Bonus - 19

Maaf permisah semua sebulan lebih aku mengabaikan cerita ini. Susah bgt mau menyelesaikan cerita ini. Semoga suka dan yah segitu aja deh hahahha..

....

Rezky ( ° △ ° ")‎

"Nggak ma, aku nggak mau menikah terburu-buru. Aku nggak mau kalau dia yang menikahkanku. Sekalipun hari ini hari terakhirnya. Atau aku tidak akan menikah seumur hidup kalau permintaan mama seperti ini."

Apa yang dia katakan? Aku menatap nanar wajah Muna. Wanita yang mampu meluluhlantahkan seorang pria brengsek macam diriku, menjadi lurus dan mempunyai tujuan hidup.

Miris rasanya,aku bagai tempat pelarian dirinya dan bisa ia hempaskan begitu saja.

Tidak pernahkah dia berfikir aku mempunyai perasaan? Kapan Muna akan sadar aku manusia biasa?

"Ini." Muna memberikan ponselku setelah ia mematikan panggilan dari Mama Mira. Aku mengambilnya tanpa berkata-kata. Dia mengekoriku saat aku berniat berjalan menuju lift. Sejak tadi aku mulai mendiamkannya. Entahlah hatiku merasa terluka. Ada rasa kecewa yang mendalam saat dengan mudahnya Muna menolak menikah. Setelah semua yang kuberikan untuknya. Bukan pamrih yang kuminta, aku hanya meminta ketulusan darinya.

Kenapa rasanya seperti keberadaanku bisa ia tarik ulur semaunya.

"Rez.." panggilnya di dalam lift. Aku hanya membalas tatapannnya datar. Bersuarapun aku malas. Sebenarnya aku sedang menahan emosi.

"Kenapa diam?" tanyanya pelan. Aku hanya menaikkan bahu. Mungkin Muna sadar aku tersinggung. Diapun kembali diam sampai kami menuju mobil. Semuanya terlalu membuatku lelah.

Sabar Rezky, jangan gegabah. Mungkin emosiku sedang diuji dan aku harus bisa menahannya. Selama perjalanan aku hanya diam, mendengarkan musik saja aku malas. Terserah Muna mau menganggap aku labil atau tukang ambek, yang jelas aku memang sedang tersinggung dengannya.

"Aku mau beli makanan buat mama." aku mengangguk saat dia memegang lenganku. Muna menunjuk sebuah restoran cepat saji. Akupun segera menepikan mobil. Baru aku ingin keluar Muna sudah menahanku. "Tunggu di sini saja." Muna buru-buru keluar sementara aku diam menyetujui perintah Muna.

Isi kepalaku terasa berat, rasanya hatiku mulai ingin menyerah dengan semua. Untuk apa aku memaksakan kehendak jika Muna memang tidak menganggap kehadiranku ada.

"Arrggh.." tanpa sadar aku memejamkan mata dan berteriak sendiri.

Tapi tidak Rezky, cinta butuh perjuangan dan kamu sudah di tengah jalan bahkan mendekati kebahagiaan. Ini ujian yang seharusnya dinikmati guna memperkuat rasa cinta. Muna bahkan sudah mengakui mencintai kamu. Dia hanya belum menerima keberadaan sosok ayahnya.

Yakinlah jika ucapan Muna hanyalah emosi sesaat. Bukankah saat orang dilanda emosi macam perkataan bisa dengan mudahnya terucap? Ucapan sesaat yang bisa menimbulkan salah faham. Belajar Rez dari waktu!

"Ini aku belikan minuman buat kamu." lamunanku terganggu. Tanpa sadar Muna sudah berada di sampingku lagi. Kali ini wajahnya kikuk menyodorkan aku minuman bersoda. Aku melirik minuman itu. Tangan Muna sedikit bergetar. Aku mengambilnya dan meletakkan di samping tempat khusus minuman. Lalu melajukan kembali mobil tanpa perlu repot-repot mengucapkan ucapan terimakasih kepada Muna.

"Mau burger?" aku menggeleng.

"Mau kentang goreng?" aku menggeleng.

