Chapter 24

Satu jam berlalu setelah pelatihan dasar maka praktik akan dilakukan seperti dikatakan master Aragon di awal tadi. Kini seluruh murid membentuk lingkaran besar dengan master Aragon berada di tengahnya, menatap dengan tajam dan sinis. Seolah ia hendak mengeksekusi para pembunuh berantai. 

Selain merasa tegang karena master Aragon akan memilih acak murid-murid untuk saling bertarung. Anak-anak Eidothea di luar pelajaran ini terlihat semakin banyak menonton mereka. Rata-rata dari mereka adalah kakak tingkat yang sengaja menghentikan aktivitas hanya untuk melihat bagaimana rasa sakit dalam latih tanding ini. 

“Akan kupilih acak, dua orang diantara kalian. Setelah itu saling bertarung, pertarungan pertama menggunakan fisik tanpa senjata, jika sudah kuberi apa-apa, lekas ambil pedang yang sudah disediakan lalu kembali bertarung dengan pedang! KALIAN PAHAM!”

“PAHAM MASTER!” teriak seluruh murid serempak dan sesaat terdengar kekehan dari beberapa kakak tingkat yang menonton mereka. 

Master Aragon tak menggubris tawa mereka dan menganggap seolah angin lalu padahal para muridnya merasa tak suka sekali menjadi sorotan seperti ini. Apalagi latih tanding pasti banyak hal memalukan terjadi, tadi saja master Aragon memarahi seorang murid yang tak mampu menyentuh lawannya seujung kulit pun, hal ini membuat kakak tingkat kembali menertawakan.

“Kau maju sekarang!” ujar master Aragon menunjuk seorang murid laki-laki dari asrama Sylvester. “Tiona maju, kau akan menjadi lawannya!”

Para murid angkatan baru terdiam membeku ketika Tiona yang dipilih. Apakah masternya ini tidak berpikir jika baru beberapa hari di sini, mereka sudah harus masuk rumah sakit? Lihatlah betapa iblisnya gadis itu sedang tersenyum seolah menganggap para murid baru sebagai samsak tinju yang takkan merasakan sakit karenanya bisa ia tinju seenaknya. 

“Yang lainnya duduk!” ujar master Aragon, lalu para murid yang tak maju duduk di rerumputan.

Aalisha memperhatikan pertarungan itu dengan duduk bersila serta tangan kanan menopang wajahnya. Ia menatap malas ketika murid Sylvester itu berujar agar tidak terlalu keras padanya. Lalu Aalisha perhatikan para murid lain di luar kelas yang sedang terkekeh lagi karena bagi mereka latihan ini seperti pertunjukkan komedi. Aalisha berdecak pelan, sungguh mencerminkan sifat manusia yang senang sekali mencari bahan untuk menghibur dirinya bahkan jika hal itu di atas penderitaan manusia lain. 

Pertarungan dimulai cepat dengan Tiona berhasil melancarkan serangan yang membuat murid Sylvester itu terbatuk. Tanpa aba-aba, Tiona menarik lengan lawannya kemudian ia banting ke tanah begitu kuat. Tak sempat merintih, hampir saja perut lawannya terkena tendangan jikalau ia tak cepat menghindar. Kini anak Sylvester itu melancarkan serangan balasan, sayang sekali karena Tiona menghindar dengan mudah dan membalas dengan menendang perut lawannya menggunakan lutut, sukses hal itu membuat lawannya terlempar dan ambruk di tanah, tepat di depan murid lain yang sedang bersila. 

“Pasti sakit, kau kejam sekali Tiona!”

“Woy, woy cepat bawa perawat kemari, ada yang terluka!”

“Sakit woy!! Tahan, tahan, nanti berkurang angkatan baru!”

"Masa menghindar gitu saja nggak bisa! Angkatan baru payah sekali!"

Suara teriakan dari penonton membuat murid yang berlatih hari ini ingin lenyap saja dari dunia, karena jika bertarung selain merasakan sakit dibanting ke tanah, pasti merasa sangat malu juga. 

Kesialan semakin menimpa para murid di kelas dikarenakan penonton semakin banyak ketika seorang gadis yang menjadi primadona akademi ini, gadis yang berasal dari Majestic Families, tak disangka-sangka ikutan tertarik untuk melihat latih tanding ini. 

“Itu dia, apa yang dia lakukan di sini?” 

“Gila, aku ingin mati saja dari pada dijadikan bahan tontonan mereka.”

“Sialan, itu Eloise Clemence, mau apa dia? Makin malu aja, kalau kita gagal latih tanding nanti.”

“Cantik sih, tapi lihat dia natap sombong ke arah kita semua!”

“Diam, jangan mengobrol!!” teriak master Aragon, “Aku akan segera memilih lagi, jadi persiapkan diri kalian!”

Murid selanjutnya dipilih, kali ini lawannya bukanlah Tiona, tetapi tetap saja, rasa sakit tak terbayangkan menjalar ke tubuh ketika satu hantaman keras mengenai ulu hati. Kali ini murid dari asrama Gwenaelle itu berhasil menghantam wajah lawannya hingga pertarungan menuju pertarungan menggunakan senjata. Semakin saja para penonton menjadi heboh ketika terdengar keras dua pedang saling beradu itu. 

Di sisi lain, Aalisha memperhatikan Eloise yang tersenyum tipis seolah ia berpikir betapa lemahnya para murid angkatan baru ini. Ia juga melihat Jasmine yang sejak tadi beberapa kali menatap pada Aalisha seolah gadis itu menunggu Aalisha dipermalukan di depan banyak orang. Hari ini semakin buruk ketika Eloise kini menemukan tikus kecilnya— Aalisha maksudnya dan gadis itu sadar jika Eloise sedang menatap padanya. 

