Bonus - 17
Part ini peralihan emosi jd jgn terlalu berharap humor.
Rezky ( 'Д')y━・~~
"Kumohon jangan bertemu dengannya Rez! Aku mencintaimu hiks..." isaknya pilu. Kumohon jangan menangis seperti ini Muna.
"Rezky..." pintanya lagi.
Seharusnya saat ini reaksiku adalah lompat bahagia karena ternyata cintaku terbalas. Muna menyatakan cintanya.
Ini nyata?
Hai saudara-saudara sebangsa dan setanah air! Maimunah mencintaiku!!!
HARUSKAH AKU BERTERIAK?
Oke, sabar Rez! Sekarang bukan waktu yang tepat. Lihat wajah gelisahnya! Muna-ku kasihan. Terbelenggu dengan masalalu yang selalu ia anggap tak bisa diperbaiki dan harus dienyahkan tanpa penyelesaian.
"Muna.." panggilku pelan. Aku menyeka tetesan air mata yang sangat tidak aku inginkan hadir di matanya. "Kamu mencintaiku?" dia mengangguk sesegukan. Oh memilukan hati. Ingin tersenyum saja aku tak tega.
"Mau percaya sama aku?" sejenak dia diam. "Mau?" yakinku sekali lagi.
Muna mengangguk."Mau."
"Ikut aku menemui dia." dia menggeleng. "Aku sudah menganggapnya mati tenggelam, sama seperti dia menenggelamkan kepalaku di air saat dulu."
Kalian mau tahu? Tiba-tiba rasa pilu dan berat yang terjadi di hatiku semakin bertambah. Aku tidak boleh egois, kesakitan Muna tidak pernah kurasakan.
"Tunggu di sini. Aku akan menemuinya sebentar." aku meremas tangannya. Meyakinkan jika aku tidak akan berbohong. Kukecup keningnya sepelan mungkin, aku mau dia menyadari jika aku tulus mencintainya.
Muna hanya mengangguk dan bersembunyi di balik dinding. Aku berjalan dengan rasa gelisah, menemui Pak Chandra.
"Ada kabar? Adaapa anda mau mengunjungi saya ke sini..?" tanpa basa-basi aku langsung menembaknya. Sungguh jika Muna melihat lebih teliti wajah dan kondisi sang ayah aku yakin ada rasa ingin memaafkan.
Kondisinya jauh lebih buruk dibandingkan terakhir aku menemuinya di tempatnya. Pak Chandra terlihat semakin ringkih. Aku menduga terlalu banyak komplikasi masalah kesehatan. Tidak heran mengingat sejarah gaya hidupnya dimasa lalu.
"Ini..." dia menyerahkan satu map yang entah berisi apa. Aku menerimanya.
"Aku sudah memutuskan. Mewakilkan wali nikah kepada putraku Nizar jika dia sudah baligh dan sanggup, atau wali hakim." ucapnya pelan sambil tersenyum. Aku tahu ada kesakitan saat ia berucap.
Muna, berikan rasa cintamu untuknya. Sedikit saja.
"Terimakasih." ucapku pelan. Mataku terus mengamati kondisi tubuhnya.
"Sekilas tadi aku melihat putriku. Dia tumbuh menjadi wanita ceria. Tolong jaga dan bahagiakan dia." ucapnya lagi.
"Pasti." aku mengangguk.
"Mira dan Nizar juga jangan kamu lupakan." ucapnya sedikit terkikik.
"Jika aku mencitai Muna, otomatis setiap orang yang dicintai putri anda adalah bagian dalam hidupku." dia mengangguk lega.
"Anda tidak mau hadir saat kami menikah?" dia tertawa sambil menggeleng. Rupanya dia cukup sadar diri.
"Mungkin jika aku masih punya waktu, aku akan melihat dari kejauhan. Aku sadar diri untuk tidak membuat Muna menangis dan gelisah dihari bahagianya." dia menepuk pundakku sekuat yang ia bisa, lalu pergi berbalik. Dari situ aku menyadari dia tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Aku memberikan perintah kepada salah satu anak buah yang berdiri di dekatku. "Ikuti dia..!"
