Chapter 13

Mylo merasa frustrasi ketika mengecek buku-bukunya dan ada satu buku yang kurang sedangkan buku itulah yang akan digunakan esoknya pada mata pelajaran pertama. Hendak meminta bantuan pada Anila, tetapi gadis itu tak ada di kamarnya karena setelah makan siang tadi mereka berpisah, beberapa hal harus Anila urus, entah apa itu— Mylo lupa. 

Tanpa pikir panjang, ia menuju kamar Aalisha di lantai lima kemudian menggedor-gedor pintu tersebut yang membuat empunya membukakan pintu dengan senyuman sinis serta menyembunyikan pisau di belakang punggungnya. Bersiap menusuk Mylo karena mengganggunya. 

"Tolong bukuku! Aku melupakannya sedangkan itu buku wajib untuk esok hari, kubaca dari peraturannya jika tidak bawa buku akan terkena hukuman."

"Bukan urusanku!" Aalisha hendak menutup pintunya, tetapi ditahan Mylo. 

"Kumohon bantu aku! Aalisha!!"

Helaan napas panjang terdengar dengan genggaman Aalisha pada pisaunya semakin erat. Suara Mylo yang keras itu membuat beberapa penghuni kamar di lantai ini jadi keluar lalu menatap ke arah mereka. Semakin saja membuat Aalisha yakin untuk membunuh lelaki ini. 

"Baiklah akan kubantu! Jadi berhentilah menggedor pintuku!" 

"Astaga kau baik sekali!" Mylo tidak berhenti terharu lalu ia menatap pada pisau yang Aalisha genggam. "Untuk apa itu?"

"Ah, aku tadi selesai memotong daging."

"Bagus, di siang hari memotong daging." Entahlah, Mylo tak yakin, tetapi ia juga tak mau menyahuti lagi karena merasa takut— gadis ini benar-benar psikopat —jadi ia anggap saja perkataan Aalisha itu jujur. "Jadi aku harus apa?"

"Gunakan otakmu dulu!"

"Be—benar juga, mungkin pinjam di perpustakaan? Mau bantu aku temukan bukunya?"

"Dengan senang hati." Sungguh Aalisha tidak senang sama sekali. 

****

Menara perpustakaan terletak di sebelah timur yang berdekatan dengan menara alkemis. Perpustakaan ini begitu megah dan besar. Warna cat didominasi dengan warna cokelat kayu, kuning keemasan, perak, dan putih. Lalu langit-langit perpustakaan terdapat lukisan yang didominasi warna vintage.

Ada tiga lantai di perpustakaan ini dengan tempat duduk di beberapa titik. Berupa meja panjang dengan banyak kursi, lalu di atasnya ada semacam lampu penerangan serta pena berbulu dan tintanya. Akses menuju lantai atas menggunakan tangga, terlihat ada juga tangga spiral yang begitu ikonik. Saat masuk ke perpustakaan, tepat di tengahnya ada meja bundar yang di tengahnya terdapat patung Dewa yang membawa buku begitu besar. 

Aalisha yang awalnya terpaksa membantu Mylo serta mengutuk lelaki itu berkali-kali kini dia menjadi lebih tenang karena begitu puas melihat keindahan perpustakaan ini. Ia tak benar-benar menyesal untuk membantu Mylo walaupun rasa ingin menusuk perut lelaki itu masih ada karena menggedor-gedor pintunya. 

"Cari ke sana, aku akan cari di sini," perintah Aalisha yang langsung dituruti oleh Mylo begitu saja. 

Tidak ada salahnya juga untuk melihat-melihat buku di perpustakaan ini. Perlahan ia menelusuri rak demi rak yang begitu rapi. Buku-bukunya tersusun berdasarkan jenis buku seperti filsafat, sejarah, sosiologi, linguistik, biologi, sastra bandingan, dan masih banyak lagi. Selain buku pengetahuan, di sini juga ada buku cerita dan sejenisnya. Bahkan di lantai atas, ada rak yang berisi buku kuno dengan aksara kuno juga. 

