Lokal AU (2)

Helai raven yang masih basah beraroma lifebouy.

Iris zamrud dengan bulu mata lentik. Hidung bangir dengan bibir huruf M merah muda.

Kulit sawo matang dengan tubuh tinggi ramping beraroma matcha.

Kaki jenjang dengan paha semok, dan pucuk dada yang tenggelam.

Pemuda cantik itu telentang di bawah kukungan tubuhnya, menatap dengan sorot mata yang menggiurkan.

"Hahhh..." Bokuto mencubit pangkal hidungnya yang berdenyut.

Tak habis pikir kenapa pemuda bernama Akaashi Keiji terus terbayang dalam benaknya.

Padahal mereka tidak melakukan percakapan yang berkesan, bahkan terakhir kali Bokuto hanya curi-curi pandang berharap melihat si pemuda keluar dari rumahnya.

Bokuto menatap layar hp dan menghela nafas.

"Kenapa dia ga ada nelfon?"

.
.
.

"Bayarin napa!"

"Lah? Minta ko maksa?"

Konoha manyun dengan bibir bebeknya, lalu merogoh hp dan menunjukkan tanggal hari ini.

30 september.

"Gue ultah njing."

Bokuto ber-ohh-ria.

"30 tahun, 30 september, dah tua ko suka minta dibayarin."

"Yee, atm gue disabotase Kaori." Suzumeda Kaori adalah adik Konoha, suka minta duit kakaknya.

"Oke, lu mau apa?"

Konoha tersenyum lebar.

"Kita nyari si dede gemes dulu."

Bokuto memucat.

"Anjing, pedo lu!"

Walau Bokuto merupakan orang yang tidak memandang jenis kelamin, ia masih memikirkan soal rentang usia.

"Bukan woy, di sekitar sini ada ade-ade yang jualan jamu keliling. Beras kencurnya enak."

Bokuto manggut-manggut.

"Ohh, yang kemarin lu bilang itu? Ngapain lu minta dibayarin jamu? Lu kira gue ga mampu beliin nasi Padang walau lu ga doyan nasi Padang?"

Konoha menggerakkan tangannya seakan meminta Bokuto berhenti.

"Nah, itu dia! Deeek! Adeek!"

Konoha melambaikan tangannya pada seseorang yang tengah membawa motor dengan bakul jamu di belakangnya.

Bokuto ikut menoleh, dan ia mendapati seorang pemuda tengah membawa motor Honda Supra X.

Pemuda itu memakai helm retro pilot klasik lengkap dengan google, kaos oblong lengan pendek berwarna biru malam dengan handuk tersampir di leher. Celana training hitam dan sandal jepit.

Teeet! Teeet! Klakson berbunyi dan pemuda itu berhenti di depan mereka.

"Jamu nya mas!" Seru pemuda itu, dan senyum cerah dibalik maskernya terhenti saat melihat Bokuto.

"Bokuto, nih tukang jamu yang gue ceritain kemarin!"

"O-oh..." Bokuto mengiyakan, kehabisan kata-kata karena pemuda yang dimaksud juga terlihat gugup saat melihatnya.

Bokuto meneguk ludah, iris zamrud di balik kaca mata itu terlihat tidak asing.

Bagaimana kalau tebakan Bokuto benar?

"B-badannya gimana de? Udah ga sakit lagi kan?"

Konoha mengernyit, kenapa Bokuto bicara begitu?

Pemuda yang ditanya melepas helm, dan membuka maskernya.

Memperlihatkan wajah ayu nun rupawan, iris zamrud itu sesekali menatap seakan tidak mampu untuk menatap mata lawan bicaranya.

"I-iya Mas, udah ga papa..."

Rahang Konoha hampir terjatuh, menatap kedua orang itu bergantian. Sebelum Konoha semakin salah paham, Bokuto menjelaskan.

"Lu ingat 3 hari yang lalu gue jatuh nimpa orang? Nah, ini orangnya."

Konoha manggut-manggut mengiyakan.

"Ohh, ga ada yang patah tulang kan de? Kejatuhan babi ngepet soalnya."

"Sembarangan lu." Sungut Bokuto.

"E-engga papa ko, Mas..." Akaashi membenarkan posisi kacamatanya dengan kikuk.

"Yodah kalo ga papa, pesan beras kencurnya satu ya?" Konoha menggesturkan jari telunjuknya.

Akaashi mengangguk, lalu menoleh pada Bokuto.

