Chapter 05

Mereka tiba di sebuah restoran mewah. Hal ini karena sebelum pergi membeli kebutuhan Aalisha, mereka berniat mengisi perut terlebih dahulu yang kemungkinan membeli semua kebutuhan itu bisa memerlukan waktu hingga sore hari. 

Arthur menjelaskan jika restoran bernama Araraya Obigail Laure— mengapa namanya susah sekali —menjadi salah satu restoran terbaik di kota ini. Para pengunjung dari luar kota, pasti takkan melewatkan makanan di restoran ini yang terkenal lezat bahkan diakui oleh raja setempat. 

Hal itu terbukti jelas melihat antrean yang sangat panjang karena di dalam restoran sudah sangat penuh. Aalisha perlu mengelus dada berkali-kali, ia berpikir pasti akan membuang waktu lagi jika harus mengantre di restoran ini, tetapi ternyata tidak. Jika yang lain entah dari kalangan atas maupun menengah terlihat sedang mengantre dengan sabar. 

Berbeda dengan Arthur dan Aalisha yang bisa masuk ke restoran itu dengan mudahnya bahkan sudah ada pelayan yang menunggu mereka lalu mengantarkan mereka menuju meja khusus yang berada di lantai dua. Kini Aalisha benar-benar memandang takjub pria di hadapannya ini. Apakah selain seorang bangsawan, pengajar di Akademi, pria ini juga orang yang sangat penting? 

Seberapa penting sampai ia dengan mudahnya masuk ke restoran yang orang-orang rela mengantre sampai sore? Jelasnya tidak ada reservasi atau pesan duluan jika reservasi maka mereka yang berasal dari kalangan atas, tak mau bersusah payah mengantre di luar sana. 

Aalisha tersenyum kecil, menarik juga pria yang kemungkinannya menjadi pengajarnya di akademi nanti.

"Apa yang akan kaupesan?" tawar Arthur sedangkan Aalisha masih menatap satu per satu menu restoran ini. 

"Lebih baik Master yang memilihkan karena baru pertama kalinya aku ke restoran ini."

"Baiklah." Arthur segera memanggil pelayan. "Siapkan semua menu terbaik restoran ini."

"Baiklah Tuan, silakan menunggu."

Apa pendengaran Aalisha tak salah? Barusan ia berkata semua menu? Yah ini situasi yang biasa bagi Aalisha karena dalam novel yang ia baca, sering sekali seorang tokoh kaya raya yang tak mau ambil pusing karena masalah menu makanan jadi ia memesan semua yang ada di dalam menu. Namun, ini dunia nyata ataukah pria ini jenis bangsawan yang setiap sesi makan, selalu tersaji semua jenis makanan di tanah Athinelon ini? Tidak mengherankan, para bangsawan sulit dimengerti jalan pikirannya.

 "Kau sudah tahu jika tanggal masuk akademi dimajukan?" Suara Arthur terdengar memecah keheningan Aalisha. 

"Ah ya, sudah."

"Beberapa orang yang kukenal dan hendak masuk akademi sempat melontarkan protes karena hal ini, bahkan mereka marah-marah akibat tanggal yang dipercepat. Sepertinya Eidothea mengambil waktu mereka yang tersisa untuk hidup normal."

Entah perkataan itu hendak diberikan khusus pada siapa atau beberapa orang memang mengeluh, tetapi Aalisha merasa sakit hati dan tersindir. "Mungkin karena mereka ingin menghabiskan waktu berada di rumah sebelum pindah ke akademi yang mewajibkan muridnya tinggal di asrama."

"Logis juga." Arthur menopang dagunya lalu menatap Aalisha dengan intens. "Bagaimana denganmu? Sudahkah kau menghabiskan waktu di rumah sebelum pergi ke mari?"

"Bagiku menghabiskan waktu di rumah atau tidak, tak ada bedanya. Karna aku tak punya seseorang untuk melakukan hal itu."

Arthur mengangguk singkat yang tak lama kemudian pesanan mereka datang. Ada delapan menu terbaik di restoran ini maka kedelapan menu itulah yang tersaji di atas meja. Semuanya terlihat lezat, ada makanan yang tersaji dengan kuah dan ada juga yang tidak, minumannya juga tak kalah menakjubkan. 

"Silakan, kau boleh memilih apa pun."