"Mau ayam crispy?" Muna ini tidak mengerti aku sedang marah yah?

"Mau icecream sundae?" sebenarnya aku mau. Tapi tahan Rez..! Muna terkadang harus diberikan pelajaran jika aku manusia yang mempunyai perasaan. Bukan perasaan biasa, tetapi aku sungguh mencintainya.

"Mau nasi padang? Kita bisa beli!" fokus Rezky dengan jalanan.

"Ya sudah kalau tidak mau." ya sudah tidak apa-apa. Aku tetap mengemudi sementara Muna menikmati icecream sundae yang juga aku sukai. Ah sial..

"Rez.." panggilnya lagi. Muna tidak akan bisa tahan diam. Kebetulan sekarang  lampu merah. Aku menoleh menatapnya datar. Sisa cokelat masih menempel di sekitar bibirnya. Aku kembali memalingkan wajah. Tanganku sungguh gatal ingin membersihkan lumeran cokelat sialan itu.

"Kamu marah?" tanyanya sopan.

"Menurut kamu?" tanyaku balik.

"Marah." Nah itu sudah tahu.

"Maafin aku yah. Mungkin kata-kata aku tadi membuat kamu tersinggung tetapi.." luluh nggak yah?

"Sudah Muna tidak perlu dijelaskan. Toh aku tidak akan mengerti kemauan kamu apa dan kamu tidak berniat mencari tahu kemauan sederhana aku." ucapku tegas. Ya aku sedikit takut akan ucapan Muna nantinya.

"Aku tidak tahu harus berbuat apa sama pria itu." ucapnya. Aku menoleh sambil menaikkan alisnya.

Pria itu?

"Dia papa kamu Muna. Jaga bicara kamu!" entah kenapa aku takut jika kelak nanti anakku akan seperti Muna. Aku takut gagal menjadi seorang ayah untuk putriku sendiri.

Kami kembali terdiam dan melanjutkan perjalanan dengan keadaan sunyi. Aku lebih baik memilih diam karena emosiku akan tingkah Muna bisa menjadi buruk jika Muna kembali bersuara. Kali ini aku sungguh tidak suka dengan pandangan Muna terhadap ayah kandungnya.

Munapun seperti sadar, dia cukup sadar untuk tidak melanjutkan berbicara. Hingga sampai di rumah sakit kami jalan berdampingan dalam diam. Di ruang tunggu mama Mira dan Nizar sedang duduk gelisah. Kami mendekatinya.

"Mama.." panggil Muna lalu duduk di sampingnya. Mama Mira terlihat sedih dan tak kuasa menahan buliran air mata. Ada apa ini?

"Mama kenapa?" tanya Muna menggenggam erat tangan sang mama.

"Papamu tidak mau ditemani. Dia mengusir mama hiks.." ucapnya sedih. Muna memeluknya. Nizar hanya diam dengan tangan mengepal.

"Kenapa Om tidak mau ditemani?" aku berdiri di depannya.

"Dia tidak mau merepotkan mama dan kalian." ucap Mama Mira. "Mama sudah beritahu kalau kalian berdua juga ikut menemani tetapi dia menolak. Dia mau sendiri.."

Muna dan Nizar saling menatap. Kupastikan mereka seperti sedang berbicara dengan telepati. Mereka berdua memang harus aku beli pelajaran. Sudah saatnya kewajiban mereka sebagai anak harus dilaksanakan.

"Muna, Nizar ikut aku menemui papa kalian." perintahku. Mereka menggeleng yakin menjawab. Mama Mira semakin terisak. Sabar Rez, hadapi dengan tenang.

"Setidaknya ucapkan salam perpisahan. Kalian tidak perlu lagi kembali ke sini." aku menatap bergantian Muna dan Nizar. Mungkin kedua hati mereka sudah tertutup gelap yang berkelanjutan tetapi aku tidak akan membiarkan mereka menjadi anak durhaka.

Segera mereka harus sadar jika hukum Tuhan yang akan bertindak lebih lanjut untuk segala kesalahan atau perbuatan yang dilakukan sang papa di masa lampau. Bukan mereka.

