Scenario 03 - Ajarin Masak Buat Nembak Cewek

.
.
.

Galak ngono, aku tetap cinta kok, Mi. Lihaten, Mami bakal bangga sama aku, bisa golek calon mantu ayu tenan.

.
.
.

Oke, dari beberapa unggahan foto Andara di Instagram, terpantau wanita itu penyuka seafood. Mulai dari lobster, cumi, dan udang. Jalan Gino masih panjang. Pertama, dirinya tak terlalu ahli memasak seafood karena menu kafenya tak menyediakan itu. Paling cumi krispi dan asam manis. Kedua, bahan baku seafood cukup mahal. Dia harus merogoh modal berlimpah kalau memang niat memikat hati ibu dosen tercinta.

"Mami ... " Yap, jalan tercepat mempelajari masakan seafood adalah pulang ke rumah dan berguru langsung dengan ahlinya.

"Tumben inget pulang," cibir wanita paruh baya yang masih memiliki penampilan seperti wanita tiga puluhan. Ia mengintip sang putra dari balik majalah di tangannya. Wanita yang tengah duduk santai di sofa dengan kaki bersilang itu mengamati gerak-gerik Gino yang muncul dari pintu depan.

Gino, bungsu dari dua bersaudara ini langsung memeluk sang ibunda dari samping. "Nggak kangen Mi, sama aku?"

"Kalau udah manis-manis begini, pasti banyak mau." Ratna menutup majalahnya dan meletakkan di meja. Ia sudah hafal betul tak-tik bocah 21 tahun ini.

Gino meringis sambil memijit-mijit lengan ibunda. Ia memang sangat dekat dengan maminya. Apalagi hidup tanpa sosok ayah, membuat Gino menyandarkan segala beban di pundaknya pada sang mami. Bercerita soal gadis-gadis yang ia taksir pun, bukan hal aneh lagi. Bagi lelaki itu, sang ibu adalah sahabat sejatinya. Ya, meskipun tak jarang ia dapat timpukan sandal atau bantal kalau pulang larut malam.

"Orasah ngguya-ngguyu ngono to, ora ceto. Opo karepmu?" (Nggak usah ketawa-ketawa gitu. Nggak jelas. Apa maumu?).

Gino mendengkus mendapat respon ketus sang mami. "Mami masih marah sama aku karena nggak ikut arisan ke Blitar? Aku ada kuliah, Mi. Kelas susulan tiba-tiba Jumat sore. Nggak bisa ikut ke Blitar."

"Alah, palingan yo cah koyo koe ngene iku pacaran gaweane. Nginep ning hotel ngendi? Hotel Mlati kono pinggir ndalan?" (Alah, paling juga anak kayak kamu itu isinya pacaran. Tidur di hotel mana? Hotel Melati pinggir jalan itu?).

"Mi, aku lho iki ora ono pacar." (Mi, aku itu nggak ada pacar). Lelaki itu membela diri. "Mau minta ajarin resep baru buat Golden Cafe, Mi, aku. Masakan seafood. Mami kan jagonya."

"Kenapa nggak ngomong dari semalem, Gin? Kan Mami bisa belanja."

"Biar surprise!" Ia menyengir.

"Surprise, surprise! Bikin repot, ngerti nggak?" Ratna memukul lengan anaknya beberapa kali.

Gino melipat kedua tangannya di depan dada. Sejak Haikal---kakaknya, menikah dan memiliki anak, kasih sayang mami pada dirinya jadi berkurang. Ia merasa sang ibu jadi lebih galak. Dia merasa terbuang. Cemburu, apalagi pada bocah dua tahun bernama Nizar itu.

"Mami udah nggak sayang sama aku lagi. Cuma sayang Nizar sekarang!" cebik Gino.

"Yo, jelas! Nizar itu cuma minta susu sama main di kolam ikan tok! Belum ngerti macem-macem," sahut Ratna tanpa pikir panjang. Ia kemudian beranjak menuju pintu keluar, meninggalkan Gino yang masih terbengong.

"Mi, mau ke mana?"

"Loh, kamu tuh, gimana? Belanja, lah! Emang mamimu pasar ikan, punya bahan-bahan seafood di rumah?"

"Mami nggak ganti baju dulu? Atau ambil dompet gitu?" Gino berlari kecil menyusul ibunya.

"Nggak perlu. Mami udah cantik gini." Ratna menoleh ke belakang dan memutar mata. "Ayo, cepetan to, Gin. Selak pasare tutup. Kamu bawa duit, to? Mami lagi nggak mood ngeluarin uang." (Keburu pasarnya tutup).

"Iyo, iyo, Mi." Gino merangkul bahu sang ibu dan mengiringnya menuju mobil.

