Chapter 20
Ruangan makan bersama menjadi salah satu tempat di akademi ini yang paling sering dikunjungi setiap penghuni akademi. Kini semua murid sedang melaksanakan sarapan bersama di ruangan tersebut, yah, tidak semua karena ada beberapa murid di asrama atau kantin rumah pohon.
Terlihat di meja depan, ada beberapa pengajar yang ikut makan bersama. Aalisha melihat profesor Ambrosia mengobrol dengan profesor Madeleine, tetapi tidak ada bonekanya, apakah sudah dibakar? Oh ayolah, mustahil terjadi. Aalisha juga melihat Tuan Howard, profesor Reagan, serta beberapa pengajar atau profesor yang tidak Aalisha kenal. Lalu dicari dari ujung meja ke ujung lainnya, tidak ia temukan master kesayangannya, yaps, Arthur tak ikut makan bersama begitu juga kepala Akademi, profesor Eugenius. Entah kenapa mereka tak ada di sana.
"Mengapa ini rasanya aneh?" ujar Mylo setelah mencicipi makanan yang berwarna agak jingga, ada ayam dan telur di sana.
"Entahlah, aku tak berminat mencobanya. Memang apa rasanya?" ujar Anila sembari menyuap makanannya.
"Asam, asin, berlemak, agak pedas? Ugh, aku tak suka …." Mylo akan menandai makanan itu ke makanan yang tak ia sukai.
Setiap harinya, pasti ada menu baru yang disediakan pihak Akademi, kalau menu lama tentu masih ada, tetapi akan diberikan pada jam makan yang berbeda atau hari berbeda. Sehingga pasti setiap jam makan, ada makanan dan minuman yang disukai para murid serta ada juga yang tidak mereka sukai. Jadi tinggal seberapa cerdasnya para murid itu untuk memilih makanan yang mana mereka mampu makan.
Kemudian makanan yang tersaji dimulai dari makanan berat seperti ayam, daging, dan nasi serta disediakan juga makanan pencuci mulut seperti kue, roti, puding, dan lainnya.
Di ruangan makan bersama ini, para murid akan duduk sesuai dengan asrama mereka masing-masing di meja dan kursi panjang. Jika di luar jam makan yang telah ditentukan, para murid tetap bisa menggunakan ruangan ini, lalu bisa juga kalau hendak duduk berbaur dengan murid asrama lain atau makan camilan di sini sembari mengerjakan tugas.
"Oh Dewa, itu dia, mengapa tampan sekali!" ungkap seorang gadis dari asrama Drystan. Gadis itu tepat di belakang Aalisha sehingga Aalisha bisa mendengar begitu banyak pujian dari gadis itu kepada primadona sekolah.
"Jangan tarik jubahku! Ini masih baru! Yah, tapi jujur, ia benar-benar tampan," sahut teman sebelahnya.
Suara mereka semakin ricuh yang membuat Aalisha harus memutar bola matanya malas dan agak kesal. Bisakah jika memuji jangan sekeras itu, jika kedengaran yang dipuji, bukankah memalukan? Simpan saja pujian itu untuk diri sendiri serta jangan sampai satu akademi mendengarnya.
"Oh aku akan mati setelah ini, dia sangat tampan." Kini berujarlah Frisca yang membuat Aalisha sadar untuk tak perlu mengomentari manusia dari asrama lain karena di depannya saja sudah ada jenis manusia yang menyebut segala macam pria sangatlah tampan.
"Apa mulutmu tak berbusa? Dari pada memuji mereka, mengapa tak puji aku saja yang jelas-jelas mengalahkan ketampanan semua pria di akademi ini," sahut Gilbert begitu percaya diri yang sukses membuat Frisca dan lainnya hendak muntah. "Bajingan kalian."
"Kau takkan pernah bisa disandingkan dengan dia!" sahut Frisca.
"Siapa sih yang kau maksudkan? Paling hanya jual wajah saja," ucap Gilbert.
Frisca menggeleng sesaat lalu berujar, "tidak Gil! Lebih dari itu bahkan sempurna, dia punya wajah dan kekuatan!" Ia menjeda perkataannya. "Dia keturunan utama Majestic Families."
