Chapter 35
❗ Chapter ini mengandung adegan berdarah, mohon pembaca bijak
Hanya tertinggal enam murid dan di antaranya adalah Aalisha jadi kini gilirannya. Dia menuju Tinnezs yang menunggunya seolah kuda itu sudah tidak sabar untuk berkelana dengan Aalisha. Perlahan gadis itu menginjak stirrup lalu menaiki kuda cokelat itu dengan mudahnya tanpa hambatan sedikit pun. Tuan Howard mengangguk sesaat karena tak menyangka jika gadis itu melakukannya dengan mudah habisnya beberapa murid perempuan tadi agak kesusahan menaiki kuda, mungkinkah gadis itu sudah biasa menunggangi kuda? Apalagi Tinnezs menyukainya.
"Baiklah, kalian berdua siap? Pelan-pelan saja jika belum mahir atau merasa takut karena ini masih latihan pertama," ujar tuan Howard.
"Siap Master," sahut lelaki yang berasal dari asrama Faelyn sedangkan Aalisha tidak menyahut apa pun dan hanya menggenggam erat tali less kudanya.
"Dalam hitungan, tiga, dua, satu!"
Maka keduanya mulai memacu sang kuda, lelaki asrama Faelyn dengan mudah menunggangi dan mengarahkan kudanya tersebut. Begitu juga dengan Aalisha yang terlihat mahir dan tak kesusahan, tetapi dia membawanya tidak sekencang yang lain. Hingga sampai di bendera, lelaki asrama Faelyn memutar balik kudanya lalu dua detik selanjutnya Alaisha juga sampai dan hendak berputar balik juga. Namun, tiba-tiba Tinnezs berhenti mendadak, malah meringkik nyaring.
"Tinnezs," ujar Aalisha mengeratkan genggaman tali lessnya, mencoba mengendalikan Tinnezs, tetapi kuda itu semakin meringkik bahkan bergerak tak beraturan hingga mengangkat kedua kaki depannya. Suara Tinnezs semakin kencang.
"Apa yang terjadi di sana!" teriak Frisca bersamaan lelaki Faelyn baru sampai ke titik semula, dia menoleh ke belakang, melihat Aalisha yang masih di dekat bendera berusaha mengendalikan kudanya.
"Master Howard, ada apa dengan kudanya?!" ucap Anila, lekas tuan Howard berlari menuju Aalisha.
"Sialan, apa kudanya hilang kendali, bukankah tadi biasa saja!" teriak Mylo.
"Nona Aalisha!" teriak tuan Howard, "turun dari sana!"
Aalisha menggeram kesal, Tinnezs sama sekali tidak mau diam, masih meringkik seolah dia sedang ketakutan jadi tak ada pilihan, Aalisha harus turun atau melompat dari kuda itu. Hanya saja, Aalisha melihat dengan sendirinya jika tali less yang dia genggam ini, tiba-tiba bergerak dan menjerat seluruh lengan kanannya seolah terpengaruh sihir.
"Sialan," gumam gadis itu, "Tinnezs!!"
Seketika Tinnezs meringkik nyaring lalu mencongklang tak terkendali. Aalisha terpaksa melompat dari sana. Namun, hidupnya begitu sial karena kini tidak hanya tangannya yang terjerat, melainkan kaki kanannya yang terjerat tali less kiri.
Hal itu sukses membuat tubuh Aalisha membentur tanah, dia berhasil melindungi kepalanya dengan tangan kiri yang menyebabkan tangan kirinya terasa begitu sakit seolah tulangnya bersinggungan dan kini retak. Tinnezs semakin mencongklang, menyeret tubuh Aalisha, menyebabkan punggungnya terutama bagian kiri tergores hingga terluka parah.
"Sialan, Tinnezs!"
Entah berapa kali Aalisha berteriak sakit, seragamnya sobek akibat bergesekan dengan batu, kerikil, ranting, serta tanah. Kini darah keluar dari luka-lukanya yang makin terseret, makin parah hingga kulitnya terkoyak dan rasa perih tak tertahankan menyeruak ke tubuhnya. Dia juga harus melindungi wajahnya karena Tinnezs berlari menuju semak-semak berduri, membuat wajah Aalisha ikutan tergores; pipi kanan, kiri, pelipis, bahkan lehernya yang kini dari goresan luka itu mengeluarkan darah
"Tinnezs berhenti! Kumohon!"
