Chapter 19

Menunggu Anila dan Mylo ternyata lama juga. Aalisha merasa bosan, mungkin dia pergi saja ke asrama tanpa harus menunggu keduanya? Hingga suara langkah berhenti di samping Aalisha, lalu duduk begitu saja. Tentu Aalisha tahu itu bukanlah Anila. Lalu siapa?

“Oh hai little girl!” sapanya yang membuat Aalisha harus mengumpat dalam hati. Kini harinya sangatlah buruk.

“Enyahlah.”

“Kenapa kau galak begitu.” Lelaki Gwenaelle itu, siapa namanya— Athreus? Menopang kepalanya dengan tangan kiri lalu menatap Aalisha yang enggan sekali menatap balik padanya. “Hanya sendiri?”

“Bukan urusanmu, sekarang bisa enyah dari hadapanku, kau membuatku risi.” Meskipun tak menatap Athreus, lelaki itu sangat paham jika gadis di depannya ini sangatlah marah. 

“Aku hanya menemanimu sebentar, tidakkah kau senang?” Athreus masih saja tak mau pergi. Ia malah tersenyum sangat menyebalkan. 

Kini akhirnya Aalisha menatap Athreus yang membuat lelaki itu berujar kembali. “Akhirnya, sejak tadi kau tak mau menatapku, agak sulit berbicara jika lawan bicaraku tak mau menatapku.”

Aalisha menatap kesal pada manik mata biru itu. “Carilah lawan bicara yang lain, sekarang enyah atau aku harus memukulmu dengan cangkir?”

Sebenarnya hal biasa di akademi ini jika ada yang tak saling mengenal, tetapi mengajak ngobrol, biasanya hal itu tak mengundang perhatian orang lain atau orang lain malah merasa bodo amat. Namun, terkhusus lelaki ini, Aalisha bisa merasakan jika murid-murid lain kini menatap ke arahnya dan memperhatikannya, terutama kakak tingkat, seolah lelaki ini adalah matahari di tengah kegelapan maka semua manusia pun tertarik padanya. 

Siapa dia? Aalisha benci jika harus menjadi sorotan banyak orang. Athreus juga, bukannya merasa risi karena tatapan orang-orang padanya, dia seolah sudah terbiasa. “Kau seram ya, tapi jika aku tak mau pergi, bagaimana? Lagi pula semua manusia punya hak asasi untuk mengobrol dengan siapa saja.”

“Dan aku juga punya hak untuk menolak mengobrol denganmu,” sahut Aalisha.

Athreus sesaat berpikir sembari bersedekap dan menelengkan kepalanya. Ia memperhatikan gadis kecil dengan manik mata hitam dan rambut hitam ini. “Siapa namamu?” ujarnya yang sukses membuat raut wajah Aalisha semakin risi. 

Oh ayolah, ada manusia di dunia ini yang tak suka ketika Athreus bertanya akan namanya? “Hoi, aku hanya bertanya namamu atau kau mau aku selamanya memanggilmu, little girl?”

“Aalisha, jadi berhenti memanggilku little girl, sekarang enyah dari sini!!” Oh Dewa, Aalisha merasa sangat sakit kepala. 

Bukannya paham akan sakit kepala Aalisha, lelaki itu malah tersenyum simpul. “Aku Athreus, salam kenal, little girl.”

Suara keras terdengar bersamaan meja yang bergetar karena Aalisha berhasil menendang kaki Athreus dengan sangat kuat, tetapi lelaki itu sama sekali tak merasakan sakit. Aalisha menatap Athreus heran. 

"Kenapa kau tak sakit sih padahal sudah kutendang?!!"

Athreus sesaat berpikir. "Karena kakimu kecil."

Aalisha mengepalkan kedua tangannya. Haruskah dia tendang kelamin lelaki ini agar bisa diam sekarang juga? Tidak, jika Aalisha lakukan maka bisa saja dia akan terkena tindak pidana dan di lempar ke alat pasung.

“Sebegitunya kau risi padaku?” tanya Athreus.

“Ya sangat.”

“Kau serius?” 