Aalisha tersenyum simpul. "Terima kasih." Ia mengambil menu tak berkuah, sebuah makanan yang berupa daging dengan lumuran bumbu yang sangat menggugah selera. Sedangkan Arthur mengambil salah satu menu yang paling ia sukai jika berada di restoran ini. Selama acara makan, tak ada pembicaraan di antara keduanya. 

Setengah jam lebih telah berlalu yang tak Aalisha sangka jika ia mampu menghabiskan tiga menu yang berbeda. Entah karena beberapa hari lalu ia tak selera makan atau karena makanan di restoran ini benar-benar membuat pengunjungnya jadi rakus. Namun, apa pun itu, Aalisha tetap harus mengapresiasinya. Selain itu, minuman di restoran ini benar-benar memanjakan tenggorokan. 

Aalisha menaruh cangkirnya. Ia baru sadar jika tempat ia makan ini berbeda dengan yang lain. Berada di lantai dua kemudian agak jauh dari meja lainnya, selain itu, di sekeliling Aalisha terdapat sekat khusus yang membatasi serta menutup jarak pandang pengunjung lain. Biasanya meja khusus seperti ini di sebuah restoran, disediakan untuk keluarga kerajaan atau tamu penting agar tidak berbaur dengan masyarakat lain. 

"Kau sudah selesai." Arthur berujar, "kalau begitu mari kita segera pergi untuk membeli barang-barangmu."

Sesaat Aalisha menatap dengan curiga pada Arthur sebelum ia mengangguk sembari berujar, "Anda sengaja memesan meja ini agar tidak berbaur dengan masyarakat lain 'kan?"

"Mengenai itu …."

"Terima kasih dan terima kasih juga atas makanannya, aku sangat senang."

"Tentu saja."

****

Mereka kini berada di kereta kuda. Tujuannya adalah menuju ke tempat yang berbeda karena restoran tadi terletak tepat di pinggir kota dekat dengan lautan sedangkan daerah yang akan menjual kebutuhan masyarakat berada di tengah kota jadi memerlukan waktu sekitar setengah jam atau lebih untuk menuju ke sana. 

Berada di dalam kereta, Aalisha sesekali mengalihkan pandangannya ke arah luar, ia memperhatikan setiap penduduk yang ada. Terlihat beberapa orang dewasa berlalu-lalang, ada yang terlihat panik karena terlambat bekerja, ia juga melihat beberapa orang mengenakan seragam pasukan, kemudian anak-anak yang sedang asyik bermain. 

Tatapan Aalisha terfokus pada seorang anak perempuan yang tengah bergandengan dengan kedua orang tuanya menuju taman yang indah. Senyuman anak itu terukir dengan sangat jelas betapa ia bahagia. Aalisha kembali mengalihkan pandangannya pada buku dan menghela napas panjang. 

"Ini pertama kalinya kau kemari?" Arthur memulai percakapan. 

"Iya, aku jarang keluar desa dan berbaur dengan orang-orang. Sebenarnya pernah beberapa kali ke pusat kota, tapi bukan kota ini. Selebihnya aku selalu berada di desa tempat tinggalku."

"Menurutmu bagaimana kondisi di kota ini," ujar Arthur ikut menatap ke arah luar. 

"Kondisi?"

"Ya, bagaimana dengan pandanganmu?"

Aalisha menutup buku yang ia baca. "Menurut sejarah, dahulunya wilayah ini dikuasai iblis tingkat atas dan banyak berdiri kastil iblis yang berkuasa. Lalu ketika pihak kekaisaran berhasil melakukan penyucian wilayah ini, mereka mengambil alih dan memusnahkan para iblis serta meruntuhkan kastil mereka. Setelahnya wilayah ini didirikan pemukiman dan dibangun peradaban sebagai salah satu pusat kota. Alasannya mudah, wilayah ini strategis dengan sumber daya alam yang melimpah.

"Para penduduk yang tinggal di daerah ini kebanyakan adalah penduduk modern, dari cara mereka berpakaian bahkan kelas menengah saja memiliki pakaian yang tak kalah dari masyarakat kelas atas. Alasannya karena mereka harus bisa berada di strata sosial, berbaur dengan gaya yang setara dengan masyarakat kelas atas jika tidak … mereka akan terkucilkan. 