Aalisha berusaha meraih tali less dengan tangan kirinya, tetapi baru hendak diraih. Tinnezs tiba-tiba berbelok yang menyebabkan dia gagal. Hampir kepalanya membentur batu jika tidak dilindungi dengan tangan kirinya. Namun, naasnya, tangan kiri Aalisha bergesekan keras dengan batu itu menyebabkan darah semakin banyak mengucur dari tangannya. Sudah tidak perlu dipertanyakan seragam yang ia kenakan karena sebagian sudah sobek.
"Tinnezs kendalikan—" Matanya membulat, mulutnya terkatup rapat, giginya gemeretak.
Gadis itu akhirnya sadar ketika menatap ke atas punggung Tinnezs. Kuda itu bukan lepas kendali begitu saja atau sengaja membuat nyawa Alaisha terancam, tetapi seseorang yang menunggangi dan mengendalikan Tinnezs adalah sumber dari semua masalah ini.
"Finnicus!! Hentikan kuda ini sekarang juga!" teriak Aalisha, perlahan Finnicus menampakkan dirinya. "Dasar kau Orly bajingan!!"
"Wah, wah, kau tahu jika ini aku, tak kusangka manusia kasta bawah sepertimu punya kecerdasan juga." Finnicus tersenyum pada Aalisha, tetapi sama sekali tidak menyahut teriakan gadis kecil itu.
"Finnicus, kubunuh kau, dasar Orly gila!" teriak Aalisha masih berusaha meraih tali less.
"Kau takkan mampu bahkan seribu tahun ke depan sekali pun!" Finnicus semakin memacu Tinnezs, tidak jauh dari mereka, ada patung terbuat dari batu, maka dengan sengaja Finnicus memacu pada patung besar tersebut. Ketika jarak mereka semakin tipis, lekas Finnicus menarik tali less lalu kuda ini berbelok tajam yang menyebabkan tubuh Aalisha menabrak keras patung itu hingga hancur. Darah mengucur dari kepala Aalisha meski tak banyak, tetapi gadis itu merasakan jika tubuhnya remuk. Belum usai, kini Finnicus memacu pada vas bunga besar terbuat dari kaca, berhasil lagi tubuh Aalisha menghantam vas bunga tersebut yang menyebabkan pecahan kacanya menusuk pahanya serta lengan kirinya karena melindungi kepalanya.
"Kau senang dan menikmati perjalanan kuda ini 'kan? Mari kubawa ke tempat favorit masterku," ujar Finnicus semakin kencang memacu kuda tersebut hingga mereka menuju jalan ke salah satu tempat pelatihan pedang.
Aalisha yang sudah merasa tubuhnya terluka, terkoyak, sobek, perih bahkan hancur serta kepalanya berdenyut sakit. Dia bisa saja membuang kesadarannya dan pingsan, pandangannya saja mulai buram, tetapi ia harus berusaha terjaga jika tidak Finnicus akan benar-benar membunuhnya. Kini dengan kesadaran yang tersisa, ia perlahan menatap ke sekitar. Dia tidak pernah kemari, tetapi dia tahu tempat apa ini. Ada beberapa boneka kayu yang biasanya menjadi target dalam berlatih menggunakan pedang, lalu papan bulat yang merupakan target latihan panah. Dia juga melihat beberapa pedang tipe biasa di rak penyangga kayu.
"Finnicus!" teriak Alaisha kembali.
Orly itu sama sekali tak peduli jadi dia memacu kuda ini ke gudang penyimpanan senjata. Senyuman Finnicus terukir lebar ketika melihat ada tumpukan tombak tajam berada di rak penyimpanan. Maka dengan sihirnya, dia membuat tombak-tombak itu terbang lalu ujung tombaknya berada di posisi tepat menghadap ke arah dirinya, Tinnezs, dan juga Aalisha. Tombak-tombak itu siap menusuk tubuh seorang gadis yang terseret kuda.
"Gila, kau mau membunuhku?!" teriak Aalisha langsung sadar akan rencana apa yang Finnicus hendak lakukan.
Perlahan Finnicus berdiri di atas kuda tersebut. Membersihkan debu di pakaiannya, lalu tangan kanannya diangkat ke atas, diayunkan ke bawah lalu beralih ke dada kirinya sambil dia membungkuk untuk memberikan penghormatan.
"Nikmati pertunjukannya ...." Perlahan tubuh Finnicus menghilang, tetapi sebelum itu, dia mengatakan sesuatu untuk Aalisha. "Manusia kasta bawah yang mati atau hidup takkan ada yang peduli, karena dunia, tak membutuhkan manusia sepertimu."
Maka Finnicus menghilang dari sana, meninggalkan Aalisha yang masih terseret sedangkan Tinnezs tetap berlari kencang menuju tombak-tombak tajam itu.