"Benarkah, mana dia?!" teriak Mylo yang membuat Anila menatap kesal.
"Jangan asal kau lempar makananmu, kena wajahku! Terus alay banget kayak gak tahu mereka aja!" sahut Anila.
"Ya aku kan cuma berakting seolah-olah baru pertama kali tahu," ujar Mylo.
"Aktingmu jelek sekali, ambil kelas drama dulu baru lakukan reka adegan!" Anila mengambil air di dalam cangkir yang tak jauh dari jangkauannya.
Aalisha menatap pada Frisca. "Majestic Families, seperti apa orangnya?"
"Kau serius atau berakting seperti Mylo?" sahut Frisca.
"Aku serius." Aalisha tidak akan berakting buruk seperti yang Mylo lakukan. Sungguh karena Aalisha adalah seorang yang handal dalam berakting dan bermain lakon.
"Kau tak pernah mengecek surat kabar atau semacamnya?" timpal Gilbert.
"Jarang, tidak penting, aku lebih baik membaca buku perang atrisi." Aalisha menyahut yang sukses membuat ekspresi Gilbert berubah.
"Tidak heran kau sepertinya berasal dari dunia atau dimensi lain sampai tak tahu mereka." Gilbert langsung merasakan sakit di pergelangan kakinya karena Anila menginjaknya dengan kuat. "Ada apa denganmu? Sialan, ini sakit."
Anila tak menggubris. "Abaikan saja manusia gila ini, Aalisha."
Aalisha menyahut, "memang gitu sejak awal."
"Bisakah diam?! Aalisha, kau serius tak tahu bagaimana keturunan utama itu? Kalau iya, maka lihatlah sekarang juga mumpung kau bisa melihatnya karena wajah para Majestic Families itu seperti keajaiban dunia!"
Frisca berujar panjang lebar, sedangkan Aalisha menopang dagunya. "Tidak jadi, aku tak mau kenal juga," sahutnya.
"Lihat saja, apa susahnya sih!!" Maka Frisca memaksa Aalisha untuk berbalik, tetapi gadis itu menolak. "Ayolah cabe rawit kecil, kau tinggal tahu siapa dia! Tuh kau lihat yang sedang tertawa dan mengobrol dengan temannya!"
"Semua murid di sini sedang melakukan itu," ujar Aalisha tak paham pada siapa yang Frisca maksudkan.
Suara tawa Mylo dan Gilbert terdengar. "Dasar bodoh," ejek Mylo.
"Harusnya kau tak memaksa Aalisha." Anila sudah tahu jika Aalisha akan bersikap seperti itu.
"Sudahlah menyebalkan!" teriak Frisca ngambek. "Kau benar, tak perlu kau mengenal mereka, lagi pula mustahil juga bisa mengobrol dengan mereka. Aku saja mustahil apalagi kau."
"Frisca …." Anila menatap sinis.
"Aku hanya mengatakan kenyataan! Kalau manusia seperti kita saja susah dekat dengan mereka apalagi Aalisha!!" teriaknya sembari menatap Anila.
"Frisca—" Sesaat suara Anila meninggi, dia sangat paham maksud dari perkataan Frisca yang secara tak langsung mengatakan kalau kasta bawah seperti Aalisha tidak setara dengan Majestic Families. Memanglah itu kenyataannya, tetapi perkataan menyakitkan itu tidaklah pantas diucapkan kepada seorang teman.
"Sudahlah Anila," ujar Aalisha malas terseret pertengkaran sepele hanya karena Majestic Families.
Aalisha menghela napas. Frisca meskipun kesal, ia masih mencari dua Majestic Families lain karena baru ia lihat satu orang. Sesaat rasa penasaran Aalisha menyeruak, seperti apa Majestic Families yang dipuja-puja banyak murid di sekolah ini?