Alisnya terangkat sedikit ketika mendapati buku cerita berjudul The Antagonist Queen. Tawanya menguar sesaat. Bagaimana bisa buku ini ada di sini? Buku ini pernah ia baca dan masih tersimpan rapi di rak buku di kediamannya. Alasan Aalisha tertawa karena buku ini sudah tak dicetak ulang, lalu ada kabar buruk jika penulis buku ini sudah tiada sejak dua tahun lalu karena ekspedisi militer zero domain. Ternyata di perpustakaan ini ada bukunya juga?

"Ya, tak apa jika kubaca ulang, lagian aku ingin membaca lagi bagaimana sang pembohong yang begitu pandai menari di atas panggungnya." Maka ia ambil buku tersebut.

Berada di sisi berbeda, Mylo masih mencari bukunya. Ia tadi cukup tertarik pada beberapa buku, tetapi ia harus fokus mendapat buku wajibnya jika tidak, hari esok bisa dipastikan Mylo hanya tertinggal nama saja. Itupun kalau namanya tidak ikut dihapuskan oleh profesor yang bersangkutan.

"Kira-kira Aalisha sudah dapat bukuku gak ya?" Baru saja Mylo hendak menuju rak berbeda, terdengar suara memanggil namanya. Sialan, sudah ia duga jika orang yang memanggilnya akan menghampirinya apalagi mata mereka beberapa kali bertemu sebelum ke akademi ini. 

"Lihatlah siapa ini?" 

Terlihat lelaki itu berjalan dengan angkuh, wajahnya mendongak. Ia lebih tinggi beberapa sentimeter dibandingkan Mylo. Rambutnya gradasi antara cokelat dan krem, serta uniknya, ada beberapa helaiannya rambutnya berwarna merah. Manik matanya hijau. Jubah yang ia kenakan adalah asrama Drystan.

"Aku sedang sibuk, pergilah," sahut Mylo begitu benci akan kehadiran lelaki ini. 

"Oh, biar kutebak dari wajah itu, mata menyebalkan, kebiasaan berteman dengan manusia kasta bawah, tidak becus dan penuh kecerobohan, ya kau pasti Cressida, Mylo Cressida benar 'kan?"

"Kenapa ya mulut seorang Cornelius selalu penuh hinaan?" sahut Mylo.

Lelaki itu menatap Mylo dengan sangat tajam. Ia tak suka jika kasta menengah seperti Mylo seenaknya menyebut namanya dengan gamblang. Lelaki di depan Mylo ini bernama Killian Lafayette Cornelius, putra sulung garis keturunan Cornelius. Salah satu keluarga terpandang dengan kepala keluarga mereka adalah seorang Marquess yang dikenal kejam. Keluarga ini juga beberapa kali terlihat bekerjasama dengan keluarga Clemence. Lalu mendedikasikan diri mereka sebagai rekan Majestic Families, Clemence.

"Kau sama seperti ayahmu. Kuno, lemah, terlalu peduli pada kasta bawah, tak pernah bekerja dengan baik selalu menyusahkan—"

"Menyingkir bajingan," sahut Aalisha merasa kesal karena jalannya dihalangi. Atas hal inilah, Killian menatap pada seorang gadis kecil yang sukses semakin membuatnya marah karena ucapan Aalisha. 

"Kau bilang apa?" ujar Killian. 

"Ah, kupikir siapa yang berbicara dengan Mylo, ternyata murid sini yang mirip binatang Llama dengan bulu disisir rapi."

"Keparat kau!" Killian maju selangkah dan menatap sinis Aalisha, lalu tatapan itu berganti menjadi hinaan ketika ia teringat sesuatu. "Kabar itu benar, ada seorang murid perempuan yang berasal dari kasta bawah, tetapi punya kesombongan seperti kelahiran Majestic Families! Menyedihkan sekali."