"Karenanya kebanyakan penduduk di sini adalah penduduk setempat yang memang berada. Sedangkan mereka yang berasal dari luar kebanyakan turis dan jarang hendak menetap, jika pun menetap, kebanyakan tinggal di desa dekat pusat kota, bukan di kotanya yang membutuhkan waktu setidaknya dua jam untuk sampai. Tentu saja karena jika penduduk baru pindah kemari, mereka takut tak dapat berbaur. Apalagi di sini sering ada pesta bangsawan, salon, tea party."

"Kau hanya menyebutkan kekurangan kota ini." Arthur berujar.

"Sebenarnya tidak semua yang kukatakan adalah kekurangan, lagi pula Master bertanya dari sudut pandanganku maka itulah sudut jawabannya. Kota ini banyak ditinggali oleh keluarga ternama, bahkan mereka yang berasal dari garis keturunan Majestic Families juga berada di sini. Jadi tak heran jika masyarakatnya menjadi modern dan memandang kasta. Hal itu tak dapat diubah, tetapi di sisi lain, banyak orang-orang cerdas lahir dan tinggal di sini."

Arthur tersenyum kecil. "Pandanganku kurang lebih sepertimu, Nona Aalisha."

"Suatu kehormatan karena memiliki pandangan serta pemikiran seperti Anda, Master."

Tanpa sebab, Arthur terkekeh kecil membuat Aalisha jadi bingung. Apa pujiannya tadi berlebihan? Ia hanya berusaha untuk mendekatkan diri pada salah satu pengajar di akademi yang mungkin akan membantunya suatu hari nanti. 

"Kenapa? Apa ada yang salah?"

"Tidak, kau gadis yang unik. Perlu kau ketahui jika orang lain ketika bertemu denganku terutama jika mereka tahu aku seorang master di Eidothea, mereka akan menjaga perkataan mereka dan lebih banyak menundukkan kepala. Namun, dirimu, awal pertemuan saja kau sepertinya hendak mengutukku karena keterlambatan."

Hening menyeruak beberapa saat. Tak Aalisha sangka jika pria ini berbahaya juga. "Ah, aku hanya mengatakan apa yang hendak kukatakan bahkan jika itu umpatan."

"Yah … terkadang gadis sepertimu dibutuhkan dunia ini."

"Maaf Master, tapi aku tak ingin dibutuhkan."

"Itulah yang membuat dirimu unik."  Arthur menatap pada segerombolan anak-anak yang keluar dari beberapa toko lalu memasukkan barang mereka invinirium

"Apa itu anak-anak yang sama sepertiku, murid Eidothea?"

"Ya, beberapa kemungkinan murid baru karena terlihat bersama dengan orang tua mereka sedangkan ada yang kulihat murid tahun sebelumnya."

"Begitu." Aalisha jadi ikutan memandang pada anak-anak tersebut. "Ada yang mendapatkan syal dari ibunya, padahal musim dingin masih lama." Gadis itu bergumam dan Arthur mendengarnya. 

"Apa saja barang yang kau perlu beli?" 

Aalisha sontak mengeluarkan kertas yang berisi catatan barang-barang yang ia butuhkan. "Uhm, alat-alat untuk ramuan, lalu ada buku-buku, seperti mantra dan lainnya. Beberapa buku disediakan di sekolah, sisanya harus dicari kalau begitu ada sekitar 15 buku yang harus dibeli."

"Lima belas? Di sini tulisannya tidak wajib ada sekitar enam buku. Kau tidak harus membelinya, bisa saja tidak dibutuhkan dan tidak berguna."

"Akan tetap kubeli," sahut Aalisha, "jika semisal tidak dibutuhkan untuk apa buku itu masuk ke daftar yang harus dicari? Biasanya buku seperti ini menjadi buku penunjang dari buku utama. Lagi pula Master, Anda harus memperbaiki kalimat Anda karena di dunia ini, tidak ada buku yang tidak berguna, semua buku ditulis untuk berguna bahkan buku dongeng sekali pun."

"Baiklah, aku suka pemikiran itu."

"Oke jadi masalahnya adalah di mana aku harus mendapatkannya? Maksudku tokonya, aku baru pertama kali kemari, adakah saran, Master?"

Arthur kemudian membuat cyubes-nya dalam mode terlihat, lalu dalam cyubes itu terpancar cahaya yang berubah menjadi sebuah peta kota ini.  

"Ada tiga tempat yang kusarankan. Pertama, toko ini yang terletak di sebelah selatan. Kedua, toko ini sangat terkenal karena selalu menyediakan buku-buku baru dan modern. Saran ketiga adalah toko buku yang tak jauh dari posisi kita sekarang, bisa dikatakan toko ini cukup tua karena sudah berdiri puluhan tahun terus buku yang dijual juga kebanyakan buku lama serta buku bekas."

