakan langsung mengenai wajahnya. Namun, hingga lima detik berlalu ledakan tak terjadi sama sekali. Membuat Aalisha tersenyum sumringah berangsur menatap Anila dan Mylo.
"Kurasa ramuannya berhasil," ungkap Aalisha dan Mylo sontak bersorak dengan tangan yang dia angkat ke atas.
"Yas!!! Kita berhasil!" teriaknya.
Aalisha merasa Mylo sangat alay jadi dia beralih kembali pada ramuan tersebut yang malah menghasilkan bau aneh dengan asap mulai keluar melalui samping atas panci. Manik matanya membulat dan tanpa persiapan apa pun, ledakan terjadi yang menyebabkan wajah Aalisha menghitam serta pakaiannya kotor.
"Aalisha kau baik-baik saja!" teriak Anila segera mendekati sahabatnya.
"Ternyata tetap meledak! Aalisha maaf, kau jadi terkena ledakannya dan wajahmu ... jadi hitam." Mylo menyahut.
Aalisha menghela napas panjang yang membuat serbuk hitam di dekat hidungnya jadi terbang. Dia kemudian membersihkan serbuk hitam di sekitar matanya dengan lengan seragamnya. "Aku izin ke toilet."
"Perlu ditemani?" tanya Anila.
"Tidak, aku bisa sendiri. Kalian di sini saja mendengar penjelasan dan ocehan profesor Xerxes." Gadis itu tak perlu menunggu sahutan Anila, dia menuruni tangga tribune kelas itu, meminta izin pada profesor Xerxes kemudian bergegas pergi ke toilet.
****
Aalisha terpaksa pergi ke toilet yang jauh karena toilet dekat sini, penuh dengan murid di kelas ramuan juga, akibat ledakan ramuan. Sungguh Aalisha heran, kenapa mereka lebih memilih mengantre? Aalisha paling enggan menunggu lama.
Berjalan di koridor dengan wajah agak hitam serta jubah kotor membuat perhatian semakin tertuju padanya. Para kakak tingkat yang tadinya sedang berdiskusi perihal tugas, kini menyempatkan diri untuk melirik pada Aalisha. Ada yang terkekeh kecil secara terang-terangan atau berusaha untuk tidak tertawa sebelum Aalisha menjauh dari mereka. Para kakak tingkat yang melewati koridor juga, tidak bisa tidak menatap pada Aalisha. Lagi pula siapa yang tidak akan melirik atau memperhatikan seseorang yang wajahnya terkena ledakan ramuan sehingga menghitam serta pakaiannya kotor? Kini Aalisha paham mengapa pada murid di kelasnya lebih memilih mengantre panjang dari pada pergi ke toilet lain.
Sayangnya, Aalisha adalah manusia yang seorang Majestic Families saja dia tantang jadi tatapan manusia lain hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Bahkan tak mengusiknya sama sekali.
Toilet yang Aalisha tuju benar-benar jauh, dia sengaja juga memilih toilet ini agar ketika sampai di kelas, waktu pelajarannya sudah selesai dan dia tak perlu mendengar ocehan profesor Xerxes.
Masuk ke toilet yang sepi itu, pintunya terbuka dengan sendirinya. Lalu kursi kecil yang menjadi pijakan para murid yang tidak sampai ke wastafel, bergerak sendiri dan kini berada di dekat kaki Aalisha. Gadis itu berpijak pada kursi kecil tersebut. Keran wastafel terbuka tanpa dia sentuh dan gadis itu lekas membasuh wajahnya. Merasa sudah menghilangkan kotoran hitam di wajahnya, Aalisha memunculkan invinirium lalu mengambil handuk putih untuk mengeringkan wajah.
Kini Aalisha melihat pantulan cermin, manik mata hitamnya itu menatap dengan sangat tajam, ketika sekelebat bayangan hitam di cermin menghilang. Aalisha lalu menarik senyumannya. "Hari yang melelahkan."
Aalisha menggenggam handuk putih yang kini sedikit hitam. Perlahan cahaya kebiruan muncul menyelimuti handuknya yang tetesan air mulai jatuh. Handuknya seolah-olah mencair hingga benar-benar menjadi air, maka Aalisha lepaskan genggamannya pada handuk yang telah berubah menjadi air sepenuhnya lalu jatuh ke wastafel dan mengalir ke lubang pembuangan.
