Chapter 02

Hari ini sangatlah cerah, bisa terdengar suara kicauan burung. Meskipun begitu, Aalisha merasa jika setiap harinya adalah hari yang buruk. Beberapa hari setelah kejadian bajingan di wilayah Uvuislupia, ia masih bisa merasakan jika tulang rusuknya retak, luka di beberapa bagian tubuh yang akan terasa sangat perih jika terkena air, serta ia masih sering mimisan. Beruntungnya tato itu sudah dicabut oleh Owen. Namun, hingga saat ini, Aalisha masih senantiasa untuk mengutuk pamannya tersebut. 

Bagaimana tidak? Setelah kejadian yang hampir membawanya ke neraka, ia tidak langsung beristirahat, tetapi dipaksa menaiki kereta kuda untuk pulang ke kediamannya di desa Twesserniont pada malam itu juga sedangkan perjalanan ke desa membutuhkan waktu setidaknya enam jam!

Bajingan sekali pamannya, sengaja untuk membunuh Aalisha secara perlahan. Harusnya sebelum pamannya itu menyiksanya, Aalisha lebih dulu membunuhnya! Ya, Owen sialan itu mati, takkan jadi masalah! Paling esoknya, Aalisha harus menyerahkan kepalanya pada algojo.

Aalisha turun dari ranjangnya, mengenakan sandalnya, lalu melangkah pelan untuk membuka jendela. Ia bisa melihat burung-burung pembawa pesan singgah, tetapi tak ada surat yang ia tunggu, takkan ada lagi, meski begitu, masih ada harapan kecil di hatinya. Walaupun ia tahu berharap takkan pernah membuahkan hasil karena berharap pada Dewa pun hidupnya masih penuh penderitaan. 

Kini gadis itu menatap ke cermin yang cukup besar di kamarnya. Terlihat di bagian pipi kanannya masih lebam biru, lehernya juga ada bekas memerah, ujung bibirnya juga tergores dan sudah lumayan dibandingkan sebelum diberikan obat. Kulitnya yang putih itu kini agak pucat. Manik matanya terlihat hitam legam senada dengan rambut panjangnya, alis yang agak tebal dengan hidung mancung serta bibir merah muda. Owen benar-benar bajingan sehingga membuat wajahnya yang cantik ini jadi terluka. Haruskah ia membalas perbuatan Owen?

Suara perutnya terdengar, semalam ia tak nafsu makan jadi ia hanya memakan beberapa potong roti saja dan langsung tidur. Kini ia harus segera mencukupi asupan gizinya. Jadi ia melangkah menuju pintu, sesaat manik matanya tertahan pada tumpukan surat kabar di atas mejanya, kebanyakan surat kabar itu adalah surat kabar sekitar satu, dua, dan tiga tahun lalu. 

“Kalau kau masih hidup, setidaknya berikan satu surat agar aku percaya jika para Dewa memang menyayangi kita berdua.”

****

Di kediaman inilah, Aalisha tinggal dan menjalani kehidupannya, sejak ia masih kecil hingga detik ini. Ah, sebenarnya ia pernah tinggal di kediaman yang berbeda, tetapi tidak lama karena suasana rumah itu begitu tak nyaman. Desa Twesserniont menjadi desa yang populasinya belum terlalu banyak, awalnya desa ini hendak didedikasikan sebagai tempat pertahanan militer, tetapi hal ini ditentang beberapa petinggi kerajaan karena desa ini menjadi salah satu dari sekian desa yang dianggap tanah suci para Dewa. 

Ada beberapa kuil kuno juga di sini yang dijaga ketat oleh Orly karenanya dilarang sekali untuk dirobohkan. Atas hal inilah, desa ini tetap asri dan dihuni oleh beberapa penduduk. 

Kekurangan di desa ini adalah jauh dari pusat kota dan perdagangan serta pendidikan. Sehingga mereka yang ingin bersekolah harus keluar dari desa ini yang setidaknya membutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk sampai ke sekolah terdekat. Sedangkan sekolah yang ternama, setidaknya membutuhkan setengah hari atau lebih untuk sampai karena biasanya sekolah ternama atau berada di jajaran tingkat atas biasanya didirikan di dekat pusat kota yang penduduknya banyak. 