Aalisha menatap tombak-tombak yang masih senantiasa melayang, mengarah padanya, artinya Finnicus masih di sekitar sini karena sihirnya masih aktif. Jadi dia mencoba meraih tali lessnya lagi, tetapi gagal. Dicoba lagi, tetapi gagal lagi karena tubuhnya sudah mati rasa. Deru napasnya tak beraturan, pandangannya semakin buram. Namun, tak mau menyerah, meskipun tangannya terasa sangat sakit, dia kembali mencoba hingga akhirnya berhasil, Aalisha langsung menarik kuat tali tersebut agar menghentikan Tinnezs. "Ayolah berhenti!"
Suara ringkikan kuda terdengar keras. Deru napas Aalisha yang tak beraturan itu juga ikut terdengar. Keringatnya menetes bersama-sama dengan darah menetes dari punggung, tangan kirinya, begitu juga paha. Lalu dia melepaskan genggamannya pada tali less karena berhasil menghentikan Tinnezs sebelum kuda itu dan dirinya menerjang ke arah tombak-tombak tajam.
Ya, Aalisha berhasil selamat dari maut.
Berada di atap gudang penyimpanan senjata, Finnicus berdecak sebal karena semua rencananya gagal. Sebenarnya sejak awal dia tak berniat membuat tubuh gadis itu tertusuk tombak. Dia hanya ingin menakuti gadis itu, jika pun Aalisha benar-benar akan tertusuk tombak maka Finnicus akan mengangkat tombak tersebut, tetapi Aalisha malah berhasil menghentikan kudanya. Sayang sekali, Finnicus begitu kecewa.
"Gadis yang malang." Jentikan jari terdengar, tombak-tombak itu berjatuhan ke tanah dan Finnicus benar-benar menghilang dari sana.
Berselang satu menit setelah kepergian Finnicus, tuan Howard datang dengan menaiki Jason si kuda hitam. "Oh Dewa, Nona Aalisha!" teriak tuan Howard turun dari kudanya.
Kuda putih tak lama datang juga. Di atasnya ada Mylo dan Anila. Melihat keadaan mengenaskan Aalisha, sontak Anila berteriak, langsung turun dari kuda, berlari ke arah sahabatnya itu. "Master Howard, Aalisha ...."
"Akan kubawa dia ke rumah sakit." Master Howard menggendong tubuh Aalisha yang sudah dilepaskan dari jeratan tali less di kaki dan tangan kanannya. Aalisha di dudukan di atas kuda, lalu master Howard naik ke kudanya dan memacu kencang menuju rumah sakit akademi.
"Mylo cepatlah, kita juga harus ke rumah sakit!" teriak Anila.
"Tolong tunggu sebentar, dengarkan aku dulu."
"Apalagi?!!"
"Aku melihat seseorang di atas gudang penyimpanan itu." Mylo menunjuk pada atap gudang penyimpanan.
"Apa?"
"Kurasa tadi itu manusia, entahlah, mungkin juga Orly, tapi aku lebih yakin jika dia manusia."
Anila hanya terdiam dengan memasang ekspresi yang tak dapat didefinisikan. Tangannya mengepal dengan kuat. Tatapannya begitu mengerikan seolah Anila sangat marah, tetapi di sisi lain juga merasa sangat kasihan. Mylo yang melihat ekspresi wajah Anila, kembali berujar, "ini bukan hal normal 'kan? Anila kurasa ada seseorang—"
"Mylo, prioritas kita adalah Aalisha, kita harus segera menemuinya."
"Baiklah kau benar. Ayo kita temui dia." Maka Mylo segera memacu kudanya menuju rumah sakit.
****
Berada di ruangan yang menjadi salah satu ruangan di menara rumah sakit akademi, Aalisha diobati oleh dua perawat perempuan yang mengenakan pakaian putih. Sudah setengah jam berlalu sejak kejadian terseret kuda dan Aalisha masih perlu diobati. Tidak dia sangka jika proses pengobatannya cukup lama dan memerlukan banyak langkah. Pengobatan pertama tadi, Aalisha diminta meminum obat pereda nyeri lalu dia diobati dengan dituangkan cairan dalam botol elixir, sungguh tadi itu Aalisha benar-benar menjerit kesakitan. Belum usai, para perawat melakukan pengobatan kedua yaitu dengan sihir. Aalisha harus membuka seragam bagian atasnya jadi ranjangnya serta di sekitar Aalisha dipasang tirai putih sebagai penutup.
