Chapter 21

Hari ini tetap berjalan dengan normal meskipun ada serangan tak terduga terjadi di pagi tadi. Kejadian itu tersebar dengan cepat oleh para Orly yang akhirnya satu akademi mengetahuinya. Kini jadilah topik baru yang mereka bicarakan dari satu teman ke teman lainnya, dari satu kelas ke kelas lain yang mereka berpikir jika angkatan baru adalah angkatan yang benar-benar gila padahal tidak ada keturunan utama Majestic Families. Banyak sekali kejadian mencengangkan terjadi di angkatan baru padahal belum satu bulan di sekolah ini. Beberapa murid di angkatan baru mengetahui jika Aalisha menjadi pahlawan dadakan saat itu, tidak dengan kakak tingkat mereka yang hanya mendengar rumor jika kelas itu selamat karena salah satu murid sadar akan serangan tiba-tiba. 

Berada di ruangan kepala akademi yang terletak di Headmaster's Tower. Seorang pria yang terbalut pakaian bangsawan dengan warna hitam serta jubahnya yang panjang. Ia juga mengenakan kacamata bulat. Kelasnya hari ini hanya sebentar saja karena kepala akademi alias profesor Eugenius memanggilnya bersama beberapa profesor lain untuk mengecek anak panah yang dilapisi racun tingkat tinggi. Kini master Arthur akan menghadap profesor Eugenius dan menjelaskan segala masalah yang terjadi dan apa yang ia temukan. 

“Akhirnya Anda datang juga master Arthur," ujar profesor Xerxes.

Berada di ruangan profesor Eugenius itu, ada beberapa pengajar atau profesor. Seperti profesor Xerxes, profesor Madeleine, profesor Ambrosia, profesor Reagan serta Orly yang melayani profesor Eugenius yaitu Tamerlaine.

“Maaf atas keterlambatanku karena profesor Astrophel tadi ada urusan penting sebelum membantuku untuk mengecek masalah penyerangan ini,” ujar master Arthur. 

“Tak masalah, sebenarnya tak perlu terburu-buru,” ungkap profesor Eugenius. 

“Tak masalah? Murid-murid itu hampir dalam bahaya jika Xerxes tidak bertindak cepat,” sahut Ambrosia masih saja panik. Meskipun dikenal mengerikan dengan bonekanya yaitu Lilura, Ambrosia termasuk profesor yang sangat perhatian dan juga mudah khawatir. 

“Ambrosia tenanglah. Anak-anak itu baik-baik saja, mereka juga sudah dilakukan pengecekan, kita sebagai pengajar harusnya bisa lebih tenang karena anak-anak itu saja dapat bersikap tenang setelah kejadian tadi.” Profesor Eugenius kemudian menatap pada Tamerlaine. “Tolong seduhkan teh, ohh tambahkan bunga di atasnya, kemarin sangat enak tehnya.”

“Laksanakan Profesor,” ujar Tamerlaine memohon izin ke belakang untuk menyeduhkan teh. 

“Baiklah kalau begitu yang Anda katakan,” ujar Ambrosia yang mendapat tepukan di pundak oleh profesor Madeleine agar tenang. 

“Jadi bagaimana Arthur, apa yang kau dapatkan?” sahut Xerxes.

“Aku dan profesor Astrophel sudah mengecek anak panah itu dan memang benar sesuai dengan perkataan profesor Xerxes sebelumnya jika anak panah itu mengandung racun tingkat tinggi yang setelah meledak akan menyebarkan racun melalui pernapasan. Kami meneliti dengan mudah dan mengetahui bahwa racun itu adalah glentisite.”

"Sudah kuduga," sahut profesor Xerxes.

“Kau serius Arthur?” ujar Madeleine. 

“Aku sangat serius Profesor Madeleine. Glentisite adalah racun khusus yang digunakan dalam perang atau pertarungan, racun ini diciptakan oleh keluarga Drazhan Veles untuk melakukan penyucian secara besar-besaran terhadap wilayah kekuasan iblis. Sehingga racun tersebut  adalah racun yang sama yang membinasakan para pasukan iblis. Beruntungnya, ketika kami teliti, kandungan racun glentisite dalam anak panah tersebut tidak sekuat dengan glentisite yang digunakan dalam peperangan. Beruntung sekali, selain karena cepatnya profesor Xerxes bertindak untuk membuat pelindung. Alasan lainnya karena racun yang masih lemah itu, membuat para murid selamat dan masih hidup hingga detik ini.”

“Kata-katamu itu cukup mengerikan Arthur, para murid itu memanglah harus hidup!” sahut profesor Madeleine yang meskipun paham cara Arthur memilih penggunaan kata dalam kalimatnya, tetap saja jika mendengar langsung membuatnya tak habis pikir. 

“Bagiku meskipun racunnya setara glentisite dalam peperangan, anak-anak itu akan tetap hidup,” sahut Arthur tersenyum tipis. 