"Gue engga pernah minum jamu..."

Akaashi manggut-manggut.

"Mau jamu kuatnya Mas?"

Jamu kuat?

Bokuto mengerjapkan kedua matanya dengan cepat, tersenyum aneh.

"Ga usah, jadi tank tempur elu minum gituan." Sela Konoha.

Bokuto membayangkan dirinya kerja siang dan malam tanpa merasa lelah.

Sementara Akaashi membayangkan dirinya telentang di bawah kukungan Bokuto sepanjang malam menjerit tiada henti.

"Dek?" Ops, Akaashi melamun.

"Bentar ya Mas, kalau mau telur puyuhnya?" Akaashi menawarkan baceman yang bisa dikunyah sebagai camilan, sambil menyiapkan jamu pesanan Konoha.

Bokuto pun mengiyakan dan mencomot tempe bacem, mengunyah dengan lahap.

Sambil makan, Bokuto terus memperhatikan Akaashi dari atas ke bawah.

Tinggi, ramping, terkesan kemayu meski lelaki.

"Namanya siapa Dek?"

Konoha mengernyit dan membatin, "Lah? Belum kenalan?"

"Keiji, Mas... Akaashi Keiji."

Bokuto sekuat tenaga menelan tempe di mulutnya, hampir tersedak melihat senyum manis si cantik.

"Aku panggil Dek Akaashi boleh?"

Akaashi menutup mulutnya, tertawa kecil.

"Keiji juga boleh Mas, Mas namanya siapa?"

"Nama Mas Bokuto Kotaro--"

"Panggil aja Bokutolol." Bokuto mendelik.

Ya elah Konoha ngancurin mood aja.

"Udah sejak kapan jualan jamu?"

"Sejak SMA sih Mas, awalnya bantu ibu yang sakit. Tapi semenjak ibu ga ada, lanjut sambil kuliah."

"Turut berduka ya De..." Bokuto sedikit merasa tidak enak karena pertanyaan yang ia ajukan sedalam itu.

"Iya, Mas... Tapi ga papa ko, lagian bikin jamu membuatku merasa masih ada ibu di sini. Jamu bikinan ibu juga disukai pelanggan."

"Yang penting cari nafkah ya?"

"Hu'um, Mas."

Bokuto teringat kalau Akaashi juga seorang mahasiswa, di usia yang cukup muda harus menghidupi dirinya sendiri sambil mengenyam pendidikan.

Akaashi adalah orang yang pekerja keras.

"Adek kuliah ngambil jurusan apa?"

"Ngambil jurusan Sastra, Mas."

"Loh? Ga farmasi?"

Akaashi tertawa, ia mengibaskan tangannya di udara.

"Engga Mas."

Farmasi tidak jauh dengan mempelajari tanaman dan zat-zat yang dihasilkan untuk membuat suatu produk, karena itu Bokuto mengira Akaashi mengambil jurusan Farmasi agar dapat meracik jamu.

"Ini, Mas."

Akaashi sudah selesai meracik jamu dan memberikan gelas berisi jamu pada Konoha.

"Boleh deh, mesan beras kencurnya satu."

"Loh, katanya ga bisa minum jamu?" Selidik Konoha.

"Yaa... Siapa tau manis kaya si Adek..." Bokuto melirik Akaashi yang menggigit bibirnya, salting.

"Ish, koe lanang lo Mas." Akaashi cemberut, wajahnya bersemu.

"Terus kenapa?"

Akaashi dan Konoha melotot, tidak menduga Bokuto dengan senyum bodohnya menjawab demikian.

Akaashi masih bersikap tenang, dalamnya gay panic. Mencoba fokus meracik jamu untuk Bokuto dengan tangan gemetar.

"Gombal ko sama cowo, nih minum."

Akaashi menyodorkan secangkir jamu, sudah dicampur dengan gula merah agar lebih mudah ditelan untuk pemula seperti Bokuto.

Bokuto terkekeh dan mengambil cangkir dari Akaashi.

Konoha terus menatap sambil menunggu cangkirnya diisi cairan gula merah untuk membilas rasa pahit, menantikan reaksi Bokuto yang tidak suka minuman pahit.

Gulp.

"Ohh, enak ternyata? Rada pedas sih." Tidak terduga Bokuto dapat menelannya dengan mudah.

"Hehe, ga suka ya?"

"Enak ko, manis kaya yang bikin."

Bokuto tersenyum dengan deretan giginya. Akaashi mencoba bertahan dengan wajah datarnya, padahal di dalam mleyot.

