Bonus - 18
Maaf belum bisa balas coment. Tapi aku baca ko..😭😘 byk juga yg kangen sama Muna. Walaupun nggak mudah buat karakter aneh kaya dia.
Heheheh
•••
Rezky ('._.')
Dan di sinilah kami.
Aku dan Muna, menunggu Pak Chandra di ruang tunggu rumah sakit. Kondisi calon mertuaku itu sudah sangat parah. Bahkan sudah beberapa kali dia mengeluarkan darah dari mulutnya. Muna hanya menatapnya dari kejauhan.
Tapi mata Muna tidak bisa berbohong, aku tahu ia ingin melihat dengan jelas kondisi terakhir sang papa.
Ini suatu peningkatan walaupun Muna mau ikut aku ke rumah sakit. Aku sudah memberikan kabar kepada Tante Mira dan juga si adik tengil Nizar. Mereka langsung berangkat dengan pesawat penerbangan malam, anak buahku membantu menjemput di bandara.
"Apa dia bisa selamat?" tanya Muna sambil menggenggam tanganku. "Papamu akan lebih bahagia jika dia beristitahat di keabadian. Penyakitnya sudah sangat menjalar. Terlambat." ucapku memeluk Muna. Tubuh kekasihku bergetar hebat. Tangannya ia lingkarkan dipinggangku.
"Kamu kuat Muna." ucapku sambil mengecup keningnya. Lama kami nyaman dengan posisi ini. Saling berbagi kehangatan, menjelaskan jika Muna akan aman berada dalam dekapanku.
"Aku mau melihatnya, kamu mau?" dia menggeleng lemah.
"Kamu mengizinkan aku melihatnya?" izinku kepadanya. Muna mengangguk, aku akan melihat sebentar.
Dan saat aku ingin melangkah suara orang berlarian membuat kami menoleh.
"Munaaaa.."
"Mamaaaa..." teriak Muna berhambur ke arah Tante Mira. Nizar berada di sampingnya.
"Bagaiamana dia?" tanya Tante Mira melirikku. Aku hanya menggeleng lemah. Aku menepuk pundak Nizar, anak itu hanya diam. Tatapannya sama seperti Muna.
Luka lama jelas tercetak di wajah Nizar dan Muna. Berbeda dengan Tante Mira, sungguh wajahnya ikhlas bertanya.
"Saya mau melihat bisa?" aku mengangguk. "Kita harus ke dalam ruangan lain dulu, mungkin memakai baju steril."
"Tidak masalah. Nizar mau ikut?" tanya Tante Mira. Anak itu hanya menggeleng. Dia lebih memilih merengkuh Muna dalam pelukan.
"Ayo tante, kamu tunggu sini saja yah. Koper Tante di mana?" setelah berkata dengan Muna aku berjalan bersama Tante Mira.
"Koper tante dan Nizar masih di mobilkan?" dia mengangguk. "Nanti tante dan yang lain pulang saja beristirahat di apartement. Biar aku yang menjaga Om Chandra." Tante Mira memegang lenganku sambil berjalan.
"Tante bahagia Muna berjuang mendapatkan kamu kembali. Kamu pria yang mampu menyentuh hatinya. Dengan dia mau menunggu di sini saja sungguh suatu kemajuan pesat." aku tersenyum lega.
"Iya tante, aku juga berfikir begitu. Aku tahu Muna pasti akan memaafkan kejadian lalu. Aku mau saat kita menikah Muna benar-benar melupakan trauma masalalunya."
"Tante akan membantu kamu. Kamu tahu saat Muna meminjam uang untuk membayar hutang kamu, dari situ tante sadar dia mau tampil terbaik di mata kamu. Tanpa ada rasa beban. Dia bilang dia mau mengulang berkenalan dengan kamu secara normal."
Aku terkikik sambil berjalan, sekedar pemberitahuan saat Muna menyicil hutang aku memang menerimanya. Tetapi keesokannya aku mencari tahu tanpa sepengetahuan Muna. Tante Mira akhirnya berkata jujur kalau Muna meminta jaminan rumah Surabaya. Aku mengembalikan kembali uang itu kepada Tante Mira dan berpesan agar Muna tidak tahu. Muna tetap berkerja denganku.
