Chapter 32
Perelesnytsia Tragedy adalah kisah yang dibawakan dalam pertunjukan opera malam ini. Berkisah tentang seorang perempuan bernama Ilya Perelesnytsia yang merupakan anak ketiga dari bangsawan Perelesnytsia. Kerajaan yang berkuasa saat itu dilindungi oleh empat bangsawan utama yang salah satunya adalah Perelesnytsia. Setiap bangsawan dikatakan masing-masing memiliki kekuatan yang berhubungan dengan empat musim dan Perelesnytsia memiliki kekuatan musim semi.
Ilya Perelesnytsia dikatakan sebagai anak yang dibuang karena dia tak dicintai oleh keluarganya. Hendak mendapatkan cinta ibu, tetapi ibunya mati karena penyakit. Sang ayah benci bahwa putrinya itu tak memiliki sedikit pun kekuatan layaknya seorang Perelesnytsia. Akhirnya kehidupan Ilya selalu penuh siksaan. Dia tidak hidup layaknya putri keluarga karena selalu diasingkan dari rumah tersebut bahkan para pelayan berlaku kurang ajar padanya. Namun, karena merasa bahwa dirinya memang sumber masalah maka dia tak pernah membenci keluarganya.
Hingga suatu hari, dia datang pada ayahnya dan kedua kakaknya sambil berujar, "ayah, aku punya kekuatan! Kekuatanku ternyata lambat bangkit."
Mendengar hal itu bukannya bahagia, sang ayah dan kedua kakaknya menjadi murka. Mereka langsung merantai Ilya dan diseret ke penjara. Mereka berkata bahwa Ilya telah meminjam kekuatan Iblis padahal kekuatan Ilya murni karena terlambat bangkit. Kehidupan Ilya semakin tersiksa karena sang ayah mengetahui jika kekuatan putrinya jauh lebih kuat dari kedua anak tertuanya. Hal ini membuatnya cemas karena berdasarkan perjanjian keempat bangsawan jika di antara keturunan, keturunan paling kuatlah yang akan menjadi kepala keluarga tidak peduli berasal dari anak keberapa. Akhirnya hal ini membuat sang ayah berniat untuk mengakhiri hidup putrinya. Segala siksaan diberikan agar sang putri segera mati, tetapi tak kunjung juga kematian menemuinya seolah putrinya itu tak diizinkan para Dewa untuk menemui kematian.
Hingga Ilya sadar bahwa sampai kapan pun dia berusaha. Ilya takkan pernah mendapatkan kasih sayang dari keluarganya. Maka pada suatu malam, dia memohon ampun pada ibunya dan juga para Dewa. Lalu dengan mudahnya, Ilya Perelesnytsia membunuh seluruh keluarganya beserta para pelayan dalam satu malam.
Hari esok, seorang bangsawan dari pihak musim dingin mendatangi Ilya kemudian dia dibawa ke pengadilan kerajaan. Saat ditanya apakah Ilya merasa menyesal telah membunuh mereka semua? Ilya tersenyum simpul sambil berujar, "Hamba tak menyesal karena selama ini mereka lah yang menyiksa Hamba lebih dulu."
Atas kejadian itu, telah dilakukan penyelidikan bahwa Ilya Perelesnytsia memang mendapat penyiksaan dari keluarga mereka maka dia tidak dijatuhi hukuman mati. Kemudian Ilya dibawa oleh bangsawan musim dingin yang ternyata bersumpah akan melindungi Ilya, akhirnya bangsawan tersebut menikahi Ilya kemudian mereka hidup bersama dengan bahagia. Sejak hari itu, kejadian tersebut dikenal dengan nama Perelesnytsia Tragedy.
Suara tepuk tangan bergema setelah pertunjukan opera itu selesai. Kini pertunjukan selanjutnya dan sebagai penutup adalah pertunjukan paduan suara.
"Tak kusangka, kisah yang mereka pilih adalah kisah mengenaskan itu. Eidothea benar-benar sekolah gila," ujar Lilura kemudian.
