Scenario 04 - Calon Ketua BEM Idaman

.
.
.

Manfaatkan teman sebaik mungkin. Niscaya hidupmu akan lebih mudah.

.
.
.

"KEN RANAKA MALIK! Lo berdosa banget nyalon presiden nggak bilang-bilang sama anak kos!" Gebrakan pintu terdengar memekakkan telinga.

Pintu kayu cokelat tua dengan motif ulir kayu terbuka. Nampak lelaki berkacamata mendengkus sembari membereskan meja belajarnya, dan memasukkan beberapa map plastik ke tas.

"Berisik lo, Gin!"

"Lo nggak mau gue jadi tim sukses lo?" Lelaki berkaus oblong putih agak transparan karena saking tipisnya, dengan celana kolor hitam menggantung di pinggang, bersandar di ambang pintu.

Kekehan Naka mengudara. "Buat apa?" Ia memberi lirikan penuh penilaian pada teman satu kosnya itu.

"Fans gue banyak."

"Masih banyak Brian ke mana-mana juga." Sahutan Naka membuat Gino menipiskan bibir. "Mereka itu bukan fans lo. Mereka nyepik lo, biar dapet makanan gratis di kafe lo. Jangan kepedean."

"Ya, wis." Gino mengedikkan bahu, melangkah mundur. "Jangan lupa, kalau kepilih jadi ketua BEM, pesen kateringnya di kafe gue."

"Ada apa, nih? Ribut wae cangkemmu, Gin." Brian muncul dari kamar dengan kemeja kotak-kotak hitam putih yang tergulung ke siku, celana jeans biru pudar melekat di kaki jenjangnya. Tote bag tersampir di pundak kirinya. Rambut lelaki itu setengah basah dan berantakan. Jelas sekali, Brian lupa menyisir rambut.

Gino menggerakkan dagunya menunjuk kamar Naka. "Cah iki nyalon dadi Ketua BEM." Ia mengedikkan dagunya ke arah Naka.

"Eh, anjir!" Brian membelalak sejenak, tapi buru-buru menguasai diri. "Kalau butuh pengisi acara, panggil Sixth Sense, yak, Ka."

Naka menggendong tas hitamnya, berjalan keluar kamar dan menutup pintu, kemudian melayangkan tatapan pada dua lelaki dengan penampilan bertolak belakang itu.

"Yang satu minta pakai kafenya kalau katering, yang satu minta band-nya diundang ke acara." Ia melipat tangan di depan dada. "Gue baru sadar pertemanan kita---"

"Sesehat itu," sambar Gino tersenyum lebar. "Saling mendukung, saling membantu."

Brian manggut-manggut. "Oh, gue bakal ajak anak satu kelas buat pilih lo, Ka. Jangan khawatir."

"Gue juga bakal ajak kostumer kafe gue coblos lo," sahut Gino lalu bertos ria dengan Brian. "Oh, atau lo butuh dukun? Gue ada kenalan."

Naka cuma menggeleng-geleng kepala, merasa aneh, tapi itu Gino dan Brian. Mereka tinggal di Boedjangan Indekos di mana banyak hal aneh terjadi di sini. Mulai dari Richard yang dilabrak preman karena tidur dengan istrinya, sampai Bayu yang menyamar jadi perempuan---pacar Brian--- demi mengusir cewek-cewek gila yang mengejar lelaki itu.

"Gue cabut. Jangan lupa yang piket hari ini bersihin rumput halaman belakang," ujar Naka melenggang pergi. "Eh btw, sempak bolong yang digantung di belakang punya siapa, sih? Buang aja. Masa kemarin Una ke sini, kudu lihat pemandangan begitu."

***

Naka merasa lucu, kedua sahabat karibnya, Brian dan Gino belum mendengar kabar ia menyalonkan diri jadi ketua BEM. Padahal fotonya dan calon pasangan lain sudah terpasang di mana-mana. Bahkan, Dion pun telah menyalaminya seminggu lalu. Lelaki itu mulai mempertanyakan ketulusan Brian dan Gino.