Di antara enam penghuni Boedjangan Indekos, Gino satu-satunya orang yang bisa pulang kampung tiap hari. Ya, gimana nggak, rumahnya cuma setengah jam dari indekos. Harusnya sih, Gino nggak perlu ngekos. Cuma, berdalih ingin mandiri dan kebebasan ia pilih untuk menghambur-hamburkan uang. Mentang-mentang udah punya gaji sendiri. Dua digit lagi.

Sesampainya di pasar, Gino terus mengikuti ibunya sambil memegangi ujung belakang baju yang dipakai wanita itu. Kalau cowok seganteng dia nyasar di pasar kan, bahaya. Bisa-bisa dia dijual di pasar gelap.

Sejam kemudian, Gino sudah membawa sekantong belanjaan, yang berisi udang, cumi, kerang dan ikan. Maminya ini benar-benar totalitas melaksanakan misi.

"Mi, banyak banget belanjanya," celetuk Gino sambil menenteng kantong belanjaan menuju mobil.

"Ditaruh di kulkas kan bisa, Gin. Bisa stok di rumah lumayan. Nizar suka banget sama cumi krispi."

Dia berdecak. "Nizar terus yang dipikirin."

Maminya langsung berbalik dan memukul lengan sang anak. "Kamu itu loh, sama ponakan sendiri, cemburuan terus. Makanya sering pulang ke rumah. Apa kamu nggak kangen Mamimu ini to?"

"Kangen, Mi, kangen. Aku tiap minggu juga pulang, loh."

Kadang, maminya ini memang sedikit lebay. Padahal dia pulang tiap minggu, masih saja dibilang nggak sayang. Toh, Mas Haikal dan keluarganya juga sekarang tinggal di sebelah rumah mami. Tiap pagi juga Nizar sama baby sitter-nya akan main ke rumah sang ibu, tapi tetap aja merasa kesepian. Gino juga udah kasih saran untuk maminya nikah lagi, kalau memang kesepian. Eh, ditolak mentah-mentah.

Ya udah deh, sebagai anak Gino cuma nurutin omongan sang mami. Diomelin ya, didengerin, disuruh pulang ya, gas pulang kalau nggak ada acara. Secerewet apa pun maminya, Gino tetap cinta mati dengan wanita itu.

***

"Kafemu mau tambah menu seafood apa?"

"Nah itu, belum tahu, Mi. Jadi, ajarin aja semua yang Mami tahu. Biar aku bisa masaknya terus diskusi sama staf kafe."

Ibunya kini sudah pakai seragam kebangsaan di rumah, yaitu daster terusan dengan motif batik. Terlihat sibuk mencuci cumi dan udang di wastafel.

"Kalau mau pinter masak seafood, kudu bisa cuci seafood sampai bersih." Ratna menoleh ke belakang, melihat Gino duduk santai di meja makan. "Sini! Lihatin gimana caranya Mami cuci cumi."

Lelaki itu mendengkus, "iya, iya, Mi. Nyuci mah gampang. Kayak nyuci ayam, kan?"

"Yo, tapi dilihat dulu."

Gino menghampiri maminya dan ikut membantu mencuci hewan-hewan laut itu. Satu hal yang bisa dibanggakan dari dirinya adalah sebagai lelaki ia cukup pandai memasak. Itulah mengapa ia membangun usahanya sendiri, Golden Cafe, dengan bantuan sang kakak. Sedari kecil, Gino memiliki minat di dunia kuliner. Sejak kelas satu SMA, ia membantu di cafe and resto milik Haikal, sebagai waiters, kadang juga barista. Ia juga mengikuti kelas memasak online dan rajin menunggui sang mami di dapur saat libur.

"Cumi krispi, udang krispi dibumbu asam manis, lada hitam, teriyaki, saus mentega, atau saus padang. Itu menu yang paling gampang," kata sang mami. "Kamu mau belajar masak yang mana dulu? Nggak bisa sehari langsung semua, mubadzir nanti."

"Masak cumi dulu, deh, Mi. Saus padang boleh. Eh, sama udang mentega juga." Ia ingat beberapa unggahan di Instagram Andara, wanita itu sangat menyukai udang dan lobster mentega.

"Oke." Sang mami mengangguk. "Sayurnya? Biasanya kalau seafood begitu ada tumis kangkung atau tumis brokoli udang, tumis buncis atau sup buat pelengkap."

"Kalau tumis kangkung mah, aku bisa, Mi."

"Atau bisa jadi campuran pasta, nasi goreng, cap cay. Terserah sih, mau mana. Kamu udah pernah survei belum? Kebanyakan konsumen kafemu sukanya apa?"