"Jangan meragukan niat tulus Muna." aku mengangguk dan memegang tangannya.
"Tante saja yang masuk." ucapku pelan. Lebih baik menunggu di depan ruang perawatan khusus Om Chandra. Aku rasa Tante Mira butuh waktu berdua dengan mantan suaminya.
Lama kumenunggu akhirnya Tante Mira keluar dengan linangan air mata. Mungkin berat baginya melihat kondisi lemah mantan suaminya. Biar bagaimanapun mereka pernah menjalin hubungan indah yang menghasilkan dua buah hati. Pasti masih terselip rasa sayang di hati Tante Mira.
"Ayo.." ajak Tante Mira memeluk lenganku. Kurasakan langkah Tante Mira sangat pelan.
"Sabar Tante. Semua sudah jalannya." dia hanya mengangguk, akupun menarik tubuhnya dalam rangkulan. Aku tahu dia butuh pelukan. Sungguh tidak ada maksud apa-apa, aku hanya mencoba menganggap Tante Mira orangtuaku juga. Sosok ibu yang sudah lama tak kuingat seperti apa kehangatannya.
"Rez.. Tante mau Muna dan Nizar bertemu dengan papanya!" ucapnya lirih. Kami masih berjalan pelan.
"Rezky akan usahakan." aku terus merangkul Tante Mira.
"Tante pulang saja sama Nizar dan Muna! Nanti kalau ada kabar apapun aku akan memberi tahu." ajakku lembut. Mereka butuh istirahat.
"Ma-ma, kamu panggil aku mama seperti Muna dan Nizar." dia menatapku dengan wajah yang masih sembab. Aku mengangguk bahagia. Kelembutan seorang ibu yang sudah lama tak kudapatkan.
Pasti ada harapan dibalik sebuah penderitaan.
"Muna, temani mama kamu dan Nizar istirahat di apartement!" perintahku saat kami sudah mendekati Muna dan Nizar.
"Iya Nizar seharian ini sibuk mengurus tugas-tugas akhir sekolah. Kami pulang dulu yah Nak Rezky. Mama sangat bahagia Muna memilih kamu." ucap Tante Mira, oups Mama Mira.
"Kamu pulang sekalian bersama kita Rez, ada suster yang menjaga!" ajak Muna. Aku menggeleng, "Antarkan mama dan Nizar sana." aku mengacak rambutnya. "Kamu juga butuh istirahat."
"Zar jaga mama dan Muna." aku menepuk pundak Nizar. Hei ada yang aneh dari dirinya. Dia lebih pendiam dan tatanan rambutnya sudah kembali normal. Dia seperti tentara yang baru saja berlatih.
"Oke hyung, jangan khawatir aku akan menjaga sampai titik darah penghabisan dua dewi paling berarti di hati ini.." jawabnya biasa saja. Ah aku lupa kadar ketengilan dirinya pasti masih melekat. Dia calon adik iparku dan akan menjadi orang kepercayaanku.
Setelah Muna dan yang lainnya pergi aku duduk di sofa ruang tunggu. Ada beberapa orang yang juga menunggu di sana. Waktu sudah menunjukan tengah malam. Aku sudah meminta kepada beberapa perawat untuk menjaga Om Chandra lebih teliti. Dan memang Om Chandra dipantau khusus atas permintaanku.
Kebetulan papaku sedang pergi keluar kota, walaupun atas permintaanku ia memantau dari jarak jauh. Beberapa tindakan atas perintah papa.
"Rez.." suara yang ku kenal dekat denganku. Tangan mungilnya menepuk pundakku. Aku menoleh.
"Muna?" ada yang lucu dari tampilannya. Muna memakai baju tidur lucu dipadukan sweater milikku.
"Aku kepikiran kamu jadi balik lagi." dia duduk di sampingku.
"Kenapa tidak tidur nyenyak di apartement dan besok kamu kembali lagi?"
"Aku anaknya tapi justru kamu yang menjaga." aku hanya diam dengan perkataannya.