Hendak sekali Aalisha membuang wajah, tetapi tatapan merendahkan Eloise membuatnya mengepalkan tangan dengan sangat kuat. Aalisha yakin jika Eloise berharap dirinya ini berada di pertarungan kemudian diremukkan lawan hingga menjadi tikus gepeng. Jadi tanpa rasa takut, Aalisha menatap Eloise balik. 

“Apa kau berbuat masalah lagi? Kenapa Clemence itu menatap padamu terus, dia mengenalmu?” tanya Anila setengah berbisik. 

“Ya,” sahut Aalisha malas untuk mencari alasan lain, “aku pernah mengibarkan bendera perang padanya, ternyata dia ingat akan hal itu dan hingga kini, dia sepertinya hendak membunuhku.”

“Bisa-bisanya! Kenapa harus dengan Majestic Families!” Anila yang tak berbuat, tetapi ia ikutan pusing. Gadis ini meskipun kecil dan pendek, tetapi ia punya nyali juga. Bayangkan berapa banyak musuh yang sudah ia buat selama seminggu di sekolah ini?

“Mana aku tahu tahu kalau dia dari Majestic Families,” sahutnya enteng, “kau tak perlu pusing Anila, aku akan baik-baik saja.”

“Kau mudah mengatakannya, apa kau tidak tahu Clemence itu—”

“Pertarungan selanjutnya!” teriak Aragon yang tak disangka sudah berdiri di depan Anila dan Aalisha. Kapan masternya itu ada di sini? Keduanya langsung diam membeku karena master Aragon menatap pada Aalisha dengan sangat tajam. “Kau, gadis kecil, MAJU CEPAT!”

Master Aragon menunjuk Aalisha dengan jarinya. Membuat semua yang di sana langsung menatap pada gadis itu juga yang kemudian berujar, “aku? Maaf master, tidak terima kasih. Anda bisa pilih yang lain saja.”

Semakin saja semua yang ada di sana langsung tertuju padanya dan banyak sekali omongan terdengar karena keberanian Aalisha melawan master Aragon dengan gamblangnya. 

Gadis itu benar-benar gila! Tidakkah dia lihat wajah Aragon yang memerah akibat amarah sedangkan ia hanya memasang wajah tak peduli dan enggan untuk maju ke pertarungan.

Anila sudah tak mampu berkata-kata, ia kini membuang wajahnya dan membiarkan Aalisha karena meskipun dipelototi, gadis itu takkan juga paham bahwa nyawanya saat ini berada di ujung tanduk sedangkan Mylo hendak sekali membunuh Aalisha karena gadis itu membuat geger satu akademi, lagi. Mana ada yang berani menentang perkataan Aragon? Kakak tingkat saja masih segan, harusnya murid baru juga. Namun, hal ini tak berlaku bagi gadis kecil yang tak disangka punya nyali sangat besar. 

“Kenapa kau menolak?” ujar Aragon menyilang kedua tangannya di belakang. “Aku ingat, kau gadis yang menyebabkan ledakan orxium dan membuat para binatang magis jadi panik. Jika kau mampu melakukan itu, bukankah maju di pertandingan ini harusnya mudah bagimu?”

“Maaf Master, tidak ada korelasi antara kejadian itu dengan sekarang, mustahil ‘kan jika aku bertarung dengan menggunakan orxium yang meledak? Lagi pula Master, aku akan mati jika bertarung pada hari ini.” 

Tidak, bukan karena Aalisha hendak menentang dan menolak perintah Aragon. Ini benar-benar jawaban benarnya jika dia akan mati ketika maju ke pertarungan. 

Lagi pula kejadian tempo lalu adalah sebuah kecelakaan yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit. Tidakkah mereka tahu jika hari itu ia merasakan sakit karena darah yang begitu banyak keluar dari hidung dan mulutnya? 

Masalah para binatang yang panik, apakah mereka seyakin itu jika penyebabnya adalah ledakan orxium? Atau ada hal lain yang tak mereka ketahui? Hari ini juga, harusnya mereka paham jika Aalisha akan kembali ke rumah sakit karena dibanting oleh lawannya. Aalisha sudah sangat kurus, kecil, pendek, gadis cacat dan karenanya ia begitu menjaga tulang-tulangnya ini.

Aalisha berpikir jika wajah masternya akan semakin mengerikan, tetapi malah sebaliknya, Master Aragon  tersenyum kecil. “Aku tak bisa menyebutmu pengecut karena nada angkuhmu itu menolak perintahku, tapi ….” Seketika angin bertiup kencang. “Kau harus tetap bertarung atau kau ingin kuhukum di hari pertama?!!”

Bisa Aalisha lihat bermacam pandangan dari para murid akan dirinya. Jelas sekali, ada yang berpikir jika dia gadis gila dan angkuh, ada yang berujar jika Aalisha begitu berani padahal masih anak baru. Bagi yang belum tahu, akhirnya mengetahui siapa sosok dari ledakan orxium dan tak lupa mereka sebarkan ke beberapa teman mereka yang kini semakin banyak para penonton berdatangan. 

“Aalisha kumohon majulah, jika tak kau lakukan, kau tidak hanya dihukum, tetapi dicela seumur hidup. Tidakkah kau sadar semakin banyak yang menonton karena kau berani menolak perintah master Aragon.” Mylo berujar dengan pelan dan hanya bisa didengar oleh Aalisha. “Kumohon, demi kebaikanmu juga.”