Ada yang mengatakan kesadaran dihati manusia hanyalah menunggu waktu. Mereka harus segera dibukakan arti peran seorang anak.

"Ayo ikut aku." pintaku kembali kepada mereka berdua. Muna berdiri begitupun Nizar. Aku berjalan di depannya tanpa mau lagi menoleh ke belakang. Setelah jauh dari pandangan mama Mira. Aku memberikan tanda untuk berhenti.

"Setidaknya lihatlah dia dari jauh. Kalian tidak perlu menemui dari jarak dekat. Aku hanya meminta kalian mendengar suaranya." aku menatap Muna lebih dulu. "Ayo.."

Kami memasuki ruangan di mana Om Chandra di rawat. Nizar mengambil baju steril lebih dahulu. Aku memutuskan untuk menahan Muna. Keputusanku sudah bulat. Aku akan memberikan Muna pilihan yang ia mau.

"Muna, dengar apapun pilihan kamu aku akan terima. Kamu tidak mau menikah denganku jika wali kamu adalah orang yang sedang terkapar di dalam sana aku akan menerimanya. Mungkin harapanku membuat kamu melupakan masalalu tidak terpenuhi dan aku memaklumi." Muna diam memperhatikan aku berbicara. Aku merapikan anak rambut ke belakang.

Yah mungkin inilah saatnya aku melepas Muna. Meninggalkan keceriaan Muna yang kuakui sekarang semakin memudar. Mungkin karena aku memaksakan kehendak untuk bertemu dengan Om Chandra. Aku akan mengalah sekarang. Muna si lebay harus segera kembali.

"Dulu aku begitu menyukai keheningan tetapi kamu datang meramaikan hati aku. Aku berterimakasih Muna karena kamu mampu membawa aku menjadi lebih baik." setelah mengatakan itu aku pergi mengambil baju. Nizar sudah menunggu di ujung pintu. Menunggu kami. Wajahnya tetap suram.

"Kalian tunggu di sini saja. Bisa mengintip dari tirai sebelah jika kalian mau. Aku hanya ingin pamit dengan Om Chandra." Muna semakin menatapku bingung. Tetapi dia tetap tidak mau mengeluarkan suara. Nizar menarik Muna ikut denganku ke dalam. Ia langsung beringsut berada di belakang tirai. Kebetulan Om Chandra sedang memejamkan mata.

Aku mendekatinya. Wajahnya sudah sangat lelah, tubuhnya ringkih, sedikit berwarna kuning dan tak bisa kubayangkan kesakitan yang terus menggerogotinya. Sebagai anak dokter aku cukup mengerti penyakit apa ini.

Aku menyentuh tangannya. Ia sedikit tersentak kaget. Membuka mata dan membalas tatapanku dengan senyuman. Entah apa yang ia lakukan di masa lalu, aku tidak punya hak menghakimi dirinya. Aku tidak punya hak untuk menghukum dirinya juga. Jiwa kemanusiaanku berada paling depan. Pria ini berhak menerima maaf.

"Rezky.." panggilnya lemah. Aku duduk di kursi yang memang berada tepat di sampingnya. "Om apakabar?" tanyaku basa-basi.

Dia tertawa, mungkin pertanyaanku sangat malas ia jawab. Tanpa perlu ku bertanya saja sudah terlihat. Bodoh kau Rez.

"Om sedang membayar hutang sedikit penderitaan keluarga om di masa lalu. Ini baru setengah jalan dan akan berlanjut di dunia selanjutnya." jawabnya yakin. Hatiku sedikit kagum dengannya. Dia berani mengakui kesalahan.

"Muna dan putraku Nizar apakabar?" dia bertanya serak. Haruskah aku menjawab jika mereka ada di tirai sebelahmu? Aku hanya memegang tangannya dan meremas sebagai bukti perduliku kepadanya.

"Om sadar diri jika mereka tidak mau bertemu." ucapnya menatap langit-langit kamar.

"Kapan kalian akan menikah?" tanyanya tetap menatap langit kamar.

"Kami tidak akan menikah om." ucapku pelan. Aku sudah menutuskan untuk menyerah. Bukan menyerah tapi menyerahkan semua kepada Muna.

