Untaian Tak Terduga (Chapter 3)
Pagi itu aku terbangun seperti biasa, namun ada satu hal yang tak bisa aku hindari. Kejadian yang terjadi kemarin setelah pulang sekolah terus menghantui pikiranku. Aku berusaha untuk mengalihkan perhatian, melakukan rutinitas pagi seperti mandi, menyiapkan sarapan, dan memastikan perlengkapan sekolahku sudah siap. Namun, di dalam benakku, kekhawatiran tentang kemarin tetap membayangi.
"Jangan sampai aku bolos hanya karena hal bodoh seperti kejadian yang menyebabkan kecemasan berlebihan kemarin, Miko! Fokus!" aku mencoba menyemangati diri sendiri, meskipun rasanya masih sulit.
Seperti biasa, aku kembali memesan tiket kereta melalui layar hologram yang muncul di udara. Rasanya aneh, tapi sudah menjadi kebiasaanku sekarang. Rutinitas ini terasa nyaman dan aman, aku merasa lebih tenang. Ini adalah cara terbaik bagiku—menghadapi hari dengan langkah yang lebih pasti.
Di dunia ini, aku bebas. Bebas menghirup udara tanpa merasa terikat oleh orang-orang di sekitarku, bebas menentukan arah hidupku sendiri—apa yang ingin kulakukan, bahkan soal jodohku nanti, jika memang itu ada dalam rencanaku. Saat ini aku belum memiliki rencana untuk jodoh.
Aku memasuki kelas dan duduk di tempatku, berharap hari ini berjalan lancar. Katia belum datang, dan aku berpikir dia mungkin akan terlambat lagi seperti kemarin. Suasana kelas mulai terasa semakin ramai. Aku mencoba untuk fokus, mencoba mengalihkan pikiranku dari kejadian kemarin. Sambil menunggu bel masuk, aku membuka berita tentang perkembangan teknologi terbaru, mencari ide-ide baru yang mungkin bisa aku gunakan untuk menciptakan alat atau teknologi yang bisa menghasilkan uang. Atau mungkin saja, aku mendapatkan inspirasi untuk menulis cerita baru.
Namun, saat aku terlalu tenggelam dalam tulisan yang kubaca, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.
"Heeei! Jadi orang kok bengong terus. Ngobrol dong!" Katia tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyum lebar.
Aku menoleh dan membalas, "Oh, lo ya, Katia. Gua gak kaget kalau lo ngagetin gua kayak begitu."
Katia terkekeh, "Yeeea, siapa yang ngagetin lo sih? Jangan terlalu serius, nanti lo susah dapet jodoh. Ayo lah, ngobrol sedikit!"
Aku merasa sedikit kesal dan sakit hati, "Dih, ngaca dulu deh lo! Liat nih! Gue lagi baca..."
Aku terdiam sejenak setelah memperlihatkan apa yang sedang kubaca, aku berpikir apakah memang Katia selalu seperti ini. Seingatku, dulu dia lebih pendiam, lebih cenderung memilih untuk pulang sendiri daripada mengajakku juga yang berbeda dari yang kemarin, bahkan lebih memilih menghindar dari keramaian. Tapi sekarang, dia berbeda—lebih ceria dan ramah, selalu berusaha membuat suasana lebih hidup. Katia yang dulu cenderung menghindar, kini berusaha menarik perhatian dengan cara yang lebih terbuka.
Saat aku terhanyut dalam pikiranku, bel masuk akhirnya berbunyi. Kelas dimulai, dan hari ini, Katia duduk di sebelahku. Selama pelajaran, dia terus mengajak ngobrol, meskipun aku lebih sering mengabaikannya. Kadang-kadang, guru pun menegur kami berdua, tapi tetap saja, aku terkena dampaknya meskipun hanya diam dan mendengarkan ocehan Katia.
Istirahat siang tiba, dan sesuai jadwal yang diberikan kemarin, kami punya waktu 30 menit untuk istirahat dua kali sehari. Lorong menuju kantin sudah mulai ramai, suara langkah kaki dan obrolan siswa saling bersahutan. Sambil berjalan menuju kantin, aku bisa merasakan suasana yang semakin sibuk. Tidak jarang ada siswa yang berdesakan atau bercanda dengan teman-temannya di sepanjang lorong. Aku dan Katia berjalan bersama, namun meskipun ada keramaian di sekeliling kami, aku merasa sedikit canggung.