"Peluk!" mintanya manja. Tangan menjulur ke arahku. Dengan senang hati Munaku sayang. Aku menarik tubuhnya dalam pelukanku. Membagi kehangatan di dinginnya malam. Suasana menang sudah sangat sepi.
"Sebenarnya aku ada kamar di lantai atas tapi aku malas tidur di sana. Aku serasa sedang sakit dan dirawat sendirian." bisikku. Muna memainkan tangannya di dadaku. Pola apa yang sedang ia tulis aku tidak tahu. "Seandainya dia meninggal gimana?" tanyanya pelan.
"Setidaknya saat dia meninggal kita menemani." Muna semakin memelukku erat.
"Titik tertinggi hati bersih seorang manusia itu mau memaafkan." bisikku lagi. "Aku ngantuk." jawab Muna.
"Tidurlah sayang." aku tak henti-hentinya mengusap kepala Muna. Memberikan kecupan sayang. Ah calon istriku ini sudah bisa manja.
Sungguh aku tak menyangka. Perkenalan aneh kita berakhir seperti ini. Aku yang selalu bermain dengan aneka bonus sekarang sudah tidak lagi bermain seperti itu. Akhirnya kado spesialku datang dengan sendirinya, beserta aneka kicauan merdu.
Hingga pagi menjelang bahkan sampai malam kembali Muna tetap tidak mau bertemu dengan sang ayah. Ia dan Nizar hanya duduk di ruang tunggu saat Mama Mira masuk bersamaku.
Siang tadi aku pulang dengan Muna karena Mama Mira sudah datang dengan Nizar. Sungguh kami seperti keluarga kompak yang menunggu orangtua tersayang sedang terbujur kaku melawan penyakitnya.
Papaku bahkan selalu memantau kesehatan Om Chandra melalui suster dan dokter yang menanganinya. Itu semua atas permintaanku, papa hanya bisa terkikik saat aku selalu menghubunginya perihal tindakan yang paling tepat untuk ayah Muna. Kenyataan paling pahit yang harus kuberitahu oleh Muna dan yang lain. Papa bilang keluarga memang sudah harus siap mengikhlaskan.
Aku sudah berbicara kepada mereka dan reaksi Mama Mira yang terlihat sedih. Muna dan Nizar masih tidak bereaksi berlebih. Mereka hanya mengangguk dan memainkan ponselnya.
Anehnya dari mereka tidak ada yang mau berniat meninggalkan rumah sakit. Keduanya tetap memilih duduk di ruang tunggu seharian. Mama Mira membisikkan sesuatu kepadaku. "Biarkan mereka peka dengan sendirinya Rez. Mereka harus sadar diri sebagai anak yang hormat kepada orangtua."
"Nanti mereka akan menemui dengan kesadaran penih. Aku yakin itu." ucapku penuh keyakinan kepada Mama Mira.
"Mama pulang, sebaiknya kamu juga pulang Rez. Kamu butuh istirahat." ajak Mama Mira. Akupun mengikuti sarannya. Suster yang menjagapun sudah mengatakan kalau pasien akan mereka jaga dengan benar.
Setidaknya untuk malam ini kondisi pasien memang masih stabil.
...
"Kenapa belum tidur?" tanyaku pada Muna di ruang televisi apartement. Nizar tidur di sofa panjang yang satunya. Anak itu tidak mau satu ranjang denganku. Katanya dia takut ternoda, dasar tengil. Saat pikirannya terbagi masih sempat bertingkah aneh. Untung Nizar tidur menghadap sandaran sofa. Dia membelakangi kami. Wajah tengil-nya tidak perlu kulihat.
"Aku tidak bisa tidur." jawab Muna singkat. Ah kenapa disaat seperti ini aku merindukan jawaban panjangnya yah.
Aku memeluk Muna dalam keadaan duduk. Posisi yang sejak semalam mulai kami sukai. Lama kami terdiam sambil menonton acara patroli malam di televisi. Tidak ada yang mau membuka pembicaraan. Hanya menikmati pelukan hangat.