Sekitar punggung Aalisha benar-benar terluka parah, tangan kirinya juga sama, lalu pahanya yang terkena pecahan kaca sangatlah mengenaskan. Di saat pengobatan kedua ini, Anila dan Mylo tiba, sukses saja Aalisha berteriak sambil melempar bantal di dekatnya ke wajah Mylo karena lelaki itu seenaknya masuk padahal sudah diberi tirai sebagai penanda kalau kaum adam dilarang masuk atau mudahnya, sedang ada area khusus wanita.
"Maaf, maaf, aku akan keluar!" teriak Mylo keluar dari tirai putih sambil membawa bantal.
Setelah melakukan pengobatan kedua, maka pengobatan ketiga para perawat memberikan tapal dengan mengoleskan secara perlahan ke punggung Aalisha serta dibalut perban. Dimulai dari memperban tangan kiri, pahanya, serta punggung yang paling terluka parah. Untung saja, tulang-tulangnya tidak patah, hanya retak sedikit di tangan kiri. Namun, berkat pengobatan sihir, tulang itu bisa disembuhkan. Meskipun begitu, Aalisha masih belum boleh menggerakkan tangannya secara berlebihan, kemungkinan dua hari baru tangan kirinya dapat beraktivitas.
"Sudah kubilang aku tak apa," ujar Aalisha karena Anila sejak tadi duduk di kursi sambil menatapnya dengan sangat fokus seolah takut jika gadis kecil itu menghilang atau mati.
"Tak apa? Kau bilang tak apa padahal kau terseret! Tidak lihat luka di tubuhmu itu?!" balas Anila semakin merasa pusing dan kesal secara bersamaan. Bagaimana bisa juga gadis kecil di depannya ini memasang wajah begitu tenang dan santai?
"Aku tak bisa melihat lukaku, tapi ini terasa sakit, jadi tenang saja," balas Aalisha enteng.
Anila tercengang begitu juga dengan kedua perawat yang hampir selesai mengobati Aalisha. Murid satu ini sangat unik padahal luka di punggungnya ini termasuk parah sekali yang biasanya anak-anak lain pasti akan menjerit-jerit kesakitan hingga menangis, tetapi gadis ini hanya menjerit dua kali ketika obat cair dituangkan ke punggungnya serta dioleskan obat terakhir sebelum di pasang perban.
"Aalisha ...." Anila hendak sekali menangis menggantikan Aalisha karena gadis itu tak sedikit pun meneteskan air mata meskipun kondisinya sangatlah mengenaskan.
"Tenanglah dia gadis yang kuat," ujar salah seorang perawat bernama nona Desy. "Aku ingat, kau juga pernah masuk rumah sakit karena pingsan, terus terluka setelah latihan tanding, selama diobati kau selalu tak merasa sakit, berarti kau anak yang kuat."
"Mana bisa begitu," balas Mylo tiba-tiba. "Dia itu anak yang selalu membuat pusing. Mana ada anak di akademi ini yang baru dua Minggu di akademi sudah hampir empat kali masuk rumah sakit. Bisakah ada yang menasehatinya agar jangan melukai diri sendiri terus-menerus?"
"Lebih baik nasihati takdir agar tidak membuat hidupku sial terus-menerus," sahut Aalisha.
"Gadis kuat dan mengerikan," sambung perawat satunya bernama nona Verdi. "Kau memang kuat, tapi sebisa mungkin tolong jaga diri karena kita sebagai manusia harus bisa menyayangi diri kita sendiri."
Aalisha memutar bola matanya malas. Dia juga memasang wajah mengejek lalu berujar, "apa kalian motivator atau seseorang yang suka membaca pidato untuk menyemangati orang lain?"
"Aalisha," sahut Anila jadi menatap tajam padanya.
"Maafkan aku, aku hanya bercanda," balas Aalisha cepat kemudian meraih jubah yang disediakan oleh pihak rumah sakit.
"Tak apa kami tak tersinggung, baiklah, pengobatanmu sudah selesai. Jangan pergi dulu, kami akan mengambilkan obat yang harus dikonsumsi. Tunggu sebentar ya," ujar nona Desy lalu pergi bersama temannya.
"Bolehkah aku masuk?" tanya Mylo.
"Ya masuk lah, aku sudah selesai," sahut Aalisha lalu menatap Anila, "kenapa? Aku sudah diobati."
Mylo duduk di ranjang pesakitan karena tidak ada kursi lagi di sana. Mereka hening sesaat kemudian Anila berujar, "bisa kau ceritakan apa yang terjadi?"