"Elah gombal, yok balik ntar dicariin Iwaizumi lagi gegara keluyuran."

Bokuto merogoh dompetnya dan menyerahkan uang 100 ribu pada Akaashi.

"Ga ada uang kecil, Mas Kou?"

Mas Kou.

Bokuto langsung bernafas secara manual.

"E-engga ada Dek."

Akaashi memanyunkan bibirnya, lalu merogoh tas pinggang miliknya mencari kembalian.

"Ga usah Dek, biar aja."

Akaashi melotot, otaknya langsung berpikir cepat menghitung harga dagangannya yang dibeli.

Jamu dua gelas 8 ribu, tempe bacem dua buah 6 ribu, tahu bacem tiga 12 ribu, telur puyuh satu tusuk 3 ribu... Total 30 ribu, dan uang yang diberikan 100 ribu.

"Jangan Mas, kembaliannya banyak lo ini?"

Bokuto menggeleng dan mendorong tangan Akaashi yang ingin mengembalikan uangnya.

"Simpan aja kembaliannya Dek."

"Mas jangan ngasih karena kasian ya? Aku ga mau."

"Engga gitu Dek, yaudah pegang dulu kembaliannya, nanti besok aku ngejamu lagi gimana? Jadi jatah kembaliannya jadi bayaran buat nanti?"

Akaashi menatap uang 100 ribu dan Bokuto bergantian.

"Baiklah Mas..." Akaashi merogoh hpnya.

Trilililit! Hp Bokuto berbunyi, ada nomor tidak dikenal mengirimi pesan WA.

"Itu nomorku ya Mas? Nanti kabarin aja posisi Mas di mana."

Mengingat Bokuto menyerahkan kartu nama dengan nomor telfon, Akaashi dapat memberikan nomor ponselnya melalui chat.

Lalu kenapa sebelumnya Akaashi tidak menghubungi Bokuto? Akaashi hanya tidak tahu bagaimana memulai percakapan, takutnya Bokuto juga tidak seperti dirinya yang berbeda dari kebanyakan orang.

"Iyaa Dek, Mas pamit dulu ya?"

"Hu'um."

Dan Konoha yang melihat percakapan kedua orang itu hanya mengangkat alisnya tinggi.

Kenapa kedua orang itu seperti pasutri yang terpaksa pisah kasur karena kerjaan suaminya di luar kota??!

.
.
.

Akaashi mengendarai motornya melewati jalanan aspal yang terik, terkadang berhenti di pinggir jalan saat emak-emak memintanya berhenti untuk beli jamu.

"Dek lagi bahagia ya?" Celetuk Ibu-ibu yang menjadi pelanggannya.

"Hmm? E-engga ko Bu."

Ibu-ibu itu tersenyum miring.

"Masa?? Senyam senyum gitu, padahal jamunya lagi ga ngelawak."

Akaashi reflek menyentuh wajahnya, dan benar saja. Sudut bibirnya tertarik ke atas, sedari tadi ia tersenyum.

"Kalau ada berita bagus, kabar-kabarin atuh."

"Ihh engga ko Bu Shirofuku, cuma jualan aja lagi laris manis."

Shirofuku selaku emak-emak komplek mengernyit, ia mencium hal mencurigakan dari Akaashi.

Insting mencari bahan gibahannya aktif.

"Yaudah kalo ga mau cerita, gemes aja liat Adek yang biasanya jutek kaya es batu tiba-tiba senyum-senyum."

Akaashi hanya tertawa mendengarnya.

Mana mungkin Akaashi bercerita kalau dirinya naksir tukang listrik, yang ada dirinya jadi gibahan satu Provinsi.

*****

Author Note :

Segitu dulu ya? Gimana?

Fyi aku bukan orang Jawa ya 🤣 jadi kalau ada bahasa yang salah, tolong koreksi ya?

Sebenarnya 30 september agak gimana ya? Aku kepikiran mau bahas soal sejarah tapi takutnya dianggap ga menghormati karena dijadikan bahan cerita fanfict, jadi kita fokus ultah si Konoha aja ya 😅

Kalau bahas soal sejarah, aku kepikiran sih dari cerita ortuku gitu sebagai sudut pandang orang ketiga, warga biasa yang melihat kelamnya sejarah. Terus BokuAka terlibat... Rada dark sih, tapi takutnya dianggap aneh² jadi aku spill di bawah sini aja

1 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top