"Apa ada aturan di akademi yang mengharuskan membaca buku baru?"

"Tidak ada, kau bebas mau menggunakan buku baru atau bekas, karena yang terpenting adalah kau memiliki buku tersebut untuk belajar."

"Baguslah, kita pergi ke toko buku yang pertama Master sebut kan saja."

Hening terdengar. Arthur berpikir jika gadis ini akan pergi ke toko buku bekas. "Kenapa kau bertanya kalau begitu?"

"Aku hanya ingin bertanya, apa itu salah." Gadis itu bersedekap dan menyilangkan kakinya. "Lagi pula manusia sepertiku tak sudi menerima barang bekas."

Tanpa aba-aba Arthur memukul kepala Aalisha menggunakan kertas di tangannya. Gadis itu meringis lalu menatap tajam Arthur, sayang hanya sesaat, karena Arthur balik menatap lebih tajam. "Jaga sikapmu itu, jika di hadapanmu ini orang lain, pasti kau sudah jadi daging cincang untuk santapan cerberus."

"Aku hanya bercanda! Lagian aku akan mengunjungi toko buku bekas itu setelah mengecek toko pertama, kenapa Anda harus memukulku!"

"Wajahmu itu seperti tokoh antagonis dalam novel yang terakhir kali kubaca jadi aku ingin sekali memukulmu."

Aalisha berdecak. "Aneh."

"Kau bilang apa?"

"Tidak! Tidak ada!" 

"Berhenti," ujar Arthur menghentikan kereta kudanya. 

"Kenapa, tokonya masih agak ke depan sana."

"Kau lihat toko itu, beli peralatan alkemis terlebih dahulu serta peralatan lainnya di seberang toko. Setelah itu kau bisa berjalan kaki menuju toko bukunya."

"Apa? Tak mau ikut membantuku membawakan barang?" tawar Aalisha.

"Dengan senang hati, tetapi sebelum itu, akan kupotong kedua tanganmu terlebih dahulu. Siap?"

"Tidak! Aku bisa melakukannya sendiri!" Lekas Aalisha turun dari kereta kuda. Nyalinya langsung ciut dengan sempurna. Ia harus mengurangi bersikap seperti ini di depan Arthur karena sepertinya, pria bangsawan sekaligus master Eidothea ini takkan segan untuk memenggal kepalanya. Namun, tetap saja Aalisha tak bisa berhenti menyunggingkan senyuman kecilnya karena ia sudah memulai harinya di atas neraka Athinelon ini.  

****

Berada di toko buku inilah Aalisha terdiam sembari menatap sekeliling. Cukup banyak orang yang berlalu-lalang dan rata-rata membawa banyak barang seperti Aalisha. Sebagian barang yang sulit Aalisha bawa ia masukkan ke dalam invinirium. Kini Aalisha sadar mengapa disarankan untuk menyiapkan segala keperluan akademi satu bulan sebelumnya karena barang yang dibeli sangat banyak!!

Di tangan Aalisha membawa kotak kardus yang berisi peralatan alkemis seperti cawan, gelas khusus, bahan-bahan untuk membuat ramuan, serta masih banyak lagi. Sembari mengecek barang yang sudah ia dapatkan, Aalisha berjalan menuju toko selanjutnya yaitu toko buku. Sangat Aalisha harapkan jika 15 buku ada di satu toko ini jadi ia tak perlu capek-capek untuk menuju toko lainnya. 

Setelah memasukkan kotak kardus yang ia bawa ke dalam invinirium. Ia memasuki toko tersebut, hampir saja menabrak orang lain yang tak memperhatikan jalannya saking barang yang ia bawa menumpuk hingga menutupi pandangannya. 

"Gunakanlah otak. Mengapa tak ia masukkan ke dalam penyimpanan?" gumam Aalisha. 

Helaan napas terdengar panjang. "Jagad Dewa, harusnya aku lebih cepat, sekarang buku-bukunya tersisa sedikit."

Aalisha mengambil buku yang tertera sesuai dengan daftarnya. Beruntung sekali Aalisha masih bisa mendapatkan semua buku-buku wajib lalu tiga buku tidak wajib. Jadi totalnya baru sebelas, masih tersisa empat buku lagi. 