Apa-apaan kabar itu? Kasta bawah sombong seperti Majestic Families? Apakah satu angkatan sudah tahu atau tersebar ke seluruh penjuru akademi ini? Bajingan Finnicus, si Orly gila penyebar gosip. Aalisha akan mencekik Orly itu hingga menderita dan tak lagi di Athinelon.

Killian kembali berujar, "harusnya kau tahu jika kasta bawah dan kotor sepertimu takkan bertahan di akademi ini."

Aalisha tersenyum tipis. "Tidakkah perkataan itu cocoknya untukmu sendiri? Lihatlah, kau yang akan keluar dari sini karena selalu bersembunyi dibalik nama terpandangmu itu, Cornelius!"

Tanpa aba-aba Killian menarik jubah Aalisha yang sontak membuat Mylo hendak menghentikan, tetapi dilarang oleh Aalisha. Kini Killian menatap begitu marah kepada Aalisha. 

"Gadis sepertimu hanya pembual. Kau akan keluar dari sini secepatnya atau kau akan dihina oleh seluruh murid akademi. Bersiaplah kau akan menderita, dasar kasta bawah!" Killian melepaskan cengkeramannya lalu bergegas pergi. 

Mylo mendekati Aalisha yang tak terlihat panik serta khawatir. "Kau tak apa?"

Aalisha memperbaiki kerah seragamnya serta jubahnya lalu menyerahkan buku yang Mylo cari. "Tentu, aku hanya ingin melihat bagaimana kebaikan para keluarga terpandang di dunia ini."

****

Temui aku, ada yang ingin kubicarakan. Akan kukirim lokasi ke mana kau harus pergi.

Itulah pesan yang dituliskan Arthur melalui cyubes milik Aalisha. Padahal baru saja Aalisha sampai di kamarnya setelah mencari buku di perpustakaan. Oh astaga sialan! Haruskah ia temui master Arthur karena dia sudah merasa sangat lelah. Namun, jika tak ditemui bisa jadi masalah. Bisa-bisa di hari pertamanya belajar nanti, dia akan langsung diminta untuk mencari naga legendaris sebagai tugas tambahan.

Bodo amatlah, akhirnya Aalisha bergegas pergi sendirian karena memang harus menemui master Arthur sendiri juga. Tanpa mempedulikan sapaan dari orang-orang yang terlihat lebih mengintimidasi entah karena aneh melihat Aalisha yang menggunakan celana atau karena mereka mengira seorang anak sekolah dasar malah tersesat di akademi ini?

Jarak antara titik yang harus ia datangi dengan asramanya sangatlah jauh. Ia juga melewati beberapa ruangan yang tadinya tidak dijelaskan oleh Damien. Sangat benar apa yang Damien katakan jika seorang murid lama saja masih memerlukan peta karena akademi ini begitu luas dan membingungkan, apalagi murid baru yang tak tahu apa-apa. Dikatakan Damien juga kalau ada beberapa ruangan rahasia di akademi ini bahkan ada ruangan bawah tanahnya.

“Ke mana sih dia membawaku? Kantor para pengajar sudah lewat dari tadi, apa master itu punya ruangan khusus sendirian di tengah hutan, mungkin? Ah bisa saja dia ingin menemuiku di tempat lain.”

Aalisha menghentikan langkahnya ketika ada pesan baru dari master Arthur. Sayangnya pesan itu bukanlah pesan yang baik, tetapi mengundang emosi Aalisha memuncak. Detik itu juga, ia mengutuk Arthur berkali-kali. Bagaimana bisa manusia sepertinya menjadi pengajar akademi? Apakah hanya Aalisha yang diperlakukan begini, oh ayolah, ia memang pernah membuat Arthur sakit kepala dan beberapa kali berlaku tak sopan pada pria itu. Hanya saja, haruskah ia dikerjai begini.

