AkaashiFem (5)

Sumpah, ini chapter terakhir dari cerita Akaashi jadi cewek.

Beneran, ga boong.

Klo mau protes salahin aja mood nulis yang bergejolak dari kemarin/wkkk

Lagian mumpung masih bisa nulis sebelum sibuk 😭

Mana adegan naninanya kepanjangan lagi, tapi klo di potong ihh kan sayang 🤤/njir

*****

Sepasang iris zamrud memperhatikan layar televisi, sebuah kacamata minus membingkai mata sayu dengan lingkar hitam yang cukup tebal.

Memperhatikan sosok tinggi tegap yang bersiap untuk melakukan service, pemuda itu meraih kalung yang tersembunyi di balik jerseynya.

Mengecup bandul yang berupa cincin.
Seakan tengah berdoa sebelum melakukan tugasnya, peluit berbunyi, dan dengan cepat lelaki itu melambung tinggi.

Memukul service yang sangat keras, hingga membuat suara gema yang terdegar jelas.

BAM!!!

Bola Voli itu memantul tinggi setelah menghantam lantai.

Iris zamrud itu melirik cincin yang berada di jari manisnya, cincin yang serupa dengan yang dikenakan sang Atlit Voli.

Dengan asap kelabu yang perlahan keluar dari bibirnya, wanita itu juga mengecup cincinnya.

Merasa tengah diperhatikan, wanita itu mengangkat wajahnya.

Iris zamrud itu berbinar senang.

“Ah, selamat datang Kou.”

Sosok yang sama dengan di layar tv kini berada di rumahnya, rumah mereka.

“Sudah berapa lama kamu tidak tidur?”

Entah sejak kapan pemuda itu berada di sana dan memperhatikan dirinya yang duduk di atas sofa.

Akaashi tersenyum lebar pada sang kekasih yang kini sudah pulang. Sedangkan Bokuto, ia terlihat khawatir pada Akaashi.

Lelaki itu melepas barang bawaannya dan segera mendatangi sang kekasih.

Mendekapnya dengan erat.

“Kamu minum?”

Bokuto mencium aroma alkohol, ia juga melihat beberapa kaleng minuman yang berserakan di atas meja.

Serta beberapa putung rokok.

“Kou…”

Akaashi hanya bergumam dan balas mendekapnya, air mata menggenang dibalik pelupuk mata yang terpejam. Sang wanita jatuh terlelap dalam dekapannya.

Bokuto menghela nafas.

Akaashi dibawa ke dalam kamar mereka, Bokuto sudah hafal betul bagaimana Akaashi ketika ia tinggal pergi.

Kalau tidak tenggelam dalam pekerjaan dan lupa waktu tidur, Akaashi akan menghabiskan waktu di depan televisi menonton dirinya dengan berurai air mata.

Mmm~

Wanita pertengahan 20 itu masih terpejam, mendengkur halus.

Bokuto menunduk dan mengelus wajah Akaashi, masih ada bekas jejak air mata di pipinya.

Iris emas itu kembali memperhatikan sekujur tubuh Akaashi, rambut sebahu yang acak-acakkan,  dengan tubuh mungil yang montok memakai jersey hitam tanpa bra, dan bagian bawah yang hanya ditutupi oleh celana dalam berwarna abu-abu polos.

Sebenarnya Bokuto sedikit tergoda, namun ia menahan dirinya.

Sekali lagi ia berjalan keluar dan menggulung lengan bajunya, melihat kekacauan yang diperbuat Akaashi dalam kepergiannya selama 1 bulan ke Argentina.

Di mana dapur mereka kotor dan banyak kaleng yang berserakan.

Bokuto sama sekali tidak menyentuh laptop dan tumpukan kertas Akaashi, karena Bokuto tahu pekerjaan sangat penting bagi Akaashi—meski kebutuhannya sudah ditanggung oleh Bokuto sepenuhnya.

Yup, mengingat mereka sudah menikah.

Bokuto membersihkan ruang tengah yang di dominasi warna cream dan tanaman yang menggantung, di mana ada pintu besar dari kaca yang mengarah ke halaman belakang yang rindang.