"Baiklah, tiga buku nggak ada berarti cari di toko lain, terus sisa satu bukunya, teknik mantra penyegelan tingkat tinggi." Sesaat Aalisha terdiam, kepalanya menjadi pusing karena sejak tadi buku-buku berkisar tentang mantra-mantra. "Baru baca judulnya aja sudah bikin kesal."

Barusan ada beberapa anak yang kemungkinan sama dengannya mencari buku itu juga, tetapi mereka berkata jika buku itu sudah habis. Kecewa melanda kemudian, lebih baik Aalisha pergi dan tidak perlu mencari buku tersebut apalagi hari sudah semakin sore sedangkan ia belum pergi ke toko senjata. Hanya saja, tidak sempurna baginya jika ia tidak mendapatkan semua buku, bukankah kalau ia berhasil mendapat buku yang dicari semua orang akan menjadi pencapaian yang perlu diapresiasi?

Ah sial, apa yang Aalisha pikirkan sih? Ia baru hendak menuju kasir, langkahnya berhenti kemudian. Bola mata Aalisha membesar dan berbinar-binar seolah ada bintang jatuh di sana. Di salah satu rak bagian atas, Aalisha bisa melihat buku yang ia cari berada di sana dan … hanya tersisa satu. Baguslah! Aalisha mendapatkannya! 

Ia berjinjit hendak mengambil buku tersebut, tetapi ada tangan lain yang sama hendaknya mengambil buku itu. Maka kedua tangan mereka saling bersinggungan dan Aalisha lebih dulu mendapatkan buku tersebut.

Kini keduanya saling bertatapan. Di hadapan Aalisha kini adalah seorang gadis yang lebih tinggi dari Aalisha, rambutnya panjang kecokelatan. Sehingga sebagian dikepang dan sebagian rambutnya dibiarkan jatuh ke belakang. Gadis itu pemilik iris mata berwarna amber, sangat cantik. Ada tahi lalat di bawah matanya. Kulitnya begitu putih. Menambah kesan cantiknya bak seorang putri kerajaan. 

Bisa Aalisha tebak jika gadis itu berasal dari kalangan atas karena pakaian yang ia gunakan cukup mewah. Mungkin jika orang lain yang melihatnya akan terpana lalu luluh begitu saja, tetapi tidak dengan Aalisha yang langsung menunjukkan permusuhan. Ya, ini perang!

"Aku lebih dulu mendapatkannya." Aalisha berujar. 

Gadis di depannya tak menjawab, tapi menatap Aalisha dari ujung rambut hingga kaki. Serta menatap beberapa buku yang Aalisha bawa. "Apa yang kau lihat?" sahut Aalisha kembali. 

"Sepertinya kau murid baru akademi, melihat kau mencari-cari buku yang sama dengan yang lainnya."

"Jika ya, memang kenapa? Kau sepertinya juga—"

"Berikan bukunya. Buku itu milikku." Gadis di depan Aalisha menatap dengan sinis. 

Aalisha terdiam untuk mencerna perkataan gadis bermata amber ini. What the hell!! Ini buku Aalisha, bagaimana bisa gadis itu hendak mengambilnya!! "Tidak kau dengar? Aku lebih dulu mendapatkannya jadi buku ini adalah milikku."

Setelah perkataannya itu. Perlahan-lahan hawa di sekitar Aalisha berubah menjadi dingin, ia juga melihat beberapa anak di toko mulai menjauh serta ada yang berputar balik. Apa yang terjadi?

"Kau murid Eidothea, itu artinya kau juniorku, aku lebih tua darimu. Seingatku juga, buku ini tidak wajib di angkatan baru sedangkan aku memerlukannya," ujar gadis itu masih dengan nada datar, tetapi begitu menusuk.

Tak salahkah Aalisha mendengarnya? Jadi gadis ini adalah seniornya di akademi, terus kenapa? Aalisha yang lebih dulu mendapatkan buku itu, jadi untuk apa ia bersusah payah memberikannya pada orang lain hanya karena seniornya di akademi. Selain itu, Aalisha merasa sangat bangga pada dirinya karena ia membeli buku yang sangat diperlukan di tahun selanjutnya sedangkan ia mengumpat bodoh pada senior sombong ini. 

