Old Memories (3)

"Gigit, dan hisap habis darahku."

Iris emas itu terbuka dengan sempurna, keringat dingin membanjiri tubuhnya.

Ia beranjak bangun, melihat di mana dirinya dengan waspada.

Tidak ada bangunan yang hancur.

Tidak ada bercak darah dan isak tangis.

Tidak ada tumpukan mayat.

Tempat di mana ia terbangun masih sama seperti saat ia tertidur.

Iris emas itu bernafas lega, ia hanya bermimpi.

"Mmmngh... Kou..." Erangan kecil itu membuatnya menoleh ke samping.

Di mana seorang pemuda tengah tertidur pulas, meremas selimut karena kedinginan.

"Ji..." Bokuto kembali membaringkan dirinya, mendekap Akaashi.

Memeluk erat dan menyesap aroma sabun dari puncak kepala Akaashi.

Aroma yang membuat dirinya merasa tenang, seperti...

"Ughh--" Bokuto menepis pemikirannya sendiri.

Mana mungkin dia akan membandingkan Akaashi dengan orang itu.

Masa lalu, hanyalah masa lalu.

.
.
.

Di abad ke-17 di mana Era Renaissance masih berjaya.

Renaissance berasal dari bahasa Perancis yang memiliki arti kelahiran kembali.

Periode yang menandakan kelahiran kembali peradaban dan kebudayaan Eropa,  di mana adanya anggapan bahwa kepentingan duniawi hanyalah perihal yang sia-sia.

Abad di mana para makhluk mitologi dengan elegan berdiri di antara manusia, bahkan diperbudak dan dijadikan sebagai sumber penghasilan.

Perdagangan manusia sudah bukan hal yang  aneh.

"Bagaimana, tuan? Dia cantik bukan?"

Seorang anak dengan rambut hitam legam yang kering, kulit pucat, dan mata zamrud dengan bulu mata lentik.

"Sayangnya dia tidak mengerti apa yang kita ucapkan, dia bodoh--"

"Dari mana kau mendapatkannya?"

Pedagang itu terkekeh dengan udara beraroma alkohol.

"Aku langsung mendapatkannya dari pedesaan kumuh para mata sipit berkulit bening, mereka sangat cantik!"

"Maksudmu?"

Pedagang itu mengedikkan bahunya.

"Entahlah tuan, aku kurang tahu, jadi anda ingin membelinya atau tidak?"

Bangsawan dengan setelan pakaian indah itu mendelik.

"Kau memaksaku?"

Nyali pedagang itu ciut, "T-tidak tuan! A-aku--"

Tluk. Kepala pedagang itu terjatuh di atas tanah.

Iris zamrud itu hanya diam menatap, kejadian itu berlalu begitu cepat.

Satu kedipan mata, pedagang kotor yang menculiknya sudah terpenggal dua.

"Kamu bisa bangun?"

Suara asing itu tiba-tiba muncul dalam benak anak itu, ia menoleh ke samping tapi hanya ada mereka berdua di sini.

"Aku sedang bicara denganmu."

Anak itu kebingungan, ia takut. Kepalanya menggeleng, beringsut mundur dengan tubuh gemetar ketakutan.

"Ck, bocah."

"Aaaah-- uuuhhh--"

Bangsawan itu semakin mendekat, dan anak itu semakin mundur.

"Jangan bergerak."

Anak itu terdiam, seakan ada sesuatu yang memeganginya.

Membuat dirinya diam membeku.

"Apa kamu ingin mati?"

Bangsawan itu menarik borgol yang mengikat, meremasnya dengan kuat.

Trak. Crak. Menghancurkan besi karatan yang mengotori tubuh anak itu.

Anak itu sama sekali tidak menjawab.

Selain memikirkan bagaimana suara pria ini tiba-tiba muncul, ia memikirkan apa yang ia dengar.

"Apa kamu ingin mati?"

Anak itu menengadah, air matanya menetes.

"Aaa... Aaaaaaa..."

"Aku ingin mati."

"Aaaagh--aaaa..."

"Aku ingin mati."

Bangsawan itu mengusap air mata yang mengalir.

"Jika kamu ingin mati, ikutlah denganku."

Uluran tangan, dan anak itu menyambutnya.

"Hey."

Anak itu berjengit, menatap iris emas dengan sklera hitam di atasnya.

"Uuuu..."

Perlahan kesadaran anak itu menghilang, ia tertidur.

.
.
.

Anak itu tidak memiliki nama, dan kini ia menjadi budak oleh seorang Bangsawan yang namanya tidak tercatat dalam sejarah.