Bokuto cemberut saat melihat tumpukan putung rokok.

1 bulan ia meninggalkan Akaashi, membuat sang istri kembali ke dalam rutinitas buruk.

Jauh sebelum mereka menikah, bagi Bokuto sang istri merupakan orang yang polos dan manis.

Hingga mereka beranjak dewasa dan mengalami berbagai hal, Bokuto tidak terlalu ingin mencari tahu setelah mendapati Akaashi merokok di hadapannya.

Tepat ketika mereka mulai tinggal satu atap, walau mereka belum mengadakan pernikahan.

Waktu itu, Akaashi yang sedang berada di titik terbawah itu kembali ke rumah mereka dengan kantong plastik besar.

Bokuto berpikir bahwa Akaashi tidak membaca pesannya yang mengatakan bahwa ia sudah menyiapkan makan malam untuk mereka berdua—kebetulan Bokuto juga mendapat jatah libur setelah beberapa minggu mengikuti pertandingan.

Kantong plastik itu berisi bir dan rokok.

Akaashi yang tertekan, ia memilih untuk membunuh rasa lelahnya dengan minum. Padahal, sebelumnya Akaashi sudah meminum beberapa gelas kopi.

Sebenarnya, Akaashi tidak kuat minum. Hanya dengan seteguk ia langsung mabuk.

Bokuto yang kesal dengan kelakuan Akaashi membuang semua barang belanjaan di hadapannya. Tentu hal ini membuat mereka berdebat.

Akaashi memang orang yang overthinking dan selalu memilih untuk menyimpan semuanya sendiri, kecuali Bokuto yang mengajak untuk berbicara.

Bokuto selalu mengomelinya dan hampir setiap malam menyeret Akaashi untuk tidur lebih awal.

Lambat laun, Akaashi kembali menjalani hidup yang lebih sehat.

Bahkan setelah mereka menikah, Akaashi sampai menanam beberapa bunga di pekarangan belakang. Melakukan kegiatan yang dirasa dapat menghilangkan rasa lelah akan beban pekerjaan.

Kini, Bokuto sepertinya harus memulai dari awal lagi untuk membuat Akaashi menjadi lebih sehat. Ia tidak mau Akaashi kenapa-kenapa, dan sakit.

Karena ia berencana untuk hidup hingga 130 tahun.

Bersama Akaashi.

.
.
.

“Koutarou?”

Akaashi meraba kasurnya, tidak ada siapapun di sisinya.

Dengan wajah memelas ia menegakkan tubuhnya, air matanya kembali menggenang.

“Kou…” Isak tangis Akaashi semakin menjadi.

“Ji? Kenapa? Ada yang sakit?”

Akaashi menoleh ke arah sumber suara, Bokuto dengan raut wajah khawatir berdiri di ambang pintu.

Sang kekasih sudah pulang dan itu bukanlah mimpi.

“Kou—uhhKOUTAROU—"

Akaashi mencoba bangkit dari kasur dan tergelincir, ia jatuh terjerembab di atas kasur, namun dengan cepat ia bangun lagi.

Bokuto dengan cepat juga mendekati Akaashi, mendekap Akaashi yang terlihat sangat merindukannya. Ia dapat merasakan Akaashi yang memeluknya dengan sangat erat, seakan takut jika ia akan menghilang.

“Maaf, Ji.”

Bokuto mengecup kening istrinya, mengusap anak sungai yang kembali mengalir dari iris mata zamrud. Hatinya berdenyut sakit saat melihat Akaashi seperti ini.

Ngaaah~ aku tidak peduli apa kata pelatih, nanti jika aku pergi kau harus ikut!”

“Tapi pekerjaanku…”

Bokuto menangkup wajah Akaashi, membuat mata mereka saling pandang.

“Aku tidak ingin kamu begini lagi.”

Akaashi tersenyum, ia mengalah. Tangannya terangkat dan menyentuh tangan yang berada di wajahnya, mengusap tangan itu sayang.