Katia menoleh ke arahku dan tersenyum lebar, "Hei, Miko—boleh gak mulai hari ini gue panggil lo Miko? Gue mau menghargai lo yang udah berusaha berubah seperti yang gue bilang kemarin."
Aku menghela napas, agak ragu. "Terserah lo, tapi setidaknya bagus kalau lo udah sadar untuk nggak ngeledekin gue terus-menerus."
Katia tertawa dan menggelengkan kepala. "Ya, sesuai ekspektasi sih. Lo pasti bakal jawab begitu. Tapi ayo, ikut gue makan di kantin, ayo!"
Aku sempat terkejut, "Hei, tunggu dulu! Gua belum bilang mau atau nggak ikut."
Dengan semangat, Katia menarik tanganku. "Ayolah, kita makan bareng! Gue traktir hari ini."
"Traktir?!" jawabku antusias. "Gue ikut!"
Katia tertawa kecil mendengar jawabanku. Sesampainya di kantin, suasana semakin padat. Meskipun sudah ada beberapa meja kosong, namun kantin dipenuhi oleh suara riuh dari sekelompok siswa yang bercanda dan makan bersama. Aku sedikit kesulitan mencari tempat duduk yang kosong, karena setiap meja sudah penuh dengan siswa lainnya.
Katia kembali dengan dua Boti Gundam yang besar, berisi daging ayam dan daging sapi yang mahal dengan bumbu khas yang berasal dari bahan makanan laut, dan satu kaleng Sew hitam, ditambah air mineral. Gundam adalah makanan khas dari biji-bijian seperti beras yang warna cokelat dan sering menjadi favorit siswa dan masyarakat, sementara Sew hitam adalah rumput bergizi yang sangat terkenal di kalangan kami karena manfaat kesehatannya, salah satunya kaya akan antioksidan.
Aku menyadari bahwa suasana kantin semakin ramai setelah kehadiran sekelompok siswa dari kelas lain. Mereka tampak sangat riuh, dan di tengah keramaian itu, aku melihat seseorang yang sangat kukenali—Nako.
"Katia, itu bukan Nako kan?" tanyaku ragu, memastikan tebakanku.
Katia hanya mengangguk dengan wajah tidak senang, sambil melanjutkan makannya. "Iya, itu dia."
Aku hanya mengangguk dan tidak berkata apa-apa, takut kalau komentar lebih lanjut akan membuat suasana semakin tegang setelah Katia memasang muka yang berbeda dari kemarin yang awalnya antusias berubah menjadi marah. Dalam hati, aku merasa senang bisa bertemu idola, tetapi aku sadar bahwa aku tidak bisa terlalu menunjukkan kegembiraanku di hadapan Katia. Dia jelas tidak senang dengan kehadiran Nako, dan aku tidak tahu alasan pastinya.
Setelah makan, kami kembali ke kelas, mengabaikan kerumunan yang ada. Sebelum masuk, kami berpisah karena Katia harus ke toilet sementara aku langsung menuju kelas. Aku memutuskan untuk membaca buku sembari menunggu pelajaran dimulai.
Katia datang beberapa menit sebelum bel berbunyi, namun dia kembali diam dan tidak berbicara sepatah kata pun padaku. Setelah kejadian di kantin, suasana berubah. Katia yang ceria kini seakan menarik diri dariku. Aku merasa bingung dengan perubahan sikapnya yang cepat dan drastis.
Setelah pelajaran selesai, aku memutuskan untuk mencoba berbicara dengannya. "Katia, kau—"
Namun, Katia cepat-cepat menyela, "Oh hai, Miko. Gak apa-apa, aku bisa pulang sendiri kok. Tenang aja." Wajahnya tampak memerah lagi, seperti saat dia mengajakku pulang kemarin.
Aku hanya bisa mengangguk dan melihatnya pergi. Perasaan yang ku rasakan agak aneh, tapi aku tahu, mungkin Katia sudah sadar kalau kami sudah berpisah jalur. Rumah kami sekarang berbeda alamat.
Aku pun berjalan sendiri ke stasiun kereta, berjalan menuju rumah. Di stasiun, aku menunggu kereta seperti biasa, dan tanpa kusadari, gadis misterius yang muncul kemarin kembali muncul di sampingku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top