“Sudah cukup. Intinya mereka selamat jadi apa yang kau dapatkan lagi, siapa dalangnya?” sahut Ambrosia sembari memperhatikan Tamerlaine yang datang membawa nampan berisi teh yang profesor Eugenius pinta seduhkan. 

“Ambrosia benar, apakah ada penyusup, tapi aku mengecek pada Orly yang bertugas menjaga barrier di akademi ini, ia berkata jika tak ada orang asing yang memasuki barrier,” timpal profesor Reagan. 

Keseluruhan Akademi Eidothea— tidak termasuk Prairie Lynx Woods dan danau  —dilindungi oleh barrier yang dibuat dari mantra tingkat tinggi. Melalui barrier ini juga diberikan semacam pendeteksi yang akan mengetahui jika ada sesuatu yang asing tiba-tiba masuk ke wilayah akademi.

Master Arthur meletakkan cangkir tehnya, tak bisa ia sangkal jika teh ini benar-benar enak, pantas saja profesor Eugenius sangat menyukainya. Arthur sangat suka aroma yang dihasilkan teh ini. Setelah memuji teh di dalam benaknya sendiri. Arthur menatap pada para profesor yang memberikan tatapan penuh rasa khawatir, berbeda dengan profesor Eugenius yang sangatlah tenang. 

“Aku sudah meminta para Orly untuk mengecek setiap titik di akademi ini dan juga mengecek titik yang kuperkirakan menjadi tempat di mana anak panah itu diluncurkan, tetapi hasilnya nihil. Jika diasumsikan kejadian ini karena kecelakaan murid pelatihan panah, maka sama nihilnya. Pertama, setelah para Orly mengecek, tidak satu pun kelas yang melakukan pelatihan panah, sebenarnya ada beberapa kelas yang mendapat mata pelajaran memanah di jam terjadinya kejadian, tetapi mereka tidak berada di lapangan melainkan hanya diberikan arahan untuk membaca materi. 

“Kedua, jika pun ada murid yang berlatih di luar jam kelas, mustahil mereka dengan sengaja atau tidak sengaja melapisi anak panah mereka dengan racun glentisite karena akademi tak membuat racun itu. Ketiga, titik yang kuperkirakan menjadi titik di mana anak panah itu berasal, tak ada tanda-tanda yang aneh, satu pun.”

“Itu artinya kalian tak menemukan apa pun? Lalu dari mana serangan itu terjadi?!” sahut Ambrosia, “pelaku kejadian ini pasti tidak main-main karena menggunakan racun tingkat tinggi.”

“Aku tak mengatakan jika investigasi kami selesai Ambrosia, karena salah satu Orly suruhanku langsung—" 

Perkataan Arthur terinterupsi ketika seorang pria, tidak, seseorang seperti anak laki-laki dengan pakaian putih bersih lalu ada renda, celana hitam selutut serta baret hitam di kepalanya masuk ke ruangan tersebut. Meskipun seperti anak kecil, dia adalah Orly yang sudah berumur puluhan tahun bahkan lebih tua dari Arthur. Hanya fisiknya saja yang pendek. Orly itu berhenti di depan semua yang ada di sana, lalu meletakkan satu tangannya di dada kiri, kemudian memberi hormat. 

“Maaf atas keterlambatan dan ketidaksopananku karena masuk sembarangan, habisnya tak seorang pun mendengar ketukanku tadi.” Ia berujar.

Orly yang menjadi pelayan master Arthur itu bernama Ethan Eveston. Meskipun seperti anak kecil, sesungguhnya ia adalah orly yang sangat kuat bahkan membuat kontrak dengannya sangatlah sulit dikarenakan ia begitu angkuh. 

“Tanpa basa-basi, setelah aku mengecek semua titik yang menjadi tempat di mana serangan itu dimulai. Aku tak menemukan apa pun, jadi aku memperbesar area investigasi hingga ke Prairie Lynx Woods, lalu aku menemukan ini.”

Ethan mengeluarkan semacam belati dari invinirium-nya lalu ia serahkan pada Arthur. Belati itu sepanjang lengan orang dewasa, berwarna perak, gagangnya emas mengkilap, dan ada ukiran aksara kuno di bilah belati tersebut, lalu terdapat bekas darah dan sudah mengering. Hal yang menjadi sorotan adalah lambang yang terukir pada gagangnya. 

“Apa itu?” tanya profesor Ambrosia. 

“Pertanyaan yang bagus untuk memulai kabar buruk meskipun tak terlalu buruk. Belati itu kutemukan menancap di leher binatang liar dalam hutan tersebut, sungguh mengenaskan karena organ tubuhnya dikeluarkan. Lalu yang mengejutkannya adalah kutemukan tipe racun yang sama persis dengan anak panah dalam tubuh binatang tersebut, yaitu glentisite."

"Itu artinya," ujar profesor Madeleine kembali menatap simbol atau lambang yang terukir di belati.