Menjadi ketua BEM universitas memang salah satu cita-citanya. Beruntung, ia bertemu Jesline yang siap membantunya mewujudkan mimpi. Gadis blasteran Austria bermata biru, dengan rambut cokelat alami itu kandidat yang pas untuk jadi wakilnya. Dia gesit, cekatan, dan cerdas. Ia juga pandai menarik perhatian orang dengan public speaking-nya yang mumpuni.

"Eh, Pak Ketua. Dateng jam berapa?" Sosok gadis cantik dengan rambut panjang bergelombang datang menghampiri Naka dengan senyum merekah.

"Barusan, Jes." Naka meletakkan tasnya di kursi kantin, tempat bertemu Jesline. "Kita berangkat ke FIB---Fakultas Ilmu Budaya---jam berapa?"

Jesline menarik kursi di hadapan Naka, tampak sibuk membuka tasnya. "Satu jam lagi. Masih ada waktu buat ngecek materi."

"Boleh, deh." Naka mengangguk.

Gadis itu dengan cekatan mengambil laptop lalu menyalakannya. Keduanya lalu sibuk mereview materi yang akan dibawakan nanti saat kampanye di FIB. Beberapa minggu ke depan, jadwal Naka akan penuh berkampanye dari fakultas ke fakultas lain. Ia hanya berharap, cukup banyak orang yang akan menghadiri acara mereka.

"Eh, Ka, udah jam setengah empat, nih. Berangkat sekarang, yuk. Si Radja udah otw, nih. Gue lihat di Insta Story dia." Jesline memperlihatkan layar ponselnya pada Naka.

"Yuk. Ada briefing juga kan, ya?" Naka mengangguk dan bersiap untuk berdiri.

Sebenarnya tidak butuh waktu lama untuk ke FIB dari Fakultas Kedokteran. Tidak sampai sepuluh menit. Apalagi ditempuh dari fakultasnya---Fakultas Hukum---yang berada tepat di depan Fakultas Ilmu Budaya. Namun, ia harus menjemput Jesline yang tak membawa kendaraan.

Tujuh menit berselang, Honda CR-V putih terparkir di halaman FIB. Ia dan Jesline langsung menuju gedung serba guna, tempat kampanye diadakan. Di sana sudah ada Radja dan Pricilla---calon pasangan ketua BEM dan wakilnya nomor urut dua, Ganang sang moderator.

"Sengaja banget nih, pakai baju couple begitu?" celetuk Radja, mahasiswa Teknik Mesin, begitu Naka melangkah masuk.

Naka menunduk memeriksa kemeja polos lengan pendek hitamnya dan kemudian melirik Jesline yang mengenakan blouse warna serupa dengan motif bunga biru muda di lengan. Ia terkekeh dan bersalaman dengan lelaki yang jauh lebih tinggi darinya itu.

"Well prepared, dong. Biar chemistry-nya semakin nyambung." Bohong tentu saja. Naka sendiri malah baru sadar jika mereka mengenakan pakaian senada.

Radja menggelengkan kepala, lalu menoleh ke pasangannya Pricilla---mahasiswi Fakultas Hukum---yang sedang mengobrol dengan Jesline. "Cill, besok kita bajunya kudu samaan, nih. Bahaya kalah saing sama Naka-Jesline."

Gadis berambut sebahu dengan wajah mungil oriental dan mata sipit itu menghela napas. "Kan udah gue bilang tadi. Pakai baju warnanya disamain, Bang. Kenapa nggak percaya sama gue, sih."

"Pasti Agil sama Hayu bajunya juga samaan, deh," timpal Jesline memanasi. "Lagian gimana sih, lo? Nggak kompak banget."

Pricilla mencebik. "Tahu, nih, Bang Radja. Takut pacarnya cemburu kali."

"Anjir, iya. Pacar gue itu cemburuan abis. Mana kalau ngambek, bujuknya susah," dumalnya. "Jangan deh, Cill. Jangan janjian pakai baju couple."

Curhat colongan Radja membuat keempat orang di sana terbahak mengasihani. Siapa sangka, lelaki yang tampak gahar, dengan tubuh tegap dan tinggi di atas rata-rata, kulit sawo matang, ini takut dengan pacarnya.