Aku berbalik dan menatap Muna sedang bersembunyi di dinding dekat kamar mandi. Suasana bar yang masih sepi membuat keheningan tercipta. Aku melihat pandangan matanya menatap kepergian sang ayah. Aku tahu mata Muna masih tersirat rasa kerinduan seorang putri kepada orangtuanya.
"Ayo ke kantorku...!" aku menggandeng tangan dingin Muna. Kulirik sekilas wajah Muna yang masih terfokus ke arah pintu tempat terakhir penampakan ayah-nya.
"Kamu mau menemuinya?" tanyaku berhenti sejenak. Dia menggeleng kuat, aku memakluminya. Kami masuk ke kantor dalam suasana sepi, hawa dingin menyambut.
"Ini.." aku memberikan map yang diberikan Pak Chandra. Dia mengamati map itu. Matanya jelas ragu ingin mengambil alih.
"Aku sudah dengar semuanya." jawabnya.
Aku tersenyum. "Kita terbebas dari keputusan dirinya." jawabnya dengan senyum yang dipaksakan.
"Kamu mau menikah denganku?" tanyaku. Dia menatapku dan mengangguk yakin.
"Benar yang sebelumnya kamu katakan bahwa kamu mencintaiku?" wajahnya terlihat kikuk. Mungkin dia baru tersadar jika tadi dia terlalu khilaf.
Khilaf berujung kejujuran.
"Kamu berkata jujur seperti tadi apa atas dasar keterpaksaan? Apa karena kamu ingin membuat aku luluh?" cecarku. Dia mendekat dan menatapku lekat. Aku meletakkan map itu di meja kerja.
"Aku nggak tahu kapan rasa ini hadir, mungkin saat aku menghilangkan mobilmu dan reaksi kamu yang biasa saja. Dari situ segala perhatianmu yang terbilang jauh dari kata kurang ajar atau tidak seperti pria brengsek lainnya membuat hatiku tersentuh. Aku merasa kamu menghargai keberadaanku. Sesuatu yang selama ini selalu kusepelekan. Kamu nggak tahu butuh waktu bagiku untuk meyakinkan hati akan rasa ini. Hingga saat di Surabaya kamu semakin membuat isi hatiku yakin tapi juga ragu. Dan pada akhirnya aku harus yakin kalau mungkin ada saatnya aku harus kembali menjadi seorang Muna yang baru tanpa hutang dan aneka kesialan yang pernah aku torehkan sama kamu. Sayangnya belum sempat itu terjadi aku sudah takut kehilangan dirimu. Aku takut kamu mundur..."
Banyak omong Muna ini. Oke Rezky siap laksanakan!
Aku menarik tubuhnya dalam pelukan lalu menangkup wajahnya dengan kedua tangan lalu segera kukecup bibir berisiknya. "Intinya kamu sudah jatuh cinta padaku bukan?" tanyaku. Aku sempat mengusap sedikit sisa buliran airmata di bulu matanya.
"Iya tapi tunggu dulu aku belum selesai bercerita kronologinya." protesnya menarik tanganku. Aku menggeleng lalu ku kecupi beberapa bagian wajahnya. Mulai dari kedua mata, kening, pipi dan hidung.
Hei dia calon istriku sekarang.
"Diam dan jangan banyak berfikir. Ayo kita pergi dari sini.." aku kembali menggandeng tangannya. Aku tahu akan sangat bodoh jika aku kembali mengungkit keberadaan ayah-nya. Tidak, aku tidak akan ceroboh kali ini.
Katakanlah aku egois. Mungkin memang aku luluh akan pernyataan cintanya tapi seiring berjalan waktu aku mulai mengenal Muna.
Gadisku ini tidak bisa dipaksa. Tapi aku berjanji, Muna akan segera menemui Pak Chandra. Sisi lainku tetap berharap Muna dan ayahnya harus berbaikan. Aku hanya takut Muna kelak akan menyesal dikemudian hari. Sekarang biarkanlah Muna diam dengan rasa penasarannya. Aku tahu ada rasa ingin tahu Muna perihal kondisi sang ayah.
"Kita mau kemana?" tanya Muna saat sudah duduk dimobil. Aku hanya mengacak rambutnya.
"Pulang." jawabku. Muna melirik bingung.
"Apartment?" aku mengangguk.
"Ini masih siang."
"Dan matahari masih bersinar cerah." timpalku lagi.