Ethan kembali berujar, "ya kemungkinan besar mereka pelakunya dengan artian Akademi Eidothea kedatangan tamu tidak diundang. Mereka adalah Phantome Vendettasius.”

Suara gebrakan meja terdengar, profesor Reagan tak menyangka jika organisasi paling keji itu adalah pelakunya. “Apa yang mereka lakukan, mengapa mereka mengincar akademi ini?! Dari sekian banyaknya organisasi gila di dunia ini. Mengapa harus mereka?”

“Harusnya Anda tak perlu bertanya lagi,” sahut Ethan, “ada tiga Majestic Families keturunan utama di sini, bukankah penyerangan tahun lalu sudah cukup menjadi alasan jika organisasi paling kejam itu masih hidup dimuka Athinelon dan merangkak demi Tuan mereka?”

Profesor Ambrosia berujar, “oke itu logis, tapi kenapa mereka mengincar anak-anak di kelas itu padahal tak ada seorang pun yang berasal dari Majestic Families?"

“Mengenai hal itu—” Belum sempat Arthur berujar, Ethan sudah memotong dengan nada sombongnya. 

“Pertanyaan bodoh macam apa itu?”

“Ethan!” Master Arthur menatap sinis.

Senyuman Ethan terukir. "Maafkan Hamba yang tidak sopan ini, Hamba tak bermaksud untuk menghina. Bagi Hamba sendiri, banyak alasan mengapa anak-anak itu diincar. Pertama, bisa saja serangan tadi hanyalah permulaan untuk serangan lainnya sehingga mereka menargetkan tak tentu. Kedua, target mereka tetaplah para Majestic Families, serangan tadi cuma untuk mengelabui saja atau yang ketiga, mereka memang menargetkan seseorang di kelas itu. Banyak sekali alasan, bahkan alasan salah target pun bisa diasumsikan!"

"Dia benar, dia benar. Bisa saja target mereka adalah aku karena aku berasal dari Majestic Families Nerezza," timpal profesor Xerxes yang merasa bersalah karena jika alasannya adalah dirinya maka dia telah membahayakan para muridnya.  

"Ya bisa saja itu salah satu alasannya, lalu teruntuk Ethan, bisakah kau sedikit memperbaiki tata bicaramu," sahut Arthur. 

"Oh ayolah Master, jangan terlalu cepat emosi dan kaku begitu," ucap Ethan. 

Arthur merasa kesal dengan semua sifat dan tatapan Ethan. Atas inilah dari sekian banyaknya Orly yang dia miliki, Ethan termasuk Orly yang jarang Arthur perintahkan karena sifatnya yang susah diatur dan suka membangkang. Bahkan Ethan suka berlaku seenaknya. 

"Kau sudah tak diperlukan lagi, kembalilah," sahut Arthur. 

Ethan memasang wajah cemberut. "Jahat sekali Anda, Master, biarkan aku berada—"

"Pergi, tugasmu sudah selesai." Arthur menekan setiap perkataannya. 

"Baiklah jika itu yang Anda inginkan." Ethan membungkuk lalu pergi meninggalkan ruangan. 

"Profesor Eugenius, kurasa pelaku utama kejadian ini kemungkinan adalah  Phantome Vendettasius dan aku akan tetap memerintahkan para orly dan para penjaga untuk mengecek ulang seluruh akademi agar memastikan keadaan sudah aman."

Profesor Eugenius mengangguk lalu berujar, "terima kasih Arthur, kurasa pertemuan ini selesai."

"Selesai begitu saja?" sahut Ambrosia. 

"Tentu Profesor Ambrosia, kita tak mendapat petunjuk lain selain belati tadi, lebih baik anggap saja serangan tadi selesai begitu saja karena jika kita terus mengumbar dan panik, maka para murid akan ikutan panik. Sebisa mungkin, kita anggap bahwa kita tak tahu jika pelakunya adalah mereka lalu diam-diam bergerak karena Arthur akan mengurus hal itu," jelas profesor Eugenius.

"Kalian serius? Ini bicara soal mereka, apa tak mau diselesaikan secara tuntas dengan melapor pada pihak kerajaan atau lakukan sesuatu, bagaimana jika anak-anak itu celaka lagi?" ujar Ambrosia masih belum tenang. Di ruangan itu, profesor Ambrosia termasuk paling muda jadi wajar saja dengan reaksinya yang begitu berlebihan karena menyangkut hidup murid-muridnya. 

"Ambrosia, kau tak perlu khawatir. Arthur akan mengurusnya, jika kita melaporkan hal ini pada pihak kerajaan, mereka belum tentu akan bergerak bahkan bisa saja mereka menyuruh kita menyelesaikan masalah ini dengan sendirinya. Jika kita memperkeruh keadaan, para murid akan ketakutan. Kau tahu kalau setelah penyerangan tadi para murid masih tenang-tenang saja, jadi bagaimana jika kau juga menenangkan diri," ujar profesor Eugenius.