Gino menggaruk puncak kepalanya, "belum pernah sih, Mi. Tapi, kayaknya kalau dibikin rice bowl laku. Pelanggan aku sukanya yang murah dan kenyang."

Ratna berdecak sambil berjalan ke lemari es untuk mengambil bahan-bahan untuk memasak. "Ya udah, bikin cumi kripsi saus padang sama udang mentega aja. Nanti nyisihin buat Nizar yang nggak dikasih bumbu."

***

Pukul tujuh malam, Gino kembali ke indekos dengan menenteng tas kain besar, yang memunculkan aroma sedap. Tanpa perlu ketuk pintu, para bujang yang sedari tadi menyumpal di kamar menampakkan diri satu per satu. Ia heran, kenapa kalau soal gratisan, sinyal mereka peka banget.

Brian, si anak band yang ngaku paling keren se-Arkananta, padahal cuma bujangan yang kalau tanggal tua nebeng sana-sini demi sesuap nasi, muncul paling pertama. Celana kolor pendek dengan gambar BoBoiBoy dengan kaus bola, melekat sempurna di tubuhnya. Sumpah, kalau begini, Brian nggak ada ganteng-gantengnya sedikit pun.

"Pas banget, gue baru mau cari makan. Eh, lo dateng." Senyum merekah di bibir lelaki 21 tahun itu, sembari membuntuti Gino yang berjalan ke dapur. "Bawa apa, nih? Baunya sedep bener."

"Nih, buat makan malam. Sana, panggil temen-temen kaum jelata lo lainnya." Gino mengeluarkan beberapa kotak makan dari tote bag, dan meletakkannya di meja makan.

Brian berdecih, dalam hati mendumal. Kalau bukan tanggal tua juga nggak gue embat, cok. Ia lalu mengirim pesan di grup Whatsapp Boedjangan Indekos, memanggil pasukan penghemat pundi-pundi rupiah di tanggal tua. Tak lama, empat orang muncul dengan mata berbinar, di waktu yang hampir bersamaan.

"Anjir, metu kabeh ik. Iso-isone?" (Anjir, keluar semua. Bisa-bisanya?) Gino geleng-geleng waktu teman-temannya muncul satu per satu dari kamar.

"Rezeki nggak boleh ditolak, brother." Richard menepuk bahu Gino.

"Apa, nih?" Naka bersiul sambil membuka tutup tupperware di atas meja. "Wis, seafood. Dalam rangka acara?"

"Sedekah ke fakir miskin," cebik Gino.

Naka memicingkan mata dan menoyor kening sahabatnya itu.

Dion langsung mencomot udang ke mulut dengan tangan kosong. Matanya terpejam saat kenikmatan saus padang mengguncang lidah. "Laziz. Makan sekarang, ah!"

"Eh, Gin, jangan-jangan ini hasil dari latihan masak lo buat Bu Andara, ya?" celetuk Bayu.

Gino menyeringai, "coba cicipin dulu."

"Gue juga mau sih jadi pacar lo kalau dimasakin begini terus," timpal Dion dengan sepiring nasi di tangan.

"Nggak doyan batangan gue. Richard tuh, yang doyan." Gino mendesis.

Keempat lelaki yang mengerubungi meja makan langsung berebut mencicipi masakan yang dibawa Gino. Mereka semua kompak mengacungkan jempol dan mengambil nasi putih. Tak ada yang bisa menolak cumi krispi saus padang dan udang saus mentega masakan ibu Gino.

"Lampu hijau sih, kata gue," tukas Brian.

"Ini masakan Mami gue, sih. Nanti gue mau belajar dulu. Kalau rasanya udah begini, langsung gas pol."

"Yah, gue kirain you udah ahli," dengkus Richard.

"Tenang, gue siap jadi juri," pungkas Naka.

"Ka, kalau kata gue sih, gue sama Una sekali-kali kudu adu masak, deh," ujar Gino sambil melipat tangan di dada, badannya menyender tembok, "gue masih yakin, masakan gue lebih enak daripada pacar lo."

Naka tergelak. "Boleh, boleh. Asal kalau lo yang menang, jangan minta jadi pacar gue."

.
.
.

Mau flexing, tapi takut diusir dari kosan jelata ini.

.
.
.


Btw, part 6-7 udah meluncur di karya karsaaa ❤❤❤❤ yang kangen brian sama juleha meluncurrrrr

Lihat kasus yg masih rame soal perwetpetan, semoga pembacaku di sini nggak ada yg jadi pembaca cerita yg kemarin rame diomongin.

Cerita 18+ tp tokoh utamanya masih SD.

Kalian kalo demen cerita begituan, fix udah nggak waras. Aku ngintip aja udah jijik banget.

olroit, mending baca anak anak bujangan ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top