Kisah 2 :: Hari Pertama Sekolah

Hari pertama sekolah dimulai. Abidzar tidak menyiapkan apa-apa. Ia bahkan sudah hafal bagaimana dan apa saja yang mungkin terjadi di hari pertamanya sekolah. Sejak masuk tingkat SMA Abidzar sudah pindah dua kali. Ini kali ketiganya berpindah tempat. Sekolah ini, sekolah biasa. Bukan sekolah elit yang bayarannya selangit seperti dua sekolah sebelumnya. Abidzar sih, senang saja. Ia sudah mencari tahu beberapa hal perbedaan antara sekolah lamanya dan sekolahnya yang sekarang.

Pertama, pasti fasilitas. Sudah jelas, tidak perlu dibandingkan dan tidak perlu merasa kecewa, Abi sudah paham betul tentang hal itu. Kedua isi siswanya, dengan berbagai macam karakter yang mungkin bisa jadi ada di dalam satu lingkungan. Maksud Abi, sekolahnya yang mahal itu lebih sedikit keberagaman karakter siswanya. Ya, kurang lebih isi hati mereka adalah ambisi, saling ingin menjatuhkan, obsesi dengan nilai-nilai tinggi dan prestasi. Kalau di sekolahnya yang baru, Abi bisa tebak kalau isinya biasa saja. Bukan maksud Abi merendahkan, tapi memang kenyataannya seperti itu, bukan?

Ia justru lebih tertarik di sekolahnya yang sekarang. Seperti apa tantangannya, bagaimana isi karakter-karakter siswa di dalamnya. Abi jadi ingin tahu lebih banyak. Ia ingin mengeksplor banyaknya karakter manusia sekarang. Walaupun mengerti kali ini mungkin akan jauh lebih susah, Abi tetap merasa excited.

Pagi ini, Abi berangkat sekolah sendiri. Ia mengendarai motor yang baru beberapa Minggu yang lalu bundanya beli. Motor matic biasa, cuma keluaran terbaru saja. Sepertinya Abidzar lebih suka kehidupannya yang sekarang, motor sederhana dan penampilan yang sederhana. Untung saja sejak tahun kemarin, ia sudah punya SIM. Bukan SIM nembak tentu saja, Abi bahkan lebih dari lima kali ke kantor polisi untuk tes SIM hanya beberapa Minggu setelah mendapatkan KTP. Sekarang usianya sudah 18 tahun, mungkin sudah cukup dewasa dibanding teman-teman baru seangkatannya sekarang.

Sembari bersenandung, Abi menikmati jalanan pagi hari. Sekolahnya masuk jam setengah tujuh pagi. Namun, karena hari pertama Abidzar datang setengah jam lebih lambat, itupun karena permintaan kepala sekolahnya pada sang bunda. Katanya biar saat Abi datang, suasana kelas sudah kondusif. Untung saja jarak antara rumah dan sekolahnya tidak terlalu jauh, hanya menempuh waktu 15 menit, lengkap dengan kemacetannya.

Lima belas menit kemudian, Abidzar sampai. Benar dugaannya. Sekolah ini tidak seluas sekolahnya yang dulu. Parkiran motornya saja sudah penuh dengan berbagai macam jenis motor. Abi kemudian berjalan menuju kantor kepala sekolah yang sudah ditunjukkan oleh Pak Satpam tadi. Sembari berjalan, ia melihat seluk beluk sekolah barunya dengan seksama. Bentuk sekolah ini seperti letter U dengan lima lantai. Katanya, bangunan paling atas khusus kegiatan ekstra. Sepertinya sekolah ini unggul di ekstrakurikuler, kalau boleh Abi tebak.

"Nak, Abidzar, kan?" Abi disambut dengan sosok laki-laki paruh baya berkumis tipis dengan kopiyah di kepala. Di name tag seragamnya tertulis jelas kalau beliau adalah sang kepala sekolah.

"Iya, Pak. Saya Abidzar, biasa dipanggil Abi. Mohon bantuannya, Pak, selama saya bersekolah di sini."

Padahal sekolah lamanya elit, kenapa tiba-tiba pindah ke sekolah ini?

Itu isi hati sang kepala sekolah tepat ketika Abidzar menatap matanya. Abi hanya tersenyum mendengar isi hati itu. Lalu setelahnya ia digiring ke dalam kelas. Isi tulisannya sih, XI F. Abi juga dijelaskan sedikit oleh sang kepala sekolah, kalau sekolah mereka sudah menggunakan kurikulum terbaru, jadi penjurusan harus bergantung pada minat dan bakat siswa. Sistemnya seperti mengambil SKS pada mahasiswa. Abidzar dipersilahkan memilih lima mata pelajaran peminatannya nanti siang.