"Kenapa? Tolong jika kehadiran saya membuat hubungan kalian merenggang jauhi saya saja!" dia menatapku dengan wajah memohon.

"Nak Rezky, entah kenapa sejak saya bertemu dengan anda, saya merasa anda benar-benar mencintai Muna. Seorang pria sejati tidak akan pernah mau memikirkan hal seperti mencari walinya seperti yang anda lakukan. Jalan pintas terkadang menjadi hal yang wajib, tetapi anda menghargai saya." dia tersenyum menatapku.

"Padahal saya sendiri sudah melupakan makna menghargai sebuah keluarga." dan aku melihat ia meneteskan air mata. "Terlambat dan saya mengaku kalah untuk berjuang mendapatkan kasih sayang dari mereka. Lebih tepatnya saya tidak pantas bagi mereka."

"Ini bukan karena anda Om. Ini murni dari hati saya. Muna memang tidak menginginkan saya dan sudah seharusnya saya juga sadar diri. Jadi jangan beranggapan anda penyebabnya." ucapku membuat hatinya sedikit lega. Aku tahu ini berbohong, tetapi melihat dirinya yang semakin diliputi rasa bersalah, aku rasa tidak ada salahnya membuat ia sedikit tenang.

"Nak Rezky mencintai Muna?" aku menatap tirai di sebelah. Apakah Muna masih berada di sana?

"Mencintai belum tentu memiliki Om. Anda yang namanya merelakan." Om Chandra menggeleng ia berniat menghadapku lebih dekat.

"Jangan nak. Jangan menyerah! Bahagiakan putri saya, cintai putri saya dan juga Nizar sebagai adik. Saya melihat ketulusan di mata anda. Saya mohon.." lirihnya.

"Bahkan untuk bersujud memohon saya tidak mampu, orang tua macam apa saya ini. Cabutlah nyawa saya yang tidak berguna ini.." dia tertawa dalam tangis. Aku hanya diam, tidak ada yang bisa aku lakukan lagi.

"Maaf om semua keputusan ada di tangan Muna dan itu masa depannya. Om tenang saja tanpa ada ikatanpun saya akan tetap menjalin pertemanan."

"Ajari Nizar sebagai pria bertanggung jawab. Jangan seperti saya." Aku mengangguk. Tanpa status sebagai suami Munapun aku tetap tidak akan menjauhi Nizar.

"Nak Rezky bisakah anda memperlihatkan foto Muna dan Nizar. Yah, saya pernah melihat Muna tetapi Nizar saya belum pernah melihat." kurasakan tirai mulai bergoyang, entah mereka sedang berbuat apa. Tidak maukah mereka mengalah untuk pria sekarat ini?

Aku melirik mereka yang berlari cepat meninggalkan ruangan. Saat aku ingin mengejar aku melihat Om Chandra sudah memejamkan mata menahan sakit di sekitar perutnya. Aku lebih memilih duduk di sampingnya lalu memberitahu suster jaga tentang kesakitan yang diderita Om Chandra.

Setelah setengah jam Om Chandra tertidur karena pengaruh obat, Mama Mira masuk ke dalam. Wajahnya sudah tenang dan menatap Om Chandra dengan rasa iba. Ku akui Mama Mira begitu tegar. Jika dilihat yang paling menderita itu beliau, tetapi ia mengesampingkan dendam dan sakit hati karena mantan suaminya sudah tidak berdaya.

"Temuilah Muna dan Nizar, mama percaya kamu mampu meluluhkan hati mereka. Kamu punya cara yang mama tak bisa kuasai melunakkan hati mereka." tangan Mama Mira meremas lenganku. Aku tahu dia butuh bantuanku.

"Iya ma.." akupun segera keluar dan lagi-lagi aku harus bisa menghadapi Muna dan Nizar.

"Kenapa kalian pergi begitu saja?" tanyaku tanpa basa-basi saat sudah sampai di ruang tunggu. Muna dan Nizar sama-sama diam menatap arah yang tidak jelas. Pikiran mereka terlihat sama.