Anila dan Mylo merasa curiga. Mereka tidak berpikir jika kejadian ini murni karena Tinnezs mengamuk dan hilang kendali. Dilihat dari mata telanjang pun sudah dicurigai akan adanya keanehan apalagi Tinnezs awalnya jinak dan normal saja, Mylo juga menunggangi Tinnezs sebelum Aalisha. Jika Tinnezs memang tidak tenang ditunggangi atau merasa terancam harusnya sejak awal ketika Gilbert menunggangi Tinnezs maka kuda itu harusnya mengamuk. Namun, Tinnezs mengamuk ketika Aalisha yang menunggangi padahal sebelumnya Tinnezs menunjukkan keakraban dan rasa sukanya pada Aalisha lebih dulu, jauh dari pada yang lain.
"Aalisha," ujar Mylo karena Aalisha tak kunjung menjawab. "Katakan, pasti ada sesuatu 'kan? Mustahil kuda itu hilang kendali—"
"Seperti yang kalian lihat dengan mata kepala kalian sendiri, Tinnezs mengamuk, tanganku terlilit tali less lalu kuda itu berlari tak terkendali. Aku mau melompat, tapi karena kakiku juga ikutan terlilit, maka berakhirlah aku terseret. Apalagi yang harus kuceritakan?"
Keduanya terdiam karena tak begitu percaya dengan perkataan Aalisha. Apakah gadis itu berusaha berbohong dan menyembunyikan alasannya? Namun, kenapa, kenapa harus disembunyikan? Bukankah semua kejadian tadi sangatlah aneh, haruskah ketika Aalisha yang menunggangi kuda itu maka kesialan datang menimpanya? Hanya dirinya yang diberikan kesialan oleh takdir ataukah ada yang bermain-main dengan takdir dan kesialan itu?
"Kau berkata jujur?" tanya Mylo.
Perlahan Aalisha menghela napas. Dari sudut pandang Anila dan Mylo, gadis itu tak ada gelagat seolah berbohong bahkan nada bicaranya tetap sama dan normal, tidak gemetar seperti ketika seseorang sedang mengatakan kebohongan. "Mylo, Anila, aku tidak seperti kalian. Aku tak semahir menggunakan neith atau sihir, harusnya bisa saja aku menghentikan Tinnezs dengan paksaan atau menggunakan mantra maupun neith untuk melindungi tubuhku ketika terseret, tapi aku tak bisa. Semua tadi murni kesialan."
"Aalisha, aku percaya dengan perkataanmu. Lalu kita kan sudah menjadi teman karena itu jika ada sesuatu yang tak bisa kau ceritakan ke orang lain, minimal cerita pada kami. Kami berdua akan membantumu sebisa mungkin. Terus kalau ada masalah, lebih baik kau ceritakan dari pada dipendam—"
"Maaf," ujar nona Desy, "kalian berdua dipanggil oleh tuan Howard. Lalu Nona Aalisha, mungkin bisa beristirahat setelah ini, karena untuk memulihkan luka harus banyak beristirahat."
"Pergilah," ujar Aalisha pada keduanya.
"Baiklah kami akan menemui master Howard," ujar Mylo turun dari ranjang pesakitan.
"Bisakah aku titip dia, kami akan kembali lagi setelah ini," ujar Anila pada perawat tersebut.
"Tentu saja."
"Aalisha jangan ke mana-mana ya," pesan Mylo sebelum keduanya meninggalkan ruangan ini.
"Ini obat yang harus kau minum rutin sampai habis, terus jangan mandi dulu ya, besok pagi akan datang perawat ke asramamu untuk menggantikan perban lalu kau tetap bisa pergi ke kelas. Jika mau izin, kami akan memberikan surat izin untuk pengajar yang bersangkutan. Kemudian jangan terlalu menggerakkan tangan kirimu."
"Iya," sahutnya singkat lalu memasukkan obat yang kebanyakan obat tablet ke dalam invinirium-nya.
Aalisha menatap perawat yang sedang sibuk merapikan peralatan pengobatan tadi. Berada di rumah sakit ini sungguh membuat Aalisha tak senang, dia juga benci minum obat jadi dari pada menunggu di sini seperti yang Anila perintahkan. Aalisha turun dari ranjang pesakitan dan nyelonong pergi begitu saja.
"Oh ya, sebaiknya untuk malam ini di sini saja ...." Nona Desy terdiam membisu karena gadis itu sudah menghilang begitu saja. "Heh!! Ke mana dia pergi?!!"
****
Aalisha segera menuruni beberapa anak tangga karena menara rumah sakit ini punya banyak ruangan dan dia berada di ruangan lantai dua. Tadi dia lihat beberapa perawat sedang menyapanya hanya Aalisha abaikan. Lalu dia bersyukur jika tak ada perawat yang mengejarnya, tidak seperti di buku-buku cerita ketika tokoh utama kabur dari rumah sakit, maka satu rumah sakit harus mencarinya dan memastikan si tokoh utama tidak kenapa-kenapa. Ya, lagi pula terlalu alay jika hal itu terjadi di kehidupan nyata.