Mmm~ Aku lapar.”

“Bagus, aku sudah membuatkan kita sarapan.”

Setelah Akaashi mencuci wajahnya dan menggosok gigi, ia mengikuti Bokuto yang berada di ruang tengah, dengan beberapa makanan yang masih hangat mengepul tersaji di meja.

“Makan yang banyak, Ji.”

Akaashi hanya mengunyah dalam diam, matanya berbinar setiap kali memasukkan makanan ke dalam mulutnya seperti anak kecil. Bokuto hanya tertawa melihat Akaashi yang belepotan.

Hingga Akaashi tiba-tiba menghentikan mulutnya.

Bokuto yang merasa heran bertanya, padahal tidak ada yang aneh dengan makanan yang mereka makan.

“Kamu yakin masih mau denganku?”

“Ji, kita udah nikah.”

“M-maksudku, semakin ke sini aku bukan wanita yang dulu pernah membuatmu jatuh cinta.”

Akaashi menyentuh perutnya yang berlipat 2, dan stretch mark di pinggulnya yang membuat ia terlihat tidak menarik. Belum lagi rambut acak-acakan dan kantung mata yang tebal.

Semenjak lulus SMA, Akaashi semakin jarang berolahraga. Hal ini membuat berat badannya juga bertambah.

Tanpa pikir panjang Bokuto mendekatkan dirinya, melingkarkan tangannya pada tubuh Akaashi.

Mengecup pipi Akaashi, lalu kembali makan.

“Jika kamu membahas itu, sebenarnya aku yang merasa bersalah padamu karena setiap kali kamu menyentuhku, kamu selalu mendapati bagian yang tidak enak disentuh karena keras.”

Semenjak menjadi pemain Profesional, Bokuto mendapat menu latihan yang cukup berat untuk membangun staminanya.

Hal ini berefek pada tubuhnya yang diselimuti dengan otot padat yang kuat.

“Lagi pula, aku suka kamu yang sekarang Ji… Ini cukup seksi saat aku memegangnya saat kita melakukan itu.”

M-mmm~

Akaashi menahan suaranya saat Bokuto meremas pinggulnya, mengingat sudah lama mereka tidak melakukan itu juga membuat tubuh Akaashi semakin sensitif.

“Sehabis sarapan?”

“Ini masih terlalu pagi…”

Seperti yang kita duga, Bokuto tidak menerima alasan apapun.

Dan selama mereka makan, Akaashi dibuat tidak nyaman karena tangan Bokuto menggerayangi tubuhnya.

Tangan yang dari tadi mengelus perutnya itu bergerak ke atas, meremas payudaranya.

Mencubit putingnya.

Membuat Akaashi semakin gelisah, dan tak berapa lama kegiatan makan mereka berakhir dengan Akaashi yang merah padam.

“Mau mandi dulu?”

Akaashi mengangguk mengiyakan, dan ia tidak menduga bahwa Bokuto akan ikut mandi bersamanya.

“Kenap—”

“Kita sudah lama tidak menggosok punggung kan? Ayolah~”

Lagi-lagi Akaashi mengiyakan kemauan suaminya.

Di kamar mandi yang cukup muat untuk dua orang dewasa, Bokuto duduk dengan membelakangi istrinya.

Akaashi yang melihat punggung suaminya meneguk ludah, seakan ada patung Dewa Yunani di hadapannya.

“Ji?” Panggil Bokuto dan membuat Akaashi kembali ke dunia.

Cpyuk.

Akaashi mulai membasuh punggung Bokuto, menyiramkan air, dan sesekali menggosok punggung sang suami.

Bokuto juga menyabuni tubuh bagian depannya, menggosok busa pada lengannya.

Hahhh~ rasanya kembali menjadi anak kecil.”

Kekeh Bokuto saat Akaashi mengusap rambutnya dengan shampoo.

Setelah membersihkan busa sabun, Bokuto sekarang sudah bersih. Kini giliran Akaashi.

“Apa kamu sering mandi dengan ibumu?”