"Nizar.." panggilku lagi saat aku sudah duduk di depannya. Ia hanya menoleh. "Maaf hyung, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku sudah lama tidak berkomunikasi denganya. Bahkan lupa caranya seperti apa." ucapnya pelan. Ada luka dinada bicaranya. Aku tahu itu. Jika Muna juga merasa trauma aku yakin Nizar tak ada bedanya. Ia juga sama terlantar akan figur seorang ayah.

"Kamu?" aku menatap Muna. Dia menunduk tidak berani menatapku. Tahan emosimu Rez!

Sekarang hadapi mereka selayaknya kakak pertama yang sedang menasehati adik-adiknya. Ini memang impian kamu bukan? Menjadi kakak dan pandai memberikan nasihat?

"Kenapa kamu bilang kalau hubungan kita sudah berakhir?" Muna bertanya balik. Aku menaikkan alis.

"Tadi kamu sendiri yang bilang Muna. Jangan membalikkan kenyataan Muna! Aku masih ingat kejadian hari ini." Nizar menatap kami berdua.

"Hyung.." aku tahu Nizar seperti memohon. Dia sadar jalinan aku dan kakaknya sedang bermasalah.

"Dengar yah. Kewajiban kalian itu harus diperjelas. Sebagai anak sudah seharusnya kalian menghormati orangtua. Aku memang brengsek tetapi pantang bagiku melawan titah orangtua. Aku sadar berat bagi kamu Muna, juga dengan kamu Zar. Aku tidak berada di posisi kalian. Tapi tolong kesampingkan ego kalian, demi jalan tenang dia, berpulang tidak bisakah kalian mengalah?" Muna dan Nizar menundukkan kepala.

"Darah kalian mengalir dari pria lemah itu..." ucapku lagi. "Bukan kapasitas kalian menghukum beliau. Tanpa kalian hukum dia sudah mendapatkan ganjarannya." aku rasa sudah cukup aku menjelaskan. Mereka sudah mampu berfikir. Aku berdiri dan memegang pundak Nizar.

"Jangan menyesal dikemudian hari Zar. Kamu pria dan aku juga pria.. Jadilah pria tegar yang mau memberikan kata maaf. Kita bukan pengecut.." Nizar hanya diam tetap menunduk.

"Kamu mau ke mana?" tanya Muna saat aku hendak berjalan menjauh. Tangannya memegang tanganku. Muna masih duduk. "Aku akan memberikan kamu waktu berfikir untuk mengalah kepada papa kamu sendiri."

"Kamu menyerah dengan aku?" tanyanya ragu. Aku tertawa sumbang.

"Kamu tahu ini bersumber dari siapa. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Sama seperti kamu yang yakin dengan pemikiranmu sendiri." Muna menatapku sedih bercampur tak percaya.

"Jangan pernah menyalahkan akibat Muna, karena sebab punya andil besar. Setidaknya ambillah pengalaman dari hubungan kita. Semoga kamu berbahagia.." Muna tetap menahan tanganku.

"Aku akan tinggal di rumah papa untuk sementara. Kamu bisa memakai apartement selama yang kamu mau." Muna berdiri dan menggeleng menatapku.

"Sudahlah Muna, bukan saatnya membicarakan hubungan kita. Lagipula sudah jelas bukan keputusan kamu. Aku tidak akan mengganggu.. Yang aku mau kamu menjadi anak yang berbakti." Muna semakin mendekatiku.

"Rez.. A-aku mau..hiks.." ucap Muna pelan. Isakan jelas menemani suara Muna. Dia tepat berada di depanku.

"Antarkan aku kembali ke sana. Aku mau melihat papa." Linangan air mata yang sangat tidak ingin kulihat. Dengan lembut aku mengusap buliran itu di sekitar wajah manis Muna.

"Aku juga." Nizar ikut mendekatiku. Aku tersenyum bahagia melihat perubahan mereka. Aku merangkul Muna, memeluknya sambil berjalan ke depan. Sedangkan Nizar berjalan di samping kami. Sesekali ia menatap kami. Ada tatapan cemas saat dia melihat kami.

"Kenapa?" tanyaku. Nizar hanya menggeleng.