"Kita mau ngapain jam segini?"
"Mau istirahat." jawabku mantap.
"Maksudnya?"
"Nggak ada apa-apa." Muna semakin bingung.
"Rezky..."
"Iya.."
"Kita mau ngapain?"
"Pulang Muna."
"Tapi masih siang."
"Yang bilang malam siapa?"
"Ahhhh..." Muna mencubit lenganku.
"Kamu ini aneh. Udah aku mau puasa bicara aja." Muna diam sambil memainkan jari-jari tangan. Aku hanya diam sambil melajukan mobil dengan perasaan bahagia.
Lama kami terdiam.
"Rez.."
"Hmm.." Muna memang tidak akan tahan berdiam diri.
"Kita nggak mau berbuat sesuatukan?" tanyanya pelan.
"Kamu mau kita berbuat sesuatu?" tanyaku hati-hati.
"Tapi kita.." Muna berhenti berbicara. Aku menahan tawa, Muna pasti berfikiran jauh. Tenang Muna sayang, aku sudah lihai mengendalikan diri dari buaian gairah. Apalah itu namanya. Aku akan menunggu sampai kamu halal untukku. Ya tapi kalo sekedar satu kecup dua kecup sih tidak masalah.
"Jawab Rez.." keluhnya kesal karena aku tidak menjawab tetapi bertanya balik. Kutatap wajah Muna, ternyata bersemu merah.
"Aku memang mau berbuat sesuatu sama kamu. Aku mau membebani kamu!" dia memejamkan mata sambil menggeleng. "Tapi..."
"Tapi apa? Kamu kan calon istriku. Apa sebaiknya kita menikah besok saja?"
"Apa? Ah Rezky aku kan butuh persiapan. Iya sih aku tidak perlu mengundang banyak orang, tapi mama dan adikku harus ada di sampingku. Lagipula kamu sendiri kan punya kakak dan papa yang pasti ingin berbagi kebahagiaan karena kamu menikah. Oh iya selain itu aku mau merasakan rasanya disiram air bunga dari tujuh mata air. Kalau lihat diacara televisi sepertinya menarik. Aku mau mengalami proses itu. Lalu setelah acara siraman aku mau digendong sama..." dia berhenti berbicara lalu menggeleng sendiri.
"Ayo kita pulang." jawabnya sambil tersenyum kepadaku.
Digendong?
Kami berjalan sambil bergandengan tangan saat berada di lorong lantai menuju pintu masuk apartement. Aku seperti terlahir kembali, rasa nyaman ini sangat sederhana. Aku sudah mempunyai calon istri.
Bip.
Kimberly : aku sudah bertemu dengannya. Peluk aku Rezky..
Seulas senyum kuhadirkan saat membaca pesan dari sahabatku tersayang. Mungkin hari ini memang diperuntukan untuk kami berdua. Kim dengan pujaan hatinya, sementara aku dengan gadis yang aku cintai.
"Kenapa tertawa?" Muna menyipit menatap wajah senyumku.
"Hanya bersyukur hari ini sungguh sangat baik untukku dan sahabatku." aku mencubit pipinya gemas. Muna semakin bingung.
Saat kami masuk ke dalam apartement aku langsung menjatuhkan tubuhku di sofa. Baru tadi pagi aku duduk di sini dengan kemurungan menyelimuti, kesal karena tingkah Muna yang tak bisa kubaca.
Tapi.. Sekarang..
Semua sedikit terbuka, hanya tinggal satu tujuanku membuka hati Muna untuk ayahnya. Aku tahu saat tadi Muna menyinggung masalah gendong itu tidak lain adalah satu ritual dimana seorang ayah menggendong putrinya saat masih berstatus lajang.
Jauh dari lubuk hatinya Muna ingin menjadi putri kebanyakan. Dimana sosok ayah menjadi penjaganya. Muna, andai kita nanti dikaruniai anak perempuan cantik, aku akan menjaganya tanpa ada yang boleh melukainya. Lihat saja nanti. Akan kujaga ketat putriku itu.
Rez tempur aja belum udah mikir anak.
"Rez mau minum?" tanya Muna setelah keluar dari kamar, Muna sudah mengganti pakaiannya menjadi santai. Aku terlalu banyak melamun rupanya.