Aalisha mengulangi kembali pesan baru dari Arthur. “Sudah selesai jalan-jalannya, aku sebenarnya tak ada keperluan denganmu, aku hanya ingin kau lebih mengenal akademi ini. Selamat beristirahat. Selamat beristirahat katanya, dasar bajingan!”

Aalisha akhirnya bersandar sembari memijat kepalanya. Daerah akademi tempatnya berpijak kini, sangatlah sepi, kemungkinan karena sudah sangat sore atau memang jarang dilewati para murid.

Sepanjang Aalisha berjalan melewati koridor ini, ia melihat beberapa lilin di koridor sedangkan di koridor lain, seperti biasa diberi penerangan berupa lentera. Selain itu, Aalisha bisa melihat beberapa hiasan semacam tali merah dengan lonceng kecil di dinding koridor.

Merasa malas kembali, jadi dia ikuti ke mana koridor dan tali merah membawanya. Tali merah itu cukup panjang hingga berhenti di ujung koridor ini yang berupa ruangan, bukan ruangan biasa, tetapi ruangan yang berupa kuil kecil yang menjadi tempat berdoa bagi penghuni akademi. Di tengah kuil ada patung kecil seorang Dewi, lalu di sisi lainnya, ada tempat di mana ketika para pengunjung datang maka mereka bisa melakukan doa. 

“Selamat datang di kuil, jarang sekali ada yang kemari,” ujar seorang Orly laki-laki dengan pakaian rapinya berwarna hitam dan emas, di dahinya ada semacam hiasan kepala dengan warna emas juga. “Perkenalkan namaku Elijah, penjaga kuil kecil ini.”

“Boleh aku masuk?”

“Tentu saja, tentu boleh. Aku malah senang jika ada pengunjung datang.”

“Kenapa kau bilang kuil ini jarang didatangi?”

Ahh, karena jarak ke kuil ini sangatlah jauh, lalu tak semua punya waktu untuk berkunjung. Sebelumnya, berkenankah jika kujelaskan akan kuil ini, ah, sebenarnya aku ingin mengobrol karena aku agak kesepian.”

“Ya, ceritakan secara singkat saja.”

“Terima kasih, Ya— maksudku Nona.” 

Aalisha hanya diam, entah apa yang hendak Elijah ucapkan tadi, tetapi Aalisha tak terlalu memikirkannya. Elijah kemudian mulai berujar kembali. “Kuil ini sebenarnya salah satu kuil yang sejak lama sudah berdiri di tanah Elysian. Lalu ketika akademi di bangun, properti-properti kuil di pindah ke beberapa ruangan, jadi karenanya ada beberapa kuil kecil di dalam akademi. Di dekat menara astronomi, di dekat ruangan kelas sebelah selatan, dan ada beberapa lagi, termasuk di sini. Namun, karena di sini yang paling jauh untuk dijangkau jadi sangat jarang ada yang kemari.”

“Sayang sekali, terima kasih atas ceritanya.”

“Terima kasih kembali Nona.”

Aalisha mulai melakukan doa dengan mengambil cawan kecil, lalu ia juga menyalakan beberapa lilin yang mati dengan korek api yang tersedia di atas meja kecil. Di sana juga ada semacam kotak yang berisi gelang berwarna merah. Biasanya dalam doa begini, seseorang harus mengambil dua gelang merah itu, lalu mulai melakukan doa dan gelang merah itu tetap dibawa. Maka Aalisha pun melakukan doa. Setelahnya, di dekat patung Dewi ada semacam tiang kecil. Maka di tiang itulah, satu gelang diikatkan sedangkan satunya lagi dibawa pulang sebagai tanda habis mengunjungi kuil atau gelang berupa bentuk perlindungan. 

Di tiang kecil itu, terlihat sudah ada empat gelang merah, oh maksudnya lima gelang merah karena satu gelangnya terjatuh. Sepertinya pengunjung sebelumnya tidak mengikat gelangnya dengan benar.