Akibatnya beberapa warga yang memiliki anak terpaksa pindah atau mengirim anak mereka ke asrama. Hal ini membuat kebanyakan yang tinggal di sini adalah pendudukan yang tidak memiliki anak atau anak mereka berpisah tempat tinggal. Sehingga bukan hal mengherankan jika anak remaja usia sekolah jarang terlihat di sini. Bukankah akibat hal ini, kehidupan Aalisha jadi tidak menyenangkan, tak ada teman untuk diajak bermain? Tak masalah, Aalisha tak peduli karena ia sama sekali tak memiliki teman, sejak dulu.

“Ah, Tuan Putri sudah bangun, bagaimana harimu? Apakah tulang rusukmu sudah kembali ke tempatnya semula?” Owen dengan santainya berujar sembari memakan beberapa potong roti, oh tak lupa, ia juga membuat kopi dengan tambahan beberapa sendok gula. 

“Apa kau tak punya tempat tinggal sehingga kemari di pagi buta?!!” Aalisha merasa tak memiliki ketenangan selagi pria menyebalkan itu selalu berada di sekitarnya. Mungkin di saat seperti ini, ia bisa mengambil pisau di dapur lalu menggorok leher Owen, nanti ketika diinterogasi oleh pihak berwajib. Aalisha tinggal menjawab jika hal ini terjadi karena kecelakaan dalam memasak sup ayam.

“Kau lupa? Rumah ini sebenarnya milikku,” ujar Owen tersenyum.

“Itu dulu!! Sekarang rumah ini menjadi milikku!”

“Secara harfiah, walaupun rumah ini milikmu, aku tetaplah pemilik awalnya. Yah, lagi pula sejak awal, kau dihitung sebagai pengungsi karena tak punya tempat tinggal.”

Gebrakan meja terdengar, Aalisha meninggikan suaranya. “Berani kau berkata begitu pada majikanmu?!”

Bukannya takut, Owen malah tertawa seolah akting Aalisha sangatlah buruk. “Majikan yang ketika dibanting sekali sama pelayannya langsung muntah darah. Menyedihkan sekali.”

Aalisha benar-benar meraih pisau yang sebelumnya digunakan Owen untuk mengiris daging lalu dengan cepat ia tusuk ke atas meja yang sebenarnya tersisa jarak dua sentimeter antara pisau tajam tersebut dengan jari-jari Owen. Ya, pria itu sama sekali tak ada rasa takut atau bahkan berpikir untuk menarik tangannya yang bisa saja terpotong layaknya daging yang ia iris tadi. 

"Jaga sikapmu, Aalisha." Itulah yang Owen katakan sembari menyesap kopinya. 

"Harusnya kau yang menjaga sikapmu."

"Tidakkah kau lelah? Lebih baik duduk dan berikan tubuhmu itu asupan yang bergizi."

Aalisha mendengus. Benar juga apa yang Owen katakan, lebih baik ia mengisi perutnya yang sejak tadi berteriak minta diberikan makan dibandingkan mengurusi pria tua bangka yang mungkin satu atau dua tahun lagi akan segera mati dengan sendirinya. Secara mengenaskan mungkin? Aalisha memikirkan beberapa kemungkinan tragis yang menghampiri Owen. 

"Mengapa kau tersenyum seperti orang gila?" Owen berujar. Aalisha malah menuju meja yang berbeda, di sana ia mengambil mangkuk yang kemudian diisi dengan sup ayam lalu ia menyiapkan dua roti yang diisi dengan daging, seledri, tomat, timun, serta lainnya.

"Oh, hanya memikirkan bagaimana kau mati dengan tragis suatu hari nanti. Seperti terkena kutukan membunuh, meleleh karena racun iblis atau masih banyak lagi." Menuju rak di atasnya, ia sedikit berjinjit untuk mengambil bubuk cokelat lalu ia seduh menjadi minuman hangat. 