"Kau bilang apa? Senior? Dan aku harus memberikan buku ini padamu?" Aalisha tertawa keras. "Itu artinya kau bodoh, buku yang direkomendasikan di angkatan baru tak kau miliki dan sekarang kau kelabakan mencari buku ini lalu bermaksud merebutnya dariku. Yang benar saja. Hanya karena kau seniorku, kau pikir aku akan memberikannya? Cari saja di toko buku lain."

"Berani sekali kau mengatakan aku bodoh?" Semakin saja hawa di sekitar Aalisha menjadi sangat dingin. Apa-apaan ini, apa para Dewa mengubah cuaca begitu saja? Mustahil kan kalau salju akan turun detik ini juga. 

"Tidakkah kau tahu siapa aku?!" Gadis itu melanjutkan ucapannya. 

Sungguh Aalisha sadari jika orang-orang semakin menjauh dari Aalisha maupun gadis ini. Andai Aalisha tahu, jika mereka yang di luar toko saja, beberapa anak mencegat anak lainnya untuk tidak masuk ke toko buku tersebut karena tengah menjadi medan perang. Seolah-olah jika yang lain ikut campur niscaya akan menderita karena berhadapan dengan gadis berambut cokelat itu.

"Tidak!! Aku tak tahu siapa kau." Masa bodoh, Aalisha tetap bersikukuh tak mau memberikan buku yang secara notabene adalah miliknya karena ia lebih dulu menemukannya. "Kau pikir aku harus tahu setiap makhluk hidup di dunia ini, termasuk dirimu?"

Bajingan, kini hawa dingin itu semakin menjadi karena angin seolah bertiup di dalam toko. Sebenarnya apa yang terjadi?

"Lucu." Gadis itu berujar lalu terkekeh kecil. Ia sebenarnya sangatlah kesal karena buku itu satu-satunya yang tersisa sedangkan di toko lain sudah tidak ada lagi. Butuh waktu jika harus memesan dari luar wilayah karena sebentar lagi akademi akan dimulai. Sesaat ia menatap sinis pada gadis pendek ini. 

Bisa-bisanya, ia menjadi murid Eidothea dan tidak tahu siapa dirinya? Apa anak di depannya ini baru keluar dari wilayah terpencil? Sungguh ia ingin sekali menghancurkan gadis ini karena sifat tidak sopannya, tetapi mendengar gadis ini tak tahu dirinya adalah lawakan yang akan ia ingat di tahun ini hingga akhir hayatnya.  

"Lihat apa yang kutemukan di angkatan baru. Tikus kecil yang mencicit, tapi tidak tahu siapa aku? Lucu sekali, tapi tak masalah."

Gadis bermata amber itu melangkah mundur dan hawa di sekitar Aalisha kembali seperti semula. Sial, Aalisha pikir musim dingin seketika dipercepat para Dewa. 

"Kali ini kau kumaafkan karena kau lucuuu sekali, tapi—" Gadis itu menatap sinis Aalisha seolah dengan lantang mengibarkan bendera peperangan. Aalisha yang tak mau kalah, menatap tajam gadis yang tak ia ketahui identitasnya ini. "Di akademi nanti, kau akan kuhancurkan. Camkan itu." 

Tanpa Aalisha sadari senyuman gadis itu terukir sempurna. Lalu ia langsung melangkah dengan angkuhnya melewati Aalisha yang hanya terdiam dengan penuh kebingungan. 

Sesaat Aalisha berbalik. Lalu menuju jendela toko untuk melihat gadis tersebut. Manik mata Aalisha seketika membulat begitu ia mendapati beberapa orang di luar sana terlihat memberi hormat dengan cara membungkukkan badan serta menundukkan kepala ketika gadis itu melewati mereka semua. 

"Sialan, siapa gadis itu sebenarnya?" Tolong jangan katakan jika nyawa Aalisha baru saja berkurang beberapa tahun.

****

Aalisha menjadi sangat bingung ketika menatap Arthur yang sedari tadi memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing. Mereka kini langsung menuju penginapan Aalisha. Masalah membeli pedang serta kebutuhan sisanya akan dilanjutkan hari esok. Hari ini sudah sangat melelahkan. 

Tadinya selama Aalisha membeli kebutuhannya. Arthur pergi sebentar untuk mengurus beberapa hal. Ia sangat berharap jika gadis ini akan kembali tanpa berbuat masalah. Sayangnya para Dewa tak mengabulkan doanya itu. Sesampainya di kereta kuda, Arthur bertanya apa saja yang terjadi hari ini, gadis itu menceritakan dengan gamblangnya. Betapa Arthur langsung frustrasi mendengar cerita gadis itu. Harapannya gadis itu mendapatkan teman, malahan mencari musuh. 