Alasan Athreus berkata seperti itu karena selama ia hidup, banyak sekali kaum wanita yang mengejar-ngejar dirinya sampai ia kesal dan merasa sangat risi. 

Jika pun hal itu tidak terjadi. Setiap manusia di dunia ini, setidaknya akan merasa segan pada Athreus. Bahkan beberapa tak berani melakukan kontak mata dengannya, tak berani mendongakkan kepala, berbicara terlalu keras apalagi kasar secara gamblang di hadapannya. Athreus juga tidak akan heran jika ada yang merasa takut ketika berada di dekatnya. Sedangkan beberapa manusia ada yang juga bersikap biasa saja yang artinya tidak takut atau tergila-gila padanya. Namun, gadis ini? Dia bahkan berani menyerangnya dengan terang-terangan!! 

Tentu saja hal ini membuat Athreus heran karena ada seseorang yang dengan gamblang tak suka akan kehadirannya. 

Aalisha menyahut, “aku serius, jadi pergi, enyah, dan kalau bisa mati saja sekalian.”

Athreus terdiam sesaat bukan karena tersinggung akan perkataan Aalisha, tetapi ia masih bingung, sangat bingung malah. Sungguh baru kali ini ada manusia yang terang-terangan berkata agar Athreus segera mati. Bagaimana mana mungkin gadis ini tidak takut pada Athreus? Oh tunggu, jangan bilang kalau gadis ini— 

“Apa kau tidak mengenal siapa aku?” ujar Athreus kemudian. 

Andai jika berkata kotor atau kasar akan mendapat hukuman dari Dewa maka Aalisha sudah dibakar pada detik ini juga karena berapa kali umpatan ia ucapkan. Tangannya juga mengepal kuat karena ingin sekali dia menonjok wajah manusia gila ini, tetapi jika dia lakukan, maka semakin banyak yang menyorot padanya. Belum tentu juga dia dapat mengalahkan lelaki ini.  

Lalu apa yang Athreus katakan barusan? Mengapa Aalisha merasa de javu ya? Ahhh, kalimat Athreus ini sama persis seperti yang diucapkan gadis angkuh di toko buku yang membakar buku mantra milik Aalisha!

“Tidak.”

“Kau serius, kau benar-benar tidak tahu siapa aku?”

“Sudah kubilang tidak! Kau pikir, aku harus mengenal setiap manusia di Athinelon ini termasuk kau?!”

Mendengar perkataan itu, Athreus menyunggingkan senyuman yang bagi Aalisha seperti tokoh villain yang bahagia melihat tokoh utamanya menderita. 

Athreus akhirnya berujar dengan begitu sombongnya. “Makhluk dari mana kau sampai tak tahu siapa aku?”

Kini Aalisha paham bahwa lelaki ini sama saja dengan gadis di toko buku. Keangkuhan mereka begitu kentara. Mengapa ya manusia selalu ingin dunia mengetahui keberadaan mereka? Seolah dunia ini tercipta hanya untuk manusia-manusia tertentu saja sedangkan yang lain tidak begitu berarti. Konyol sekali. 

“Makhluk dari mana? Aku hanya seorang manusia yang tak perlu diketahui keberadaannya. Seperti aku yang tak perlu tahu kau siapa.”

“Aku baru sadar.” Athreus teringat sesuatu tentang gosip baru-baru ini akan angkatan baru. “Jadi kau yang dimaksud gosip itu? Gadis dari kasta bawah yang angkuh sekali sampai tak tahu siapa aku? Lucu sekali, little girl.”

Aalisha menyunggingkan senyuman dengan tatapannya yang mengibarkan bendera perang pada Athreus. Sudah Aalisha putuskan jika manusia ini akan masuk daftar hitamnya— daftar manusia yang hendak Aalisha bunuh suatu hari nanti! “Baiklah aku terima pujianmu. Oh satu hal, kau akan segera tahu siapa yang lucu di sini.” 

“Akan kutunggu, apa yang bisa dilakukan manusia sepertimu ini,” sahut Athreus melihat Aalisha yang meninggalkan meja ini. 

Tak lama kemudian salah satu teman Athreus datang menghampiri. “Kau mengobrol dengan siapa?”