Hu’um, kakak perempuanku juga.”

Awalnya tidak ada yang aneh dengan mereka mereka berdua, hingga tangan Bokuto bergerak ke depan.

Menggosok sabun di perut Akaashi.

“Tapi~ aku tidak bisa melakukan ini pada ibu ataupun kakakku.”

Akaashi berjengit saat Bokuto meremas payudaranya dari belakang, menjepit putingnya.

Angh~ Kou—mmh!

Bokuto menarik wajah Akaashi, mencium bibir yang terbuka, membuat pergulatan lidah terjadi.

Membuat decak basah dan desah saling bersahutan, sesekali Akaashi memekik dalam ciuman ketika Bokuto meremas dadanya terlalu kuat—karena gemas.

Ciuman itu terputus karena paru-paru keduanya yang menjerit.

Masih dengan sisa euforia, Bokuto kembali membasuh tubuh Akaashi dengan shower.

Sesekali menggosok sekujur tubuh Akaashi untuk menghilanglan busa sabun, membuat Akaashi mengerang, semakin menempel pada Bokuto dengan nafas yang memburu.

Bokuto menarik kedua paha Akaashi, membuat kakinya terbuka lebar.

Kedua kakinya di letakkan di atas kaki Bokuto, jadi kalau Bokuto membuka kakinya, Akaashi akan semakin mengangkang.

Meski Bokuto tidak melihat langsung ke arah sana, membuka pahanya selebar itu membuat Akaashi terbakar malu.

Ia mencoba menutupi bagian selangkangannya, dan tangan kecil itu di jauhkan oleh Bokuto dengan mudah.

Kedua tangan Akaashi dikunci oleh Bokuto hanya dengan satu tangannya, Akaashi menggeleng saat Bokuto menelusuri pahanya.

Erangan tertahan keluar dari bibir peach itu saat jari jemari Bokuto menyibak bibir vaginanya.

“Kou—”

“Aku hanya ingin menyiapkanmu sebelum kita—”

“Di kasur kan bi—IIIIAAA!!!

Akaashi berjengit saat Bokuto kembali menyentuhnya di bawah sana, menyentuh daging kecil bak kacang yang mengeras.

Bokuto mengitari lubang kenikmatannya yang mengeluarkan cairan bening, istrinya sudah sangat basah.

“Koutaro—mmm~!

Bokuto meraih wajah Akaashi dan kembali menciumnya, erangan Akaashi tertahan saat Bokuto memasukkan jarinya.

Tak lupa tangan yang lain juga meremas payudara Akaashi, memilin putingnya yang sedari tadi sudah mengeras.

Tangan Akaashi yang kini bebas mencoba menahan tangan suaminya yang bergerak aktif membelai area sensitif.

Mmm~ mmngh~” Akaashi berkedut, tubuhnya bergerak gelisah.

Bokuto mempercepat jarinya, Akaashi hampir mencapai puncak.

ANGH~ KOUTAMMHH❤️

Akaashi mengejang, tubuhnya berkedut seksi. Dadanya membusung naik, pinggulnya gemetar. Air matanya jatuh seiring euforia yang memuncak.

"Anghh~❤️"

Akaashi bersandar dengan lemah, tubuhnya berkedut nikmat. Sementara sang suami masih menggerakkan jarinya in-out, membuat cairan kewanitaan Akaashi memercik keluar.

Bokuto masih meninggalkan jejak kemerahan di leher sang istri, hingga tangan kecil Akaashi menggapai lengannya yang tengah sibuk mengocok liang hangat nun becek.

“Bawa aku ke kasur.”

Dengan senang hati Bokuto menuruti, mengeluarkan jarinya, dan membantu sang istri untuk bangun.

Menggendongnya ala Bridal Style keluar dari kamar mandi.

Bokuto merebahkan Akaashi di kasur.

Nafas keduanya sama-sama memburu, tidak ada yang berbicara, dan  bibir mereka kembali beradu.

Tangan Bokuto bergerak ke arah laci di dekat mereka, meraih selembar kondom.