"Yang dikatakan Profesor Eugenius benar," sahut Arthur. 

"Baiklah kalau itu yang kalian katakan, tapi berjanjilah jika mereka akan baik-baik saja untuk ke depannya," ucap profesor Ambrosia menatap sinis. 

Arthur tersenyum tipis. "Akan kuusahakan, tapi tidak janji, maafkan aku."

"Kalau begitu, kalian boleh kembali untuk mengajar karena para murid akan bahagia lagi jika kelas ditiadakan seperti amukan binatang magis waktu itu." Profesor Eugenius pun mengizinkan mereka semua untuk kembali mengajar. 

Semua profesor pergi meninggalkan ruangan profesor Eugenius terkecuali Xerxes dan Arthur. 

"Adakah yang hendak kau katakan?" tanya profesor Eugenius. 

"Aku tak menyangka jika mereka mulai bergerak. Meskipun hanya para pengikut tingkat bawah, tetap saja berbahaya. Jika benar incaran mereka adalah para murid maka akan sulit untuk melindungi mereka semua. Kalau para Majestic Families ada kemungkinan mereka mampu melawan balik, tetapi para murid …."

Arthur paham kegundahan profesor Xerxes yang meski ia berasal dari keluarga cabang Majestic Families, ia begitu perhatian pada murid di luar Majestic Families. "Anda tak perlu khawatir, Profesor. Organisasi itu—"

Xerxes langsung menyahut, "tidak, bukan khawatir akan hal itu, Arthur. Aku—"

"Mengkhawatirkan takdir yang mengenaskan akan menimpa setiap murid di akademi ini oh atau 'murid' di akademi ini. Apa aku benar?" Suara itu terdengar dari Ethan yang muncul kembali. Sepertinya sejak tadi, ia diam-diam menguping karena tak bermaksud pergi. 

"Maafkan atas sifat pembangkangannya, Profesor Eugenius dan juga Profesor Xerxes. Aku harus merantai lehernya agar ia menurut sedikit," sahut Arthur dengan dingin. 

"Tidak. Apa yang dia katakan itu benar. Itulah yang kukhawatirkan bukankah kau juga mengkhawatirkan hal yang sama Arthur?" sahut profesor Xerxes.

Sesaat Master Arthur terdiam lalu menghela napas. "Tidak, kuyakin segalanya bisa selesai."

"Apa yang membuatmu seyakin itu, Arthur?" tanya Xerxes benar-benar sulit memahami isi pikiran dari Arthur ini.

"Karena takdir selalu berpihak pada yang ‘pantas’," ucapnya tersenyum tipis. "Aku mohon undur diri karena ada kelas selanjutnya yang menungguku."

Profesor Eugenius tersenyum simpul. "Baiklah, kau juga Xerxes, kembalilah untuk mengajar dan anggap saja jika Arthur akan mengendalikan situasi ini."

"Baiklah Profesor, aku mohon undur diri."

Tamerlaine kembali menuangkan teh ke cangkir profesor Eugenius. "Adakah  buku yang ingin Anda baca, Profesor?"

****

Masih ada jeda sebelum kelas selanjutnya jadi Aalisha memutuskan untuk bertemu dengan Nicaise dan mengambil novel yang ia maksudkan. Oh ayolah mengapa ia harus melakukan hal ini? Aalisha hanya berpikir jika tidak ia ambil sekarang, bisa saja Nicaise yang akan menemuinya maka hal itu adalah bencana. Pergi ke sana saja, ia sendirian karena tak mau Mylo atau Anila mengetahuinya. 

Berbicara akan kejadian tadi, satu kelasnya tetap melakukan pemeriksaan di rumah sakit akademi untuk memastikan jika tak satu pun terkena racun. Mengingat semua itu, tentu masih membuat Aalisha kesal, bagaimana bisa serangan itu terjadi? Apa jadinya kalau profesor Xerxes tidak bertindak cepat, bisa-bisa ada kematian massal pada hari ini. Sungguh menyedihkan sekali hidup Aalisha di akademi ini padahal satu bulan saja belum terlewati. Jika awal semester saja benar-benar gila. Bagaimana ke depannya? Sungguh neraka dunia. 

Dari kejauhan ia melihat beberapa anak asrama Faelyn dengan jubahnya berciri khas warna red devil. Diketahui semua murid bahwa setiap asrama memiliki ciri khasnya masing-masing jadi tak heran jika anak-anak terkadang menyempatkan diri untuk mengunjungi kastil asrama lain untuk melihat keunikan setiap asrama, terutama para murid angkatan baru. 

Entah hal ini kekanak-kanakan, tetapi bagi setiap murid melihat keindahan dan rahasia dari akademi ini adalah salah satu anugerah para Dewa. Ya, menurut Aalisha tak begitu buruk untuk melihat keindahan akademi Eidothea ini, tentu saja sebelum akademi ini yang suatu hari bisa saja hangus terbakar. Benar 'kan?