Athreus bangkit dari bangku yang ia duduki lalu terkekeh kecil. “Hanya gadis kecil yang tak tahu siapa aku. Menarik 'kan? Baru kali ini, ada manusia yang tak membungkukkan badan dan memberi hormat ketika pertama kali bertemu denganku."

****

Langkah sepatunya mengetuk-ngetuk lantai melewati keramaian hingga ke koridor akademi. Aalisha melepas jubahnya lalu ia masukkan ke dalam invinirium, lalu melangkah kembali dengan perasaan kesal masih menyeruak. Padahal ia hanya ingin menghabiskan minumannya sembari menunggu Mylo dan Anila, kini ia tak peduli, sudahlah ia harus kembali ke asrama karena pelajaran hari ini juga sudah selesai. 

Aalisha merasa sangat bingung. Haruskah dia mengenal semua manusia di dunia agar mereka  berhenti bertanya, apakah kau tak kenal siapa aku? Baiklah Aalisha akui jika manusia pasti ingin sekali eksistensinya diketahui, siapa juga yang tak bangga jika dunia mengenal mereka? Apalagi memuji bahkan memuja. Namun, tidakkah mereka paham jika beberapa makhluk hidup malah tak ingin eksistensinya diketahui bahkan berharap tak pernah lahir ke dunia.

“Aku bingung dengan jalan pikiran mereka,” ujar Aalisha hingga langkahnya terhenti ketika melihat profesor Madeleine. 

“Aalisha, bagus kebetulan kau ada di sini, bisa ikut aku sebentar,” ujarnya maka dengan perasaan tak bisa menolak, Aalisha mengikuti profesornya itu. 

Mereka berdua menuju sebuah kelas yang terdapat banyak buku di ruangan itu serta ada seorang lelaki yang sedang mengumpulkan buku-buku di sana jadi satu tumpukan. “Nona Aalisha, tolong bantu Tuan Nicaise untuk memindahkan dan menyusun buku-buku ini ke perpustakaan. Tuan Nicaise, gadis ini akan membantumu.”

Belum Aalisha membuka mulutnya profesor Madeleine sudah beranjak pergi begitu saja. Bagaimana bisa seorang wanita tua sepertinya berjalan dengan sangat cepat? Oh astaga, Aalisha akan dihukum karena menghina yang lebih tua. Kini ia menatap pada ruangan ini dengan lelaki yang ada di sana. Dewa mengapa hidupnya begitu sial. 

“Sebenarnya aku bisa saja melakukannya sendiri, jadi tak masalah—”

“Diamlah aku sedang lelah, aku harus membantumu jika tidak, profesor Madeleine akan membunuhku esoknya,” balas Aalisha sudah tak peduli lagi, ia masih kesal karena Athreus tadi.

“Terima kasih kalau begitu,” jawab lelaki itu dan Aalisha hanya memutar bola matanya tanpa memberi balasan. 

Setelah buku-buku itu dimasukkan semua ke dalam kardus— totalnya ada lima kardus cukup besar dan berat juga pastinya. Maka lelaki itu mengambil dua kardus lalu ia berikan pada Aalisha dan ia membawa sisanya. Ada satu buku yang Aalisha perhatikan ditaruh lelaki itu di kardus paling atas, kemungkinan itu buku miliknya. Lelaki itu mengenakan jubah dengan warna red devil, ah seorang anak asrama Faelyn yang kemungkinan kakak tingkat Aalisha.

Semenjak keluar dari kelas dan berjalan menuju perpustakaan, tidak ada obrolan antara keduanya. Hingga sudah cukup jauh, lelaki itu mulai membuka mulutnya. Sialan, apakah ia sama dengan manusia gila sebelumnya?

“Apakah berat?” ujarnya, “jika iya, tumpuk saja satu ke sini, aku masih bisa.”

Aalisha tak mengerti isi dari kepala manusia ini juga. “Jika kutumpuk lagi, kau takkan bisa melihat ke depan, lagi pula kulakukan hal itu sama saja bohong kalau aku membantumu, kau bisa melakukannya sendiri.”