“Dia yang mulai,” ujar Aalisha kembali, “apakah Master pikir, aku akan menyerahkan bukuku begitu saja padanya?”

“Tidak, kau benar, buku itu harusnya jadi milikmu.”

“Lihat kau bahkan tahu mana yang benar, jika pun kau menjawabnya dengan menutup mata sekali pun.”

“Gunakan ‘Anda’ Aalisha, bisa sopan sedikit pada Mastermu ini?”

“Maaf tidak sengaja, tetapi perlu kuperbaiki, jika Anda belum resmi menjadi masterku. Sekolah baru dimulai beberapa hari lagi.”

“Kelak aku akan menjadi Mastermu dan saat itu juga akan kuberi kau tugas yang lebih berat berkali-kali lipat dari murid lainnya.”

“Anda jahat sekali.”

Sekali lagi Arthur menghela napas panjang. “Untuk masalahmu tadi, kau tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah.”

Ingin sekali, Aalisha menyahut perkataan Arthur, tetapi ia urungkan karena ia harus meminimalisir berbuat masalah terutama pada masternya ini. 

“Senior yang kau maksudkan itu bersalah karena berusaha mengambil buku yang telah kau temukan lebih dulu, tetapi kau juga salah karena berdebat dengannya. Harusnya kau bisa menjelaskannya dengan baik, bukan malah menghina dengan mengatakannya bodoh. Jelas sekali kau mengibarkan bendera perang padanya.”

Malas sekali Aalisha mendengarkan ceramah panjang nan menyebalkan ini. Menyesal juga ia menceritakan kejadian tadi pada Arthur, lebih baik waktu ini digunakan untuk membahas akademi Eidothea yang sebentar lagi akan ia masuki bukan membahasa gadis gila yang angkuh itu!

“Aalisha, kau mendengarkanku?”

“Iya, iya, aku dengar, jadi apa yang harus kulakukan?”

“Entahlah, kau pikirkan sendiri, itu bukan urusanku.”

“Apa!” Aalisha berteriak. “Kupikir Anda akan memberikan saran karena berceramah panjang.”

“Kau yang berbuat masalah, artinya kau pasti tahu cara untuk menyelesaikan masalah yang kau buat itu.” Pintu kereta kuda dibukakan oleh kusir. “Lanjutkan besok saja untuk membeli barang-barang lainnya. Makanan juga sudah tersedia di kamarmu.”

“Tak mau berkunjung?”

“Aku tak ada waktu, masih banyak hal yang harus kuselesaikan.”

“Ya selesaikanlah tugas itu sampai mati pun masih banyak tugas.”

Arthur tidak sama sekali tersinggung. Malah ia semakin tertarik dengan keunikan gadis ini. “Selamat malam Nona Aalisha dan jangan terlalu banyak mencari musuh."

Senyuman Aalisha terukir lalu ia perlahan membungkuk untuk memberikan salam hormat pada Arthur. "Selamat malam juga, Master Arthur Hugo Ellard."

Merasa gadis itu sudah pergi masuk ke penginapan. Arthur menatap pada seekor kucing putih dengan manik mata biru berjalan mendekati kereta kudanya, lalu perlahan kucing tersebut berubah menjadi manusia yang tubuhnya dibalut jubah. 

"Apa kau kini beralih menjadi pengasuh bayi, Arthur?" ujarnya setelah duduk di kereta kuda yang kembali berjalan. 

"Ini hanya permintaan dari kenalanku untuk membantu anak itu mempersiapkan kebutuhannya di akademi."

"Tetap saja, harusnya kau pergunakan waktumu untuk mengurus hal penting, malah memilih menjadi pengasuh anak itu … apalagi anak yang lahir tanpa nama keluarga yang berada! Anak itu jelas kasta rendahan! Rendahan!!"

Arthur tak menggubris perkataan terakhir pria di depannya ini jadi ia langsung bertanya pada topik utama. "Jadi apa yang membawamu kemari?"

Pria tersebut tersenyum, tetapi senyuman yang menunjukkan kekalahan. "Kekuatan Zephyr berulah lagi. Pihak keluargaku mengirim pasukan ekspedisi ke zero domain dan akibat kekuatan Zephyr itu, seluruh pasukan … mati."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Prins Llumière

Rabu, 6 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top