Ciuman itu kembali terputus karena Bokuto ingin memasang benda itu, Akaashi yang melihat itu merangkak mendekat.

Meraih kejantanan Bokuto yang sudah menegang.

Bokuto awalnya mengira bahwa Akaashi ingin membantunya, nyatanya tidak.

Akaashi mendekatnya bibirnya, mengecup kepala penis yang sudah mengeluarkan precum.

Tidak biasanya Akaashi mau melakukan ini, dan Bokuto cukup menikmati view yang ia lihat.

Di mana istrinya tengah melakukan Fellatio, dengan penuh nafsu menghisap penis yang tidak semuanya muat dalam mulut mungil itu.

Ngh~ Ji~

Desah Bokuto saat Akaashi memainkan buah zakarnya, meremas benda itu dengan gemas.

PLOP.

Akaashi mengeluarkan Bokuto dari mulutnya, beralih dengan mengocok benda itu dengan tangannya.

Lidahnya juga bermain-main dengan menusuk lubang kencing Bokuto, membuat sang Suami sesekali tersentak akan rasa nikmat.

Lidah Akaashi terus turun ke bawah menyusuri batang penis yang berurat, lalu mengemut dan mengigit kecil kulit yang membungkus buah zakar.

Puas dengan apa yang ia lakukan Akaashi melepaskan Bokuto, meraih bungkusan kondom.

Keduanya kembali saling pandang.

Di kala Akaashi membuka bungkusan kondom, Bokuto menunggu dengan mengocok penisnya lagi.

Akaashi mendekat dan Bokuto menjauhkan tangannya, kini kejantanan Bokuto berdiri tegak di hadapan Akaashi.

Perlahan tangan yang gemetaran memasang kondom, sesekali melirik iris Emas yang terus fokus memperhatikannya.

Seakan keduanya sudah tidak sabar untuk hidangan utama.

Karet transparan itu kini membungkus Bokuto dengan sempurna.

Akaashi merangkak ke atas Bokuto, menindih sang suami yang kini berbaring.
Lalu memposisikan kejantanan Bokuto dengan meraba benda itu pada vaginanya.

Ummmh~

Akaashi menahan nafas saat ia menurunkan tubuhnya, membuat kejantanan Bokuto memasuki tubuhnya perlahan-lahan.

Namun, karena sudah terbakar nafsu. Bokuto mencengkram pinggang Akaashi dan menariknya turun, membuat kejantanannya terbenam dalam Akaashi.

Ah! Angh!

Air mata Akaashi menggenang,  nafasnya tercekat. Bokuto sudah masuk terlalu dalam. Tubuhnya menggeliat tidak nyaman, Bokuto menegakkan punggungnya, dan mendekap Akaashi.

Mencumbu bibir untuk kesekian kalinya.

Mencoba membuat Akaashi rileks dengan dirinya yang sudah lama tidak mengisi Akaashi.

“Masih sakit?”

Akaashi menggeleng, entah kenapa ekspresinya terlihat sangat bahagia—meski air mata semakin deras keluar.

“Aku kangen Kou…”

Dan entah apa yang merasuki Bokuto, ia mendorong Akaashi hingga ia telentang di atas kasur mereka.

Akaashi yang kebingungan juga melihat Bokuto mengeluarkan dirinya dari Akaashi.

Melepas kondom yang ia kenakan dan membuangnya begitu saja.

“Kou—AAAAH!!!

Bokuto dengan sekali hentakan kembali memasukinya, tanpa aba-aba juga menggerakkan pinggulnya dengan brutal.

Akaashi hanya mendesah dengan mengalungkan tangannya pada leher Bokuto, ia juga mengunci Bokuto dengan kakinya.

Ji, feels good?

Your co—ahh—feels really goo—angh!

Bokuto mendekatkan wajahnya, masih dengan menggerakkan pinggulnya dengan kuat.

Can you feel how deep it is?

Mmh~ yes! I’m full to the brim—AAH! KOU—WRECK ME MORE!!

As you wish, my love.”