"Aku takjub dengan imajinasimu itu." Owen memperhatikan Aalisha yang duduk di hadapannya dengan semua makanan dan minuman yang telah ia siapkan. "Porsimu banyak, tapi tubuhmu tak juga tinggi. Dasar pendek."

Aalisha tersenyum. “Biadab dan bajingan sekali Anda."

Owen sama sekali tidak menggubris seolah sudah sering mendengar umpatan dari gadis itu. Jadi ia kembali menyantap makanannya yang tersisa sedikit. "Kau tahu kabar akhir-akhir ini? Distrik Cro Hellas yang menjadi salah satu pusat perdagangan laut harus dibumihanguskan atas perintah kerajaan karena distrik itu diam-diam terjadi—"

Aalisha langsung menyahut setelah menyantap beberapa sendok sup ayamnya. "Praktik perbudakan yang tak disadari pihak kerajaan maupun kekaisaran. Jika dilihat dari luar, distrik itu aman dan menjadi pusat perdagangan sehingga tak ada yang sadar ada praktik kotor dibaliknya. Seorang Count di distrik tersebut diam-diam membangun ruang bawah tanah di kastil utamanya lalu membuat praktik perbudakan dan penjualan manusia terutama wanita dan anak-anak."

"Kau tahu, siapa yang mengungkapkan praktik kotor itu?" Owen mengambil kain putih lalu membersihkan sisa-sisa makanan yang kemungkinan menempel di bibirnya. "Murid akademi. Mereka diberikan misi khusus dari akademi untuk menyelidiki kejanggalan di sana lalu mereka berhasil menemukannya. Kemudian salah satu garis keturunan cabang Majestic Families turun tangan untuk membumihanguskan distrik tersebut."

"Mengapa kau menceritakan hal ini?"

"Bukankah sudah kauketahui ke mana arah pembicaraan kita?" 

"Mengapa kau sangat percaya diri membahas Akademi itu?" Aalisha menekan setiap kata yang terucap.

Owen tersenyum simpul. "Karena aku menenangkan taruhan kita sebelumnya. Pergilah ke ruang belajarmu, aku menaruhnya di atas meja." Lalu perlahan ia menaruh tangan kanannya di dada sebelah kiri dan membungkuk sedikit. "Aku hendak mengurus beberapa hal, jadi sampai jumpa lagi, Nona Aalisha."

Sepeninggalan Owen, Aalisha menaruh rotinya yang masih tersisa setengah begitu juga dengan secangkir cokelatnya. "Dia paham bagaimana cara membuatku tak nafsu makan."

****

Sekitar satu bulan lalu. Aalisha dan Owen membuat taruhan, bukan taruhan kematian. Hanya taruhan kecil, tetapi mampu mengubah setiap detik hidup Aalisha ke depannya. Taruhan itu adalah menerima surat undangan. Jika Aalisha mendapatkan suratnya maka Owen yang menang, sedangkan jika Aalisha tak mendapat surat tersebut, maka ialah yang menang. Lalu apa yang Aalisha harapkan? Ia tak mengharapkan keduanya karena apa pun harapannya, Owen akan tetap menang karena begitulah takdir ditetapkan. 

"Sial, aku kalah." Aalisha tersenyum kecil melihat surat undangan dari Eidothea Academy. Salah satu akademi terbaik di dunia ini. 

Ia membuka surat undangan tersebut yang amplopnya berwarna hitam dengan cap khusus lambang akademi Eidothea. Terukir jelas nama Aalisha di isi surat tersebut. Ia jadi tersenyum payah karena jarang sekali mendapatkan surat atau bahkan tak pernah sama sekali. Apalagi surat resmi seperti ini. Bagaimana dengan teman? Cih, terakhir kali Aalisha mengobrol panjang lebar adalah bersama seekor kelinci putih yang muncul di belakang rumahnya. 

Setelah membaca keseluruhan surat tersebut, Aalisha menaruhnya kembali di atas meja lalu beranjak menuju meja lainnya yang terdapat banyak tumpukan surat kabar di sana. Ia menatap surat kabar tersebut dengan perasaan campur aduk; amarah, benci, kesal, bahkan harapan. 