Akademi ini benar-benar gila karena hanya dengan ia menolak latih tanding, maka ia akan dihina seumur hidupnya? Lalu kenapa semakin banyak penonton, mereka tidak ada kerjaan lain apa dibandingkan bergosip dan membicarakan gadis kasta bawah yang angkuh kini berani melawan master di Eidothea? 

Seberapa mereka butuh tontonan untuk memenuhi kehidupan konyol mereka itu? Seberapa banyak objek penghibur yang mereka inginkan pada hari ini? Sudah kuduga, manusia tetapkan manusia. Makhluk menjijikkan, batin Aalisha kemudian tersenyum tipis. 

Baiklah sudah diputuskan, jika hiburan yang mereka inginkan maka akan Aalisha berikan. Lagi pula, apa pun pilihannya, tidak ada yang aman, ia juga pasti berakhir di rumah sakit, lagi.

Gadis itu menguatkan ikatan tali sepatunya kemudian berdiri. Kini dia berada di depan master Aragon, perlahan tangan kanannya ditaruh ke dada kiri, dia membungkukkan badannya seolah sedang memberi penghormatan di acara pesta bangsawan. “Baiklah jika itu mau Anda Masterku, akan kuturuti perintah Anda.”

Master Aragon terdiam selama beberapa detik. Masalahnya, kebanyakan orang-orang memberi penghormatan dengan cara membungkuk untuk menunjukkan bahwa dirinya merasa rendah diri kepada yang lebih tua atau memiliki posisi di atas, tetapi gadis ini tidak. Dari tatapannya, keangkuhan begitu terpancar serta Aalisha membungkuk untuk menunjukkan bahwa eksistensi dirinya jauh lebih tinggi dibandingkan Aragon maupun setiap murid di sini. 

“Baiklah gadis kecil.” Master Aragon beralih pada seluruh muridnya. “Siapa di antara kalian yang hendak melawannya?”

“Izinkan aku Master!” Belum sedetik setelah kalimat Aragon, suara itu terdengar dari Tiona yang langsung maju menuju tengah lapangan beserta Aalisha yang juga maju ke sana.  

Sorakan terdengar bergemuruh seolah hari ini ada pertandingan sesungguhnya, padahal hanya sekadar latihan saja. Beberapa murid melakukan taruhan dan melontarkan berbagai macam perkataan, pujian, maupun ejekan. 

“Woy, Tiona jangan terlalu keras padanya, tidak lihat dia sangat kecil dan pendek!!” teriak murid dari asrama Gwenaelle

“Jangan kau patahkan kedua tangannya, kasihan dia!!” 

“Pelan-pelan saja Tiona! Jika tidak, kau akan membuatnya terbaring di rumah sakit selama beberapa hari!!”

“Demi, anak itu kecil sekali, dia seperti adikku yang berumur enam tahun. Tak masalah bertarung dengan Tiona?”

“Tajuk hari ini, kurcaci melawan raksasa!”

“Dia akan kalah telak,” ujar seseorang. “Kasihan sekali gadis pendek itu.”

Entah berapa kali Aalisha harus melayangkan kutukan karena perkataan mereka, tetapi percuma saja karena jika bisa mengontrol mulut manusia maka akan menjadi salah satu keajaiban di dunia ini. 

Kini ketika berhadapan dengan Tiona yang tubuhnya lebih besar empat kali lipat darinya, Aalisha berujar sebelum pertarungan dimulai. “Kau senang melihatku dipermalukan?”

“Aku tak peduli, aku hanya ingin membantingmu ke tanah hingga keangkuhanmu itu terkubur.”

“Kurasa itu bukan alasan sesungguhnya, coba katakan?”

Tiona tersenyum tipis. “Adik sepupuku, Jasmine Delilah, kau pernah membuatnya terluka jadi karena itu, aku ingin sekali menghajarmu. Yah, tak kusangka para Dewa berpihak padaku hari ini.”

Ahh, gadis pembual itu? Bagaimana kabarnya, sudahkah ia perbaiki hidungnya, kurasa patah saat itu?”

“Hidung dan tulang-tulangmu lah yang akan kupatahkan!”

Sedari awal, Tiona tak suka pada Aalisha. Selain karena Jasmine bercerita bahwa ada gadis kasta bawah yang begitu angkuh dan membuatnya terluka, gadis itu juga menjadi pembicaraan satu akademi karena ia memang terbukti benar, sangatlah angkuh. Betapa tidak tahu dirinya gadis itu akan posisinya di dunia ini! Atas hal inilah, Tiona dengan senang hati jika harus mematahkan setiap tulangnya. Ia takkan main-main. 

“Ya lakukanlah,” sahut Aalisha, “aku tak mau serius dengan kekonyolan ini.”

“Bajingan kau!”

Aalisha jelas mengetahui banyak tatapan penuh rasa benci, kesal, puas, dan menusuk terarah padanya. Hanya saja, ada tiga tatapan paling kentara, siapa lagi kalau bukan, Tiona yang akan menghajarnya, kemudian Jasmine yang tertawa puas karena Aalisha pasti akan masuk rumah sakit, serta tatapan merendahkan oleh seorang Majestic Families, Clemence. Baiklah para Dewa, inikah takdir yang kalian tuliskan untuk Aalisha?

“Pertarungan fisik terlebih dahulu, bersiap ….” Master Aragon berujar. 