"Yang segar, aku melihat ice tea di sana." aku mununjuk arah dapur. Dia hanya mengangguk dan menyiapkan minuman.
"Kamu beritahu mama di Surabaya atau aku yang menghubunginya?" teriaku sambil tetap merebahkan diri di sofa.
"Nanti aku saja. Rasanya aneh kalau kamu tiba-tiba yang mengabari mama, itukan kewajibanku sebagai anak. Mama pasti akan marah dan kecewa. Tapi kalau kamu mau sih nggak apa-apa. Asal setelah aku. Eh jangan deh, putri yang baik adalah dia yang menyanyangi orangtuanya. Mama segalanya buatku jadi aku wajib yang mengucap pertama bukan kamu.."
"Intinya kamu yang akan memberitahu mama." sahutku cepat.
Ini akan kujalani seumur hidup sepertinya. Muna dengan jawaban panjangnya. Ah tapi kenapa aku tidak masalah yah?
"Lalu kamu kapan mau memberitahukan kakak dan papa kamu?"
"Segera, kakakku sedang sibuk mengurusi kepindahannya ke Australia." Muna berdiri di depanku sambil membawa gelas berisi ice tea. Aku duduk dan mengambil gelas itu. Meminumnya dengan perasaan lega dan nikmat. Setelah meletakkan gelas aku menarik Muna duduk di sofa, lalu segera aku merebahkan diri dipangkuan Muna sebagai bantalan. Mataku menatap ke arah wajah Muna.
"Ini yang mau aku lakukan, membebanimu. Aku butuh memejamkan mata di dekat kamu sejenak saja." wajah Muna merona. Aku tahu ia ingin mengucapkan sesuatu. Tanganku segera menutup mulutnya.
"Ssssst... Nanti saja berkicau panjangnya." aku menarik tangannya lalu kuletakkan di kepalaku. Muna faham akan maksudku. Ia memijat dan membelai lembut rambut dan kepalaku. Kubayangkan setiap harinya nanti aku akan seperti ini. Kegiatan sederhana dan tapi penuh makna.
Aku memejamkan mata sambil terus menyunggingkan senyum, tapi Muna kenapa hanya diam saja yah? Mataku memberikan celah sedikit. Dan benar saja gadisku itu sedang cemberut. Mengerucutkan bibirnya sambil menatapku.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
"Kamu suruh aku diam. Jadi dari tadi aku tahan setiap kata yang ingin aku keluarkan. Rasanya seperti sesak di lidah. Membludak aneka ucapan yang tetap kupaksa untuk tidak keluar..."
"Oke-oke sekarang berkicaulah sementara aku mencoba tidur sejenak yah?" tawarku sambil memiringkan tubuh, mencari posisi yang nyaman. Wajahku tepat berada di depan perut Muna. Aku menelusupkan wajahku di sana. Tangan kiriku memeluk tubuh Muna.
"Ayo berkicau indah..!" ucapku sambil memejamkan mata. Muna mengusap kepalaku dan perlahan hembusan nafasnya begitu dekat denganku.
Chup. Dia mengecup dahi kemudian pipiku. "Terimakasih Rez sudah mau mencintai gadis berisik seperti aku." aku menahan wajahnya.
"Terimakasih juga sudah mau mencintai pria brengsek yang hobby bermain dengan berbagai wanita." dia tertawa.
"Tapi kamu benar sudah berhenti?"
"Aku sudah memiliki bonus terindah, tidak ada lagi bonus palsu." kutarik wajahnya dan kulumat lembut bibir manisnya. Aku terus saja menyecap penuh cinta bibir dengan aneka kosakata yang biasa digunakan Muna.
"Nngg.." Muna melepas ciuman kami. "Kamu serius tidak akan menduakan aku? Apalagi berlaku kas.." aku langsung menggeleng.
Kasar? Yang benar saja Muna. Pantang bagiku bertindak kasar kepada semua kaum wanita. Kalian makhluk indah dan sudah sewajarnya diperlakukan lembut.
"Janjiku, tidak akan ada kekerasan Muna. Kecuali sesuatu yang bisa mengeras tiba-tiba. Aku jamin kalau kasar yang itu kamu menyukainya." aku mengedipkan mataku. Muna mencubit pipiku.