Ia hendak berbalik, mencari siapa yang dimaksud Frisca, mungkin? Namun, dalam sekejap rasa sakit di kepalanya muncul tiba-tiba. Ia langsung mengurungkan hal itu, memegangi kepalanya yang perlahan suara-suara riuh di ruangan ini seolah teredam begitu saja. Mustahil jika Aalisha sakit kepala karena makanan, mustahil juga karena ia sakit, Aalisha merasa sehat-sehat saja. Namun, kenapa rasanya sangat sakit? Seolah kepalanya baru saja dipukul keras dengan palu.
"Sial sakit sekali." Aalisha bergumam. Entah mengapa ia harus segera keluar dari ruangan itu.
"Nah!!! Aalisha coba lihat, itu dia—"
Perkataan Frisca terpotong ketika Aalisha menggebrak meja dengan kuat kemudian berdiri. Kini teman-temannya menatap padanya, begitu juga Anila yang merasa ada sesuatu dengan Aalisha.
"Aalisha kau baik-baik saja?" ujar Anila.
"Aku pergi duluan, sampai bertemu di kelas," sahut Aalisha dingin lalu segera beranjak dari kursinya.
Mereka kemudian menatap pada Frisca yang terdiam seolah kepergian Aalisha adalah salahnya. "Bukan salahku! Aku tak tahu dia kenapa!"
"Kau banyak tingkah, Majestic Families lah, inilah, itulah, kau bahkan memaksanya tadi," sahut Mylo.
"Baiklah-baiklah, aku salah, puas!" balas Frisca yang kini marah sedangkan Anila hanya diam dan tak menggubris.
"Mari selesaikan makan kita, lalu susul Aalisha dan ke kelas bersama," ujar Gilbert merasa canggung.
Di sisi lain, kepalanya masih saja terasa sakit, jadi ia memegangi dan memijatnya sesaat sampai-sampai Aalisha tak memperhatikan langkahnya. Ketika di pintu masuk ruang makan bersama, Aalisha tidak sengaja menyenggol bahu seorang kakak tingkat perempuan.
"Hei, gunakan matamu!" teriak gadis dengan rambut blonde, tetapi tak ada sahutan dari Aalisha yang pergi begitu saja. "Sialan, tidak sopan sekali dia! Kalian lihat 'kan? Sangat menyebalkan."
"Ah, murid angkatan baru rata-rata tak sopan sekali," ujar temannya dengan rambut dikepang.
"Awas saja nanti, ayolah aku ingin cepat makan."
"Iya, sabar. Adik tingkat memang gitu." Gadis berambut kepang tadi lalu menoleh pada gadis di sampingnya yang masih senantiasa menatap ke arah adik tingkat yang telah menghilang di belokan koridor. "Ada apa?"
"Kau kenal gadis itu?" sahut si gadis blonde.
Perlahan senyuman kecil terbentuk dengan mata amber-nya yang indah, masih senantiasa menatap pada koridor yang barusan dilalui Aalisha. "Kalian ingat, adik tingkat yang kubakar bukunya di toko buku? Kurasa itu dia. Tikus kecil itu akhirnya kutemukan."
****
Murid kelas Aalisha kini berada di kelas Ramuan Dasar yang bertepatan di menara bagian selatan. Mereka perlu melewati beberapa lorong serta menaiki tangga yang cukup menguras tenaga mereka. Sebenarnya ada lift, tetapi penuh oleh kakak tingkat yang malas sekali mereka berbaur dengan kakak tingkat.
Berada di kelas ini yang lebih didominasi warna abu-abu serta hitam. Ada sekitar 15 meja panjang serta beberapa kursi yang di atas mejanya terdapat peralatan ramuan yang sangat lengkap. Di kelas ini juga terdapat banyak lemari untuk menyimpan bahan-bahan yang diperlukan dalam proses pembuatan ramuan. Terlihat juga di lemari khusus yang berisi hewan atau binatang seperti katak yang punya enam kaki serta sayap kecil, lalu ada ulat sangat panjang, ada juga organ tubuh dari hewan tertentu, serta lainnya.
Bagi mereka yang benci pada binatang sejenis itu maka kelas ini adalah bencana atau malah neraka.