Bangunan atau kastil kecil asrama Faelyn terletak tepat di Barat Laut (northwest). Jarak antara asrama ke gerbang bagian utara akademi sekitar 110 meter, sedangkan jarak ke gerbang sebelah barat sekitar 200 meter. Ya, lumayan melelahkan. Padahal jaraknya kurang lebih juga antara asrama Arevalous dengan gerbang utama kastil Eidothea. 

Langkah Aalisha terhenti ketika melihat beberapa murid dari asrama lain yang berlari ketakutan karena seorang Orly menakuti mereka dengan cara menggugurkan dedaunan lalu menciptakan suara-suara aneh. Aalisha juga melihat Orly perempuan yang berbalut gaunnya kemudian mengusik murid laki-laki yang sedang santai membaca buku dengan cara menggoda bahkan berniat untuk mencium lelaki itu yang berakhir pergi dari sana. Lalu ia lihat juga di meja bundar yang atasnya terdapat teko dan cangkir, ada seorang Orly wanita dengan pakaian bangsawan, gaun yang berenda lalu mengenakan cartwheel hat atau topi bundar besar yang hampir sebesar roda, lalu berwarna hitam. Wanita Orly itu sedang merokok menggunakan pipa rokok yang terbuat dari kayu. 

Aalisha menyadari sesuatu kalau asramanya akan terhampar bunga hyacinth maka sepanjang jalan setapak menuju asrama Faelyn terdapat pohon-pohon dengan para Orly sebagai penunggu pohon tersebut. Itulah mengapa para Orly ada banyak di sini, para Orly itu sering sekali mengganggu para penghuni asrama bahkan pengunjung atau mereka di luar asrama Faelyn. Mengetahui sifat para Orly, pastinya mereka menjadi pembawa kabar dan juga gosip. Oleh karena itu, anak-anak asrama Faelyn mudah sekali mengetahui informasi atau berita terbaru karena pusat gosip berada di sini. 

"Ah, pengunjung lagi, mau minum cokelat hangat denganku dulu? Aku baru saja menyeduhnya," ujar Orly dengan rambut dikepang, ia perempuan cukup anggun dengan pakaiannya berwarna merah muda.

"Tidak terima kasih, aku sedang berpuasa," sahut Aalisha asal dan mempercepat langkahnya. Terlihat Orly itu merasa sedih. 

Baru lepas dari Orly itu, datang lagi Orly yang berbeda, tetapi ia lelaki dan sifatnya sangatlah menyebalkan serta mengundang untuk digampar. "Hai Dek, kau tersesat, anak mana? Apa orang tuamu profesor di sini?"

"Bajingan, aku murid akademi ini." Aalisha menatap sinis dan sukses tawa Orly itu meledak. 

"Maafkan aku, aku pikir, kau anak kecil tersesat. Oh astaga Nona maafkan aku, kau perlu makan makanan bergizi untuk menambah berat badan dan tinggimu—"

"Garrix!!" Suara itu terdengar mendekat ke arah Aalisha dan Orly bernama Garrix. "Jangan ganggu dia!" 

Garrix langsung berbalik dan menundukkan wajahnya, dia juga begitu cemas dan panik bahkan tangannya gemetar seolah ketakutan. "Maafkan Hamba, Hamba tak menyangka jika dia teman Tuan."

Ternyata itu Nicaise yang berjalan dengan membawa sekitar tiga buku. Langkahnya berhenti, membuat Aalisha harus mendongak agar melihat wajah serta manik mata ungunya yang indah itu. "Sekarang pergi," sambung Nicaise pada Garrix dan Orly itu melesat pergi. 

Kini manik mata itu menatap pada Aalisha. Tadinya Nicaise terlihat seram dan tegas pada Garrix, tetapi ketika berujar pada Aalisha, ia berubah menjadi lemah lembut. "Kau tak apa? Apa dia mengganggumu, dia mengatakan sesuatu?"

"Dia hanya berkata jika aku seperti anak kecil yang tersesat dan kekurangan gizi." 

"Harus kubunuh Orly itu. Aku meminta maaf atas sifat kurang ajar Garrix."

Sesaat Aalisha hendak tertawa. Bagaimana bisa Nicaise meminta maaf atas nama dari seorang Orly? Lelaki itu terlalu baik atau apa? "Tak masalah, sudah menjadi sifat para Orly sebagai makhluk yang terkadang bajingan."

Nicaise tersenyum tipis. "Jadi akhirnya kau berkunjung, bagaimana dengan asrama ini?"

"Ramai dengan Orly dan aku tak suka karena mengganggu," sahut Aalisha sangat jujur yang perkataannya seolah menjadi belati menusuk dada Nicaise berkali-kali. 