Gadis itu turun dari kursi dan pergi dari toilet. Bagi Aalisha, dia sudah terbiasa membuang barang-barang dengan mudahnya. Aalisha yakin jika semua makhluk hidup pasti tahu jika sesuatu yang tidak diperlukan lagi haruslah dibuang atau disingkirkan, benar bukan?
****
Aalisha kini berada di sebelah timur laut Akademi karena lebih cepat melewati jalan di luar kastil dibandingkan menyusuri koridor yang memusingkan dan berkelok-kelok. Berjalan di sini, tidak ditemukan seorang murid pun kemungkinan karena rata-rata masih jam pelajaran jadi Aalisha semakin memperlambat langkahnya karena tidak mau cepat kembali ke kelas.
Berada di area akademi ini, Aalisha melihat ada tanaman dandelion di pinggir. Senyuman gadis itu terbentuk manis karena Aalisha paling menyukai tanaman dandelion, bahkan lebih dia suka dibandingkan tanaman hyacinth yang ada di asramanya. Kenapa dia baru tahu ya? Sungguh akademi ini terlalu luas sehingga banyak hal belum diketahui olehnya lagian area sini jarang sekali dia lalui.
Langkahnya terhenti sempurna dengan manik mata membulat seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Kini Aalisha ingat, satu kastil yang belum dikunjungi dan terletak di timur laut (northeast). Kastil itu adalah kastil asrama Gwenaelle. Jarak asrama ke gerbang bagian utara akademi sekitar 123 meter, sedangkan jarak ke gerbang sebelah timur sekitar 220 meter.
Jika kastil Arevalous dipenuhi bunga hyacinth maka di sekitar jalan setapak menuju kastil Gwenaelle dipenuhi bunga dandelion. Tanpa pikir panjang Aalisha melangkah menuju bunga-bunga dandelion yang katanya, bunga di sini takkan pernah habis, jika ada yang mati atau dicabut maka bunga baru akan segera tumbuh. Di cuaca buruk pun bunga-bunga ini akan tetap tubuh. Itulah kehebatan dandelion milik akademi Eidothea.
Gadis kecil itu sudah berada di tengah-tengah bunga dandelion. Dia kemudian berjongkok, tidak duduk di sana. Mengabaikan pakaiannya yang bisa saja kotor. Dia lalu memetik satu tangkai bunga dandelion itu. Sesaat Aalisha memejamkan matanya dengan bunga dandelion tepat di depan wajahnya.
Detik itu, Aalisha terbawa ke ingatan masa lalunya, tentang hamparan padang rumput yang luas dan hijau. Angin berembus membelai rambutnya yang panjang. Aroma segar tanpa polusi memasuki penciumannya, begitu asri. Aalisha bahagia ketika menyusuri padang rerumputan hijau itu hingga langkahnya terhenti ketika melihat yang lebih indah. Lautan bunga dandelion yang sangat membuatnya takjub. Terutama seseorang yang berdiri di tengah-tengah lautan dandelion itu, tangannya membawa mahkota yang dirangkai dari ranting, dedaunan, serta bunga-bunga yang indah.
Aalisha berlari menuju seseorang itu yang menaruh perlahan mahkota tersebut di atas kepalanya, sosoknya berujar dengan sangat lembut dan menenangkan. Senyuman sosok itu terukir begitu indah. Sebuah senyuman yang sangat Aalisha rindukan.
Perlahan Aalisha membuka matanya lalu meniup dandelion di depannya hingga berterbangan bersamaan dandelion lain yang berterbangan juga karena tertiup angin. Tidak terbesit kesedihan sedikit pun meski Aalisha teringat dengan kenangan yang paling dia cintai sekaligus menyakitkan.
Tidak boleh menangis, aku diajarkan untuk tak menangis bahkan ketika melihat kematian seseorang, maka Aalisha kembali merapalkan kalimat yang selalu diucapkannya sejak kecil.
Aalisha akhirnya meluruskan kakinya serta meregangkan otot-ototnya, lalu menjadikan kedua tangannya sebagai tumpuan di belakang. Gadis itu menyadari keunikan asrama Gwenaelle ini.