“Dasar bagaimana bisa ia tak kuat mengikatnya,” gumam Aalisha.

Dia kemudian mengikat gelang miliknya terlebih dahulu. Lalu tanpa pikir panjang, Aalisha mengambil gelang merah yang terjatuh itu, kemudian dia ikat lebih kuat tepat di samping gelang miliknya. Kemudian Aalisha menempelkan kedua tangannya, lalu berdoa dan mengucapkan terima kasih. Terakhir, dia gunakan gelang miliknya tadi ke tangan kanan. 

“Tidak kau gunakan marajha-nya?” ujar Elijah kemudian.

Aalisha menatap pada Marajha yang dimasukkan ke sebuah wadah berbentuk lingkaran. Marajha merupakan bubuk merah yang digunakan orang-orang selesai berdoa, entah laki-laki dan perempuan lalu marajha biasanya diberikan di dahi. 

“Tidak, aku tidak menggunakan itu,” sahut Aalisha kemudian. “Terima kasih.”

Elijah tersenyum kemudian. “Semoga doamu dikabulkan, Nona.”

Aalisha tak menjawab lagi, jadi ia menuju pintu di dekat kuil. Pintu itu mengarah pada taman kecil dalam akademi. Terlihat ada beberapa pohon rindang di sana dengan suara kicauan burung terdengar serta masih ada tali merah mengelilingi pohon tersebut. 

Tidak jauh dari pohon, Aalisha bisa melihat sebuah jubah asrama Gwenaelle tergeletak di tanah, lalu di atas jubah itu terdapat gelang merah dari kuil dan satu buku pelajaran. Merasa bingung, ia mengedarkan pandangannya. Siapa pemilik jubah ini? Tidak seorang pun ia temukan. 

Jangan-jangan ada yang mati dan meninggalkan jubahnya? Oh, Aalisha tidak mau terlibat karena ia tak mau jadi sanksi. Hingga semua asumsinya terbantahkan ketika di atas pohon rindang itu terdengar suara seorang lelaki.

“Hei kau, gadis yang di bawah!”

Oh, ternyata tidak mati, tetapi di atas pohon itu. Bagaimana bisa Aalisha tak sadar. Lagi pula apa yang lelaki itu lakukan di atas pohon? Tak juga Aalisha menjawab, lelaki itu kembali berujar. 

“Hei! Kau dengar aku, bisa tolong berikan jubah dan bukuku. Gelangnya juga."

Masih juga Aalisha tidak menjawab dan hanya menatap lelaki itu. 

“Tolonglah,” ujarnya kemudian. 

“Kenapa tidak kau ambil sendiri,” sahut Aalisha. 

“Akhirnya kau bicara juga, hampir kukira kau bisu, jadi aku berpikir untuk berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Aku malas untuk turun!”

“Apa yang kau lakukan di sana?”

“Membaca, di sini sangat sepi dan menenangkan. Cocok untuk beristirahat dan membaca tanpa ada gangguan, lagi pula di atas pohon membuatmu semakin sulit diganggu oleh orang lain.”

Logis sekali, Aalisha juga merasa taman ini sangat tenang apalagi jarang ada yang melewati daerah kastil ini. “Ambil sendiri, kau tinggal turun dari atas sana.”

“Oh ayolah, aku hanya meminta pertolongan kecil darimu! Salah kah?”

Maka Aalisha pun menuruti perkataan lelaki menyebalkan itu walaupun dengan hati tidak ikhlas. Ia mengambil jubah, buku, dan gelangnya lalu menyodorkannya pada lelaki itu yang masih senantiasa duduk di dahan pohon. 

“Hei little girl, bisa kau agak berjinjit, aku masih tak sampai,” ujarnya. 

“Gila kau ya, memanggilku apa?” sahut Aalisha kemudian.

“Aku hanya berkata jujur.”

“Bajingan.” Aalisha agak berjinjit, tetapi masih saja, lelaki itu tak dapat meraih jubahnya dikarenakan Aalisha begitu pendek.