"Kurasa mereka hendak memperkenalkan kisah berdarah agar para murid tak terkejut jika hal seperti tadi menimpa hidup mereka," balas Aalisha.
"Kau aneh sekali Nak."
"Bukankah Anda juga aneh?"
"Apa kau bilang?!"
"Maafkan aku, aku hanya bercanda," sahut Aalisha lalu menatap pada kursi samping Lilura yang masih kosong. "Sampai saat ini, profesor Ambrosia, belum juga datang."
"Ya, dia ada kesibukan jadi tidak bisa ke sini, tetapi dia sempat menonton sebentar tadi," jelas Lilura yang sampai tengah pertunjukan dia menggunakan kekuatan spesial Belphoebe, tetapi setelah itu profesor Ambrosia tidak menonton lagi karena kesibukannya.
"Beruntung sekali profesor Ambrosia memiliki Anda," ujar Aalisha asal saja karena dia bingung hendak menanggapi apa.
"Apa kau tahu, kalau opera tadi, tidak semua dari kisah aslinya dipentaskan. Bisa kukatakan jika setiap naskah asli dari zaman ke zaman banyak mengalami perubahan dan banyak sekali naskah yang jika di wilayah atau adat dan budaya tertentu, maka kisahnya juga akan berubah-ubah. Dengan artian menyesuaikan budaya wilayah tersebut.
"Seingatku salah satu kisahnya itu, setelah Ilya membunuh seluruh keluarganya, salah satu bangsawan yaitu bangsawan musim dingin datang ke kediaman Ilya dan langsung membunuh Ilya tanpa belas kasihan jadi Ilya mati tanpa ada yang tahu jika dia menjadi korban penyiksaan dari pihak keluarganya.
"Lalu ada juga kisah lainnya, di mana Ilya bukan langsung dibunuh, tetapi ditetapkan sebagai bersalah oleh pihak kerajaan kemudian Ilya dijatuhi hukuman rajam hingga mati. Namun, sayang sekali karena tak diketahui, kisah sebenarnya dari naskah aslinya—"
"Nona Lilura." Aalisha menginterupsi. "Aku pergi dulu karena hendak ke toilet."
"Ah ya, silakan, sebentar lagi, pertunjukan ini juga akan selesai," ujar Lilura, "terima kasih sudah menjadi teman mengobrol."
"Terima kasih kembali." Maka Aalisha segera beranjak pergi. Dia sempat menatap ke kursi Anila dan lainnya, tetapi tak ada bermaksud untuk menemui mereka.
Sepeninggalan Aalisha, Lilura belum beranjak dari kursinya karena masih memikirkan kisah Perelesnytsia. Akhirnya dia bergumam pada dirinya sendiri. "Naskah aslinya tidak ada yang tahu karena dikatakan kalau kisahnya lebih mengenaskan bahkan begitu mengerikan. Aku jadi penasaran. Ah, aku baru ingat, ada desas-desus kalau naskah aslinya disimpan oleh Kekaisaran atau salah satu Majestic Families, mana yang benar ya ...."
****
Tragedi Perelesnytsia ditulis oleh seorang sastrawan, entahlah namanya, Aalisha lupa karena saking banyaknya naskah sastrawan terkemuka yang Aalisha baca. Namun, kisah Perelesnytsia begitu teringat jelas di kepalanya karena kisah yang sangat menyedihkan dan juga mengenaskan. Banyak yang tak tahu bahwa kisah aslinya berusaha disembunyikan karena terdapat sarkasme terhadap para Dewa.