"Pacar lo kurang lo bahagiain kali, gampang cemburuan begitu," tutur Naka dengan seringai menempel di bibir.

"Soalnya Bang Radja nih, suka centil sama cewek lain. Wajar pacarnya begitu," goda Pricilla, "gue ketemu sekali sama dia, dicuekin. Gila! Kalau lo Bang, gimana? Pacar lo nggak cemburuan?"

"Nggak, dong. Pacar gue kan keren." Naka mengedipkan sebelah matanya pada Radja yang kemudian mendengkus keras.

Agil dan Rahayu atau yang biasa dipanggil Hayu datang terakhir. Pasangan calon ketua BEM dan wakilnya ini dapat sorakan dari kedua pasangan yang sudah sampai lebih dulu.

"Gimana nih, tuan rumah malah telat," goda Jesline.

"Dia ketiduran!" Rahayu bersungut-sungut. Mahasiswi yang berkuliah jurusan Ilmu Perpustakaan itu mendecakkan lidah.

"Sumpah, nggak sengaja. Padahal gue udah siap-siap. Gue ke sekre BEM fakultas dulu ambil laptop, eh malah ketiduran," jelas Agil, mahasiswa Akuntansi semester 5, membela diri.

"Udah siap semua, kan? Briefing bentar, yuk," Anita, sang penanggung jawab acara kampanye ini menyela obrolan asyik enam paslon ketua BEM dan wakilnya.

***

"Gimana? Apa ada yang mau bertanya lagi?" Dimas, sang moderator melempar pertanyaan pada penonton setelah ketiga paslon menjabarkan visi, misi dan program kerja mereka.

Naka mengamati satu per satu mahasiswa yang hadir di aula. Sebersit senyum terbit di bibir saat matanya menangkap wajah yang ia kenal di antara banyaknya orang.

"Slot pertanyaan tinggal satu untuk sesi kedua ini. Siapa yang ingin berta---" Dimas menunjuk gadis berambut sebahu yang mengangkat tangan ke udara, "iya, Kak. Sebentar tunggu mic-nya."

Sedangkan gadis itu membelalakkan mata dan menggeleng panik. Ia memelototi teman yang duduk di sebelahnya. Seorang panitia lalu menghampirinya untuk memberikan microphone. Gadis itu masih terus menolak, karena ia memang tak berniat bertanya. Sang sahabat lah yang dengan jail menarik tangannya ke atas dan jadi pusat perhatian.

"Nggak apa-apa, Kak. Tanya aja. Kesempatan terakhir, loh. Biar nanti nggak salah pilih," ujar Dimas berusaha membujuk.

"Enggak kok, Kak."

"Beneran nih, nggak mau tanya?"

"Nggak usah malu, tanya aja. Bisa kebawa mimpi loh, kalau dipendam," ujar Naka mengompori, membuat wajah gadis di bangku itu penonton semakin merah.

"Tuh, bakal dijawab langsung sama calon ketua BEM-nya," tukas Dimas.

"O-oke, deh." Si gadis menghela napas.

"Perkenalan diri dulu ya, Kak," timpal Dimas.

"Perkenalkan saya Una dari Ilmu Perpustakaan. Ehm, tadi kan Kak Naka bilang salah satu program kerjanya itu membuat dan meluncurkan aplikasi BEM Arkananta yang nanti semua aktivitas kegiatan, pendanaan BEM dapat dipantau dari sana. Dan juga mahasiswa dapat melakukan penilaian, protes, kritik dan saran secara online kepada pengurus BEM. Bagus, sih. Waktu setahun emang cukup?"

Dimas menoleh ke arah paslon nomor satu tersebut. "Terima kasih Kak Una pertanyaannya. Silakan Kak Naka atau Kak Jesline memberi jawaban atas keraguan Kak Una."