Aku tertawa, Muna memalingkan wajahnya. Mungkinkah dia malu. Bisa juga gadisku ini merona malu.
Getara ponsel di saku celana membuat acara manis ini terganggu. Aku merogoh saku celana, panggilan dari anak buahku? Tadi aku menyuruhnya mengikuti Pak Chandra. Kulirik Muna sekilas, mungkin dia tidak akan curiga.
"Iya hallo?"
....
"Oke, temani dan urus dia. Aku akan mengirimkan dana secepatnya. Pastikan pengobatan yang layak untuknya!" aku mematikan ponsel. Muna menatapku.
Haruskah aku berkata jujur? Tapi aku khawatir akan mempengaruhi senyum indahnya saat ini. Biar bagaimanapun Muna anaknya, jadi dilema.
"Siapa yang telephone?" tanyanya tetap mengusap kepalaku. Aku tahu ia penasaran.
"Anak buahku."
"Sakit?"
"Orangtuanya."
"Kamu membiayainya?"
"Iya."
"Dia sakit apa?"
"Akibat masalalu yang kelam."
"Parah?"
"Mendekati stadium akhir." Muna memalingkan wajahnya. Menggigit bibirnya sendiri. Deru nafasnya tak beraturan.
"Aku mau istirahat di kamar." Muna pelan berdiri membuat aku terduduk.
"Mun aku mau pergi ke luar boleh? Tidak sampai larut malam." tanyaku pelan saat ia berjalan ke arah kamarnya. Muna langsung membalikkan badan dengan wajah tak rela.
"Jangan, kamu nggak boleh menemui pria brengsek itu. Itu hukuman buatnya. Dia membuat mama menderita Rezky!" isaknya lagi. Aku mendekatinya lalu merengkuh dalam pelukan. Rupanya dia tahu siapa yang aku maksud.
"Muna dengar setiap orang berhak mendapat kata maaf. Tanpa kamu balas dendam dia sudah mendapat ganjaran." aku menangkup wajahnya meyakinkan dirinya.
"Kamu janji mau menikah denganku? Menciptakan kehidupan baru?" dia mengangguk. Buliran air matanya keluar dengan mudah.
"Mau kita punya anak?" Muna mengangguk.
"Sayang sama mereka kelak?"
"Pasti Rez. Dia darah dagingku." jawaban yang membuat aku tersenyum.
"Apa yang kamu rasakan jika anak kita nanti meningggalkan kita, tidak perduli jika aku dalam keadaan sekarat?" Muna memelukku erat. Ini titik terlemah Muna selama aku mengenalnya. Muna begitu mudah menangis. Aku harus menemaninya.
"Aku takut..." lirihnya. "Aku takut dia akan bertindak kasar denganku Rezky."
"Untuk melangkah jauh saja dia sudah tidak kuat. Apalagi berbuat jahat kepadamu. Dia sudah tidak mengharapkan kata maaf dari kalian. Karena dia sadar akan kesalahannya." Muna diam melepaskan pelukan.
Tidak, aku harus mampu meyakinkan Muna. Aku pria dan kewajibanku membimbing Muna untuk mau mempunyai kata maaf. Hei ini orangtuanya, sebejat apapun itu tetap darah Muna mengalir dari darahnya.
"Setidaknya temani dia saat menghembuskan nafas terakhirnya, sebagai mana dia menunggu kamu bernafas ke dunia." aku mengecup kepalanya. "Tunjukkan kamu putrinya yang terbaik." Muna diam, ia mundur dari rengkuhanku.
"Maaf." Muna menggeleng. Dia berjalan ke arah kamarnya.
Sabar Rez, setidaknya dia tidak meronta atau berbalik marah karena aku membujuknya.
"Janji jangan pergi lagi dari aku Muna. Aku hanya sebentar saja." kataku sekali lagi. Muna diam.
"Muna.." panggilku lagi.
"Aku mandi dulu, tunggu aku." ucapnya sebelum ia hilang masuk ke dalam kamar.
Apa tadi dia bilang?
TBC..
Kamis, 24 Maret 2016
-mounalizza-
Sisa 2 part lagi. Ini awalnya cuma niat 10 part. Minim konflik ko jd panjang yah hahahaha...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top