“Masih tidak bisa, kau pendek sekali, gadis kecil.”

Aalisha muak, sejak awal dia tahu jika lelaki itu hanya ingin mengerjai dirinya. “Keparat, kalau begitu ambil saja sendiri!” Maka Aalisha membuang jubah serta lainnya. Namun, tidak jatuh ke tanah dan malah melayang. 

“Jangan dibuang dong,” ujar lelaki itu terkekeh kecil. Lalu dengan sihirnya, jubah beserta buku dan gelangnya terbang menuju dirinya dengan mudah. 

“Kalau sejak awal kau bisa gunakan sihir itu, kenapa memintaku!”

“Aku malas menggunakan sihir, kalau bisa minta tolong dengan normal, mengapa tidak?”

“Bajingan, turun kau ke bawah, akan kubunuh kau!!” teriak Aalisha yang malah membuat lelaki itu terkekeh lagi. 

Lelaki itu menyimpan buku-bukunya ke dalam invinirium lalu memasang gelangnya kemudian ia turun ke bawah bersamaan jubahnya yang ternyata malah jatuh ke atas kepala Aalisha. 

“Oh maaf, hilang kontrol.”

“Sialan!” Aalisha menarik jubah yang dengan ciri khas warna silver sand itu. Kini Aalisha bisa melihat jelas bagaimana wajah lelaki itu yang sebelumnya terhalang dedaunan.

Dia sangat tinggi yang kemungkinan tingginya sekitar 169 cm. Hal ini membuat Aalisha harus mendongak untuk menatapnya, perbedaan tinggi mereka terlalu jauh dengan Aalisha yang hanya sekitar 128 cm. 

Lelaki itu memiliki rambut hitam legam dengan manik mata yang begitu indah yaitu berwarna biru, sebiru laut, kemudian alisnya tebal, bulu mata lentik. Rahangnya tegas serta hidung mancung. Bibirnya tebal dan merah muda, serta ia cukup putih. 

Aalisha takkan berbohong, jika lelaki ini termasuk jajaran makhluk adam yang sangat tampan. Seolah pangeran yang akan menjadi incaran ribuan wanita. Meskipun jujur, masih kalah jauh dari master Arthur. 

Oh, terlihat ada marajha di dahinya, apakah dia yang gelangnya tadi terjatuh ketika di kuil? Dasar tidak becus!

“Katanya kau akan membunuhku, kau mampu?”

Tanpa aba-aba, Aalisha langsung melayangkan tinju dengan tangan kanannya yang masih menggenggam jubah asrama Gwenaelle. Namun, dengan mudahnya lelaki itu menahan kepalan tangan Aalisha lalu dia berujar, “kau akan merusak jubahku.”

“Memang begitu seharusnya!” Lekas Aalisha menyerang kembali dengan menendang leher lelaki itu menggunakan kaki kirinya, tetapi kembali ditahan dengan mudahnya.  

“Kau sangat cepat,” pujinya, “tapi hati-hatilah little girl. Kau bisa saja terluka."

Hari sudah semakin sore membuat Aalisha berdecak kesal. Jadi ia perlahan menurunkan kakinya lalu melempar jubah tersebut tepat ke wajah pemiliknya. “Aku malas menanggapi manusia bodoh sepertimu!”

Lelaki itu tersenyum lalu melepas jubahnya sembari berujar, “Athreus, itu namaku.”

“Aku tak peduli!” Aalisha hendak pergi dari sana, tetapi Athreus mengucapkan hal yang membuat Aalisha kesal kembali. 

“Baiklah tak masalah, sampai jumpa lagi, little girl.” Maka Athreus membungkukkan tubuhnya sesaat seolah penghormatan singkat pada putri kerajaan.

“Dasar kau!” Baru Aalisha berbalik, Athreus sudah menghilang bersamaan dengan angin yang membelai helaian rambut Aalisha. “Lihat saja, kuhancurkan lelaki gila itu!!”