"Masih bertahan di sekolah ini, kasta bawah!" ucap Killian ketika melewati Aalisha yang membuat gadis itu menatap bingung. Oh ayolah, Aalisha hanya diam saja dan lelaki itu sudah memulai perang? Jelas sekali karena bagi Killian, seorang gadis bernama Aalisha yang bernapas saja sudah sangat salah.
"Oh Dewa, masih sangat pagi, tetapi kau sudah banyak omong," sahut Aalisha langsung menuju meja di salah satu sudut kelas.
"Kau—"
"Hentikan Killian, Aalisha bahkan tak melakukan apa pun dan kau menghina?" sahut Mylo berdiri tepat di depan Killian. "Tak kau ketahui, jika hinaanmu itu membuatmu lebih rendah."
"Mylo benar, baru sampai kelas, dia hanya diam saja dan kau malah mengganggunya!" Kini Gilbert berujar.
Bukannya sadar akan perkataan Mylo dan Gilbert, Killian malah tertawa. "Lihatlah, kau sudah memiliki pelayan untuk melindungimu? Sungguh menjijikkan!"
"Kami bukan pelayannya! Kau memang gila—" Belum selesai Gilbert membalas, Aalisha lebih dulu berujar.
"Kau tahu, aku inginnya kaulah yang jadi pelayanku." Aalisha bersedekap lalu tersenyum simpul. "Jadi jika ada yang berani mengusikku, maka ada kau dengan mulut hinamu itu yang akan melindungiku. Oh apakah aku tadi bilang pelayan? Maksudku, kau cocoknya jadi anjing penurut. Gimana mau?"
Baru hendak maju selangkah dan menghabisi gadis kasta bawah itu, Killian mengurungkan diri karena profesor yang mengajar kelas mereka sudah masuk. "Kau akan hancur dan menderita suatu hari nanti!"
"Kutunggu kutukanmu itu," sahut Aalisha sama sekali tak takut. "Apa? Jangan tanya apa-apa lagi, kelas sudah dimulai," ujar Aalisha pada Anila dan lainnya karena memberikan tatapan yang tak Aalisha pahami apa maksudnya.
****
Pria yang mengajar mata pelajaran ini masuk ke dalam kelas yang langsung membuat para murid berhenti mengoceh. Pria terlihat agak pendek dibandingkan profesor yang selama ini telah para murid temui. Rambutnya cokelat muda dengan wajahnya yang cukup sangar. Luka di sudut bibirnya serta ada luka-luka lain di beberapa titik wajahnya. Ia mengenakan jubah hitam yang menyelimuti baju putihnya yang sudah agak kuno.
Meskipun begitu, ia tetap terlihat memperhatikan penampilan terutama pada telinganya karena profesor itu ia mengenakan anting yang ukirannya cukup rumit berupa perpaduan antara bentuk bunga dan ular.
Beberapa murid berbisik ketika mereka sadar ada semacam tato di sekeliling lehernya, tato itu cukup unik karena bentuknya naga yang tertusuk pedang. Serta di sisi lain, tatonya berupa tulisan dengan aksara kuno.
"Langsung saja, namaku Xerxes Lorcan Ivrithuan Nerezza, panggil aku Profesor Xerxes, aku akan mengajar ilmu ramuan dasar! Satu pertanyaan sebelum kelas dimulai!"
Nerezza, tak disangka jika profesor mereka berasal dari keluarga cabang Nerezza. Lalu sudah menjadi kebiasaan atau hal umum bagi mereka yang berasal dari Majestic Families keluarga cabang, mereka dipanggil dengan nama depan. Alasannya karena keturunan utama yang lebih sering dipanggil dengan nama keluarga. Namun, beberapa keluarga cabang di luar akademi, kadang dipanggil dengan nama keluarga mereka apalagi jika masyarakat tidak tahu nama mereka.
"Profesor," ujar salah satu murid, Aalisha lupa siapa namanya. Sepertinya dia juga pernah mengajak Aalisha mengobrol, tetapi Aalisha abaikan. "Apakah tato di lidah Profesor itu, tato asli?"