Aalisha keluar dari rumah sakit di mana hari sudah sore. Para murid kemungkinan berada di asrama untuk membersihkan diri, bersiap makan malam, serta beristirahat. Sedangkan Aalisha haruslah bergelut dengan takdir sialan.
Aalisha mulai menuju koridor yang mengarah ke gerbang utara. Namun, dia menghentikan langkahnya ketika melihat seorang lelaki dengan jubah Gwenaelle berjalan ke arahnya dan memperlihatkan senyuman yang seribu kali paling Aalisha benci. Sampai-sampai gadis kecil itu hendak merobek mulut lelaki di depannya ini.
"Apa kau baik-baik saja, little girl?" ujar Athreus dengan kedua tangannya membawa minuman di dalam botol yaitu il tè priel. "Oh ini, aku membawakan minuman untukmu, kuharap bisa memperbaiki suasana hatimu."
Bukannya menerima pemberian Athreus. Aalisha menatap lelaki itu dengan tajam dan dingin seolah gadis itu tahu semua maksud dari Athreus. "Kau payah dalam berakting."
"Apa?" Athreus menarik tangannya, tidak jadi memberikan minuman itu pada Aalisha.
"Apa kau tuli? Haruskah kuulangi perkataanku. Kau sangat payah dalam berakting Tuan Athreus Kieran Zalana yang Maha Agung. Kau berpikir aku akan luluh pada manusia yang berusaha membunuhku?"
Aalisha melangkah hingga persis di depan Athreus. Dia mendongak untuk menatap langsung manik mata biru itu. Athreus melihat dengan jelas jika gadis ini tidak takut bahkan tak gentar sekali pun, itulah yang membuat Aalisha semakin menarik di mata Athreus. Tatapan gadis rendahan yang seolah menunjukkan dirinya sebagai sosok yang berada di kasta yang sama dengannya.
"Bicaralah dengan sopan padaku, kau benar-benar berani pada seorang keturunan Majestic Families."
"Kau pikir aku tak tahu jika kau dan Eloise berada di sana. Kalian berdua tertawa ketika aku terseret kuda yang dikendalikan oleh Finnicus. Aku bisa saja menceritakan yang sebenarnya terjadi pada tuan Howard, tetapi tidak kulakukan.
"Mau tahu alasannya? Tentu bukan karena aku tahu kalau kalian takkan dihukum bahkan jika membunuh ribuan murid di akademi ini. Aku tak menceritakan kebenarannya karena kalian terlihat begitu menyedihkan di mataku. Sangat, sangat menyedihkan. Kalian mengusikku hanya karena aku berasal dari kasta bawah, begitu kah Majestic Families yang dihormati seluruh dunia padahal kalian tidak lebih dari para iblis yang menjajah makhluk lain demi kesenangan mereka."
"Diam kau, Aalisha!" Athreus menekan setiap perkataannya. "Kau tak tahu seperti apa penderitaan yang kami alami karena lahir sebagai Majestic Families. Bagaimana hidup kamu yang selalu diambang kematian! Dan kau menyamakanku dengan bangsa Iblis! Tanpa kami para Majestic Families, kau dan seluruh makhluk hidup di Athinelon takkan merasakan kedamaian."
"Aku tahu maka karena itu aku berterima kasih banyak ...." Perlahan Aalisha membungkukkan badannya dengan tangan kanannya yang diayunkan ke samping. ".... pada para Majestic Families dan tentu saja Anda, Yang Mulia, Yang Maha Agung, dan Matahari Kebanggaan Athinelon."
Setelah memberikan penghormatan itu. Aalisha bangkit kembali lalu berujar, "tapi Yang Mulia Athreus. Hanya karena kau menderita, bukan berarti makhluk hidup lain tidak pernah menderita. Setiap makhluk hidup yang Para Dewa ciptakan punya penderitaannya masing-masing. Tidak peduli apakah dia berasal dari kasta bawah atau lahir sepertimu. Selagi bernapas di dunia ini, penderitaan pasti dimiliki semuanya. Lalu hanya karena kau menderita, apakah kau harus menyakiti manusia lain atau membuat mereka lebih menderita hanya untuk menutupi penderitaan yang kau miliki? Kurasa kaucukup cerdas untuk memikirkannya."