Kisah awal tragedi ini kebanyakan sama, tetapi ada yang tak dikisahkan yaitu kenyataan bahwa Ilya bukannya sulit untuk dibunuh, tetapi Ilya sudah mengulang kehidupannya sebanyak 8 kali dengan artian Ilya sudah mati sebanyak 8 kali. Kematian pertama, dia dibunuh oleh kakak pertamanya. Kematian kedua karena dibakar kakak keduanya. Kematian ketiga, sang ayah memberikan obat agar Ilya kehilangan kekuatannya, tetapi berakhir pada kematian. Kematian keempat, Ilya dikurung di penjara hingga mati kelaparan dan membusuk. Kematian kelima, Ilya dibunuh para bangsawan yang diprovokasi ayahnya. Keenam, Ilya mati karena dibunuh monster. Ketujuh, Ilya pertama kalinya jatuh cinta pada bangsawan musim dingin, tetapi Ilya dibunuh oleh keluarga bangsawan tersebut yang tak menerima Ilya bersama dengan putra mereka. Kedelapan, Ilya mati demi melindungi kerajaan yang selalu membencinya.
Kemudian pada kehidupan kesembilan, Ilya lelah menjalani kehidupannya yang terus berulang, dia hanya berharap benar-benar mati pada kehidupan kali ini. Hingga dia mengetahui kenyataan akan dirinya yang terus-menerus hidup kembali dan hal itu membuatnya gila. Alasan itu adalah Para Dewa hendak menjadikan Ilya satu-satunya, keturunan terakhir Perelesnytsia. Atas itulah, Ilya terus kembali hidup.
Akhirnya pada kehidupan kesembilan, Ilya memutuskan untuk mencari cara agar kutukannya berhenti bahkan jika dia harus bekerjasama dengan bangsa iblis. Dikarenakan hal ini, kisah aslinya disembunyikan karena begitu mengenaskan serta mengandung sarkasme bahwa para Dewa senang sekali mempermainkan hidup ciptaan mereka sendiri.
"Aku benci kisah ini, lain kali, aku takkan datang ke pertunjukan opera bahkan jika Anila menyeretku secara paksa," ujar Aalisha karena terkadang dia berpikir bahwa Para Dewa memang suka mempermainkan kehidupan ciptaan mereka.
Tidak perlu contoh seperti tragedi Perelesnytsia. Karena hidup Aalisha sendiri sudah sangat jelas bahwa Para Dewa memang menjadikan Aalisha sebagai pemeran dalam lakon takdir mereka. Pemeran yang bukannya mendapat kebahagiaan, tetapi kesengsaraan tiada akhir. Hidupnya seolah ditulis pengarang yang sangat kejam dan jahat.
Gadis itu menatap pada cermin di toilet sekolah. "Operanya jelek sekali, harusnya mereka mengangkat kisah yang lebih baik dari itu," ujar Aalisha kemudian turun dari bangku kecil yang memang tersedia di toilet tersebut.
"Bahkan biar benar-benar kelihatan cermin saja harus pakai bangku! Dasar pendek, cacat! Ya kau ini cacat jadi cepat temui kematian sana!" umpatnya pada diri sendiri.
Lekas Aalisha bersikap normal ketika ada seorang perempuan masuk ke toilet juga. Hampir saja tersebar rumor gila lagi akan dirinya karena mengobrol sendiri di dalam toilet.
Dari pada seperti orang bodoh di sini, maka Aalisha berjalan melewati perempuan yang sedang mencuci tangan di wastafel. Sesaat Aalisha memperhatikan perempuan itu yang ternyata mengenakan jubah Gwenaelle. Mengapa pakai jubah asrama di malam hari? Selain itu penampilannya cukup berantakan, bahkan seragamnya juga kotor.
"Dia terluka, sepertinya berdarah juga, sial," gumam Aalisha, tetapi sama sekali tidak ada niat untuk menolong perempuan tersebut. Aalisha mempercepat langkahnya keluar dari toilet perempuan dan berpikir untuk langsung kembali ke asrama.
Pernah Aalisha katakan kalau dirinya tak berniat untuk menjadi tokoh utama atau pahlawan dalam kisah dongeng. Maka jangan salahkan Aalisha jika dia tak peduli pada orang lain bahkan jika seseorang itu berada diambang kematian. Bukankah bakal ada pahlawan lain yang para Dewa siapkan? Jadi biarkan mereka yang melakukannya karena Aalisha enggan untuk menolong para makhluk hidup terutama manusia.
