Manis dan Asin (Chapter 15)
Setelah Katia dan Liom pergi memasuki pasar, aku melangkah menuju motor yang diparkir tidak jauh dari situ. Perjalanan menuju apartemen segera ku mulai setelah menyalakan mesin motorku. Dalam perjalanan pulang, pikiranku teralihkan oleh keinginan untuk mencoba minuman fermentasi buah-buahan yang disebut Yahurt, serta makanan khas berupa campuran Boti Gundam dengan daging Lembu yang dikenal dengan nama Borgaru.
Minuman Yahurt ini, meski berasal dari fermentasi buah-buahan, memiliki proses yang cukup unik. Sebelum proses fermentasi dimulai, buah-buahan harus diperas hingga menghasilkan cairan murni. Cairan ini kemudian difermentasi dan disimpan dalam pendingin bersuhu 5 derajat Geljius, yang setara dengan suhu kulkas. Menariknya, Yahurt lebih dikenal dengan rasa asin yang dihasilkan oleh bakteri selama fermentasi, berbeda dari harapan kebanyakan orang yang mengira minuman fermentasi ini akan manis.
Meski Yahurt dan Borgaru bukan makanan favoritku, kali ini aku merasa ingin mencicipinya. Rasa lapar yang mulai muncul membuatku ingin mencoba sesuatu yang tidak tersedia di rumah atau sekolah. Selain itu, terkadang keinginan untuk menikmati makanan dan minuman unik muncul sebagai bentuk eksplorasi rasa. Makanan dan minuman seperti ini adalah hasil dari kreativitas masyarakat yang terus berkembang. Mereka menciptakan berbagai hal baru untuk memenuhi tuntutan bisnis, yang mereka sebut sebagai 'inovasi', demi menarik perhatian konsumen potensial.
Aku memutuskan untuk pergi ke sebuah toko grosir besar, atau yang sering disebut hypermarket, yang letaknya hampir di pusat kota. Dengan demikian, aku berbalik arah, menjauh dari apartemen, dan melajukan motor menuju tempat tersebut. Setelah sampai, aku memarkirkan motor di area parkir dan masuk ke dalam gedung. Hypermarket ini dikenal dengan nama Gib Ezis, yang diambil dari nama kakak-beradik Egib dan Ezis, pengusaha kaya di negara ini. Meskipun mereka termasuk konglomerat, kekayaan mereka masih kalah dibandingkan dengan Mr. Dickey, sosok yang berada di puncak daftar orang terkaya di negara ini.
Di Gib Ezis, aku membeli satu botol Yahurt dengan rasa Pinkberry dan satu Borgaru yang dilengkapi saus kacang Teme, yang memiliki kombinasi rasa manis dan asin. Pinkberry sendiri adalah buah berwarna merah muda yang tergolong ke dalam keluarga beri. Kombinasi makanan asin dengan minuman asin adalah pilihan yang cukup populer di kalangan warga negara ini.
Aku teringat suatu cerita ketika turis asing datang ke negara ini dan mencemooh selera makanan lokal kami. Akibatnya, mereka dipulangkan ke negara asal mereka karena tindakannya dianggap mengganggu. Meski mereka adalah tamu yang membayar untuk datang, mereka tetap diharapkan menghormati budaya dan kebiasaan setempat. Pepatah lama mengatakan, 'Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.' Namun, kepatuhan pada adat setempat ini kadang disalahartikan sebagai kurangnya kepercayaan diri, yang justru bisa melemahkan daya saing seseorang.
Setelah membeli apa yang kubutuhkan, aku menuju parkiran untuk kembali ke apartemen. Perjalanan dari Gib Ezis ke apartemen memakan waktu lebih lama dibandingkan perjalanan dari pasar ke apartemen. Setibanya di apartemen, seperti biasa, aku melewati lobi utama sebelum naik lift menuju lantai tempatku tinggal. Area parkir apartemen ini berada di basement, dengan fasilitas untuk motor maupun mobil. Untuk menggunakan lift, penghuni apartemen harus melalui lobi utama terlebih dahulu.
Ketika berjalan menuju lift, pandanganku tertuju ke luar gedung. Di sana terdapat taman kecil yang merupakan bagian dari fasilitas apartemen. Di salah satu bangku taman itu, aku melihat Nako sedang duduk sendirian.
"Aku sudah janji pada Katia untuk tidak mendekatinya. Janji itu selalu terngiang di benakku, seolah menjadi pengingat untuk tetap menjaga batas. Tapi, di saat yang sama, ada dorongan kuat dalam diriku untuk melanggar janji itu. Rasanya seperti ada dua sisi diriku yang bertarung: satu sisi yang ingin menghormati komitmenku pada Katia, dan sisi lain yang ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk berbicara dengan Nako. Apakah aku akan menjadi seorang teman yang mengkhianati janji, ataukah aku akan menekan rasa penasaranku dan meninggalkan taman itu? Beban moral ini membuatku merasa seperti sedang terjebak di tengah dilema yang tidak memiliki jawaban mudah. Tapi... rasanya tidak enak membiarkan dia sendirian di taman. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, atau bisa saja dia menunggu Liom," pikirku dengan ragu.
Aku terdiam, memikirkan apa yang harus kulakukan sambil menunggu lift datang. Ada konflik dalam diriku, antara menjaga janji pada Katia, teman masa kecilku, atau mengambil kesempatan untuk berbicara dengan Nako, yang merupakan idolaku. Jantungku berdegup kencang, dan otakku seakan kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih.