Naka yang sedari tadi masih menggenggam mic langsung membuka suara. "Oke, Kak Una. Wajar sih, kalau ada keraguan di hati-hati teman-teman semua. Saya tahu menciptakan aplikasi itu nggak semudah bikin mie goreng yang sepuluh menit jadi. Banyak effort yang harus dilakukan. Saya yakin, kami dan pengurus-pengurus BEM yang lain akan bekerja sekeras yang kami mampu untuk mewujudkan hal tersebut. Kami akan mencari pengurus yang memiliki visi misi yang selaras dengan kami. Sebelum masa jabatan kami berakhir, kami pastikan aplikasi itu bisa diakses dan digunakan seluruh mahasiswa Arkananta.

"Sebagai bocoran, pembuatan aplikasi itu sudah dimulai sejak beberapa bulan lalu. Dari awal, saya memang sudah mempersiapkan diri. Aplikasi itu kini masih dalam tahap penyempurnaan. Jadi, ketika saya dan Jesline terpilih nanti, kami tidak memulai dari nol pembuatan aplikasi tersebut. Kalau pun saya nanti tidak terpilih, aplikasi tersebut tetap akan diselesaikan dan akan diserahkan pada kepengurusan BEM yang ada."

Suara tepuk tangan meriah memenuhi aula. Acara pun ditutup pada pukul setengah enam sore. Satu per satu para penonton berhambur keluar dari aula. Sedangkan para paslon tampak saling bersalaman di atas mimbar.

"Ka, jail banget lo tadi," celetuk Rahayu pada Naka. Lelaki itu cuma terkekeh kecil.

"Eh, Yu. Tadi yang nanya terakhir itu temen lo?" tanya Agil.

"Oh, si Una? Iya, satu kelas sama gue." Rahayu menatap sang partner dengan heran. "Kenapa emang?"

"Lucu juga anaknya," gumam Agil. "Apa nama IG-nya?"

Gadis itu langsung tersedak lalu berdeham. "Jangan deh, nyeremin pacarnya."

"Oh, udah ada pacar?" Satu alis Agil menukik ke atas. "Nggak apa-apa lah, kenalan doang."

Naka yang mendengar percakapan itu tersenyum kecil. Ia menepuk baju Agil membuat lelaki itu mendongak. "Punya gue, bos. Jangan ganggu."

"Udah gue bilangin kan, jangan. Pacarnya nyeremin," ujar Rahayu.

Naka menggeleng-gelengkan kepala dengan seringai menempel di bibir. Ia pergi dari sana untuk mengambil tas punggungnya yang berada di sudut ruangan. Gadisnya memang bukan organisator seperti dia yang dikenal banyak orang. Namun, tak bisa dipungkiri, Una memang memiliki magnet tersendiri yang dapat menarik perhatian perempuan atau laki-laki.

Penampilannya selalu terlihat lain dari kebanyakan orang. Dia menonjol di tengah sikap canggung dan malu-malunya. Gadisnya selalu terlihat anggun sekaligus elegan. Gaun motif bunga, blouse bergaya vintage, kemeja-kemeja pastel dan rok jadi andalan gayanya. Jarang sekali gadis 21 tahun itu memakai celana atau pakaian warna netral dan gelap. Dia selalu berwarna. Gadisnya adalah gambaran sempurna sebagai musim semi yang indah. Ditambah pita dan bando yang sering menghiasi rambut hitamnya.

Well, Naka tidak menyalahkan jika ada lelaki lain yang jatuh hati pada sang kekasih. Una, memang semanis itu. Pipi putihnya yang selalu memunculkan semburat kemerahan hanya karena pujian kecil, suara lembut nan menggemaskannya yang selalu berhasil mencuri perhatian banyak orang dan tentu kebaikannya pada semua orang, yang kadang membuat Naka heran.

Omong-omong, Una pasti akan sedikit ngambek hari ini karena ulahnya tadi. Tak masalah, toh ia punya hadiah untuk sang kekasih, yang bisa mengembalikan senyum di bibirnya kembali.

.
.
.

Nggak salah sih, banyak yang suka cewek gue. Cantik banget emang.

.
.
.


btw sori banget late update.. sibuk banget😭😭😭 (ngedrakor)

Untuk tim karya karsa maap banget belum bisa update, belum ada bahan baru😭😭🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top