Dari sekian banyaknya pertanyaan, itu adalah pertanyaan terkonyol untuk memulai kelas, tetapi para murid tak mempermasalahkannya karena mereka juga terfokus pada tato itu sejak profesor Xerxes membuka mulutnya. Di lidah profesor Xerxes terdapat tato cukup besar yang menggunakan aksara kuno.
Entah apa yang ada dipikiran profesor Xerxes sehingga mengukir tato di lidahnya. Mengapa tidak diukir di tangan atau bagian tubuh lainnya yang terasa lebih umum? Murid-murid di ruangan itu langsung merinding memikirkan proses mengukir tato di lidah profesor mereka itu.
Sungguh para pengajar di akademi ini sangatlah unik, kemarin ada profesor dengan boneka hidup dan sekarang menggunakan tato di lidah.
"Ya ini asli," sahutnya singkat.
"Apa arti dari tato itu?" Gilbert giliran berujar.
Diam sesaat sang profesor hingga ia tersenyum kecil. "Mati. Kalau kalian bertanya kenapa aku memilih kata itu, mudah saja, jika seseorang menemukan lidahku terpotong maka artinya aku sudah mati."
"Ohh, baiklah Master," ujar Gilbert mengangguk. Sedangkan murid lain hanya terdiam.
"Sungguh sulit dimengerti para Majestic Families ini," guman Mylo yang langsung ditendang Anila.
"Jangan bicara sembarangan."
Profesor Xerxes menyuruh para murid untuk membuka buku yang telah mereka miliki. Buku itu cukup tebal dengan banyak sekali penjelasan di dalamnya. Hari ini masih sebatas teori saja karena pembuatan ramuan akan dilakukan Minggu depan. Kini sang profesor menjelaskan materi bab pertama dengan cukup baik serta menyeramkan karena dia beberapa kali menggebrak meja untuk membuat muridnya berhenti mengoceh sendiri.
"Ramuan menjadi salah satu hal penting dalam kehidupan dan akan terus-menerus berkembang seiring zaman ini, tidak akan pernah tergantikan. Hal ini tentu saja karena manfaat menggunakan ramuan sesuai dengan jenisnya, semisal saja, ramuan untuk meningkatkan neith meski hanya sementara. Ramuan ini biasanya digunakan oleh mereka yang sulit melakukan nereum atau masyarakat niteleum.
"Selain itu, ramuan yang paling sering dibuat dan dikembangkan adalah ramuan penyembuhan. Ramuan ini ada jenis yang langsung diminum atau diteteskan ke luka luar tubuh. Biasanya ramuan dibuat dalam bentuk elixir dengan botol kaca kecil atau ada juga tipe ramuan yang dibuat menjadi suntikan. Setiap ramuan memiliki kegunaannya masing-masing serta jenisnya yang setelah dibuat harus dimasukkan ke dalam wadah seefisien mungkin. Meskipun ada sihir penyembuhan, tetap saja, ramuan diperlukan apalagi menggunakan sihir penyembuhan memerlukan neith yang jika neith tak mencukupi lalu harus apa? Jika tidak meminum ramuan penyembuhan."
Berbeda dengan pelajaran sebelumnya, Aalisha terlihat rajin mencatat setiap poin penting yang disampaikan profesor Xerxes. Sesekali ia bertanya pada Anila yang membuat Anila menjadi semakin suka berteman dengan Aalisha karena Anila menganggap bahwa dirinya dibutuhkan padahal Aalisha bertanya pada Anila karena yang lain terlihat bodoh untuk dia tanyai.
Sesi pertanyaan dimulai, hanya sedikit saja yang bertanya. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena bisa saja profesor Xerxes berpikir jika para muridnya tidak memperhatikan pelajaran atau tidak paham pada materi jadi tak ada yang bertanya. Bisa-bisa satu kelas ini terkena hukuman atau parahnya, dibunuh pihak keluarga Nerezza? Untuk saja, Dewa Maha baik karena menciptakan manusia seperti Anila yang menutupinya kekurangan murid lain yang tak pernah terpikirkan satu pertanyaan sekali pun. Mereka terselamatkan dari hukum pasung keluarga Nerezza.