****
Terkadang rasa percaya yang berlebihan tidak baik juga. Aalisha yakin jika dia sudah cukup hapal jalan yang ada di akademi ini tanpa harus melihat peta. Sayangnya seperti yang para kakak tingkat katakan kalau akademi ini begitu rumit dan sering sekali ada yang tersesat. Bahkan yang sudah bertahun-tahun di sini saja, masih suka tersesat.
Entah bagaimana para kuli bangunan yang membuat akademi ini dulunya. Pernahkah mereka terpikirkan jika kecerdasan mereka dalam mendesain bangunan atau kastil akademi ini akan menyusahkan ratusan generasi ke depannya?
"Mati saja kalian desainer bangunan zaman dulu! Eh mereka kan memang sudah mati."
Lekas Aalisha mengibaskan tangannya karena ada seekor kunang-kunang yang lewat di dekat telinganya. Lalu dia menatap ke koridor tepat di sebelah kanannya. Dia pergi ke koridor tersebut karena berdasarkan peta, koridor inilah yang paling cepat menuju jalan utama untuk ke asrama Arevalous, jika memilih koridor lain, maka akan memutar sehingga begitu jauh.
Berada di koridor ini, perasaan Aalisha agak tidak enak dan menjadi risi. Hingga langkahnya terhenti sempurna dan refleks Aalisha bersembunyi di balik pilar penyangga lentera yang cukup besar karena tak jauh dari posisinya berada dia melihat ada dua orang yang sedang mengobrol.
Keduanya adalah pria yang wajah mereka sulit Aalisha identifikasi karena koridor sini kekurangan penerangan. Meskipun begitu, Aalisha sangat tahu jika salah satu dari kedua pria itu adalah seorang Orly.
"Bisakah kaupergi," ujar Aalisha cukup pelan.
Dia kembali memperhatikan kedua pria di sana, samar-samar bisa dia dengar apa yang keduanya bicarakan. Pembicaraan mereka seperti; pengiriman rahasia, naga mengamuk, masyarakat desa, hingga Viscount.
"Sial, jangan ganggu aku!" ujar Aalisha kembali dengan suara begitu pelan. Dia menatap pada tiga kunang-kunang yang senantiasa mengganggunya karena berterbangan di sekitar Aalisha, hal ini membuatnya jadi risi dan tidak fokus mendengarkan pembicaraan kedua pria di sana.
"Pergilah jika itu yang kalian mau," ujar Aalisha sambil mengibaskan tangannya bermaksud mengusir mereka. Gadis itu bersyukur karena akhirnya kunang-kunang itu pergi juga dan kini mereka terbang menuju kedua pria di sana.
Aalisha menutup matanya kemudian mempertajam pendengarannya agar bisa fokus mengetahui isi pembicaraan misterius keduanya.
"Penyerangan naga saat itu benar-benar membuat segalanya runyam. Viscount juga tidak menghubungi kita lagi padahal pihak penelitian sudah mengabari melalui surat. Kau juga, harusnya langsung beritahu aku setelah mendapat informasinya."
"Hamba minta maaf Master. Hamba kurang cekatan dalam melakukan tugas."
"Sudahlah tak masalah karena yang terpenting tidak terjadi hal buruk, kalau begitu segera pergi dan bawa suratnya ke pihak ekspedisi zero domain."
"Akan Hamba laksanakan---"
Aalisha terjatuh yang sukses juga dia menyenggol tiang penyangga lentera hingga lentera itu pecah dan terhambur ke lantai. Suara benda hancur terdengar menggema di koridor ini. Gadis itu meringis kesakitan memegangi lututnya dan telapak tangannya yang berdarah karena terkena pecahan kaca lentera.
Langkah kaki terdengar mendekati Aalisha, kini sepatu dan jubah hitam yang menyentuh lantai berhenti tepat di hadapan Aalisha yang perlahan mendongakkan wajahnya agar bisa melihat wajah pria itu, tetapi masih kurang jelas karena begitu gelap di sini.