Tiona sudah memasang kuda-kuda yang biasa digunakannya dengan neith berkumpul di seluruh tubuhnya sedangkan Aalisha hanya memasang kuda-kuda apa adanya saja. Tawa para penonton terdengar karena dengan pertahanan seperti itu, sekali pukul pun akan langsung tumbang. Tiona menjadi sangat kesal karena gadis ini masih tak paham situasi dan menganggap pertarungan ini hanyalah main-main. 

“MULAI!!” 

Isyarat itu diberikan dan Tiona langsung menerjang serta melancarkan serangan yang tak disangka, Aalisha berhasil menghindar jika tidak maka mata kanannya akan membiru atau parahnya bisa buta. Kembali dengan serangan secara bertubi-tubi 3, Tiona sama sekali tidak bersikap lembut karena ia berhasil menghantam kuat perut Aalisha hingga gadis itu terpelanting cukup jauh. 

“Jangan hanya diam saja!! Serang kembali!” teriak Aragon.

Andai Aalisha bisa meneriakkan isi hatinya, maka ia akan berteriak jika ia tak mau berada di pertarungan ini!! Namun, ia urungkan karena hal itu hanya akan memperkeruh keadaan saja, bisa-bisa ia malah dibanting oleh master Aragon. Jadi perlahan, ia bangkit dengan menyeka darah yang keluar sedikit di bibirnya. 

Pertarungan kembali terjadi ketika Tiona hendak menghantam wajah Aalisha, tetapi gadis itu menghindar dengan memutar tubuhnya lalu dengan cepat, gadis itu menyerang menggunakan kaki kanannya, tetapi Tiona berhasil menghentikan dengan mudah. 

Sialan, pekik Aalisha ketika Tiona kini menggenggam kuat kaki kanannya lalu memusatkan neith pada tangannya dan seolah membanting bantal, maka dengan mudahnya Tiona membanting tubuh Aalisha ke tanah. Tanah itu retak dengan beberapa serpihan tanah terhambur serta Aalisha terbatuk keras. Pusing memenuhi kepala gadis itu yang segera bangkit karena Tiona hendak menendang perutnya. 

“Pelan, pelanlah sedikit, kau ingin aku mati?!!” teriak Aalisha bergerak menjauh dari Tiona. 

“Jika ya, tak apa. Kau lemah sekali, gadis sombong!!” Tiona tanpa apa-apa bergerak maju  kembali. 

Master Aragon memicingkan mata karena melihat Aalisha memasang kuda-kuda bertarung yang berbeda dari sebelumnya. Meskipun terlihat aneh, lemah, dan tak biasa, tetapi ia merasa pernah melihat kuda-kuda seperti itu. “Di mana ya?” gumamnya. 

Pertarungan masih berlanjut dengan Aalisha selalu saja menghindar, ia sama sekali tidak melancarkan serangan. Hal ini membuat Tiona kesal serta para penonton merasa gadis itu sangatlah lemah hanya karena terus bertahan. Sorakan demi sorakan terdengar, berteriak pada Aalisha agar dia menyerang balik.

"Manusia, manusia itu bisanya hanya berteriak. Dasar." Aalisha merasa lelah karena terus-menerus mengolah neith agar ia mampu bertahan, apalagi, beberapa serangan mengenai bahu, perut, dada bahkan wajahnya yang kini sedikit membiru. Setiap dibanting oleh Tiona, gadis itu selalu bangkit kembali dan melakukan pertahanan lagi. 

“Kurasa Aalisha tidak selemah itu,” ujar Gilbert keluar dari barisan dan kini berada di samping Mylo dan Anila. 

“Aku juga sadar karena Aalisha mampu bertahan dan belum juga ambruk,” sahut Mylo, “tapi tetap saja ‘kan, ia tidak mampu bertahan karena masih ada pertarungan dengan pedang.”

“Yang jelas, Aalisha berhasil bertahan lebih dari delapan menit.” Frisca yang entah muncul dari mana, ikutan berujar. 

Anila jelas sekali khawatir meskipun ia kesal tadinya. “Dia takkan bertahan, dia akan mencapai batasnya. Kalian ingat saat pelatihan orxium, profesor Ambrosia bilang kalau Aalisha punya batasan dalam menggunakan neith dan selama pertarungan ini, dia terus-menerus menggunakan neith. Jika Aalisha tak ambruk karena Tiona, dia akan kejang kembali seperti hari itu.”

“Kalau begitu kita harus menolongnya!” teriak Frisca, “hentikan pertarungan ini.”

“Bagaimana? Anila gunakan mantra, atau apa pun itu!” Mylo menyahut. 

“Mustahil, bagaimana caranya? Satu-satunya cara adalah Aalisha harus berhenti sendiri, entah pura-pura pingsan atau mengalah saja.” Anila berujar. 

“Tak mungkin.” Gilbert giliran berucap. “Meski dia dari kasta— maaf, tanpa nama keluarga. Kurasa dia punya rasa percaya diri yang tinggi jadi dia takkan mau mengalah begitu saja. Kecuali dia benar-benar tak mampu berdiri lagi.” Kalimat itu membuat yang lainnya tak mampu berucap lagi dan mereka hanya bisa diam saja sambil berdoa agar Aalisha tidak terluka begitu parah. 

“Pertarungan selanjutnya menggunakan pedang!” teriak Aragon dan Tiona lekas mengambil pedangnya, tanpa menunggu lawannya siap. Tiona sudah menyerang dengan pedang asli dan tajam ke arah Aalisha hingga saat suara gesekan pedang terdengar nyaring. Untung saja Aalisha dapat menahan serangan itu. 

“Tiona, kendalikan dirimu!” teriak master Aragon. 