Abi mengangguk saja. Ia sudah terbiasa dengan sistem ini di kedua sekolah lamanya. Jelas peminatan dan bakatnya lebih menonjol ke arah pengetahuan sosial, jadi kemungkinan besar Abi akan mengambil peminatan itu, seperti sebelumnya. Saat ini kembali fokus pada Abi yang sudah berada di depan kelas. Mempersiapkan perkenalan dirinya di depan kelas. Matanya jelas tidak mengarah pada mereka, ia menatap bagian belakang kelas yang telah penuh diisi oleh prestasi kelas ini selama sebulan lamanya. Abi sedang tidak ingin mendengarkan isi hati manusia-manusia itu secara bersamaan, kepalanya jadi berisik.

"Halo, teman-teman semua. Perkenalkan saya Abidzar, panggil Abi saja, mohon bantuan ke depannya." Selesai memperkenalkan diri, kelas jadi ramai. Beberapa di antara mereka malah menggoda Abi.

"Abi, lagi nyari ummi nggak? Umi Medina siap menyandingkan diri, nih." Celetukan itu Abi dengar satu detik setelah ia selesai memperkenalkan diri.

Ia tidak tahu siapa yang namanya Umi Medina, yang jelas Abi yakin, kalau gadis itu merasa sangat risih sekarang.

Setelah perkenalan singkat, basa-basi dengan wali kelasnya sebentar, Abi langsung mendapatkan tempat duduk baru, di belakang. Kelas ini duduknya satu per satu. Hampir sama seperti sekolah lamanya.

"Hoii, Bro! Gue Niko, salam kenal." Salah seorang siswa yang duduk tepat di sampingnya mengulurkan tangan pada Abi.

Tanpa sengaja Abi menatap matanya.

Saingan baru, nih!

Kan, benar kata Abi. Ia pasti akan menemukan banyak sekali karakter manusia di sini. Bukannya kesal, Abi malah semakin tertarik mengulik satu per satu karakter siswa di sini, sebelum melaksanakan misinya.

"Salam kenal juga, Gue Abi. Mohon bantuan ke depannya."

"Kalau ada apa-apa dateng aja ke gue, gue biasa di belakang kantin." Abi mengangguk saja. Si Niko ini bukan tipenya untuk berteman, alias kurang cocok menjadi temannya.

"Kalau butuh bantuan bilang aja, Bro. Gue Nabil." Samping kanan Abi juga memperkenalkan diri.

Saat menatap matanya, Abi tidak mendengar sesuatu yang membuatnya tersudut. Anak ini semacam penasaran dengan Abi dan tidak menganggapnya seperti suatu ancaman, macam Niko tadi.

Anak baru pasti butuh waktu buat adaptasi. Itu yang hatinya katakan tepat ketika Abi menatapnya.

"Pasti, Bro. Makasih, ya."

"Gue ketua Tim Basket, kalau mau gabung tinggal kontak gue aja."

Wah, belum apa-apa Abidzar sudah mendapatkan teman sekelas tim basket. Tim yang menurutnya keren sejak dulu adalah basket. Sayang sekali, karena cidera pada bahunya waktu kecil, ia tidak bisa bermain basket lama. Kalau sekedar main biasa sih, Abi bisa. Tapi kalau bergabung, ia tidak yakin.

"Siap, Bro."

***

Waktu pun berlalu, tiba-tiba waktu menunjukkan jam istirahat. Abidzar yang memang berniat menggunakan waktu ini untuk melihat-lihat seluruh isi sekolah, tiba-tiba dijegat oleh salah seorang teman sekelasnya. Tempat duduknya agak jauh dari tempat duduk Abi, makanya mungkin saat itu ia tidak menyapa Abi terlebih dahulu.

"Mau keliling sekolah? Gue temenin, ayo!" ajaknya riang.

Sudah tiga orang yang mengajaknya berkenalan duluan. Kalau Abi tebak, kemungkinan besar isi kelas ini hampir sama. Maksudnya ini dalam konteks siswa laki-laki, karena para siswi sudah mengerubunginya tepat ketika bel istirahat berbunyi. Butuh waktu sepuluh menit untuk mensterilkan keberadaan mereka di bangkunya.

"Maaf, ya. Temen-temen cewek emang gitu, matanya selalu berbinar kalau lihat cowok cakep dikit aja. Katanya Lo kayak idol kalau dilihat dari deket."

Benarkah? Di sekolahnya yang lama, interaksi antara cowok dan cewek sangatlah terbatas. Mereka bahkan saling bersaing untuk mendapatkan posisi pertama. Jangankan untuk akrab, mereka lebih terlihat saling bermusuhan satu sama lain. Apa karena itu ibunya menyuruh Abi untuk melaksanakan misi di sini? Karena lebih mudah dilakukan?

"Oh, iya. Gue belum perkenalan. Nama gue Ammar. Sekarang menjabat jadi ketua ekskul musik. Mungkin lo udah ngira, kalau di sekolah ini prestasi non akademik jauh lebih unggul. Makanya ekstrakurikulernya banyak, dan mereka akhirnya dibuatkan gedung baru dilantai paling atas, khusus buat ekstra. Nanti kita ke sana. Gue ajak lo keliling di bawah dulu."

Ah, sayang sekali. Posisi mereka berjalan sejajar seperti ini membuat Abi tidak bisa menatap matanya. Ia ingin tahu apa yang ada di hati Ammar sekarang.


06 Sep 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top