"Suster tidak menghubungi kamu?" tanya Muna hati-hati. Aku tahu dia penasaran. "Tanya saja sendiri kalau kamu khawatir." ledekku.
"Aku tidak khawatir, hanya saja.. Ah sudahlah aku mau tidur. Kamu juga Rez." aku menahan tangannya.
"Kiss dikit dong!" pintaku manja sambil melirik kanan kiri ruangan. Muna duduk kembali dengan wajah malu-malu. Wajahku sudah mendekat dengan wajahnya.
"Uhuk..uhuk.. ingat aku memang orang ketiga diruangan ini tapi bukan berbentuk setan loh. Aku manusia biasa yang sedang malas menyaksikan adegan tak layak untuk dipertontonkan di ruangan terbuka." suara Nizar membuat kami menoleh. Anak itu sedang menatap kami dengan senyum tengilnya.
Dugh. Aku melempar bantal kecil yang ada di belakangku. Muna sendiri berdiri mendekati Nizar dan membekap wajah Nizar dengan bantal itu.
"Ampun kak.." ucapnya lucu. Aku menarik tubuh Muna. Bisa berbahaya jika terus dibiarkan.
"Hyung sungguh baik hati." ini dia calon adik iparku.
"Ganggu tau nggak." sindirku. Ah menyebalkan juga, gagal deh kecupan manis untuk Muna.
"Tau nih, awas aja kalo kamu pacaran. Aku akan gangguin nanti." ancam Muna. Aku memeluk Muna dari belakang dan mengangguk di pundak Muna.
"Oh tidak akan terjadi. Standar pilihan wanita aku sangat tinggi. Aku tidak akan pacaran sampai jangka waktu panjang. Aku akan menjadi pria dengan selera berbeda. Wanita harus bertekuk lutut pada auraku. Sebagai manusia langka sudah seharusnya kriteria dengan kelakuan baik harus menjadi yang terdepan. Seorang Nizar tidak akan termakan rayuan ala wanita." sombongnya Nizar.
Dia bicara apa sih? Ini tengah malam dan di apartement-ku dia membicarakan hal aneh? Pukul saja kepalaku.
"Dan aku jamin selamanya kamu tidak akan menemukan pacar." ledekku sambil mengecup pipi kakaknya tanpa malu di depan Nizar. Wajahnya risih lalu menutup mata. "Mataku sudah tidak bersih. Oh sungguh mara bahaya jika ini berkelanjutan." dia menutup matanya sendiri. Aku dan Muna terkikik. Sedikit membuat malam tegang ini santai.
"Udah aku mau tidur." ucap Muna, aku mengangguk lalu mengekori Muna berjalan.
"Ah wanita dengan segala sifat cengengnya. Apa-apaan.. Hyung kau jangan mau ditindas sama kakak. Tangisan mereka palsu, merusak pemandangan. Lihat saja Nizar di masa depan akan menjadi pria sejati yang tak akan luluh dimakan zaman. Eh dimakan hati. Semangat.." teriaknya tak jelas sambil melempar bantal yang pada akhirnya jatuh juga ditubuhnya. Dasar bodoh.
"Berisik, tidur sana." bentak Muna sebelum tangannya terlepas dari genggamanku. Kami akan berpisah di kamar yang berbeda.
"Tidur yah." ucapku mengusap pipinya dan mengecup sekilas bibirnya.
"Uhuk..uhuk.." suara batuk Nizar yang mengjengkelkan.
"Ada racun tikus Zar di belakang. Siapa tahu batuknya sembuh." sindirku.
Muna terkikik. "Aku suka kamu kembali tersenyum." ucapku jujur. Dari kemarin Muna memang jarang tersenyum lepas. Dan ini suatu peningkatan.
"Semua karena kamu." cicitnya malu-malu.
"Kedelai tidak lagi bernama Malika kalau gini, bisa jadi Bambang..Apa aku tidak salah lihat kak Muna bercicit-ria.." ocehan Nizar yang tidak kami dengarkan. Baik aku dan Muna masuk ke kamar masing-masing.
...