"Aku mohon hyung jangan berpisah dengan kakak. Aku menyukai hubungan kalian." aku hanya tersenyum dan menupuk pundak Nizar.

"Saat kamu mencintai seseorang kamu akan tahu rasanya mengalah demi kebahagiaan orang yang kita cintai. Aku rela melakukan apapun demi dia." aku mengecup kening Muna. Gadis lebayku sepertinya masih sedikit terisak dalam pelukanku. Ah dia terlalu menjiwai karakternya kali ini.

"Tidak hyung. Setelah melihat kisah mama dan hyung aku rasa cinta bukan kata yang cocok untukku. Aku akan berfikir matang dalam mencari pasangan. Aku tidak mau bermain-main dan berpacaran. Mulai saat ini Nizar akan menjadi pria sukses demi senyuman mama. Jikapun ada wanita yang harus aku buat tersenyum selain mama yaitu kakak." Nizar bicara apa sih?

"Sudah jangan terlalu terbawa suasana. Sekarang ayo kita buat papa kalian tersenyum. Jangan sampai menyesal kalian.." Nizar mengangguk berjalan begitupun Muna yang semakin memelukku erat.

Muna sempat berhenti berjalan membuat jarak kami dengan Nizar sedikit jauh. Ia mendongak menatapku yang memang sedang menatapnya.

"Kenapa?" tanyaku lembut.

"Aku sungguh mencintai kamu Rezky..." aku tertawa pelan. Tanpa membalas kata-kata Muna aku hanya mengecup keningnya pelan dan kembali mengajak Muna berjalan mengejar Nizar.

Dan di sinilah kami.

Menatap wajah lelah Om Chandra dengan jarak dekat. Om Chandra sedang menatap lemah ke arah kami. Aku duduk di sampingnya. Muna dan Nizar berdiri di belakangku. Mama Mira berdiri di dekat tirai.

"Nizar.." ucap Om Chandra lemah. "Iya..." suara Nizar terdengar gugup. Aku memakluminya. Aku menarik tangan Nizar akan sejajar dengan posisiku. Dengan mata aku berbicara. Memerintahkan Nizar memegang tangan Chandra.

"Kamu harus jadi pria bertanggung jawab dan membanggakan. Maafkan papa karena tidak bisa membimbing kamu, tapi tenang kamu punya kakak laki-laki hebat." sambil melirik ke arahku dengan tawa yang dipaksakan menahan sakit Om Chandra berusaha tenang. Nizar hanya mengangguk dan meringis merasakan tangan dingin Om Chandra. Sentuhan tak berdaya, aku tahu itu.

"Dan Muna.. Maafkan papa atas kejadian masa lalu...Itu bukan papa tetapi pria sinting penyuka minuman laknat...Sekarang minuman laknat itu juga sudah membunuh papa pelan-pelan... Tanpa kamu balas dendam papa sudah menerima akibatnya." mendengar itu Nizar duduk di tempat tidur Om Chandra.

"Papa jangan terlalu banyak bicara." ucap Nizar. Mungkin ia tak tega mendengar ucapan demi ucapan yang terdengar sulit diutarakan Om Chandra.

"Tidak apa-apa. Papa senang melihat kalian berdua." ada semangat muncul di wajah Om Chandra.

"Muna..." sekali lagi Om Chandra memanggil Muna yang masih berada di belakang punggungku. Tangannya memang sesekali mengetuk punggungku. Muna dilanda gugup terlalu.

"Iya.." suara itu yang keluar dari mulut Muna.

"Papa bahagia karena kamu memiliki calon suami seperti Rezky. Dia bilang kamu bonus istimewa yang Tuhan datangkan untuknya." aku tertawa mendengarnya.

"Iya.." sekali lagi Muna hanya menjawab itu. Nizar lebih bisa menguasai situasi. Terbukti dari genggaman tangannya tak ia lepaskan dari jemari tangan Om Chandra yang terbebas dari jarum infusan.

Om Chandra sepertinya sadar putrinya sedikit gugup. "Nanti kalau kalian sudah menikah papa harap jangan membuat acaranya di pantai." aku menoleh ke belakang. Aku ingin melihat reaksi wajah Muna atas pertanyaan Om Chandra.