Dengan beraninya Aalisha meraih kerah seragam Athreus lalu dia cengkeram dengan kuat membuat lelaki itu jadi menunduk. "Lalu kau harus tahu satu hal, Athreus Kieran Zalana. Bahwa dunia ini tidak hanya tercipta untukmu dan juga kaummu saja, tetapi untuk setiap makhluk hidup yang Dewa ciptakan. Jadi berhentilah berpikir jika hidupmu paling menderita."
Aalisha melepaskan cengkeramannya, mendorong Athreus, kembali berujar, "suatu hari nanti, kaulah yang akan kuhancurkan." Gadis itu melenggang pergi melewati lelaki itu begitu saja. Athreus terdiam membisu karena setiap kalimat yang keluar dari mulut Aalisha. Perlahan dia mencengkeram kuat dua botol minuman yang dia bawa hingga pecah, isinya tumpah ke lantai.
Athreus berbalik menatap Aalisha yang berjalan dengan angkuh, jubah yang dikenakan gadis kecil itu tertiup angin sehingga sedikit berterbangan. Gadis itu seperti seorang wanita pemimpin yang berhasil membawa kemenangan perang untuk tanah airnya. Namun, di benak Athreus, gadis itu mengingatkannya pada seseorang yang berharga sekaligus sangat ditakutinya. Dia adalah ayahnya—sang Kepala Keluarga Kieran Zalana. Keangkuhan Aalisha mengingatkan Athreus pada ayahnya ataukah gadis itu memang seangkuh Majestic Families.
Perlahan darah di telapak tangannya menetes, tetapi tidak lama karena cahaya kebiruan menyinari telapak tangannya lalu menyembuhkan lukanya. Berselang dari itu api merah muncul kemudian membakar pecahan botol serta melenyapkan cairan minuman di lantai dalam sekejap saja.
"Setiap makhluk hidup punya penderitaan, katanya?" Athreus tertawa kecil. "Gadis itu semakin membuatku tertarik. Dewa, Kalian benar-benar Maha Baik karena menciptakan makhluk sepertinya yang hadir dalam hidupku."
****
Aalisha berharap bisa menaiki kuda atau sapu terbang agar lebih cepat ke asrama, oh mungkin menggunakan portal teleportasi karena sungguh berjalan kaki di akademi ini sangat membutuhkan tenaga, apalagi luasnya tidak terukur dengan banyaknya koridor juga.
"Sialan, aku benci keanehan di akademi ini," ujar Aalisha yang merasa jika hari buruknya belum selesai sama sekali.
Hanya saja dia sudah merasa sangat lelah, jadi rasa takut sama sekali tak terukir. Sungguh, di depan sana, ada dua belokan koridor, berada tepat di tengah-tengah belokan itu. Berdiri sesosok makhluk aneh yang sangat tinggi kemungkinan lebih tinggi dari tuan Howard. Tubuhnya tidak menunjukkan jika makhluk itu adalah manusia. Kakinya yang begitu panjang, bisa mencapai 100 cm atau malah lebih, begitu juga kedua tangannya yang panjangnya mencapai lutut makhluk tersebut. Punggung makhluk itu agak bongkok dengan dua pedang tertancap di sana, lalu ada satu lentera tergantung di ujung pedang sedangkan kepalanya merupakan tengkorak dengan mulut moncong panjang serta memiliki dua tanduk menjulang tinggi.
"Dia pasti Orly tipe monster atau malah monster sungguhan?"
Tak terbesit rasa takut sedikit pun di wajah Aalisha. Dia berjalan dengan begitu tenang bahkan tak berniat mempercepat langkahnya agar segera menjauh dari makhluk tersebut. Hingga berada di dekat makhluk itu, Aalisha berbelok ke koridor kiri. Makhluk itu masih berdiam di sana seolah patung atau sedang menunggu perintah seseorang baru akan bergerak? Intinya adalah Orly itu bukan sembarang Orly entah siapa pemilik Orly mengerikan itu.
"Oh Nona Aalisha," ujar profesor Ambrosia yang menghentikan langkah Aalisha.
Gadis kecil itu menatap pada Profesor Ambrosia yang ternyata tak sedang bersama Lilura. Aalisha kemudian menatap wanita di samping profesornya itu. Perlahan Aalisha menundukkan kepalanya. "Selamat sore Profesor Ambrosia dan Profesor Hesperia."
"Ya ampun, apa yang terjadi padamu? Ada apa dengan tanganmu?" tanya profesor Ambrosia seketika panik.
"Aku tak apa Profesor, ini hanya kecelakaan ketika latihan berkuda."