Berada di area depan asrama, terdapat patung yang menjulang tinggi dan cukup mengerikan bagi penghuni asrama lain, tetapi sudah biasa untuk anak-anak asrama Gwenaelle bahkan mereka sangat menyukai desain patung tersebut yang seolah menggambarkan mereka.
Patung itu adalah patung Dewa yang kedua matanya tertutupi ular dengan di belakang kepalanya terdapat bundaran besar, biasa disebut pentagram sihir. Tubuhnya diselimuti jubah dan menjuntai ke bawah hingga tak terlihat kakinya. Hal yang membuatnya semakin mengerikan karena patung itu memiliki memiliki empat tangan: Tangan kanan atas, membawa tombak yang menghadap ke langit. Tangan kanan bawah, membawa lentera. Tangan kiri atas, mengangkat kepala dari iblis kuno yang diketahui menjadi salah satu iblis terkuat pada zaman dulu. Tangan kiri bawah, membawa buku besar yang terbuka. Berada di dekat kaki patung tersebut, terdapat perisai besar yang tengahnya terukir burung Phoenix.
Hendak memasuki pintu asrama, terdapat dua patung naga berdiri gagah yang menghiasi kedua sisi dari pintu. Naga itu merupakan salah satu naga kuno yang sangat kuat.
"Oh hei kucing manis, kau datang dari mana?" ujar Aalisha menggendong kucing yang berbulu putih bersih dengan mata biru. Lalu dia taruh kucing itu di atas pahanya sambil dielus pelan.
"Di mana keluargamu? Atau kau sedang bermain-main kemudian tersesat hingga kemari?"
Kucing itu terlihat menggeleng pelan kemudian mengeong dan menatap Aalisha. "Kau pasti kucing nakal yang menyusahkan ayah ibumu terus. Yah, tapi di sini saja denganku sampai mereka datang mencarimu." Maka Aalisha merebahkan tubuhnya di atas dandelion dengan kucing putih itu berada di sekitar perut dan dadanya. Terlihat si kucing sangat menyukai Aalisha terutama ketika gadis itu membelai pelan bulunya.
"Kucing-kucing di sini sangat menyukai dandelion, jadi tidak mengherankan jika kau menemukan satu atau lebih para kucing yang bermain maupun berlari ke sana-kemari."
Baru saja Aalisha hendak memejamkan mata, penjelasan panjang itu terdengar dari pria tua dengan pakaian ungu-biru yang kini berdiri di jalan setapak menuju asrama Gwenaelle. Sontak saja Aalisha bangkit dari posisinya dan menatap tak menyangka pada pria yang kini tersenyum lembut pada Aalisha. "Profesor Eugenius," ucap Aalisha, "salam Profesor."
"Harusnya kau berbaring saja, aku tak masalah," sahut profesor Eugenius sambil memperbaiki posisi kacamatanya yang agak melorot.
"Apa Anda sejak tadi di sini? Apa aku tak melihat Anda lagi?" Aalisha agak panik dan juga terkejut pasalnya pria ini selalu muncul tiba-tiba di waktu yang kurang tepat. Lalu apa katanya tadi? Berbaring saja, bukankah tak sopan jika Aalisha berbaring sedangkan ada pria tua berdiri di dekatnya.
Profesor Eugenius menggeleng. "Tenanglah, aku baru saja ke sini ketika melihatmu sedang berbicara dengan seekor kucing."
Oh Dewa sungguh memalukan! Aku benar-benar memalukan! Wajah Aalisha sontak memerah padam dan dia agak menunduk karena sangat malu.
"Jangan dipikirkan perkataanku tadi, aku tak benar-benar mendengar apa yang kau bicarakan dengan kucing itu."
Kenapa malah diperjelas!! Semakin saja wajah Aalisha memerah dan dia hendak sekali berteriak, tetapi dia tahan karena di depannya adalah profesor Eugenius. Jika master Arthur, pasti sudah dia maki berkali-kali.
"Bukankah harusnya kau ada di kelas ramuan? Kudengar toilet penuh karena murid-murid harus mencuci wajah mereka yang terkena ledakan ramuan," ujar profesor Eugenius.
"Itulah yang sedang kulakukan, maksudku, ledakan juga terjadi dan wajahku tadi menghitam jadi aku pergi ke toilet yang agak jauh, habisnya toilet dekat kelas penuh. Lalu aku mencari jalan lain dan menemukan dandelion ini."