Mengingat Bangsawan itu seorang Vampir, maka dunia lebih memilih untuk menghapus keberadaannya.

Namun cerita mengenai budak cantik dari negeri yang jauh beredar di masa itu, cerita mengatakan dia adalah budak yang dicintai.

Selama menjadi budak, anak itu dimandikan, diberikan makanan, tempat tinggal yang layak, dan pendidikan mengenai pengetahuan umum.

Bangsawan itu seakan menemukan sebuah berlian, anak itu tumbuh menjadi gadis yang anggun dan cantik.

Sayangnya gadis itu tidak bisa bicara dengan fasih meski mengerti apa yang orang lain katakan.

Konon, hanya si Bangsawan yang dilupakan oleh sejarah dapat memahami gadis tersebut.
.
.
.

"Apa aku boleh memanggilmu Bokuto-san?"

Bangsawan itu mengernyit.

"Kenapa kamu ingin memanggil dengan nama lain?"

Anak itu memanyunkan bibirnya, lalu tersenyum.

"Tolong berubahlah menjadi burung hantu."

Meski masih kebingungan, Bangsawan Vampir itu mengikuti permintaan gadis kesayangannya.

Poff!! Bangsawan itu berubah menjadi burung hantu dengan jenis Great Horned Owl.

Bangsawan itu mengepakkan sayapnya, duduk di atas pangkuan gadis itu.

"Bokuto Koutarou."

Nama itu diartikan sebagai Thick Owl.

"Aku ingin memanggilmu dengan bahasa dari kampung halamanku, bolehkah?"

Melihat gadis itu terlihat sangat bahagia, Bangsawan itu tidak mempermasalahkan.

"Baiklah, kamu boleh memanggilku dengan nama itu."

Paruh Bangsawan itu dielus, lalu dikecup. Senyum gadis itu melebar.

"Aku bahagia, Kou."

.
.
.

Hari di mana sejarah mencoba menghapus keberadaan si Bangsawan tiba.

Manusia serakah yang menginginkan harta yang berada di kastil si Bangsawan mulai menghasut warga yang lain, bahwa si Bangsawan adalah pembunuh masal yang selalu meneror malam dengan penemuan mayat kering.

Si Bangsawan mengetahui bahwa dirinya diincar, ia mencoba kabur membawa gadis kesayangannya.

Tapi gadis itu menolak, ia berpikir bahwa pemberontak ini adalah cara agar ia bisa mati.

Ketika massa memasuki kastil kokoh milik si Bangsawan, membantai para Vampir bawahan si Bangsawan dengan pasak kayu dan air suci.

Bangsawan itu mencoba menyelamatkan gadis itu, membawa gadis itu ke atas puncak menara, tempat paling aman untuk saat ini dari amukan massa.

"Kou, kamu ingat apa yang kamu katakan saat mengajakku pergi?

Dengan surai hitam yang tergerai, gadis itu tersenyum hangat.

"Aku ingin mati."

Andai si Bangsawan tidak menawarkan kematian, mungkin gadis itu tidak akan berada di sisinya.

BRAKKK!!! Pintu didobrak oleh gerombolan warga yang marah.

"Vampir sialan itu di sini!"

Ratusan pasak kayu melayang ke arah si Vampir.

"Kou--"

Gadis itu berlari, membentangkan tangannya.

JLEB! Sebuah pasak kayu menembus tubuh gadis itu, tepat di depan si Bangsawan.

Melihat malah si Budak yang kena, para warga terdiam.

Hawa yang tadinya terasa panas tiba-tiba menjadi dingin mencekam.

"Hiiiiiii!!!" Warga memekik takut saat melihat si Bangsawan.

Ekspresi Bangsawan itu berubah, alisnya menukik tajam.

Sklera putih menjadi hitam, iris emas itu meruncing.

Gigi-giginya menjadi tajam dan bergemeretak, suaranya menggeram dengan nafas berat.

Dia... Sudah tidak terlihat seperti manusia.

Tap. Tap. Tap.

Bangsawan itu berjalan mendekati si gadis yang terbaring, mendekap tubuh kecil yang perlahan mendingin.

Wajah sendu itu menatap wajah cantik yang tersenyum puas.

Untuk pertama kalinya, Bangsawan itu menangis.

Ketika air matanya menetes, bibirnya bergerak.

"Habisi mereka."

Para vampir yang tadinya sudah tercabik itu bergerak bangun, luka mereka beregenerasi.

Malam itu, si Bangsawan menemani detik terakhir gadis yang ia selamatkan.

Diiringi jerit pilu warga yang mengamuk tengah dibantai oleh para Vampir.