“Maaf aku hanya tak tega, kau tiba-tiba diminta tolong padahal kita kenal saja tidak. Lalu terima kasih,” ujarnya kemudian. 

Aalisha memperhatikan, lelaki ini tentu lebih tinggi darinya dan ia perlu mendongak agar bisa menatap wajahnya. Tingginya ia perkirakan sekitar 168 cm, ah sialan, tiang lagi, tiang lagi. Ia memiliki rambut hitam dengan poni menyentuh alis tebalnya, bulu mata lentik serta yang sesaat membuat Aalisha terpana adalah iris mata berwarna ungu. Begitu indah dan cantik. 

Aalisha sangat jarang melihat iris mata itu. Lalu wajah lelaki itu juga sangat tampan bak pangeran atau putra seorang Duke. Maka bertambahlah, manusia  yang Aalisha temui dan berwajah seperti pangeran dalam dongeng fantasi. Master Arthur, si Athreus gila, dan lelaki ini. 

Sayangnya, Aalisha takkan terbodohi lagi. Ketampanan tidak mencerminkan sifat seseorang. Bisa lihat dari sifat Arthur dan Athreus? Mereka bajingan semua. Pasti lelaki satu ini juga.

Aalisha memperhatikan lelaki itu yang menggunakan invinirium-nya untuk menaruh buku miliknya jadi sembari berjalan, dia tetap bisa membaca bukunya. Ah, invinirium punya banyak tipe dan kegunaan, salah satunya seperti lelaki ini. Jadi invinirium bisa berubah menjadi semacam penyangga agar bukunya tak jatuh terus dikarenakan invinirium dapat terbang maka akan terbang sembari mengikuti setiap langkah lelaki itu. 

Awalnya Aalisha tak peduli sama sekali, tetapi jika ia perhatikan, buku yang lelaki itu baca seperti tak asing baginya. “Apa itu, the song of Iaphthae.”

Lelaki itu menoleh. “Ya kau benar, kau tahu novel ini?”

“Tentu, aku membacanya, sering membaca ulang karena diksi dalam novel itu sangat bagus.”

“Benarkah? Hebat, kau tahu jarang ada yang menyelesaikan novel ini karena bahasanya cukup berat, padahal novel ini benar-benar indah dan tragis. Aku sudah empat kali membaca ulang.” Ia berujar sombong di akhir kalimat.

“Aku delapan kali.”

Lelaki itu pasti merasa kalah, tergambar jelas dalam wajahnya jadi sesaat Aalisha merasa bangga. Oh, apa-apaan ini, ia bertingkah seperti anak kecil! Untuk apa bangga hanya karena membaca ulang novel? Lalu beberapa menit lalu, ia mengajak orang asing ini mengobrol duluan. 

"Kurasa aku harus sering membaca ulang lagi." Lelaki itu berujar. 

Aalisha menatap sesaat. Rambutnya yang panjang dan agak berantakan itu tertiup angin karena mereka memotong koridor melalui taman kecil di tengah akademi— taman lain yang berbeda dengan taman di dekat kuil —hal ini membuat Aalisha gila sesaat karena tak bisa ia mungkiri jika iris matanya begitu cantik. Ia terpikirkan hendak menyeka rambut panjangnya itu karena menutupi iris matanya. Oh ini sudah benar-benar gila! Aalisha harus mencari topik lain agar ia berhenti memikirkan iris mata orang asing yang bisa sama gilanya dengan manusia yang barusan Aalisha temui. 

"Banyak novel yang kau baca?"

"Lumayan. Aku suka membaca di waktu senggang."

"Kalau kau baca novel itu, apakah kau tahu novel dengan judul Servant of Evil?" 

Aalisha bangga menyebutkan nama novel yang sudah sangat lama itu. Novel itu ditulis oleh sastrawan. Alasan ia bangga karena sulit sekali mencari cetakan novel itu, tetapi seorang yang benar-benar paham akan sangat menjaga setiap lembarnya. 

Lalu novel itu memiliki diksi yang begitu indah, tetapi alur ceritanya tak seindah diksinya. Begitu menyakitkan bahkan pembacanya akan kepikiran selama tujuh hari tujuh malam setelah menamatkan novel yang berakhir sangat tragis itu. 