Percuma kau berkata seperti itu, Delilah itu hendak membunuhku! Aalisha berharap jika ia mampu meneriakinya, tetapi melihat Tiona yang sama sekali tak memberinya celah bahkan untuk sekadar mengatur napasnya, jadi ia urungkan niatnya dan beralih memperkuat pertahanannya. Sayang sekali, takdir begitu mengenaskan, betapa sakitnya ketika Tiona berhasil menyayat beberapa titik tubuh Aalisha seperti paha, pipi, bahu, serta lengannya dan kini darah bercucuran meski sedikit. 

“Kau takkan mampu karena melihatmu memegang pedang saja menjadi alasan jika kasta bawah sepertimu, tak pantas berada di sini.” Perkataan itu sangatlah menyakitkan bahkan untuk beberapa murid yang berasal dari kasta menengah. 

Aalisha menyeka darah di pipinya yang kini ia harus mengukur seragam baru padahal belum satu minggu. Jika begini maka ia harus mendengar ocehan lady Michroft lagi. “Aku tak ingin bertarung karena seragamku ini limited, aku harus mengukurnya lagi, jadi kau membuatku kesal.”

“Mengoceh tak jelas, apa maksudmu?!”

“Aku hanya ingin mengatakan ….” Ia menggenggam erat pedangnya dengan satu tangan. “Mari mulai permainannya.”

Maka kini Aalisha menyerang duluan dengan serangan yang cukup membuat Tiona bertahan dan langkahnya mundur. Jelas sekali jika gaya bertarungnya berubah dengan cepat bahkan tak sesuai dengan teknik dasar pedang. Selain menggunakan pedangnya, gadis kecil itu juga berusaha menyerang dengan kaki bahkan tak peduli jika kakinya terkena sabetan pedang karena gadis itu harus berhasil membuat wajah Tiona tergores dan mengeluarkan darah juga. 

Tiona berdecak karena tak ia sangka jika gadis ini mampu membuatnya tersudut, ia juga merasakan aura neith yang aneh, apakah dari gadis ini? Namun, mengapa pekat dan hitam seolah aura iblis yang berusaha membunuhnya? 

“Kau pikir aku akan kalah!!” teriak Tiona.

Aalisha terlempar cukup jauh dengan pedangnya lepas dari tangannya ketika Tiona dengan kuat menendangnya tepat di dada. “Sombong sekali kau hanya karena berhasil bertahan selama beberapa menit!”

Tak mampu menyahut karena lidahnya kelu, tubuh Aalisha juga terasa sakit. Mengapa pertandingan ini tak kunjung dihentikan, gila kah master Aragon sampai membiarkan murid baru terluka dan berdarah. Rasa kesal memenuhi dadanya karena sorakan yang mendukungnya tadi kini berubah menjadi hinaan karena Tiona kembali unggul. Bahkan jelas sekali terukir tatapan merendahkan dari Jasmine maupun Eloise. 

“Sialan,” gumamnya pelan sekali, “andai bisa, sudah kupotong lehernya.” Ia bangkit kembali dan tak berniat mengambil pedangnya maka Aalisha langsung berlari menuju Tiona. 

“Gadis gila!!” teriak Tiona, “baiklah jika itu maumu! Kemarilah gadis angkuh!!” Maka Tiona membuang pedangnya dan bersiap hendak menghajar gadis itu dengan sekuat tenaga.

Senyuman kecil Aalisha terpatri lalu dengan suara yang hanya dapat didengarnya sendiri. Aalisha berujar, “Latreia ….” Ketika hampir mendekati Tiona dan melancarkan serangan. Aalisha tersadar. “Sialan, tahanlah,” batinnya dengan cepat dan ia mengurungkan serangannya.

Hal itu sukses memberikan peluang bagi Tiona, kini dia meraih tangan Aalisha, dicengkeramnya sangat kuat lalu membanting tubuh gadis kecil itu sangat kuat ke tanah membuat tanah di sekitar keduanya hancur serta terbentuk bundaran di sana. Darah memuncrat dari mulut Aalisha ketika Tiona menekan perutnya dengan kedua lututnya, tangan kanan Tiona menekan kuat leher Aalisha hingga gadis kecil itu kesulitan bernapas.

“Sudah cukup!!” Aragon menginterupsi. 

“Gadis payah dan cacat.” Tiona mengangkat tangannya, lalu ia menyeka darah yang ada di sudut bibirnya. Ia masih belum puas untuk menghajar Aalisha, harusnya sampai gadis itu memohon ampun baru Aragon menghentikan latih tanding ini. Meskipun begitu, Tiona tetap merasa bangga karena ia sudah menunjukkan siapa yang lemah dan lebih kuat di pertandingan ini. 

“Tiona kembali ke barisan dan kau, obati lukamu di rumah sakit.” Master Aragon berujar, ia awalnya tak mau peduli, tetapi ketika awalnya ia berpikir gadis itu akan sangat kecewa dan sedih karena kalah, ternyata tidak. Gadis itu malah tersenyum seolah senyuman penuh kemenangan. 

Setelah Aalisha pergi dan latihan kembali dilanjutkan. Aragon menuju tempat seorang pria yang sejak tadi ia sadari menonton latihan ini juga. 

"Menjadi bagian dari para penonton, Arthur?"

Senyuman Arthur terukir kecil. Lelaki itu seperti biasa dengan pakaian yang mewah dan sangat pas di tubuhnya, kini ia terlihat mengenakan kacamata bulat. "Aku hanya menyaksikan pertunjukan opera dadakan, tak kusangka jika penontonnya akan sebanyak ini."