"Rez..bangun.." suara Muna sungguh dekat denganku. Elusan tangannya menggelitik pipiku. "Bangun pacarku, sudah jam sembilan pagi." ucap Muna lagi. Aku membuka mataku. Wajah menggemaskan Muna menyambut.
"Sudah jam sembilan.." jelasnya. Aku mengumpulkan tenaga. Semalam memang aku lelah karena malam sebelumnya tidur di sofa membuat aku tidak nyaman.
"Mama sama Nizar sudah berangkat ke rumah sakit." Muna memberitahukan. Aku duduk dan mengucek mataku. Sesekali aku masih menguap.
"Aku siapkan sarapan yah." Muna berdiri. Aku menahan tangannya. "Kiss dulu." ucapku dalam keadaan sadar. Muna melepas sambil terkikik malu dan segera pergi dari kamarku.
Sabar Rezky sebentar lagi dia halal milikmu. Waktu masih panjang.
"Aku mandi dulu yah." teriakku sebelum akhirnya Muna keluar dari kamarku. Bisa gawat kalau aku tidak menyiram seluruh tubuh pagi ini dan masih terus berdekatan dengan Muna. Isi kepala harus jernih.
Benar kata Nizar kedelai bisa berubah nama. Ah kenapa aku memikirkan si tengil?
"Ini kopi dan bubur ayam, aku beli di bawah tadi." keluar dari kamar mandi Muna menyambutku dengan isi meja makan lengkap. Ah rasanya ingin cepat-cepat menikah.
"Kamu sudah makan sayang?" dia mengangguk.
"Kamu mau ke club?" tanya Muna.
"Mungkin sebentar, lalu kita akan ke rumah sakit."
"Kita tidak harus ke rumah sakit Rez. Aku juga harus berkerjakan." aku menatap Muna serius dan segera kugelengkan kepala. "Kali ini kamu harus ikuti kemauanku." ucapku tegas. Muna kembali diam dan berpura-pura sibuk dengan gelasnya.
Drt.. Drt.
Ponselku bergetar, kebetulan aku meletakkan di meja ruang televisi. Aku menoleh. "Muna ambilkan ponselku." dia berdiri dan bergegas mengambil ponsel. Matanya menatap layar ponselku dengan kerutan tak terbaca. Ia menatapku bergantian lalu meneliti kembali layar ponsel.
Muna kenapa?
"Siapa?" tanyaku bingung karena Muna memasang wajah cemberut. Ia melirikku dan memberikan ponsel itu di meja lalu mengambil piring kotor di depanku. Aku menatap layar ponselku.
Princess Dallilah.
Dalillah? Ada apa dia menghubungiku?
"Iya hallo.."
"Rez kamu di mana? Kim menghilang, aku masih di rumah sakit. Keluargaku sedang mencarinya tapi tidak ada jejak. Kasihan Kevin. Bantu cari Rez.."
"Apa? Kim hilang? Lusa terakhir aku bertemu dengannya. Oh, oke pasti princess akan aku kabari."
"Kabari kakakku saja. Karena aku belum bisa ke luar dari rumah sakit."
"Baiklah hati-hati dan selamat menjadi new mom."
"Thanks, bye.."
Hufft..
Ada apa lagi dengan sahabat tersayangku ini? Bukankah dia sudah bertemu dengan pria pujaannya? Kevin.
Ah aku harus menghubunginya. Tapi Muna.. Kulirik Muna yang sedang sibuk mencuci piring. Kenapa dia memasang wajah seperti itu tadi?
"Muna." panggilku.
"Muna." kenapa dia tidak menjawab?
"Muna." aku berdiri mendekatinya.
"Hmm." hanya bergumam? Ini ada yang nggak beres. Oke, mumpung hanya berdua. Peluk-peluk sebentar sih tidak masalah.
"Kenapa?" aku memeluknya dari belakang. Layaknya pria-pria lain di cerita kebanyakan. Posisi ini konon katanya romantis. Ah lihat kalau aku sudah menikah, bahkan adegan jongkok saja bisa jadi romantis kalau aku yang memerankan. Jangan pernah meremehkan Rezky Abdi Negara.