Bagi Aalisha, seseorang akan sangat hebat jika benar-benar menamatkan serta memahami novel tersebut. Pernah sekali dalam hidupnya. Ia berandai-andai memiliki teman cerita untuk membahas novel tersebut— tidak dengan Owen, pria itu sangat sibuk dan tak serasi dengan pemikiran Aalisha —sayangnya Aalisha tak pernah punya teman. Lagi pula semua itu hanya perandaian, ia tak pernah dan enggan sekali berdoa agar terjadi. 

"Ah, kau tak tahu? Sayang sekali—"

Lelaki itu tersenyum pada Aalisha. "Jika alam semesta paralel itu benar-benar nyata, aku berjanji kalau setiap versi diriku akan selalu jatuh cinta padamu."

"Kau?" Aalisha tak percaya lelaki ini tahu! Kalimat itu adalah kalimat yang diucapkan tokoh utama pria pada tokoh wanita yang ia cintai.

"Seperti itu 'kan?" Ia terkekeh kecil. "Kau tahu, aku terkejut karena sangat jarang ada yang membaca novel itu, akhirnya kutemukan, teman cerita untuk novel, eh maaf jika aku sembarang bicara."

"Tidak! Aku juga terkejut, ternyata kau membacanya juga. Cepatlah! Keburu sore!" Maka Aalisha mempercepat langkahnya menuju perpustakaan. 

****

Berada di dalam situasi bersama lelaki ini, ada satu hal yang Aalisha pahami bahwa lelaki ini juga mengundang sorotan banyak orang. Beberapa murid juga terlihat menyapanya. Oh tentu saja mereka tak kenal Aalisha yang seolah tak kasat mata ini. Di perpustakaan juga, ada beberapa murid yang selesai meminjam buku, langsung menyapa lelaki ini dan ia balas dengan senyum kecil atau anggukan. 

"Kita mulai susun di rak ini dulu," ujarnya sembari membuka satu per satu kardus. Sedangkan Aalisha hanya mengangguk saja. 

Selama menyusun buku-buku ke raknya. Aalisha terus terpikirkan akan lelaki ini. Bagaimana bisa mereka punya bacaan novel yang sama? Terus apa-apaan perkataannya tadi, menemukan teman cerita? Bah dasar gila! Siapa juga yang mau jadi teman ceritanya. Mereka bahkan baru bertemu beberapa menit lalu, saling kenalan saja tidak! Mustahil menjadi teman cerita, Aalisha tak butuh itu!

"Kau masih membaca novelnya? Servant of Evil." Lelaki itu memulai percakapan setelah beberapa buku tersusun rapi di rak. 

Aalisha mengumpat karena ia ingin lelaki ini menutup mulutnya saja! Canggung tadi lebih baik dari pada mengobrol. 

"Aku sering membaca ulang, mungkin 20 kali lebih ada. Terakhir kali kubaca jauh sebelum ke akademi ini. Terus aku tak membawa bukunya ke akademi." Bagus, Aalisha harus menjawab setiap kemungkinan yang memicu pertanyaan baru. Jika diberi celah, pasti ia akan bertanya lagi atau malah mengganti topik baru. "Kita harus cepat, hari semakin sore."

Menyusun buku dan berdoa di waktu bersamaan agar lelaki ini tak bertanya lagi. Namun, Aalisha lupa jika para Dewa selalu punya seribu alur kehidupan pada umat-Nya. 

"Kalau begitu, kau mau meminjam novelku? Untuk baca ulang."

Aalisha menatap wajah lelaki itu dengan tangannya yang masih memegang buku. "Kau bilang apa?"

"Kalau kau mau meminjam novelku? Dengan senang hati kupinjamkan."

"Kau gila!!" teriak Aalisha harus mendongak agar melihat wajah lelaki itu dengan jelas, "novel itu langka, harusnya tak kau pinjamkan begitu saja! Bagaimana jika yang meminjam akan merobek novelnya, membuat kertas halamannya terlipat atau kemungkinan terburuknya adalah terbakar!"