Sesaat Aragon berpikir keras. Pertunjukkan opera? Kadang ia sulit memahami kalimat yang dirangkai oleh Arthur karena rata-rata memiliki makna konotatif. 

"Tentu saja karena muridmu itu, membuat heboh akademi, bagaimana dia berani menyahuti perkataanku secara gamblang." Ahh, Aragon tidak peduli. Biarkan saja Arthur dengan segala majas dalam kalimatnya yang sulit dimengerti itu.

Kekehan kecil terdengar. "Bagaimana menurutmu tentang gadis itu?"

Aragon kembali dibuat terdiam dan berpikir. "Kurang, banyak sekali kesalahan dimulai dari kuda-kuda bertarungnya hingga caranya menyerang lawan. Ia lebih sering bertahan, mungkin karena merasa harus melindungi diri dari pada melawan balik. Syukurnya Tiona tidak serius, jika tidak, maka gadis itu pasti sudah tak sadarkan diri selama berhari-hari."

"Benarkah? Anda seyakin itu?" Arthur menatap Aragon.

"Apa kau punya persepsi berbeda, Arthur?" 

"Tidak, perkataan Anda benar, harusnya pertarungan tadi dilakukan dengan serius bukan hanya sekedar bermain-main seolah seorang pelakon dalam dramanya."

"Apa yang kau maksudkan?" tanya Aragon merasa curiga. Bagaimana tidak, siapa pun akan curiga karena cara bicaranya yang penuh makna ganda, memerlukan penalaran, serta seolah mengetahui banyak rahasia!

"Aku hanya ingin mengatakan … jika aku iri dengan kelasmu yang banyak sekali peminatnya."

Aragon menatap kepergian Arthur yang melangkah bak seorang raja yang paling dihormati penjuru dunia. Tak lama, Orly bawahan master Aragon muncul di belakangnya. 

"Arthur itu," ujar master Aragon. "Entah dari mana dia membawa gadis kecil itu, tapi gadis itu …."

****

Aalisha menjauh dari keramaian di lapangan sana. Tak ia sangka jika akan sangat babak belur bahkan wajah kanannya ada bekas biru meski tidak banyak. Beberapa bagian tubuhnya terasa sakit, serta tangannya memar juga. 

Helaan napas panjang terdengar kembali, betapa sial sekali hidupnya ini. Dari sekian banyaknya murid di sana, mengapa harus dia yang terpilih? Mana sudah berdarah sekali pun latihannya tidak dihentikan seolah Aragon sengaja ingin membuat Aalisha babak belur. 

Suara kekehan terdengar dari beberapa murid yang melewatinya. Jelas sekali mereka sedang membicarakan Aalisha, beruntung bagi mereka karena Aalisha tak mau berbuat perkara lagi. Jadi dia fokus melangkah entah hendak ke mana karena sejak tadi dia tidak berniat menuju rumah sakit. 

"Sial, sampai kapan aku harus pura-pura pincang begini," gumamnya hingga dia berhenti melangkah. 

Di pintu sana menuju salah satu taman dalam kastil akademi, terlihat sepi jadi dia pergi ke sana saja dan mendudukkan diri di bangku yang terbuat dari batu. 

Inilah tempat yang Aalisha butuhkan karena sejak masuk ke akademi ini, sulit sekali menemukan waktu dan tempat yang sepi—hanya ada dirinya seorang. Dia ingin sekali hidup di dunia yang terbebas dari tuntutan dan rasa sakit. "Meskipun dunia ini penuh dengan sihir, entah mengapa masih indah dunia sihir dalam novel-novel dan dongeng."

"Tentu saja karena semua itu ditulis oleh manusia, jadi dunia itu sesempurna perspektif yang manusia itu inginkan." Suara itu terdengar di belakang Aalisha. "Kau suka taman kecil ini? Aku yang merekomendasikannya ketika akademi ini direnovasi."

"Enyahlah! Aku tak mau …." Suara Aalisha tercekat ketika dia berbalik dan menemukan siapa yang sedang berbicara padanya. "Maafkan aku, Profesor! Aku tidak bermaksud … habisnya Anda tiba-tiba muncul, jadi aku terkejut dan kesal." 

"Sejak tadi aku berada di sini. Kau tiba-tiba saja datang dan tak tahu jika aku ada," ujar profesor Eugenius berjalan mendekati Aalisha atau lebih tepatnya sebuah patung yang di atasnya ada sarang burung. 

"Maaf, sebaiknya aku pergi."

"Tidak duduklah, kau sepertinya menyukai tempat ini."

Pria itu memiliki suara yang menenangkan layaknya seorang kakek tua yang berbicara pada cucunya. Pakaiannya hari ini berwarna putih-biru dengan kacamata bulatnya. Kini ia menatap pada sarang burung tersebut. 

Aalisha yang memang enggan pergi jadi duduk kembali. Dia memperhatikan profesor Eugenius yang begitu fokus pada sarang burung tersebut, ada empat telur di sana, entah ke mana pemiliknya. Mungkin mencari makanan atau bisa saja mati karena dipanah?

"Aku dengar kehebohan di sana, bagaimana keadaanmu?" 

"Buruk sekali, Delilah itu menyimpan benci padaku jadi ia takkan segan untuk membanting tubuhku ke tanah atau sampai aku pingsan. Dia benar-benar kejam."

Profesor Eugenius mengangguk meskipun tidak mengalihkan pandangannya pada sarang burung. "Meskipun dibanting berkali-kali pun dan terluka parah, kau pasti tetap mampu berjalan dengan tegak dan berlari ribuan kilometer. Seperti sekarang, kau merasa baik-baik saja."