"Ahh, benar sih, tapi mau gimana lagi sudah menjadi habitat atau rumah mereka. Setiap pohon di sini dilarang untuk ditebang, jika ada yang melakukannya maka akan mendapat hukuman dari pihak Akademi bahkan bisa terancam dikeluarkan."

Aalisha mengangguk sekilas. “Begitu, untung saja aku bukan masuk asrama Faelyn."

"Oh ya, kau baik-baik saja, aku dengar jika terjadi serangan mendadak ketika kelasmu?"

Aalisha memicingkan mata menatap Nicaise. Pasti dia tahu karena kabar dari Orly. "Ya, jadi mana bukunya?”

Nicaise menghela napas. Gadis ini benar-benar hendak menghindarinya. Harusnya Aalisha merasa senang karena ditanya kabar oleh Nicaise. “Kau serius hanya kemari untuk mengambil buku, tak mau berkeliling dulu?” 

Aalisha sangatlah enggan untuk berkeliling, ia juga sadar jika mereka kembali menjadi sorotan murid-murid. Nicaise benar-benar menjadi matahari sehingga planet-planet mengelilinginya. “Maaf tidak, tapi aku masih ada kelas setelah ini.”

“Baiklah.” Nicaise tersenyum kecil. “Akan kuambil di kamar dulu karena aku tak tahu kalau kau akan mengambil sekarang, uhm kau bisa tunggu di sana.” Nicaise menunjuk pada halaman depan asrama yang terdapat banyak tempat duduk jadi mau tidak mau Aalisha harus menurut dari pada berdiri di sini seperti orang bodoh. 

“Cepatlah.”

Berada di area samping asrama ini, ternyata ada sebuah bangunan berupa reruntuhan kecil dan sangat kuno. Reruntuhan itu berbentuk segi panjang, terdiri dari dua pilar biasa di bagian belakang yang menopang langit reruntuhan sedangkan dua pilar lainnya berada di depan. Dua pilar itu masing-masing berbentuk kesatria dengan segala armor-nya dan memegang dua pedang sehingga totalnya ada empat pedang. Keempat pedang tersebut tertancap di tanah. Di dada armor kedua ksatria tersebut, ada kristal yang akan memancarkan cahaya merah ketika malam hari. 

Ah, jadi ini salah satu keunikan setiap asrama. Ada semacam patung atau apa pun itu? Pantas saja beberapa murid berniat untuk mengunjungi setiap asrama, tetapi masih padat akan jadwal kelas. Kemungkinan pada hari minggu, akan terjadi perlombaan mengunjungi asrama di akademi ini.

Nicaise akhirnya datang juga dengan novel yang berjudul Servant of Evil. Dilihat dari sisi manapun lelaki ini memang pantas jika dikatakan sebagai tokoh dalam dongeng. Siapa pun akan percaya akan hal itu. Di dunia ini, ada beberapa ras yang tampangnya sangatlah diberkahi para Dewa dengan artian begitu tampan dan cantik, ras makhluk hidup adalah ras Elf dan ras Siren. Namun, ternyata tidak perlu jauh-jauh hingga menemui ras Elf  maupun Siren karena Nicaise saja sudah cukup yang menjadi makhluk disayang oleh para Dewa. 

“Ini novelnya, kembalikanlah setelah kau selesai membacanya."

"Ya terima kasih." Aalisha langsung mengambil novel tersebut begitu saja, gadis itu sepertinya tidak berniat melakukan basa-basi. Nicaise jadi bingung karena biasanya orang lain pasti hendak melakukan basa-basi agar lebih lama berbicara dengannya. 

Nicaise menatap ke mana Aalisha menatap, yaitu reruntuhan di samping asramanya. Bagi murid asrama Faelyn, warisan turun-temurun diberikan pada setiap angkatan asrama ini yaitu kisah tentang reruntuhan kuno tersebut. 

Alkisah jika reruntuhan itu dulunya kastil yang begitu megah, tetapi karena suatu hal terjadi, entahlah, tak ada yang tahu pasti alasannya, ada yang berkata jika kastil tersebut hancur dan menyisakan reruntuhan itu karena bencana alam. Ada juga yang bilang karena kastil tersebut dihancurkan oleh seorang Majestic Families dan tersisa reruntuhannya saja. Namun, apa pun alasannya, reruntuhan itu adalah bangunan keramat yang dilindungi oleh pihak akademi. 

"Reruntuhan itu menjadi ikon dari asrama ini, ya begitu juga pohonnya, kalau Arevalous punya patung Undefeated Goddess, maka kami punya reruntuhan itu,” ujar Nicaise yang memulai obrolan karena Aalisha terlihat hendak segera beranjak dari sini.

"Begitu menarik sekali." Sebenarnya Aalisha tidak terlalu peduli, tetapi dia kembali menatap reruntuhan itu karena ada sesuatu yang membuatnya penasaran.