Di tengah jawaban panjang profesor Xerxes. Aalisha menaruh catatannya, hampir semua jawaban profesor Xerxes sudah Aalisha ketahui, seperti bahan-bahan langka untuk obat penyembuhan. Merasa bosan jadinya dia menatap ke arah luar jendela kelas. Entah karena jendelanya buram, tetapi Aalisha merasa ada yang melesat kencang menuju kelas ini hingga ia perlu memicingkan matanya untuk mengetahui apa yang melaju itu.
"Burung, bukan itu anak panah?" gumamnya dan detik selanjutnya ketika dia sadar apa yang melaju ke kelas mereka. Aalisha langsung mengangkat tangan lalu berteriak, "Profesor ada panah melesat kemari!"
Sukses perkataan Aalisha membuat satu kelas menatap ke arahnya. “Tak ada panah?” ujar salah seorang murid.
"Hei kasta bawah, kau gila ya mengacau di kelas," sahut Killian.
"Kubilang ada!!" teriak Aalisha.
PRANGGG!!
Detik selanjutnya, sesuatu menghancurkan jendela kelas dan benar saja, ada anak panah yang kini menancap di meja kelas itu. "Sial itu akan meledak!" teriak Aalisha dan ledakan besar itu memang terjadi.
"Tripeum gradu tres!!!"
Dari arah luar, beberapa murid dapat melihat asap kebiruan lalu berubah menjadi hitam legam membumbung ke langit bersamaan dengan bau tak mengenakan. Asap hitam itu memancing para pengajar lain langsung menuju lokasi ledakan.
Salah seorang profesor yang tahu ledakan itu tidak disebabkan kecelakaan dalam membuat ramuan. Melainkan karena ledakan yang sebenarnya mengandung racun tingkat tinggi kemudian racun itu mampu membunuh banyak kehidupan hanya dalam hitungan menit setelah terhirup.
Bajingan, bagaimana keadaan murid-murid di kelas ramuan itu?
Berada di sisi lain, di ruangan kelas ramuan dasar, semuanya hancur berantakan. Peralatan ramuan yang terbuat dari kaca kini pecah dan berserakannya. Beberapa lemari hancur hingga isinya terhambur keluar. Pecahan kaca ada di mana-mana bahkan cairan ramuan yang ada di ruangan itu kini membentuk genangan di lantai.
Di tengah asap hitam yang memenuhi ruangan itu, berada di sekitar meja guru, terlihat semacam dinding pelindung yang berbentuk lingkaran dengan warna hijau muda yang ternyata melindungi profesor Xerxes serta para murid di ruangan itu. Tripeum gradu tres adalah salah satu mantra perlindungan yang membuat neith mengelilingi penggunanya kemudian membentuk pelindung berlapis ganda yang mampu melindungi penggunanya dari serangan.
"Apa kita mati," tanya salah seorang murid.
"Tidak," jawab profesor Xerxes, "aku berhasil membuat pelindung—"
"Profesor!" teriak profesor Reagan yang datang secepatnya bahkan tanpa pamit dengan murid yang ia ajar. "Oh jagad Dewa, ini benar-benar gila!"
"Apa yang terjadi, dari mana asal panah itu?" Suara penuh kepanikan itu terdengar dari profesor Madeleine. "Bagaimana dengan keadaan murid-muridku? Apakah ada yang terluka?"
"Semua aman terkendali Profesor," ujar Xerxes menggunakan mantra lain untuk melenyapkan sisa asap yang ada di ruangan ini. "Aku berhasil melindungi mereka satu detik sebelum ledakan terjadi. Semua ini berkat salah satu murid cerdas di kelas ini yang menyadari anak panah itu melesat kemari."
Semua mata menatap pada Aalisha dan mereka berterima kasih akan hal itu. Andai saja Aalisha tidak menyadari anak panah itu, mereka yang ada di dalam kelas pasti sudah mati-matian untuk melawan racun atau parahnya berujung pada kematian.
Sayangnya ketika semua yang di sana berterima kasih pada Aalisha. Gadis itu malah menatap biasa saja seolah hal ini bukanlah sesuatu yang patut untuk dibanggakan. "Aku hanya kebetulan melihatnya."