Dua kali anggukan kepala yang Aalisha lihat dari pria ini. "Tak masalah, satu, dua kali bolos bukanlah dosa besar, tapi jangan jadikan kebiasaan."
"Aku tak bolos, kelasnya juga sebentar lagi selesai," cicit Aalisha agak cemberut karena dia tak suka dianggap pembolos.
"Baiklah, aku paham, aku paham. Dulu sewaktu seumuranmu, aku sering menggunakan alasan seperti itu ketika tertangkap basah para pengajar karena membolos."
"Ternyata Anda dulu pernah nakal juga."
"Ya, aku pernah membuat seekor naga lepas dari kandangnya agar tidak ada ujian pengambilan nilai teknik berpedang."
Aalisha terkekeh kecil membayangkan hal itu terjadi, pasti seheboh kejadian binatang magis mengamuk sekitar seminggu lalu. "Apa Anda juga menyukai dandelion?"
"Tentu saja, aku menyukai banyak tanaman dan bunga, terkecuali yang berbau aneh atau terlalu menyengat." Profesor Eugenius melihat Aalisha yang sedang menatap patung Dewa di halaman depan asrama Gwenaelle. "Apa kau tahu, kalau sebelum memasuki akademi ini, setiap murid sudah ditentukan akan masuk asrama apa, sesuai dengan kepribadian mereka."
"Benarkah, kupikir pihak akademi asal menempatkan para murid saja?"
"Sebenarnya tidak ketat mengenai seleksi asrama, tetapi para murid sebisa mungkin kami tempatkan di asrama yang sesuai dengan kepribadian mereka. Mungkin sulit untuk membedakan secara detail karena setiap murid punya sifat uniknya." Profesor Eugenius memetik satu tangkai dandelion. "Sylvester dikenal dengan murid yang punya kecerdasan dalam bidang akademik serta cenderung punya sifat yang baik hati."
"Ahhh pantas saja Kennedy masuk Sylvester, tapi kenapa Anila tidak masuk sana, kan dia cerdas juga."
"Kennedy Cymphonique dan Anila Andromeda memanglah cerdas, tetapi ditempatkan dalam asrama tidak sepintas dari melihat kecerdasan, masih banyak penilaian lainnya. Menurutmu meskipun keduanya cerdas, mereka sama-sama punya perbedaan 'kan? Bagiku Andromeda itu punya sifat pemberani dan nekat."
Aalisha menganggap lalu berujar, "atas itulah ada Majestic Families dalam satu asrama yang sama? Padahal mereka bagusnya dipisahkan karena akan sulit jika terjadi pertengkaran antara keduanya." Majestic Families yang Aalisha maksudkan adalah Eloise Clemence dan Nicaise Von Havardur yang sama-sama di asrama Faelyn.
"Tentu saja, tapi kalau kau perhatikan. Tuan Nicaise lebih menganggap tuan Athreus sebagai saingan dibanding nona Eloise."
Sebenarnya informasi itu tidak berguna sama sekali, batin Aalisha tak tega mengucapkannya.
"Yah, kau pasti tak butuh informasi itu karena kau tak menyukai para Majestic Families," sambung profesor Eugenius yang membuat Aalisha terdiam bagaikan patung.
Sialan, mengapa pria tua itu seolah bisa membaca isi hati Aalisha?!
"Bagaimana denganku?" Aalisha lekas mengalihkan topik. "Mengapa aku ditempatkan di Arevalous?"
"Aku takkan memberitahumu karena tidak seru jika kau tahu begitu saja, jadi perhatikan dan pahami, alasan mengapa kau berada di Arevalous."
Aalisha langsung cemberut dengan menatap tajam pada profesor Eugenius. Bisa-bisanya dia disuruh memahami padahal ada cara mudah dengan mengatakan secara langsung. "Baiklah aku terima tantangan Anda."
"Kau benar-benar gadis yang tak mau kalah ya," sahutnya.
Aalisha tak menggubris, dia kembali membelai pelan bulu halus kucing yang kini tertidur di pangkuannya. Dua detik setelahnya, Aalisha merasa ada yang menggelitik hidungnya hingga akhirnya gadis itu bersin. Air matanya juga menetes karena bersin. Baru hendak dia seka air matanya dengan lengan seragam, tiba-tiba profesor Eugenius menyodorkan sapu tangan berwarna biru.