Kisah selanjutnya mengenai reruntuhan itu adalah keberadaan Orly penunggu yang tinggal di sana dan dikatakan sebagai penjaga sekitaran tanah reruntuhan serta asrama Faelyn. Orly itu sudah sangat tua dan berumur hingga melebihi 500 tahun mungkin juga umurnya mencapai 1000 tahun lebih bahkan ada yang mengkategorikannya sebagai Ancient Orly.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seorang Orly meskipun tercipta sebagai pelayan, tetapi kesombongan sangat melekat pada mereka. Salah satu kesombongan para Orly adalah mereka terkadang tidak mau menampakkan wujud mereka kepada sembarang Makhluk hidup serta membuat kontrak terkecuali dengan Makhluk Hidup yang terpilih dan istimewa bahkan harus dikaruniai oleh Dewa.

Maka Orly di reruntuhan itu juga punya kesombongan yang sangat tinggi. Selama para murid berada di akademi ini, terutama murid asrama Faelyn, mereka sama sekali tidak pernah melihat wujud Orly penjaga reruntuhan tersebut. Sudah banyak yang mencoba untuk memantaskan diri agar sang Orly mau menampakkan dirinya, tetapi hasilnya sangat nihil.

Lama-kelamaan banyak yang berkata jika kehadiran Orly itu adalah mitos belaka dan tak pernah ada di sana.  Hingga pada salah satu angkatan Faelyn terdahulu pernah mengusik reruntuhan tersebut untuk membuktikan apakah sungguhan kehadiran Orly itu, tetapi tidak terjadi apa-apa padahal biasanya seorang Orly yang diusik oleh makhluk hidup— bukan master atau pembuat kontrak —maka Orly tersebut akan melakukan balas dendam. 

Seminggu berlalu sejak salah satu murid mengusik reruntuhan, tak terjadi juga balas dendam tersebut maka banyak yang percaya jika Orly kuno itu memanglah mitos belaka. Hingga pada suatu malam, hujan dan petir bergemuruh hebat dan hanya terjadi di sekitaran asrama Faelyn.  Para murid di asrama tidak bisa keluar dari asrama dan terjebak di sama bagaikan di penjara. Hingga esok pagi pun, para murid masih terkurung maka para profesor harus turun tangan. Ketika ditelusuri, diketahui sebab bahwa Orly kuno di reruntuhan marah besar karenanya dia mencari waktu yang tepat untuk menghukum satu asrama. 

Beruntungnya masalah itu terselesaikan dengan murid yang mengganggu Orly tersebut meminta maaf. Sejak saat itu, setiap murid kembali percaya jika Orly kuno itu benar-benar ada di sana dan hanya tak mau memperlihatkan wujudnya. Sejak saat itu pula, tak ada lagi yang berani mengusik reruntuhan tersebut.

Ada satu hal yang paling diingat oleh setiap angkatan asrama Faelyn dan juga menjadi suatu warisan untuk mereka. Bahwa dikatakan secara turun-temurun jika siapa pun yang berhasil melihat wujud asli dari Orly tersebut maka dia adalah manusia istimewa, terpilih, bahkan dianggap sebagai titisan dan kesayangan para Dewa. 

“Jujur ya, aku agak pusing melihat banyak sekali Orly di asrama ini," ujar Aalisha. 

"Kalau kau anak Faelyn, pasti akan terbiasa. Lagi pula jangan pikirkan keramaian di sini, pikirkan jika para Orly sangat berguna di kehidupan manusia."

Banyak murid yang selalu berusaha menunjukkan eksistensinya supaya menjadi sosok terpilih dan istimewa agar sang Orly Kuno mau mengakui keberadaan mereka, berharap juga sang Orly hendak membuat kontrak. Namun, hingga angkatan Faelyn sekarang, hal itu tak pernah terjadi. 

"Apa di asrama ini juga ada mitos semacam Undefeated Goddess seperti di asramaku?"

"Banyak mitos sih yang bersangkutan dengan reruntuhan kuno itu, bukan mitos, tapi kenyataannya lebih tepatnya."

Benarkah sejak dulu hingga sekarang tak seorang pun pernah melihat wujud Orly kuno tersebut? Bisa saja manusia yang terpilih itu ada, tetapi manusia hanya diam saja dengan artian tidak mau orang lain mengetahui kenyataan bahwa dirinya adalah sosok terpilih dan istimewa tersebut.

Maka Nicaise adalah manusia istimewa itu. Kini dia menatap sesaat pada reruntuhan tersebut yang sejak tadi ada sesosok Orly yang memperhatikan Nicaise dan juga Aalisha. Orly itu adalah pria yang memiliki tinggi sekitar 200 cm dengan wajah cukup tampan. Rambut berwarna putih panjang dengan di dahinya terdapat kristal kecil dengan warna hijau menyala. Orly itu mengenakan pakaian bangsawan yang begitu indah dan elegan serta dia membawa semacam tongkat hitam panjang. 