"Katakan padaku, apakah aku tidak bisa membuatmu bahagia?"

Gadis itu hanya tersenyum.

"Apakah senyummu selama ini palsu?"

Gadis itu tetap tersenyum.

"Hey... Katakan sesuatu--"

"Aku... Hanya ingin pulang. Ayah..."

Bangsawan itu terhenyak, selama ini ia tidak pernah sekalipun menanyakan keinginan gadis ini.

Selalu meminta gadis itu agar selalu berada di sisinya.

Bukankah sikap Bangsawan itu sama bejatnya dengan penculik yang memisahkan dirinya dari keluarganya?

Meski secara seksual mereka tidak pernah bersentuhan, Bangsawan ini dengan tulus mencintai gadis itu.

Tapi bagaimana dengan gadis itu? Apa yang ia rasakan?

Sangkar burung yang baru.

.
.
.

Keesokan harinya, ratusan mayat ditemukan dalam kastil si Bangsawan.

Mayat itu dijejer rapi di atas karpet mahal yang hanya dimiliki beberapa Bangsawan kaya.

Mayat-mayat itu terdiri dari warga dan pelayan si Bangsawan.

Tubuh mereka mengering seakan darah mereka disedot habis.

Sekujur tubuh mereka juga dipenuhi jahitan, seakan ada seseorang yang memperbaiki kondisi jasad yang hancur.

Kondisi mayat para pelayan terlihat sama mengerikan dengan mayat para warga.

Leher mereka digorok hingga putus, dan tulang leher mereka diganti dengan pasak kayu yang menembus hingga ke jantung.

Kondisi tubuh mereka juga lebih pucat, seakan tidak pernah ada darah di dalam sana.

Putih bersih tanpa adanya hemoglobin.

Pembantaian di Kastil Bangsawan yang dilupakan oleh sejarah ini dianggap sebagai pembunuhan masal paling brutal juga beretika di Eropa.

.
.
.

Beberapa hari setelah kejadian itu.

Warga di Negeri Sakura digemparkan dengan penemuan mayat seorang gadis dengan balutan gaun pengantin.

Mayat gadis itu dibaringkan dalam sebuah kotak kaca, dikelilingi bunga-bunga warna warni yang asalnya tidak diketahui.

Gadis yang dulunya diculik dari dekapan orang tuanya... Kini telah pulang.

*****

"Uhh~" Akaashi mengerang, pinggangnya sakit karena Bokuto mengeratkan dekapannya.

Akaashi terbangun dari tidurnya.

"Kou?" Akaashi mendongak, mendapati Bokuto terisak dalam tidurnya.

Bibirnya mengerucut, air mata mengalir deras dari pelupuk mata yang terpejam.

"Apa dia mimpi buruk lagi?"

Akaashi hapal kebiasaan Bokuto ketika tidur, dekapan yang erat sambil menangis menandakan si Vampir tengah bermimpi buruk dalam tidurnya.

Akaashi mengusap wajah Bokuto, membersihkan air mata yang membasai bantal.

"Shhh, Kou, tenanglah."

Akaashi mengecup bibir Bokuto, ia merapatkan tubuhnya.

Mendengarkan detak jantung si Vampir yang berdenyut lemah.

Mungkin kebanyakan dari kalian berpikir bahwa organ Vampir mati, pada kenyataannya tidak.

Mereka berfungsi dengan baik.

"Kou..."

Tangis Bokuto berhenti, dekapannya juga mengendur.

Akaashi tersenyum lega, Bokuto sudah merasa lebih baik.

"Mimpi indah, Kou." Akaashi ikut memejamkan matanya.

.
.
.

Iris zamrud itu berair, kedua tangannya menutup mulutnya sendiri, menahan suaranya agar tidak keluar.

"Mmmngh~ bukankah tadi ada anak kecil di sini?"

Seru seorang wanita dengan lidah bercabang, menjilat bibir merahnya.

"Hehe aku bisa mencium aromanya..."

Sahut seorang wanita sambil mengerjapkan  mata berselaputnya.

Anak itu gemetar takut, bersembunyi di bawah meja.

Ia baru saja menyaksikan fenomena aneh yang mengerikan.

Beberapa manusia berekor ikan muncul dari gelapnya samudra, menyanyi dengan alunan suara yang indah.

Menarik manusia untuk ketepian kapal dan membawa mereka ke dasar lautan.

Setelah puas, makhluk itu merangkak naik dengan tangan berselaput.

Ekor ikan mereka berubah menjadi sepasang kaki ketika tidak menyentuh air lagi.