"Oh Dewa, bisakah kau menjaga diri dan jangan terlalu menyakiti diri. Aalisha, kau selalu saja membuatku khawatir," ujar Ambrosia dengan memasang wajah sedih. Aalisha suka sekali melihat wajah cantik dan manik mata pink milik profesornya itu.
"Maafkan aku, tapi akan kuusahakan untuk menjaga diri lebih baik lagi."
"Tolong ya, kau masih muda, jaga diri baik-baik, jangan sakit-sakitan," ucap Ambrosia yang seperti menasehati adiknya sendiri.
"Apa dia muridmu Ambrosia?" ujar profesor Hesperia yang tak Aalisha sangka jika suaranya cukup cantik.
"Ah iya, salah satu muridku di kelas neith dan nereum." Ambrosia perlahan mengelus punggung Aalisha yang membuat gadis kecil itu bergidik geli karena punggung yang Ambrosia elus adalah punggungnya yang terluka parah.
"Salam kenal, namaku Aalisha, Profesor."
"Kau lucu dan cantik," ujar profesor Hesperia, "lain kali aku akan mengundangmu untuk minum teh bersama denganku dan Ambrosia."
"Ya, boleh saja, dia sangat enak membuat teh," sahut Ambrosia sambil memuji Hesperia.
Aalisha menatap pada Profesor Hesperia. Gadis itu akhirnya tersenyum dan sengaja memberikan senyuman yang tidak bersahabat pada Hesperia. Sayangnya, profesor itu malah membalas dengan senyuman simpul. Kini Aalisha sadar, siapa pemilik Orly mengerikan di sana. Ya, Hesperia pemiliknya. "Terima kasih atas undangan Anda. Aku akan memikirkannya kembali."
"Baiklah akan kutunggu," ujar Hesperia, "Ambrosia mungkin pembicaraan kita sampai di sini saja. Aku akan ke kantor untuk mengambil beberapa barang yang tertinggal."
"Ya, aku juga kalau begitu karena aku harus mengambil Lilura di kantorku juga."
Profesor Hesperia mengangguk. "Kalau begitu mari pergi bersama, selamat sore, Nona Aalisha."
"Kembalilah ke asrama ya, jangan berkeliaran," ujar profesor Ambrosia.
"Baiklah profesor."
Maka kedua profesor itu berjalan bersama. Sedangkan Aalisha tidak berniat untuk pergi dan memperhatikan keduanya yang semakin menjauh. Ada yang hendak Aalisha pastikan. Jadi dia menunggu keduanya sampai melewati persimpangan koridor yang di tengahnya berdiri sesosok Orly mengerikan.
"Jika profesor Hesperia pemiliknya, maka Orly itu akan menuruti perkataannya," ujar Aalisha.
Sayangnya semua itu salah, kini Aalisha menatap dengan mata membulat karena profesor Ambrosia perlahan memperlambat langkahnya agar Hesperia berada di depannya dan ketika melewati Orly tersebut, Ambrosia menjentikkan jarinya lalu berujar pelan, "dia melihatmu?"
Maka Orly itu mengangguk dua kali lalu perlahan menghilang dari sana. Aalisha yang melihat kejadian itu langsung bergegas pergi juga. Langkahnya cukup cepat membuat jubah yang membalut tubuhnya sedikit berterbangan, kini dia melewati koridor yang sudah sangat sepi dan lentera mulai menyala satu per satu beriringan dengan langkahnya.
Ekspresi wajahnya masih memperlihatkan ketidakpercayaan, jadi dia telah salah mengira? Benar-benar di luar dugaan karena pemilik Orly itu adalah--- "Profesor Ambrosia."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Sialan, gue puas nyiksa Aalisha, ha ha ha.
Bagaimana dengan chapter kali ini? Menyenangkan, menegangkan, kesal, atau bagaimana? Atau mau mengumpat untuk Finnicus, Athreus, atau Eloise?
Meskipun Aalisha selalu tersiksa, selalu dianggap lemah, tapi nyatanya Aalisha tetap gadis kecil yang kuat. Dia tahu gimana cara membela harga dirinya bahkan gak takut sama kaum bangsawan. Jadi gak sabar dengan chapter ke depannya^^
Lalu profesor Ambrosia?! Apakah Anda adalah musuh yang akan dihadapi nantinya ataukah ada rencana lain dari takdir para Dewa?
Fun Fact: Minuman favorit Master Arthur adalah teh. Sehingga dia sering berburu berbagai macam teh dari wilayah-wilayah lain. Selain itu Arthur juga memiliki banyak koleksi pakaian dari berbagai budaya di belahan dunia.
Prins Llumière
Minggu, 30 Oktober 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top