"Haruskah aku menerimanya? Tapi menerima surat itu sama saja dengan bencana, mudahnya secara sadar aku akan berjalan di atas neraka." Ia mengacak salah satu surat kabar tersebut. 

Akademi Eidothea menjadi salah satu dari akademi terbaik di dunia. Hampir seluruh anak-anak di penjuru dunia hendak belajar di akademi tersebut terutama yang sudah mencapai umurnya diterima akademi. Alasan utama mengapa Eidothea menjadi akademi terbaik karena Eidothea adalah akademi yang pertama berdiri di tanah Athinelon. Pendirinya tentu saja para Keluarga Yang Maha Agung dan Maha Tinggi. Akademi itu juga memiliki pembelajaran paling lengkap dengan para pengajar yang dikatakan diberkahi para Dewa. Atas hal inilah, banyak yang berkata bahwa menolak akademi Eidothea adalah hal terbodoh yang pernah dilakukan makhluk hidup semasa hidupnya. 

“Berlebihan sekali ungkapan itu,” gumam Aalisha. 

Ada dua cara untuk masuk ke Akademi tersebut, cara pertama dengan mendaftarkan diri. Kemudian cara kedua, akademi Eidothea sendiri yang akan mengundang secara resmi. Biasanya yang mendapat undangan secara resmi adalah anak-anak yang lahir dari keluarga kasta tinggi atau mereka yang lahir dengan bakat. Jika mendaftarkan diri di akademi Eidothea ada kemungkinan untuk ditolak. 

Sebelum menjadi murid resmi, pihak akademi akan mengirimkan surat undangan. Ada dua surat berbeda. Surat tipe pertama ditujukan kepada para pendaftar, surat itu berisi diterima atau ditolak akademi Eidothea. Sedangkan tipe surat kedua adalah surat yang berisi permohonan dari akademi Eidothea kepada anak yang dituju untuk menjadi murid akademi tersebut sehingga mereka yang mendapat surat kedua ini dianggap beruntung karena pihak akademi lah yang mengundang. Meskipun begitu, kedua surat ditulis dalam bahasa berupa permintaan dengan artian setiap yang menerima surat dapat menolak akademi tersebut, entah menggunakan alasan apapun itu.

Bagi Aalisha menerima undangan itu artinya menuju kehidupan penuh bahaya. Ia akan bertemu dengan banyak orang, beragam kasta beserta kesombongannya, bahkan kematian yang bisa menghampirinya kapan saja. Namun, apa bedanya dengan kehidupannya saat ini? Sejak kecil, hidupnya selalu menderita dan kini penderitaan itu akan semakin tumbuh bahkan semakin merantai setiap tubuhnya dan perlahan menariknya ke jurang terdalam. 

"Cyubes, hubungkan aku dengan paman Owen." Cyubes Aalisha, alat komunikasi itu mulai terhubung dengan cyubes milik Owen. 

"Ada apa? Ah, kau sudah melihat suratnya?"

"Paman."

"Kau tahukan, menolak atau tidak, takdir akan selalu berjalan."

Aalisha terkekeh kemudian. "Paman, pada siapa kau berbicara takdir?"

Di seberang sana, Owen tersenyum penuh kemenangan. "Jadi apa pilihanmu?"

"Ya paman, kau menang." Aalisha berjalan menuju jendela kamar. "Aku akan masuk ke akademi itu dan melihat bagaimana takdir Para Dewa mempermainkan hidupku."

Bukankah sejak ia kecil, hidupnya sudah penuh bahaya karena takdir konyol yang selalu mempermainkannya. Dari pada memilih untuk kabur lalu menangis atau berdiam diri seperti pengecut hingga mayatnya menyatu dengan tanah, Aalisha dengan sukarela akan melangkah di atas bara api dan jatuh ke neraka. Bahkan ia berani menyeret semua yang berhubungan dengan takdirnya ke neraka … bersamanya. 

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Prins Llumière

Sabtu, 02 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top