"Ada yang mengganggumu?" tanyaku dicerukan leher Muna yang terekspos sempurna. Rambutnya ia jepit cepol asal. Sungguh penampilan impian setiap pria di pagi hari.
"Siapa princess?" tanyanya sambil menggosok kasar piring. Aku mulai mengerti kenapa Muna berubah. Ah akhirnya Munaku merasakan cemburu.
"Dia princess Dalillah, kasih tak sampaiku." bisikku di telinga Muna.
"Hmm.." jawabnya lagi. Dia segera menyelesaikan cuci piringnya lalu mendorongku. "Aku mau ke rumah sakit."
"Tunggu, aku belum selesai menjelaskan." aku menarik Muna menghadapku.
"Kalau kamu ada perlu sama mantan kamu silahkan. Aku mau melihat papaku saja." gerutunya lucu.
Tunggu, dia bilang apa?
Papaku? Oke Rezky jangan dihiraukan. Biar Muna sendiri yang menyadarinya. Toh dengan begini saja sudah suatu peningkatan.
Senyum muncul di wajahku. Aku merapikan helaian rambut di belakang telinganya. "Dalilah itu kasih tak sampaiku di masa lalu. Kami bahkan belum menjalin hubungan spesial."
"Ya sudah kalau sekarang ada kesempatan silahkan." ketusnya.
Ini emosi pertama yang Muna tampilkan. Seharusnya aku khawatir tetapi kenapa rasanya aku mau berteriak dan berjingkrak kegirangan yah? Ah akhirnya Muna bisa cemburu.
Oke Rezky tahan...!
"Dia sudah menikah, bahkan kemarin baru melahirkan Muna." aku menempelkan tubuh kami lebih dekat. Kedua tanganku sangat pas berada di pinggulnya.
"Dia kasih tak sampaiku, tapi kamu masadepanku yang harus aku perjuangkan sampai titik darah penghabisan kalau kata adik tengil-mu." aku menggoyangkan ujung hidungku di hidungnya.
"Dia sudah melahirkan?" tanyanya.
"Kemarin." jawabku sambil mengecup pipinya.
"Kenapa dia mencarimu?"
Oh iya aku lupa, tanpa melepas pelukan aku mengambil ponsel yang aku letakkan di dekat posisi kami berada. Tangan kiriku masih setia merangkul pinggulnya.
"Kamu tahu sahabatku yang kemarin sempat ke club?" tanyaku sambil mengetik layar di ponsel.
"Kimberly?" aku mengangguk. "Iya, dia menghilang dan seluruh keluarga sangat khawatir. Mereka menduga aku tahu di mana keberadaan Kim karena aku paling dekat dengannya."
"Tapi kamu kan dari kemarin di rumah sakit." tambah Muna, raut wajahnya sudah berubah tidak kesal. Sekarang justru berganti khawatir.
"Aku memang tidak tahu di mana keberadaan Kim." aku berbicara sambil terus menghubungi ponsel Kimberly yang tidak aktif.
Benar apa yang dikatakan Dalilah. Bahkan meninggalkan Kevin tanpa kabar? Maunya apa sih Kimberly?
"Mun ambilkan ponselku yang satu lagi. Ada di laci nakas kamarku. Kamu tahu kan?"
"Yang warna putih?"
"Iya." Muna melepas pelukan dan bergegas ke kamarku. Mengambil ponselku yang tidak ada satupun orang tahu nomor itu milikku. Bahkan Muna saja tidak tahu. Hanya aku dan Kimberly yang sama-sama tahu nomor ponsel ini. Karena sahabatku itu juga punya nomor rahasia tanpa sepengetahuan yang lain. Itu bukti jika kita bersahabat.
Sebenarnya ponsel kami yang ini diperuntukan saat aku meminta bonus dan Kimberly yang mencarikannya. Ini rahasia kami berdua.
Kami sahabat brengsek saat itu. Hingga sekarang aku sudah menganggapnya saudara perempuanku yang paling cengeng.
"Ini.." Muna memberikan ponsel dan juga pengisi batere portable. Mungkin daya batere ponsel sudah berkurang.