Mereka berjalan di atas kapal dan membantai orang-orang yang tidak terkena rayuan mereka.

Harusnya ini hanyalah malam biasa untuk memancing udang, nyata ini menjadi malam penuh teror.

Anak itu menyaksikan semuanya.

Jeritan pilu, cipratan darah, dan cekikian disela kunyahan.

"Ohh, ketemu~♡" Anak itu ditemukan.

Sebelum tangan berlendir itu menggapai tubuhnya, anak itu menodongkan sebuah tombak ikan.

DZAB!!! Tombak menembus tubuh wanita itu.

Cairan amis berwarna hijau menciprat di udara.

Iris zamrud itu melebar, tanpa berkedip melihat monster itu meraung kesakitan.

.
.
.

"Apa dia masih tidak mau bicara?"

Dua orang remaja dengan telinga dan ekor rubah itu menunduk lesu.

"Kita-san, kami sudah berusaha menghiburnya, tapi anak itu..."

Anak itu hanya duduk terdiam, termenung, menatap mereka tanpa bicara.

Kita menghela nafas, sudah sebulan anak itu  berada di asosiasi miliknya dan masih belum ada perubahan.

Terikat dalam trauma.

Meski begitu, Kita yakin anak ini masih memiliki ketertarikan akan suatu hal

Tidak sepenuhnya mati rasa.

Anak itu mau makan makanan yang merek berikan, bahkan sesekali minta ditemani ke toilet.

Anak itu juga sudah tidak menunjukkan ketakutan lagi pada makhluk demi-human.

Satu hal yang tidak ia lakukan hanyalah bicara.

"Keiji-kun." Anak itu menoleh, tapi hanya itu .

"Kamu ingin mendengar sebuah cerita?"

Anak itu mengerjap, lalu mengangguk. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

Kita mengambil duduk di dekat Akaashi kecil.

Si kembar juga ikut duduk di samping Kita, sambil memegangi buku bergambar dan spidol.

"Dulu ada seorang Vampir yang menjadi Bangsawan..."

Kita mulai bercerita dan si Kembar Miya menggambarkan.

"Dia merupakan orang yang dermawan dan selalu membantu para warga, tak segan memberikan hartanya tanpa meminta kembalian."

Osamu memegangi bukunya, dan Atsumu menggambarkan seorang pria.

"Dia bahkan membeli para budak yang diperjual-belikan untuk dibebaskan, tak jarang ia memperkerjakan mereka."

Atsumu mengganbarkan ilustrasi si Bangsawan membebaskan para budak.

"Hingga ia menemukan anak dari negeri yang jauh, dia memiliki surai hitam dan iris zamrud."

Akaashi terhenyak, menyentuh wajahnya sendiri.

"Benar, seperti Keiji-kun." Celetuk Osamu dan menunjuk gambar seorang anak yang dibuat saudaranya.

"Hu'um, menggemaskan." Timpal Atsumu.

Bibir Akaashi terbuka, dan ketiga orang itu melotot.

Akaashi mencoba bicara tapi tidak ada suara yang keluar, ia kembali mengatupkan bibir sambil meremas jari jemarinya dengan malu.

Meski kecewa, mereka mencoba bersikap biasa.

"Lalu si Bangsawan menyelamatkan gadis itu dengan iming-iming diantarkan pada kematian."

Akaashi memiringkan kepalanya, bingung.

"Ohh aku lupa, karena terpisah dari keluarganya, gadis itu menginginkan kematian."

Akaashi memucat.

Ia teringat lagi malam di mana keluarganya dibantai oleh Siren, saat itu... Akaashi hanya ingin mati.

Tentu Akaashi... Paham perasaan gadis itu.

"Tapi si Bangsawan malah memberikan cinta dan kasih sayang pada gadis itu hingga gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik."

Gadis itu digambarkan terjebak kerangkeng dalam genggaman si Bangsawan.

"Cinta yang diberikan, dianggap sebagai rantai baru untuk mengikat."

Akaashi terus menatap ilustrasi yang dibuat.

"Di suatu malam, kediaman si Bangsawan diserbu. Kekacauan itu membuat si Gadis terluka."

Atsumu menggambarkan gadis itu berbaring dengan bersimbah cairan ungu--kalau merah takutnya Akaashi teringat pembantaian orang tuanya lagi, kalah hijau darah Siren.

"Bangsawan itu membiarkan gadis yang ia cintai mati."

Bangsawan itu memeluk jasad si gadis, dengan air mata menetes dari ekspresi sendu.

"Ia mencintai gadis itu, dan membiarkan gadis itu tetap menjadi manusia hingga akhir hayatnya."