"Itu hanya perkataan Anda, faktanya manusia sepertiku ini selalu dianggap paling lemah entah dari fisik dan segalanya."

Profesor Eugenius menatap pada Aalisha. "Nona Aalisha, apakah kau tahu telur burung apa ini?"

"Aku tak tahu," balas Aalisha asal saja jika pun dia tahu, dia sangat enggan menjelaskan panjang lebar sehingga membiarkan pria tua itu yang menjelaskan adalah pilihan terbaik. 

"Amadeo, burung ini masuk ke dalam kategori binatang magis karena mampu menggunakan sihir."

Aalisha terkekeh. Kini dia ingat burung apa itu, Amadeo. "Bukankah burung itu kecil? Meski masuk ke dalam kategori binatang magis, dia akan tetap kalah pada burung lainnya yang sama bisa menggunakan sihir."

"Mengapa kau berpikir begitu?"

"Bukankah sudah jelas, dia sangat kecil 'kan? Melindungi dirinya sendiri saja pasti akan sulit apalagi melindungi anak-anaknya."

"Seyakin itu? Aku tak merasa begitu," jelas profesor Eugenius yang sontak membuat Aalisha berdiri dan menatap sinis profesornya itu.

"Kenapa, apa alasannya? Bukankah begitu dunia ini memandang? Mereka yang lahir dari kasta bawah, tak punya kekuatan, tahta, harta akan selalu kalah dari mereka yang berada di atas. Sama halnya dengan burung ini, meski dia bisa menggunakan sihir, dia akan tetap kalah dari burung yang lebih besar, terutama pada makhluk hidup lain, seperti manusia apalagi bangsa iblis." Aalisha berani sekali menyahuti profesor Eugenius karena dia paling tidak suka jika argumennya dikalahkan orang lain. 

Profesor Eugenius menatap balik Aalisha tanpa amarah sedikit terpatri pada matanya. "Kau mengatakan hal itu karena merasa kesal atas kekalahanmu di latih tanding tadi atau merasa dunia begitu tak adil."

"Aku tak pernah kalah!!" Aalisha menekan setiap katanya. "Aku hanya …."

"Hanya apa?"

"Hanya berpikir jika dunia ini tidak pernah adil padaku," ujarnya.

"Jelas seperti itu dan takkan pernah berubah. Jadi menurutmu, keadilan seperti apa yang harus diberikan oleh para Dewa pada setiap Makhluk-Nya?"

"Tidak ada." Aalisha duduk kembali. 

Profesor Eugenius tersenyum simpul. "Dunia ini takkan pernah adil, begitulah pikir jutaan makhluk hidup di Athinelon. Namun, jika kau dan jutaan makhluk hidup itu berpikir jika dunia ini tak adil, bukankah itu yang dinamakan keadilan?"

"Aku paham, jadi aku tak memerlukan kata-kata puitis dan motivasi Anda," sahut Aalisha cepat. 

"Namun, kau harus paham akan satu hal Nona Aalisha bahwa sebenci apa pun kau akan dunia ini, setidaknya ada sesuatu yang membuatmu merasa jika dunia ini tidak begitu buruk."

Profesor Eugenius berujar kembali. "Para Dewa selalu adil, tanpa kita sadari saja. Sama halnya dengan burung kecil ini." Tidak Aalisha sangka kini seekor burung hinggap di jemari profesor Eugenius. Burung itu besarnya seperti burung kenari dengan bulu warna merah lalu ekornya berwarna biru.

"Burung itu?"

"Ya, kau tahu kisahnya. Jauh ribuan tahun lalu, pada salah satu generasi Majestic Families. Pernah ada perang besar-besaran melawan bangsa iblis yang membawa para monster dalam medan perang. Pasukan manusia harusnya kalah saat itu karena banyak sekali kematian di pihak manusia. Hingga salah seorang dari pihak manusia …."

"De Lune."

"Ya, dia melawan dengan segenap kekuatannya. Harusnya ia memanggil para monster yang sama kuatnya dengan pasukan musuh, tetapi ia malah memanggil burung ini, Amadeo Bird. Jelas sekali jika beberapa prajurit bahkan pemimpin pasukan lain marah karena burung lemah itu takkan mampu melawan para monster. Namun, hal itu salah. De Lune memanggil hampir 100.000 burung ini yang tak disangka para burung membawa batu beracun. Suara burung Amadeo mampu menciptakan halusinasi, ketika para iblis terjebak halusinasi mereka. Burung-burung itu menjatuhkan batu beracun tersebut ke pasukan iblis yang perlahan-lahan mati karena tubuh mereka meleleh.

"Burung ini memanglah kecil, Nona Aalisha, tetapi ia mampu membawa beban yang lebih berat dari tubuhnya. Ia takkan mati meskipun menghirup udara beracun dan dikatakan jika air liurnya bisa menjadi obat. Serta kau harus tahu, kalau burung ini menyimpan kapasitas neith yang begitu besar."

Aalisha menatap pada profesor Eugenius yang mendekatinya sembari mengulurkan tangannya dan kini Amadeo bird itu hinggap di bahu Aalisha. "Dunia ini tercipta untuk semua Makhluk para Dewa. Setiap Makhluk selalu disayang oleh para Dewa. Jadi keadilan pasti ada, meskipun hanya sebesar burung Amadeo ini."

"Ya, akan kuingat hal itu," sahut Aalisha dan perlahan burung itu menuju telapak tangannya. Dia menatap pada burung yang berkicau dengan lembut itu.