"Kenapa dia menghilang?" tanya Muna, aku masih sibuk mengaktifkan ponsel.
"Dia takut menghadapi kenyataan. Menghadapi orang-orang yang mencintainya."
"Kenapa begitu?" tanya Muna.
"Karena dia pengecut." ucapku. Aku menghubungi ponsel Kimberly. "Makanya kamu jangan seperti Kimberly, karena ada aku selalu di samping kamu." ucapku sambil mengetik layar ponsel.
Aktif, sudah kuduga. Kimberly tidak akan melupakanku.
"Hallo cantik kamu di mana?" ucapku langsung.
"Aku di rumah mendiang papaku. Aku bersama istri papaku. Kamu tenang saja." suaranya lirih. Kuyakin Kimberly sedang menangis.
"Jangan menghilang tiba-tiba Kim. Semua orang khawatir."
"Maaf aku butuh waktu." Aku sudah kenal dengan sifat Kimberly. Biarkan dia seperti ini dulu baru bisa kita dekati pelan-pelan.
"Baiklah aku akan ke sana setelah urusanku beres. Ingat jangan kemana-mana. I love you Kim." saat aku mengatakan itu aku menatap Muna di sampingku. Tapi Muna terlihat biasa saja, berbeda saat nama princess Dalilah.
"Kenapa tidak merajuk seperti tadi?" protesku.
"Karena aku tahu perasaan dengan sahabatmu itu tulus seperti saudara. Tatapan mata kamu sangat jelas terbaca olehku. Makanya aku tidak cemas kamu dekat dengan mbak cantik itu." ah Muna sekarang sudah bisa membaca tatapan mata.
"Ayo kita berangkat." dia berdiri lagi. Aku masih duduk ingin mengabari seseorang perihal keberadaan Kimberly. "Tunggu aku kabari seseorang dulu."
Drt.. Drt.. Satria
Ah dasar adik kakak ini. Kalau ada maunya saja baru menghubungiku. Panjang umur Satria.
"Hallo."
"Dimana Kim lo pasti tahu dan jangan bohongin gue!" Satria dan sifat menyebalkannya. Basa-basi kek..
"Iya gue kasih tahu. Dia di rumah mendiang papanya, sama istri papanya. Kasih dia waktu buat berfikir dia nggak akan kabur dari tempat itu gue yakin. Kim memang selalu menikmati masa sedihnya."
"Oke gue ngerti. Gue akan kabari Kevin. Bye."
Tuutt. Lihatlah saudara-saudara..!
Menjengkelkan, hampir calon ipar tuh pria ngeselin. Ah tapi Nizar juga sama ngeselinnya. Kenapa aku jadi mudah mengingat Nizar yah?
"Oke ayo.. Nanti mampir ke rumah Kim kamu mau?" dia mengangguk. Kami bersiap-siap pergi dari apartement.
"Beli makanan buat mama dan Nizar yah?" ajakku pada Muna.
"Oke."
Drt.. Drt..
Siapa lagi sih? Ah Kimberly benar-benar merepotkan saja. Aku mengangkat tanpa melihat layar ponsel. Kami masih di depan pintu ke luar apartement.
"Hallo..."
"Rez ini mama Mira." aku menatap layar ponsel, oh ternyata mama mertua.
"Iya ma.." jawabku kikuk. Hampir saja aku membentak saat menyapa lebih lanjut.
"Muna mana? Ponselnya tidak bisa dihubungi."
"Mama kamu mau bicara." aku memberikan ponselku pada Muna.
"Iya ma?" Muna mengangguk saat mama Mira berbicara tapi kemudian mama menggeleng.
Apa yang sedang dia bicarakan yah? Deru nafas Muna mulai tak beraturan. Wajahnya terlihat panik.
"Nggak ma, aku nggak mau menikah terburu-buru. Aku nggak mau kalau dia yang menikahkanku. Sekalipun hari ini hari terakhirnya. Atau aku tidak akan menikah seumur hidup kalau permintaan mama seperti ini." teriak Muna tiba-tiba.
Apa?
TBC...
Jumat, 25 Maret 2016
-mounalizza-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top