Setelah bergulat dengan pikiran sendiri, aku merasa seperti berada di pusaran dilema yang tak kunjung usai. Bayangan Katia yang mempercayakan janji itu padaku terus menghantui pikiranku, menambahkan beban moral yang terasa begitu berat. Aku mencoba membayangkan reaksinya jika dia tahu aku melanggar janjiku—wajahnya yang kecewa, kata-kata yang mungkin akan menghujam rasa bersalahku. Namun, di sisi lain, ada dorongan kuat dalam diriku yang sulit kuabaikan: kesempatan untuk berbicara dengan Nako, idolaku, yang kini duduk hanya beberapa meter dariku.
Pikiranku terus berputar, mencari pembenaran atas keputusan apapun yang hendak kuambil. "Ini hanya sekali," bisikku pada diriku sendiri, meskipun aku tahu itu hanyalah alasan untuk membungkam rasa bersalahku. Di saat yang sama, aku juga mencoba meyakinkan diri bahwa aku tidak sepenuhnya mengingkari janji. Lagipula, aku hanya ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja, bukan untuk melanggar batas yang telah kutetapkan.
Namun, semakin aku mencoba menenangkan diri, semakin jelas pula konflik di dalam hatiku. Haruskah aku mempertahankan kepercayaan Katia atau mengikuti dorongan hatiku yang begitu kuat? Hatiku berdegup kencang, seolah-olah berusaha memaksa otakku untuk mengambil keputusan cepat. Ketika akhirnya aku menoleh ke arah taman dan melihat Nako duduk sendirian, ada rasa cemas yang tak bisa kuabaikan. Aku tahu, apapun yang terjadi, keputusanku saat ini akan memiliki konsekuensi—baik untuk hubungan persahabatanku dengan Katia maupun untuk diriku sendiri.
Dengan napas yang terasa semakin berat, aku akhirnya melangkahkan kaki meninggalkan lift yang telah tiba. Aku berjalan keluar apartemen menuju taman, setiap langkah terasa penuh dengan keraguan. "Ini mungkin keputusan paling bodoh yang pernah aku buat selama masa SMA," gumamku dalam hati, sambil terus memaki diriku sendiri sepanjang jalan. Aku meninggalkan lift yang sudah tiba dan berjalan keluar apartemen, menuju taman tempat Nako berada. "Ini mungkin keputusan paling bodoh yang pernah aku buat selama masa SMA," pikirku sambil memaki diri sendiri.
Saat aku semakin mendekat, aku melihat Nako tampak tidak menyadari kehadiranku. Dia menatap ke arah lain, mungkin sedang menunggu seseorang. Dengan hati yang berdebar-debar, aku berusaha menenangkan diri sebelum memanggil namanya. "Nako, apa kabar?" sapaku.
Nako terkejut dan tersadar dari lamunannya. Dia tertawa kecil sebelum menjawab, "O-oh! Ahaha... ternyata kau, Miko. Aku sempat kaget, kupikir ada orang asing atau penggemar yang menyapaku." Wajahnya yang semula tampak terkejut kini berubah menjadi ekspresi lega, disertai tawa kecil.
Aku tersenyum tipis, meskipun hatiku berdegup kencang seperti genderang. Aku merasakan tanganku sedikit gemetar, dan harus menggenggam erat botol minuman yang kubawa untuk menenangkan diri. Nafasku berusaha kuatur agar tidak terlalu cepat, takut kalau-kalau kegugupanku terlihat jelas di depan Nako. Aku melirik ke arahnya sejenak, mencoba meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Eh, sedang apa kau di sini? Maksudku, ini hari libur, dan mungkin idol sepertimu juga sedang libur. Tapi... bukankah kau biasanya tidak berada di pinggiran kota seperti ini?" tanyaku dengan nada kebingungan.
Nako terlihat ragu untuk menjawab, matanya melirik sejenak ke arahku sebelum kembali menunduk. Dia mengusap telapak tangannya, mungkin karena gugup, lalu tersenyum kecil yang terlihat dipaksakan. "Ah... aku sebenarnya sedang mencoba menikmati waktu sendiri, tapi..." dia terdiam sesaat, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Kadang sulit juga menemukan tempat yang benar-benar sepi." Dia tertawa kecil lagi, seolah berusaha mencari alasan yang tepat. Setelah beberapa saat, dia menghela napas panjang dan berkata, "Sebenarnya... aku sudah lama tinggal di apartemen ini. Kita hanya beda lantai saja."
Perkataannya membuatku terdiam sejenak. Aku tidak pernah menyangka bahwa seseorang seperti Nako, yang selama ini kuanggap hanya muncul di layar televisi dan panggung besar, tinggal begitu dekat denganku. Pikiran ini membuatku semakin bingung sekaligus terkejut.
Nako tersenyum lembut, seolah mencoba mengurangi rasa canggung yang muncul di antara kami. Aku masih berdiri di dekatnya, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Keberadaannya di apartemen ini, bahkan di taman yang sering kulalui, menambah banyak pertanyaan baru di benakku.
Hari ini, tanpa kusadar, menjadi awal dari cerita yang lebih rumit antara aku, Nako, dan mungkin juga Katia. Interaksi ini membuka sebuah bab baru yang penuh dengan teka-teki dalam hidupku. Aku mulai bertanya-tanya bagaimana hubunganku dengan Katia akan terpengaruh, sementara keberadaan Nako di apartemen yang sama denganku menambahkan dimensi baru yang tak terduga dalam keseharianku. Apa yang tampaknya sederhana kini berubah menjadi potensi konflik emosional yang harus kuhadapi dengan hati-hati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top