"Parva lux."
Dikarenakan koridor sangat gelap jadi pria itu menggunakan sihir yang menciptakan penerangan berupa bola kecil bersinar yang dapat melayang ke sana-kemari.
"Siapa kau?" ujar pria tersebut.
"Maaf, maafkan aku Profesor," sahut Aalisha cepat dan lekas berdiri. "Aku tak bermaksud aneh-aneh, aku habis dari pertunjukan opera dan hendak kembali ke asrama, tapi aku tersesat."
Bola kecil yang menjadi penerangan itu mendekat ke arah Aalisha sehingga menyorot wajah gadis itu agar benar-benar terlihat jelas di mata lawannya. "Asrama apa kau?"
"Arevalous, Profesor! Namaku Aalisha, aku murid baru jadi aku belum terlalu hapal area akademi. Terus karena di sini gelap, aku tak perhatikan langkahku dan menabrak tiang lentera itu, maafkan aku."
Helaan napas terdengar dari pria yang memiliki rambut cokelat dengan manik mata hitam tersebut. "Koridor di sini memang sedikit diberi lentera karena jarang dilewati ketika malam hari atau tak ada yang berniat untuk lewat sini. Kaujuga salah memilih jalan."
"Ma, maafkan aku, aku tadi terlalu takut karena tersesat dan masih bingung membaca peta."
"Asrama Arevalous 'kan? Kalau begitu ...." Profesor itu menampilkan peta dari cyubes-nya. "Pergilah ke sini, artinya kauharus lewat koridor ini, kemudian lurus saja, lalu berbelok ke kanan. Baru kauakan menemui jalan utama. Di sana, kausudah aman karena jalan utama pasti banyak orang."
Aalisha tersenyum simpul seolah-olah anak kecil yang tersesat di kota antah-berantah kemudian berhasil dipertemukan dengan kedua orang tuanya. "Terima kasih, terima kasih banyak Profesor. Aku bersyukur bisa bertemu dengan Anda di sini."
Profesor itu menatap tajam pada Aalisha. Dia sejenak berpikir, apakah murid baru tahun ini kebanyakan lemah? Tersesat karena tak paham membaca peta saja seolah-olah hidup mereka berada di ambang kematian.
"Segeralah pergi, malam semakin larut. Lalu lain kali, jika hendak pergi ke mana-mana terutama malam hari, maka bersamalah teman."
"Terima kasih, Profesor. Akan kuingat selalu saran Anda itu."
Maka profesor itu hendak segera pergi ke arah yang berlawanan dengan Aalisha. Namun, tiba-tiba saja, langkahnya berhenti karena Aalisha kembali memanggilnya.
"Profesor!"
"Ya?"
"Bolehkah aku mengetahui nama Anda? Mungkin suatu hari, aku akan membalas budi Anda karena telah membantuku," ujar Aalisha.
"Dommi Erick Zahava, itu namaku."
"Baiklah." Perlahan Aalisha membungkukkan badannya sebagai tanda penghormatan lalu tersenyum simpul. "Sekali lagi, terima kasih banyak ... Profesor Zahava."
"Sama-sama, sekarang pergilah jangan berkeliaran karena aku tak mau terjadi sesuatu pada muridku," sahut Profesor Zahava langsung pergi begitu saja.
Posisi Aalisha yang membungkuk tadi kini dia menegakkan tubuhnya, tetapi tangan kanannya masih senantiasa di dada kirinya. Perlahan dia turunkan bersamaan munculnya seberkas cahaya kebiruan yang bersinar di sekitaran telapak tangan serta lututnya, kini menyembuhkan keduanya yang tadi terluka dan berdarah.
Aalisha diam cukup lama di koridor itu, menatap lurus, agak kosong Sudah dipastikan jika siapa pun yang melihatnya akan menjerit karena berpikir bahwa Aalisha adalah hantu atau makhluk jadi-jadian terutama gadis itu memiliki rambut dan manik mata hitam.