Gadis itu digambarkan memakai pakaian putih bersih layaknya orang suci.

"Ada yang mengatakan kalau si Bangsawan mengirim mayat gadis itu ke negera asalnya."

Kali ini Osamu menunjukkan sebuah foto kuil dari tab nya.

"Nanti aku ajak kamu berkunjung ya? Tidak jauh dari Gunung Fuji ada pemakaman yang dianggap sakral oleh warga setempat, itu adalah pemakaman si Gadis dalam cerita."

Akaashi mengangguk-angguk mengiyakan.

"Lalu bagaimana dengan si Vampir? Dia hidup berkelana dan membuang namanya, karena gadis itu telah memberinya nama baru."

Kita tersenyum melihat Akaashi yang antusias mendengarkan, riak wajahnya terlihat lebih hidup.

"Namanya adalah..."

.
.
.

"Keiji-kun mulai menggambar?"

Atsumu mengangguk, "Semenjak Kita-san bercerita, Keiji-kun sudah mulai melakukan kegiatan lain selain duduk termenung."

"Dia bahkan meminta diajari Tsumu." Tambah Osamu.

Ketiga mengintip ke dalam ruangan dengan dinding Fusuma khas kediaman tradisional di Jepang.

Akaashi terlihat antusia untuk menggambar rupa si Vampir Bangsawan.

.
.
.

"Apa? Keiji-kun hilang?"

Si kembar Miya mengangguk takut, menunjuk jendela kaca yang pecah.

Kita memperhatikan pecahan kaca, ada mainan yang dibungkus dalam baju.

Memukul dengan kombinasi benda ini dapat meminimalisir suara keras.

"Bukan di luar ada yang berjaga?"

Atsumu menggaruk pipinya yang tidak gatal, menunjuk seseorang yang tengah menguap lebar.

Orang dengan rambut model purin itu tengah menggendong seorang anak kecil dengan surai orange.

"Kenma-kun, apa kamu melihat Keiji saat berjaga?"

"Aku hanya melihat Shoyo."

Kita masih tersenyum.

"Bukankah di bagian barat kamu berjaga dengan Kuroo-san?"

"Kuroo? Dari tadi dia bermain kucing-kucingan dengan si gagak kuning."

Kita masih tersenyum, dengan perempatan imajiner yang mencuat.

Si kembar meneguk ludah takut, Kita terlihat menyeramkan.

.
.
.

Setelah mengendap-endap keluar, Akaashi berada di luar bangunan asosiasi yang bernuansa tradisional Jepang.

Berbekal rasa ingin tahunya, Akaashi berjalan menyusuri jalanan kota.

Berharap orang yang ingin temui berada di sini negara di mana ia berada.

Hingga langkah kecil itu membawanya bertemu seorang gelandangan yang tengah duduk bersandar di bawah terik matahari.

Tanpa memperdulikan makanan ataupun uang yang diberikan orang-orang, gelandangan itu hanya duduk diam.

Seakan telah mati.

Akaashi menarik nafas, menenangkan dirinya sendiri.

Memegangi lehernya, mencoba membuka mulut.

"AaaAAaaa...." Mengetes suaranya.

Dirasa cukup, Akaashi mendekati gelandangan itu.

"Bokuto-san?"

Tiada respon dari gelandangan itu selain helaan nafas yang panjang.

"Anda Bokuto-san kan?"

Iris gelap itu mendelik, gelandangan itu merespon Akaashi.

Akaashi tidak bisa menahan rasa bahagianya, ia menemukan si Vampir dalam cerita.

Untuk sekian lama, Akaashi tersenyum.

*****

Author Note :

Kalau ini jadi book sendiri bakal panjang banget, dari pada nambahin hutang aku kompres ide semaksimal mungkin.

Mungkin rada membosankan dan melankolis banget, tapi itu ide yang muncul 🥲

Mau bahas ngewe terus takutnya Akaashi tercinta lecet🗿

Genre yang ku tulis kadang random, jadi wajarin aja kalau emosi kalian terombang-ambing waktu baca.

Aku tau ko kalian kadang sange, kadang ngakak, haru, kejer-kejer gemes kesenengan, atau sedih kenapa alurnya beraroma bawang.

Engga, aku ngarang itu,
kalian ketawa sampe
kentut pun aku ga tau🗿

Dan karena seharian ini ngebabu depan zoom jadi baru ini aku lanjut nulis, ntar lanjut. Aku mau ngerjain revisian dulu 🤣 mohon bersabar ye?

Happy 20/9 Day and~ see you on next chapter~✨

21 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top