"Sudah jangan permasalahkan anak panah itu dulu! Profesor Reagan, tolong bawa panah berbahaya ini menemui master Arthur agar segera diperiksa lalu suruh para Orly untuk menyelidiki siapa dalang dari semua ini!" perintah profesor Madeleine.
Di kelas itu tidak ada yang sadar jika Aalisha menatap kembali keluar jendela yang pecah itu. Tangannya mengepal sangat kuat serta tatapannya begitu mengerikan seolah-olah ia akan membunuh siapa pun yang menjadi dalang karena telah mengacaukan hari ini bahkan membuatnya nyawa terancam.
"Pergilah," gumamnya.
"Sial aku masih merasa kalau nyawaku terancam," ujar Frisca.
"Hari ini benar-benar gila," balas Gilbert.
"Untunglah kita tidak terluka," ucap Mylo.
"Aalisha kau tak apa?" ujar Anila.
"Aku tak apa," balas gadis itu.
Profesor Xerxes menatap pada murid-muridnya yang dia syukuri tak ada satu pun dari mereka yang terluka. "Baiklah, pelajaran hari ini kita akhiri, tolong kalian kembali ke asrama—"
"Apa yang kau pikirkan Xerxes, menyuruh mereka ke asrama begitu saja," interupsi profesor Madeleine, "anak-anak mohon ikuti aku, kalian akan diperiksa ke rumah sakit lebih dulu. Jangan ada yang membantah karena akan kukurangi poin kalian jika tidak mau diperiksa ke rumah sakit!"
Profesor Xerxes hanya bisa setuju dengan perkataan profesor Madeleine. "Lakukan sesuai perintah profesor Madeleine, kalian pergilah ke rumah sakit untuk diperiksa."
"Siap Profesor!" sahut para murid.
"Aalisha ayo," ucap Anila kemudian meraih pergelangan tangan Aalisha sedangkan Mylo berangsur ke samping gadis kecil itu dan meraih jubah Aalisha karena mustahil jika dia ikutan menggenggam tangan Aalisha.
Berada di sisi lain, profesor Xerxes memperhatikan Aalisha yang perlahan keluar dari kelas bersama dengan murid lainnya. Kini dia berpikir keras. Melihat dari kejadian tadi, gadis itulah yang pertama kali sadar kalau ada anak panah melesat sedangkan yang lain tidak. Bahkan Aalisha sudah panik duluan seolah sadar jika anak panah itu sangat berbahaya.
Bukan hanya itu, Xerxes sadar jika anak panah itu dilapisi mantra tingkat tinggi sehingga membuat anak panah itu tak terlihat bahkan tidak terdeteksi ketika melewati barrier di sekeliling kastil akademi. Namun, Aalisha mampu melihat panah itu dengan mata telanjang.
Xerxes menghela napas. "Bellerin," panggil profesor Xerxes.
Maka tepat di sampingnya, perlahan-lahan muncul Orly yang mengenakan jubah panjang. Bellerin membungkuk dengan tangan kanan di dada kirinya. "Ya Master-ku."
"Berdasarkan data akademik, apakah kau yakin jika anak itu berasal dari kalangan masyarakat biasa?"
"Benar sekali Master. Apakah ada yang perlu kulakukan?"
"Aku sudah berhenti melakukan pekerjaan kotor seperti menyelidiki identitas manusia lain jadi tak perlu. Aku tak mau mengusik privasi muridku. Hanya saja aku punya pertanyaan besar, siapa sebenarnya gadis kecil itu?"
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Halo, Prins Llumière di sini^^
Bagaimana dengan chapter ini? Apakah sudah mulai konflik atau cuma normal day di akademi Eidothea?
Selain itu, gue bawa Dormitory Crest Akademi Eidothea!!
Setiap lambang masing-masing asrama punya maknanya sendiri. Kira-kira apa makna dari setiap lambang ya?
Yuks komen, mana desain lambang atau crest favorit kalian?
Sabtu, 06 Agustus 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top