"Terima kasih," ujarnya kembali lalu berbalik menuju koridor yang menjadi jalan benar ke asramanya.
"Aku harus berhenti bersikap aneh jika tak mau tersebar gosip dengan tajuk gadis kasta bawah yang gila dan pantas masuk rumah sakit jiwa," gumam Aalisha sambil menatap cyubes-nya yang terdapat banyak pesan dari beberapa temannya, terutama Anila dan Mylo karena mereka sudah di asrama sedangkan Aalisha belum jadi pastinya mereka berdua sangat khawatir.
Entah mengkhawatirkan Aalisha atau khawatir karena teman mereka asal kasta bawah ini semakin berbuat onar sehingga menurunkan martabat mereka?
"Andromeda dan Cressida itu sangat mengganggu, jika tak mau pusing, maka berhentilah berteman denganku."
Aalisha berpikir jika malam ini akan berakhir, tetapi tidak semudah itu. Jika bertemu dengan profesor Zahava tadi, Aalisha merasakan sesuatu seperti perasaan waspada. Namun, perasaan kali ini lebih dari sekadar waspada. Sekali lagi, lebih dari sekedar waspada.
Ketika Aalisha melewati koridor yang terbuka karena ada taman kecil di sana. Bangku panjang, pilar-pilar yang menjulang serta memperlihatkan langit-langit penuh bintang. Aalisha mulai merasakan sesuatu yang begitu membuatnya sangat tertekan, seram, bahkan lebih tepatnya adalah rasa ngeri yang membuat sekujur tubuhnya merinding. Bulu romanya berdiri. Perasaan penuh bahaya seolah ia berhadapan dengan iblis tingkat tinggi.
"Periculum, inimicus, occidere." Suara yang seperti bersenandung itu terdengar dari arah kanan Aalisha. Begitu lembut dan halus seperti seorang wanita yang sedang menyinden.
Tak jauh dari posisinya. Seorang gadis melangkah dengan pedang magis di tangan kanannya, gadis itu berhenti tepat di hadapan Aalisha. Terlihat Aalisha seolah enggan beranjak dari sana dan lebih memilih meladeni gadis itu ataukah Aalisha tak mampu menggerakkan kakinya karena gadis bersenandung itu menggunakan sihir supaya membuat Aalisha tak mampu ke mana-mana.
"Maledictus," ujar Eloise kemudian tersenyum simpul pada Aalisha yang hanya bisa menatapnya tanpa mampu menggerakkan seujung jari pun. "Apa kau tahu penggalangan puisi yang diciptakan oleh keturunan utama Drazhan Veles itu?"
Eloise melangkah hingga ke depan Aalisha yang tak mampu bergerak karena kekuatan sihirnya. Gadis Clemence itu berhasil membuat Aalisha menunduk, tak mampu mendongakkan kepalanya, bahkan seperti orang stroke yang tak bisa bergerak sedikit pun.
"Puisi itu berjudul Pendosa Yang Terkutuk. Dia menulisnya setelah percobaan pembunuhan yang dilakukan organisasi kriminal terhadapnya. Pada puisinya, dia menekankan pada empat kata; Periculum, inimicus, occidere, dan maledictus. Tahu artinya? Bahaya, musuh, bunuh, dan kutukan. Biasanya, dia membacakan puisi ini di hadapan setiap musuhnya sebelum dia mengambil nyawa mereka, kau tahu apa alasannya, Aalisha?"
"ARGHHHH!!!" Aalisha berteriak sangat kencang tatkala pedang tajam Eloise menusuk paha gadis kecil itu hingga darah segar mengalir bersamaan rasa perih serta sakit tidak tertahankan menyeruak. Tubuhnya mengejang.
"Dia membacakan puisinya agar setiap musuhnya tahu bahwa hanya kematian mengenaskan lah yang akan menemui mereka. Aku suka puisi itu karena mengandung makna bahwa manusia menjijikan takkan pernah setara dengan Kami."