"Kurasa burung itu menyukaimu."

"Mungkin Anda yang memerintahkannya untuk menyukaiku."

"Tidak Nona Aalisha, burung itu menyukaimu. Percayalah padaku." 

Tak lama kemudian, keduanya tersadar ada tamu kecil yang datang, oh ralat, beberapa tamu kecil dan berbulu halus kini mendekati mereka. Salah satunya punya badan cukup gemuk dengan bulu warna cokelat lalu ada yang agak kecil dengan bulu berwarna putih bersih.

Profesor Eugenius langsung berujar, "lihatlah, tamu-tamu ini datang kemari."

"Kurasa mereka tersesat, seharusnya Anda membuat kandang atau taman khusus untuk para kelinci."

Gelengan kecil terlihat pada profesor Eugenius yang berjalan mendekati salah satu kelinci. Ia gendong kelinci tersebut kemudian mendekati Aalisha kembali. Sambil mengelus kelinci itu pelan. "Mereka tak tersesat, mereka datang sebagai tamu karena hendak bertemu denganmu, Nona Aalisha. Ah, sepertinya, kamu harus berbagi tips agar disukai banyak binatang dengan mudahnya."

Jelas saja perkataan profesor Eugenius mengundang tawa Aalisha hingga Amadeo bird jadi terbang kembali ke sarangnya. Gadis itu benar-benar tertawa lepas, tak tahu mengapa, tetapi sangatlah lucu perkataan kepala sekolahnya ini. Benar-benar menghibur Aalisha yang suasana hatinya sedang tidak baik.

"Kini aku tahu kenapa Anda dikatakan sebagai kepala sekolah terbaik selama Akademi ini berdiri."

"Aku suka pujian itu." Maka profesor Eugenius menaruh kelinci putih tersebut di atas pangkuan Aalisha. "Sekarang beristirahat lah, kau sudah bekerja keras hari ini. Aku ada urusan lain, jadi sampai bertemu lagi pada obrolan hangat selanjutnya …."

Sepeninggalan profesor Eugenius, Aalisha mengelus kelinci putih itu dengan pelan, beberapa kelinci lain terlihat mendekati Aalisha dan berdiam di bawah kakinya. Semilir angin bertiup membuat perasaan kantuk menyelubungi. 

"Ya, hari ini tak begitu buruk."

****

Anila dan Mylo tak menyangka jika Aalisha tidak berada di rumah sakit bahkan perawat berujar jika tak ada gadis pendek terluka ke rumah sakit. Itu artinya gadis itu sama sekali tidak mengobati lukanya jadi di mana dia sekarang?

"Apa dia depresi dan berniat bunuh diri karena kalah dari Tiona?" ujar Mylo. 

"Bodoh! Buang pikiran gilamu itu. Lagi pula Aalisha tak mungkin melakukannya," sahut Anila. 

"Harusnya kau obati lukamu dulu." Mylo kembali berujar. 

"Aku tak terlalu parah." Jadi keduanya sempat terpilih dalam pertarungan dan melawan murid dari kelas lain. Tentu saja mereka berhasil menang dan tak terluka separah Aalisha. 

"Kurasa dia kembali ke kamarnya?" ucap Mylo ikutan mempercepat langkahnya karena kepanikan Anila membuat gadis itu berjalan sangat cepat. 

"Ya kita akan ke sana," sahut Anila. 

Baru berbelok ke koridor yang berbeda, mereka menghentikan langkah karena hampir saja menabrak gadis kecil yang mereka cari sejak tadi. 

"Kau dari mana saja? Kau bahkan tak pergi ke rumah sakit!" teriak Anila, "lalu apa-apaan kelinci di atas kepalamu itu?!"

"Kenapa ada kelinci? Dari mana itu?! Kau ini dari mana sih?" Mylo jadi kebingungan juga. Sebenarnya gadis ini kenapa? Dia dengan santainya berjalan ke sana-kemari dengan tubuh penuh luka dan kini entah dari mana mendapatkan kelinci!

"Ah …." Aalisha menunjuk kelinci putih di atas kepalanya. "Dia tak mau lepas dariku jadi kubawa dulu, nanti kembali sendiri kok. Kalian harusnya ke rumah sakit 'kan? Obati luka kalian."

"Akulah yang harusnya berkata seperti itu!!" teriak Anila sedangkan Mylo terkekeh kecil dan Aalisha hanya diam dengan wajah polosnya. 

Sungguh Aalisha tak bisa memahami kekhawatiran Anila. Apakah seorang Andromeda selalu mengkhawatirkan banyak hal? Bahkan yang tak penting sekali pun? Sepertinya memiliki kecerdasan juga sebuah bencana. 

“Kau akan membawanya ke asrama?” tanya Mylo ketika mereka berjalan hendak ke asrama mereka. Aalisha dipaksa berkali-kali untuk ke rumah sakit, tetapi terus menolak. “Kau masih marah?” Mylo menatap pada Anila.

“DIAM!” sahut Anila

“Akan kutaruh di halaman belakang asrama nantinya,” ujar Aalisha kembali mengelus kelinci di atas kepalanya.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Hola^^ Bagaimana dengan chapter ini?

Jujur, interaksi yang paling gue suka itu. Interaksi antara Aalisha dan master Arthur serta Aalisha dengan profesor Eugenius.

Kalau sama profesor Eugenius kayak tenang aja gitu, kayak nulis adegan kakek dengan cucunya:) Kalau kalian paling suka interaksi antara tokoh mana?

Prins Llumière

Kamis, 25 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top