Dari kejauhan Elijah mengusap dagunya, ia habis memperhatikan perkelahian kecil dan kini ia harus mengingat sesuatu yang lupa ia ceritakan pada Aalisha. “Aha! Aku baru ingat, lupa kukatakan pada gadis itu, kalau kuil ini penuh dengan rahasia dan juga sering disebut kuil takdir. Lalu, kalau gelang yang terjatuh atau lepas kemudian diikatkan kembali oleh orang lain, biasanya … umm ... apa ya sebutannya, aku lupa ….”

Ia kembali berpikir hingga beberapa menit berlalu ia teringat kembali. “Sebutannya … tidak-tidak bukan itu, intinya pertemuan dan takdir, ya takdir yang langsung digariskan oleh para Dewa! Ya!! Gadis itu sangatlah hebat. Jagad Dewa, aku merasa terhormat bisa menjaga kuil ini hingga melayani dirinya.”

****

Menuju ke asrama, sampai di ruang utama. Terlihat dari lorong perpustakaan, Anila bersama dengan Mylo keluar hendak menuju kamar. Ketika melihat Aalisha, mereka langsung saja mengejar gadis itu. 

“Kau dari mana? Kamu khawatir,” ujar Mylo. 

“Bertamasya— sudah aku capek!”

“Aalisha tunggu!” Cegat Anila.

“Apalagi?”

“Itu, dia dahimu … ada tanda merah, apa itu marajha?” Anila mengeluarkan cermin dari dalam invinirium-nya. “Coba lihat di cermin.”

Maka Aalisha lakukan, dia memegang dahinya dan benar saja, di dahinya ada marajha yang sebelumnya tak ada di sana. Marajha ini ada setelah Aalisha bertemu dengan lelaki bernama Athreus itu. Kini Aalisha terdiam sempurna dengan menatap tajam ke pantulan dirinya. 

Athreus pasti yang memberikan marajha di dahinya, tetapi kapan? Aalisha tak menyadarinya. Lalu untuk apa lelaki itu memberikan marajha di dahi Aalisha! “Keparat, harus kubunuh lelaki itu nanti."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Mari belajar dengan Prins Llumière~

Cornelius menjadi salah satu Keluarga Terpandang dengan silsilah yang panjang juga serta cukup banyak jasa mereka terutama dalam peperangan serta ekspedisi militer! Bahkan ada yang berkata jika keluarga ini termasuk gila perang padahal beberapa Majestic Families saja bersikap pasifis— anti perang.

Keluarga ini punya ideologi yang menganggap jika mereka yang lahir dari kasta bawah dianggap sebagai sampah, kotor, dan hina. Atas hal inilah, mereka hanya menghormati para bangsawan atau kaum borjuis! Hal ini sesuai dengan moto atau slogan keluarga ini, yaitu:

"Crowns and thrones are only given to those who are pure and great."

Maka tak mengherankan jika mereka begitu angkuh terutama mereka mendedikasikan diri sebagai keluarga yang dekat dengan Majestic Families, Clemence.

———

Marajha merupakan bubuk berwarna merah yang digunakan di dahi, biasanya setelan melakukan persembahan maupun doa kepada pada Dewa, tetapi tidak masalah jika digunakan di luar kegiatan doa. Di zaman dulu, orang-orang bahkan menggunakannya marajha ketika hendak berangka perang karena marajha dianggap perlindungan dari Para Dewa.

Biasanya yang mengoleskan atau memberikan marajha di dahi adalah keluarga. Entah orang tua pada anak dan sebaliknya, adik pada kakak atau sebaliknya. Namun, yang paling berarti adalah pasangan kekasih atau suami-istri. Atas hal inilah, tak sembarang individu hendak memberikan atau mengoleskan marajha di dahi individu lain, karena marajha dianggap sebagai suatu hal yang sakral.

Prins Llumière

Jum'at, 22 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top