Eloise mengeratkan genggaman pedangnya hingga membuat ujung pedang yang tajam itu semakin menusuk ke dalam paha Aalisha. Gadis itu bisa merasakan jika daging-dagingnya bersinggungan dengan pedang besi yang lama-kelamaan terasa panas seperti dibakar---Eloise pasti menggunakan kemampuan mistisnya agar membuat pedangnya menjadi panas.
"Jadi tikus kecil, buang nada sombongmu itu dan jawab pertanyaanku. Apa yang kau lakukan sendirian di sini?"
Aalisha mengepalkan kedua tangannya yang gemetar menahan sakit karena dia merasa jika pahanya terutama daging-dagingnya terasa seperti dimasak di atas bara api. Air matanya menetes. Kupingnya berdengung sakit. Perlahan dia membuka mulutnya dengan suara gemetar. "Aku tersesat. Aku habis dari pertunjukan opera, kemudian ke toilet dan aku tersesat karena tidak paham membaca peta."
Eloise langsung tertawa keras. Apa yang barusan dia dengar dari gadis kasta bawah ini? Dia tersesat? Betapa bodoh dan lucunya jawaban itu. Eloise tak menyangka jika berada di hadapan gadis kecil ini sangatlah menghibur.
"Kautersesat. Kautahu, kalau kau terlihat sangat mencurigakan. Jadi kupikir, kau merencanakan sesuatu yang gila. Seperti hendak membunuh seseorang karenanya kau berada di tempat sepi ini. Ternyata malah tersesat karena tak bisa membaca peta? Lucu sekali. Benar-benar lucu."
Sialan, tidakkah Eloise sadar jika dialah yang mencurigakan dan sangat gila! Apa yang gadis Clemence itu lakukan di sini bahkan membawa pedang magis di malam hari? Dia bahkan berniat membunuhnya dengan menancapkan pedang begitu mudahnya di paha Aalisha.
"Tolong lepaskan pedangnya, ini terasa sakit ...."
"Mengecewakan ...." Eloise sama sekali tidak mempedulikan perkataan Aalisha. "Harusnya kau jadi penjahat saja jadi aku punya alasan untuk membunuhmu."
Maka Eloise langsung menarik pedangnya dengan sangat cepat hingga darah memuncrat yang mengakibatkan Aalisha menjerit kesakitan lalu ambruk ke tanah sambil memegangi pahanya. Semakin saja darah banyak mengalir bahkan membentuk genangan kecil di lantai.
"Tapi jika pun aku membunuhmu, aku takkan dihukum oleh pihak mana pun karena seorang keturunan utama Majestic Families takkan pernah dijatuhi hukuman mati meski membunuh seribu manusia tak berdosa. Itulah anugerah yang Para Dewa berikan kepada kami." Eloise masih senantiasa tersenyum dan tak sedikit pun merasa bersalah apalagi kasihan melihat seekor tikus terkapar di hadapannya.
Perlahan Eloise membuka telapak tangannya kemudian dia arahkan ke genangan darah di dekat Aalisha. "Emmistertun."
Mantra yang Eloise ucapkan itu membuat genangan darah di lantai itu perlahan terserap ke lantai, begitu juga darah-darah di sekitar Aalisha juga perlahan terserap ke lantai dan menghilang bahkan tak ada bau darah sekalipun. Itu adalah teknik mudah yang digunakan untuk menghilangkan jejak.
Setelah melakukan semua itu, Eloise membuka invinirium-nya kemudian mengambil elixir yang berisi ramuan penyembuhan. Maka langsung dituangkan ke atas luka di paha Aalisha.
"Sakit!!!" Aalisha menjerit kembali karena pahanya terasa seperti habis dituang air mendidih.
Eloise berucap setelah menaruh elixir-nya di invinirium lagi."Akan sangat memusingkan jika kau mencicit kesakitan di hadapan para profesor akademi."