"Tidak perlu profesor," sahut Aalisha.
"Tak masalah, aku punya banyak. Lagian, ini salah satu sapu tangan rajut dari murid-murid akademi Eidothea ini," jelasnya dan mau tidak mau Aalisha meraih sapu tangan tersebut yang ternyata ada lambang Eidothea di ujungnya.
"Terima kasih, akan kukembalikan besok setelah kucuci." Sungguh padahal Aalisha enggan melakukannya. Dia berniat untuk membuang sapu tangan ini setelah digunakan, tetapi karena milik profesornya, jadi terpaksa Aalisha mengatakan kalimat itu.
"Tidak perlu, aku berikan padamu jadi jagalah dengan baik."
Aalisha jadi bingung hendak apa, tetapi jika profesor Eugenius berkata begitu maka Aalisha tidak perlu susah-susah untuk mencuci dan menyimpannya karena tinggal Aalisha bakar. "Anda bilang, ini rajutan murid sini? Mengapa dia merajut sapu tangan?"
"Sebenarnya ada ekstrakulikuler merajut, lalu waktu itu, mereka ada acara mengajari murid lain yang hendak merajut maka dia ikut juga."
"Boleh aku tahu siapa yang merajutnya?"
Profesor Eugenius tersenyum simpul. "Akan kuberitahu asal kau janji menjaga sapu tangan itu, kan sayang, capek-capek dirajut malah kau buang atau kau bakar."
Sudah cukup, apakah profesornya ini mampu membaca pikiran? Sejak tadi perkataannya selalu berhasil membuat Aalisha terdiam seketika. "Akan kupikirkan setelah mendengar namanya."
"Tak masalah."
Maka perlahan profesor Eugenius membungkuk dan mendekat wajahnya ke samping telinga Aalisha lalu berbisik pelan, mengatakan nama pemilik yang merajut sapu tangan tersebut.
Kini Aalisha meremas sapu tangan itu dan tanpa dia sadari, air matanya menetes. Lekas Aalisha meyakinkan dirinya untuk tidak boleh menangis dengan mengucapkan di dalam hati, kalimat yang sejak kecil dia katakan. Aalisha bahkan mencubit pahanya dengan kuat hingga memerah agar air matanya tidak turun. Cara itu berhasil dan Aalisha mampu mengontrol emosinya.
Profesor Eugenius yang menyadari sikap Aalisha, perlahan telapak tangannya bergerak lalu mengelus puncak kepala gadis itu sambil berujar, "jaga dirimu ya, banyak-banyak makan terus jangan terlalu memaksakan diri. Sampai bertemu lagi, Nona Aalisha."
Menatap kepergian profesor Eugenius. Aalisha lalu menyentuh puncak kepalanya yang masih tersalur ketenangan dan kehangatan dari telapak tangan profesornya. Sayang sekali, gadis itu tak menangis bahkan terharu sedikit pun. Dia benar-benar sempurna mengontrol kesedihannya agar tak diketahui siapa pun. Begitulah Aalisha yang menganggap kesedihan adalah kelemahan dan kelemahan adalah kutukan dalam hidupnya.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Hola, akhirnya bisa berada di kelas Ramuan lagi. Meski menjadi kelas yang sangat berbahaya, tetapi kelas ini begitu populer setelah Kelas Latih Pedang dan Kelas Sihir dan Mantra Dasar.
Jika kalian jadi murid Eidothea, kira-kira kelas apa yang menjadi favorit kalian?
Kemudian sekali lagi ada interaksi antara Aalisha dengan Profesor Eugenius, salah satu interaksi yang setiap gue tulis selalu penuh pemaknaan dan emosional---sedikit rahasia juga.
Lalu teruntuk Aalisha, kenapa lo nangis?
Trivia: Bangunan atau kastil akademi Eidothea sangat lah besar, tetapi di dalam bangunan akan lebih besar dan luas lagi, sehingga berkali-kali lipat dibandingkan terlihat dari luar, hal ini karena bangunannya diselubungi kekuatan sihir. Atas inilah masih banyak murid yang suka tersesat di dalam kastil akademi.
Prins Llumière
Minggu, 27 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top