Nicaise begitu bangga karena pada tahun pertama dan ketika menjejakkan kaki di asrama ini, sang Orly sudah menampakkan sosoknya bahkan Orly itu memberikan hormat dengan membungkukkan badannya di hadapan Nicaise.  Bukankah para dewa begitu menyayangi dirinya? Maka dari itu, Nicaise malas sekali mengatakan bahwa dirinya terpilih kepada manusia-manusia sepele di akademi ini.

"Kau tahu, pasti membanggakan ya jika bisa memerintah banyak Orly," ujar Aalisha. 

"Kau benar sekali," sahut Nicaise.

"Kalau begitu aku pamit, lalu akan kukembalikan sesegera mungkin.”

“Selamat membaca ulang entah ke berapa kali pun itu.” 

“Ya.”

Nicaise menatap Aalisha dengan senyuman tipisnya terukir. Gadis itu cukup unik karena diantara banyaknya manusia di akademi ini. Aalisha tidak menunjukkan reaksi berlebihan padanya seperti memuja, berusaha untuk terus mengobrol dengan Nicaise, bahkan jika kaum perempuan akan menggoda Nicaise atau terang-terangan mengajak kencan? Sialan, semua hal itu membuat Nicaise menjadi risi sekali. 

Jadi ketika bertemu Aalisha yang seolah menganggap dirinya manusia biasa bahkan terlihat hendak menghindarinya. Rasa penasaran itu menyeruak. Namun, di sisi lain, ia berpikir bisa saja jika gadis ini tidak bersikap seperti manusia-manusia pada umumnya karena dia memang tak mengenal Nicaise? Sialan, mustahil jika ada manusia seperti itu, terutama di akademi ini! Setidaknya jika tak mengenal wajah, minimal ketika mengetahui namanya maka manusia lain akan merasa segan pada Nicaise.

“Boleh aku bertanya satu hal!” teriak Nicaise hendak menyelesaikan rasa penasarannya ini. “Apa kau kenal aku sebelumnya?”

Dari sekian banyaknya kalimat yang bisa dirangkai manusia, mengapa Aalisha sering sekali mendengar kalimat itu? “Tidak, sepenting apa sampai aku harus mengenalmu sebelumnya atau setiap manusia di Athinelon ini.”

Ternyata benar, gadis ini tak tahu siapa dirinya. Senyuman Nicaise terukir, tetapi bukan senyuman ramah tamah, lebih ke arah senyuman penuh kelicikan atau seorang penjahat yang menemukan kesenangan baru. 

“Wah, wah, hebat sekali kau sampai tidak tahu siapa aku, dari mana asalmu sampai tak tahu siapa aku, Aalisha? Yah aku tak masalah untuk ke depannya kau akan segera tahu. Jadi selamat membaca, Aalisha.”

Kini Aalisha menyesal, sangat menyesal. Andai saja Aalisha tidak meminjam buku darinya, mungkin sudah Aalisha maki-maki karena Nicaise punya sifat yang sama akan keangkuhan eksistensi dirinya. Dari kemarin, Aalisha terus-menerus diam dan berusaha mengalah ketika bertemu makhluk seperti Killian, Athreus, dan Nicaise. Namun, kali ini tidak, ia sudah muak karena beberapa kali tertipu akan sifat para bajingan di akademi ini.

Maka Aalisha pun berbalik dengan senyuman kecilnya lalu berujar, “boleh kukatakan satu hal.” Ia menunjuk pada seseorang yang berdiri di dekat reruntuhan kuno. “Apa kau kenal siapa Orly yang berambut putih panjang dengan kristal hijau di dahi dan berpakaian bangsawan di sebelah sana? Kurasa sejak tadi, dia memperhatikan kita. Sampai jumpa lagi, Tuan Nicaise.”

Detik itu Nicaise terdiam membisu, ia sontak menoleh ke arah Orly itu dan juga Aalisha yang perlahan punggungnya menjauh meninggalkan asrama ini. Jangan-jangan Aalisha juga bisa melihat Orly itu? Mustahil! Bagaimana mungkin, apakah gadis itu sama terpilihnya?

“Sialan, apa-apaan dia.”

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Hola, Prins Llumière kembali^^

Membaca cerita ini, lama-kelamaan makin penasaran nggak dengan semua yang ada terutama berkaitan dengan para tokoh-tokoh.

Berbicara tentang organisme kriminal, sebenarnya cukup banyak organisasi kriminal yang ada di Athinelon dan punya tujuannya masing-masing. Bahkan ada yang menyembah kepada Dewa kegelapan dan juga para Iblis.

Membahas Orly, jangan heran jika seorang Orly yang menyebut dirinya di hadapan manusia lain— apalagi derajatnya tinggi dan terutama masternya dengan sebutan Hamba karena bagi para Orly, manusia yang dia layani dianggap seperti Tuhan.

Sabtu, 13 Agustus 2022

Prins Llumière

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top