Bokuto terus memompa bagian dalam Akaashi, membuat Akaashi juga terus menerus mendesahkan namanya.

Hingga tubuh keduanya mengejang, Akaashi terperanjat saat bagian dalam tubuhnya terasa panas karena cairan Bokuto.

Keduanya masih dalam posisi yang sama, mencoba mengatur nafas yang masih memburu.

“Kamu… jangan di dalam, nanti—”

Akaashi terdiam saat merasakan setetes air mengenai wajahnya, ia mendongak dan mendapati Bokuto menangis.

“Kalau kamu hamil, aku janji akan lebih sering di rumah. Sungguh, aku janji.”

Akaashi yang melihatnya tentu terenyuh.

Meski ia juga merasa bersalah dengan minum hingga merokok, membuat tubuhnya sudah tidak begitu sehat.

Mmmm~ maafkan aku juga, Kou…”

“Ji…”

Akaashi meraih kepala Bokuto, meminta bibirnya untuk kembali di cium. Bokuto menuruti dan menempelkan bibirnya, sesekali mengemut bibir plum tebal Akaashi.

Iris zamrud itu mengernyit saat merasakan benda yang di dalam tubuhnya kembali mengeras, seakan lebih besar dari sebelumnya.

Akaashi kembali mengerang saat Bokuto menggerakkan pinggulnya dengan lembut, sensasi yang Akaashi rasakan masih berkali lipat menyetrum tubuhnya—mengingat ia masih sensitif.

Angh~ Kou~ berhenti, a-aku—angh~

Aren’t you like being fucked right after you cum, Ji?”

Well, Akaashi tidak bisa menyanggah itu.

Meski mulutnya mengatakan tidak, ia meyukai ketika Bokuto memaksanya untuk melayani sang suami.

.
.
.

“Sungguh, Kou… Aku sudah tidak sanggup lagi.”

Akaashi telungkup di atas kasur dengan wajah terbenam, meski ia menyukai Bokuto yang memaksa, tubuh Akaashi juga memiliki batas.

Wanita ini benar-benar sudah kehabisan tenaga.

Bokuto menegak air minum di pinggir kasur, dengan punggung yang dipenuhi bekas cakaran, tak lupa beberapa titik merah di sekitar leher, dan dadanya.

“Ehh? Katanya kamu mau muasin rasa rindu ku?”

“Itu nafsu! Bukan kangen!”

Akaashi yang terkulai lemah di atas kasur menggeliat, sekujur tubuhnya di penuhi becak merah dan gigitan.

Terutama di bagian leher, dada, bokong, dan sekitar pahanya.

Tak lupa selangkangannya yang terus mengeluarkan cairan cinta mereka yang tercampur menjadi satu.

“Tapi aku masih pengen Ji…”

Akaashi melotot saat Bokuto mencengkram pergelangan kakinya dan membuat Akaashi telentang.

Mengangkat pinggulnya dan membuka bibir vagina yang masih dipenuhi cairan putih bening.

Bokuto kembali memposisikan kejantanannya.

“Akan ku buatkan anak kembar untuk menemani kita, hehe.”

Akaashi pucat pasi, ia hanya berharap besok masih bisa berjalan.

.
.
.

Beberapa bulan kemudian...

“Bokuto-san, sekarang jadi calon ayah ya.”

“Setidaknya mereka akan punya anak sendiri, bukannya mengadopsi mu.”

“Omi-kun benar, agak aneh mengingat sehabis Bokkun melamar Akaashin ia malah membawa surat adopsi anak.”

Di ruangan yang sama, Bokuto yang suram seakan tidak memiliki semangat hidup lagi. Padahal mereka hanya bermain sebanyak 2 putaran karena tim mereka dengan mudah memenangkan pertandingan.

“Ternyata menjadi orang dewasa itu melelahkan.”

Yap, semenjak Akaashi hamil, Bokuto selalu memenuhi kebutuhan Akaashi hingga ia kekurangan tidur.

Menangani ngidam istrinya hingga mood swing yang lebih parah dibandingkan dirinya ketika SMA.

*****

25 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top