Dan wajah Muna terlihat bingung. Matanya dengan berani meminta penjelasan Om Chandra.

"Ke-kenapa begitu?" mendengar suara Muna lebih lama Om Chandra tersenyum lega.

"Dulu papa dan mama menikah di pantai. Dan sepertinya hubungan kami lebih banyak mengalami kesialan." tawa yang dipaksakan Om Chandra. Jelas pria itu menahan sakit. Aku melirik Mama Mira yang tak kuasa menahan tawa di tengah isak tangisnya. Mungkin sudah terlalu lama pikirnya Muna dan Nizar tidak bisa dipertemukan dengan Om Chandra.

"Mira.. Titip mereka yah. Aku mencintaimu selalu mantan istri." Om Chandra terlihat ingin tampil sehat kali ini. Ia ingin melepas semuanya tanpa menyisahkan beban bagi yang ditinggalkan. Sangat terlihat jelas.

"Kamu tenang saja. Aku selalu menjaga mereka dengan baik." Mama Mira mendekati kami. Berdiri di depan tempat tidur. Ia berkali-kali mengusap linangan air mata. "Sialan kamu, sudah bercerai tapi tetap membuat aku menangis." ucap Mama Mira sedikit menggoda. Om Chandra tersenyum pelan. Nizar berdiri dan memeluk Mama Mira. "Mamaaa.."

"Jaga dia baik-baik Nizar. Dia cahaya hidupmu." ucap Om Chandra bahagia melihat Nizar memeluk Mama Mira.

"Dan kamu Muna ingat pesan papa. Jangan menikah di pantai yah." kali ini Muna langsung duduk di tempat tidur. Menggantikan posisi Nizar sebelumnya. Ia juga menggenggam tangan Om Chandra.

"Pa-pa..." panggil Muna sedikit canggung. Aku menatap wajah Muna dengan sayang. Kuharap hatinya luluh kali ini melihat Om Chandra. Aku mau Muna memaafkan kesalahan di masa lalu. Aku mau trauma itu hilang dari hidup Muna. Gadis lebay-ku harus kembali ceria dan bawel seperti dulu kala.

"Aku memang tidak akan mau menikah di pantai dengan Rezky pa.." ucap Muna menatap wajahku. Kami saling berpandangan sejenak. Apa maksudnya Muna ini? Muna kembali menatap Om Chandra.

"Kalau tidak keberatan aku mau papa yang menikahkan aku dan Rezky di sini. Itupun kalau pria di sampingku itu mau menjadi suamiku." ucap Muna yakin. Sambil tertawa dan meneteskan air mata bersamaan.

Aku mengangguk menatap wajah bahagia Om Chandra yang aku yakin pucatnya semakin berkurang. Kebahagiaan jelas terpancar di sana. Lalu aku mengedipkan mata ke arah Muna. Kulihat Mama Mira dan Nizar sudah berdiri di belakang Muna. Berniat memeluknya.

"Sepertinya aku harus meminta papa segera ke sini secepatnya." Muna berdiri dan mengajak aku berdiri.

"Tapi kamu harus segera menyiapkan semuanya. Walaupun menikah di rumah sakit aku mau pakaian India dan aku di rias ala India. Aku mau kita seperti Rahul dan Arohi. Kalau di cerita aslinya Rahul bunuh diri, tapi di duniaku dia hidup dan menikah denganku. Oh iya Nizar ayo segera carikan penghulu dan bantu kakak iparmu mencari kostum India. Kamu yang aku tugaskan sebagai penata gaya. Biar aku di sini menemani papa bersama mama. Aku mau papa melihat aku merias wajah. Ayo Rahul.. Katanya kamu mau menikah denganku. Papa dan kakakmu harus diberitahu.. Eh tapi tidak mungkin hari ini juga yah?"

Munaku sudah kembali dan akan semakin kembali dengan aneka kosakatanya.

(˘_˘٥)

Sabtu, 07 Mei 2016
Mounalizza
End.

Epilog menyusul.. Byee..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top