Lelaki itu kembali terkekeh, sangat lucu tingkah gadis ini. "Jika kupinjamkan padamu, sepertinya semua kemungkinan itu takkan terjadi. Lagi pula aku malah bangga bisa meminjamkan novelku, bukankah kalau begitu, kita memperkenalkan novel itu pada orang lain. Penulisnya akan senang."

"Bukan itu jawaban yang kuinginkan! Terlalu klise!" Sialan sekali lelaki ini. Dari mana ia belajar merangkai kalimat, apakah ia penulis? Tidak mungkin. Ia pasti pandai menggunakan kalimat manis pada setiap wanita. Lihat saja betapa ia dikenal dan sering menjadi sorotan. 

"Aku akan tetap meminjamkan novelku padamu, kalau kau mau?"

"Tidakkah kau berpikir, kau meminjamkan novel pada orang asing?" Aalisha harus menolak walaupun dalam lubuk hatinya ia ingin membaca novel itu lagi. Kini Aalisha yakin jika lelaki ini akan segera berpikir ulang untuk meminjamkan novelnya. Jika ia cerdas, ia tak mungkin meminjamkan barangnya begitu saja pada orang asing.

"Benar juga." Lihat Aalisha benar hingga ia terdiam ketika lelaki itu kembali berujar. "Kalau begitu, mari kita berkenalan agar tidak menjadi asing lagi." Ia mengulurkan tangannya pada Aalisha. 

"Perkenalkan, namaku Nicaise dan kau?"

Ada sesuatu yang menyeruak seolah-olah memaksa agar Aalisha menjabat tangan lelaki itu. Lalu suara dan caranya bersikap mengingatkan Aalisha akan seseorang yang menjadi alasan Aalisha memasuki sekolah ini serta secara sadar melangkah ke atas neraka. 

Tidak juga Aalisha merespons, Nicaise menarik tangannya. "Maafkan aku, kau pasti risi—"

"Namaku Aalisha, senang berkenalan denganmu." 

Perlahan Aalisha membungkuk sebagai tanda penghormatan yang langsung disusul Nicaise dengan ikutan membungkuk. Mereka berdua bak seorang pangeran dan putri yang berada di pesta bangsawan dan saling memberi hormat sebelum melakukan dansa. Tanpa Nicaise sadari jika sesaat wajah gadis itu memerah. 

"Jadi kau mau meminjam bukuku, Aalisha? Novelnya masih di asrama sih, jadi bisa kukasih mungkin besok."

"Ya, akan kuambil ke asramamu."

"Kau yang ambil? Aku tak masalah jika harus aku yang pergi memberikan ke asramamu."

"Tidak perlu. Aku yang pinjam jadi akan aku akan ke sana mengambilnya."

"Baiklah, kalau begitu kau akan sekalian berkunjung ke asrama Faelyn."

"Tidak tertarik dengan kunjungan, aku hanya akan mengambil bukunya." Aalisha tersenyum kecil. 

"Ya, tak masalah. Kutunggu kau mengambil bukunya." Aalisha terdiam sesaat. Sesuatu tengah menyeruak lagi kini berada di dadanya. Tak pernah ia rasakan sebelumnya yang perlahan membuat wajahnya memerah. 

"Aku baru sadar," ujar Nicaise.

"Tentang?!" Aalisha berpura-pura menyusun buku— sebenarnya memang sedang menyusun buku —agar tidak menatap Nicaise. 

"Kita punya gelang yang sama," ujarnya sambil memperlihatkan gelang yang berada di tangan kirinya. "Kau pergi ke kuil yang mana?"

"Kuil paling ujung terus sepi."

"Aku juga ke sana. Tak kusangka."

“Ya aku juga agak terkejut,” ujar Aalisha yang tiba-tiba saja merasa gugup. 

Bajingan, mengapa ia jadi begini? Jangan-jangan lelaki ini menggunakan mantra yang hendak membuat fokus Aalisha teralihkan lalu bisa saja setelah ini, ia menjalankan rencana jahatnya untuk membunuh Aalisha? Oh bodoh sekali, untuk apa ia lakukan itu, Aalisha tak begitu berharga dan penting jadi dibunuh pun, takkan mengubah apa pun. 