Gadis Clemence itu kemudian berjongkok sambil menatap Aalisha yang masih memegangi pahanya karena terasa berdenyut dan pedih tak tertahankan, rasanya mau dipotong saja pahanya ini karena begitu menyiksa. Perlahan luka besar di paha itu berangsur-angsur sembuh seolah tak pernah terluka sedikit pun. Benar-benar ramuan penyembuhan tingkat tinggi dari keluarga Clemence.
"Tikus mencicit." Eloise membelai pipi gadis kecil itu. "Sekarang pergilah dari hadapanku atau akan kubuat kau lebih menderita!"
Setelahnya Eloise menatap kepergian Aalisha yang tak disangka jika melihat gadis kecil itu menderita ternyata begitu menghibur dan sangat menyenangkan. Bahkan lebih menyenangkan dibanding ketika dia menyiksa musuh-musuhnya. "Sayangnya tak bisa kulakukan sesering mungkin."
"Sudah selesai kegilaan yang kau perbuat?" Suara itu berasal dari laki-laki yang tengah bersandar di dinding.
"Oh ayolah Nicaise, kau sangat khawatir padanya?"
"Soal itu—" Perkataan Nicaise terhenti.
"Eloise!" teriak Athreus yang ternyata duduk begitu santai di atas pilar bahkan kakinya diayun-ayunkan dengan sangat riang. "Jika kausekejam itu, dia akan mati dengan cepat—"
"Diamlah, Athreus! Aku belum selesai bicara!" balas Nicaise, "Eloise lain kali jangan berbuat segila itu! Kau mau kita terkena masalah?"
"Nicaise, jika kaukhawatir padanya. Kenapa tak kau selamatkan?" ujar Eloise kemudian tersenyum sinis.
Athreus kemudian turun ke bawah. "Nicaise memang selalu begitu. Dia terlalu baik ... jadi Eloise, kau hampir saja membunuh manusia tak berdosa," ujar Athreus cepat dan menatap Eloise.
"Salah dia berkeliaran di akademi, bukankah itu mencurigakan?" sahutnya.
"Kalau begitu, pastikan dulu, bukan menusuknya begitu saja!" balas Nicaise tidak habis pikir.
Eloise memutar bola matanya malas. Kemudian dia pergi meninggalkan kedua lelaki itu. "Padahal kalian juga suka kan melihat tikus itu menderita. Sudahlah, aku ingin kembali, besok ada praktik mantra penyegelan."
"Praktik mantra? Bukankah Minggu depan?" sahut Athreus panik.
Nicaise berujar, "bodoh, praktiknya besok bersamaan praktik kelas ramuan. Serta presentasi buku sastra."
"Oh sialan, aku tak ada persiapan apa pun." Athreus berujar, tetapi wajahnya tak menunjukan kekhawatiran sedikit pun. "Meskipun begitu, aku akan tetap mendapatkan nilai sempurna seperti biasa."
Bulan pada malam itu, sinarnya redup karena tertutupi awan-awan yang berarak. Semilir sepoi angin yang dingin dan mencekam membuat siapa pun jadi enggan menelusuri malam, lebih baik berada di tempat aman atau berbaring di ranjang. Namun, bagi gadis kecil dengan langkah sempoyongan, malam ini tak menakutkan baginya, tetapi amarah yang bersarang di dalam dirinya hendak meledak. Beruntung ia tahu bagaimana cara seorang pemeran bermain di dalam lakonnya.
"Para Majestic Families itu, aku benci mereka."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Hola^^
Sepertinya Aalisha memang selalu sial, padahal sudah sebisa mungkin dia menghindar.
Profesor baru yang ditemui Aalisha cukup mencurigakan ....
Tentang Majestic Families, menurut kalian bagaimana? Tadi masih sebagian kecil yang bisa dilakukan mereka karena mereka bisa lebih dari itu bahkan bakar Akademi, ha ha.
Fun Fact: Eloise Clemence adalah tokoh favorit pengarang.
Prins Llumière
Minggu, 23 Oktober 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top