“Kenapa tidak sampai sih!” ujar gadis itu kesal. 

“Biar kubantu,” sahut Nicaise cepat lalu mengambil buku di tangan Aalisha dan ia yang menaruh buku di rak lumayan tinggi tersebut. 

Entah sadarkah lelaki itu, tetapi jubahnya yang panjang tidak sengaja menutupi atas kepala hingga wajah Aalisha. Detik itu, Aalisha bisa mencium aroma parfum yang Nicaise gunakan. 

Setelah menaruh bukunya, Nicaise tersenyum pada Aalisha sembari berujar, “makasih ya, kau sudah membantuku jadi lebih cepat selesai.”

Mungkinkah para Dewa begitu menyayangi lelaki ini hingga memberinya iris mata yang begitu cantik dan indah? Aalisha merasa tak lelah untuk memandangi mata itu yang detik selanjutnya. Dia harus mengutuk dirinya sendiri atas apa yang ia pikirkan barusan. Bagaimana bisa Aalisha begitu memuji manusia lain? Ia tak suka jadi untuk mengalihkan hal ini, ia malah berujar ngelantur. "Kau sadar tidak sih?! Kau sejak tadi menjadi sorotan orang-orang!"

"Memang sering bahkan sejak awal masuk akademi," sahut Nicaise enteng. 

"Bagaimana bisa?" Aalisha menatap heran. "Ah kau pasti berasal dari keluarga terpandang."

Nicaise tersenyum. "Bisa dibilang begitu.”

“Aku merasa terhormat bisa mengobrol dengan kasta atas sepertimu,” ujar Aalisha. 

“Aku juga.” Kini karena sudah selesai menyusun buku-buku ke dalam rak, Nicaise segera merapikan kardus yang tadi. “Aku merasa terhormat karena kau mau membantu untuk melakukan tugas ini.”

“Tak perlu berlebihan, aku hanya melakukan perintah profesor Madeleine, jika tak kulakukan bisa saja dia mengurangi poin asramaku.”

“Mengenai buku, kau datang saja ke asramaku,” ujarnya.

“Akan kulakukan di waktu senggang.”

Aalisha tahu perbedaan akan Nicaise dengan Athreus berengsek. Nicaise, Aalisha gambarkan sebagai sosok pangeran dalam negeri dongeng yang begitu dihormati karena keramahan dan kebaikannya, berkebalikan dengan Athreus yang mungkin pangeran berdarah dingin bahkan lebih parahnya adalah seorang tirani! Ah, untuk apa ia membandingkan keduanya. Aalisha malah berharap jika ia tak terjebak lebih lama dengan kedua manusia yang kemungkinan berasal dari kasta atas itu. 

Lagi pula setelah meminjam buku Nicaise dan mengembalikannya, maka segalanya akan selesai. Aalisha tak mau terlalu terlibat dengan banyak orang. Ia sebisa mungkin menghindari manusia lain masuk ke hidupnya. 

Ya, ia tak mau terlalu berharap pada manusia di Athinelon yang hina ini.

“Aalisha,” panggil Nicaise kembali. “Terima kasih.” Maka lelaki itu perlahan membungkuk dengan tanda memberi hormat pada Aalisha lagi. Perlahan gadis itu membalas hormat Nicaise dengan membungkukkan tubuhnya sesaat, meskipun ia tak mengatakan sepatah kata pun. 

Setelahnya, Aalisha pamit pergi lebih dahulu. Merasa cukup jauh dari perpustakaan. Kini ia bersandar di dinding sembari memijat pangkal hidungnya. Tangan satunya mengepal sangat kuat. Ia berhasil kabur dari sana karena jika berlama-lama akan membuat degup jantungnya jadi tak karuan. Benar ini sangat gila! Harusnya ia tak begini. Ia perlahan mengangkat tangan kanannya yang terlihat melingkar di sana sebuah gelang merah. 

“Lihatlah betapa lucu sekali segala takdirku yang Para Dewa tuliskan.” 

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Prins Llumière

Senin, 01 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top