87 - reuni dan permintaan maaf

Sang pemilik manik emas itu kini sedang terduduk dikursi kecil disebelah sofabed tempat Taufan berbaring. Tangannya memegang pisau kecil seraya ia dengan lihai mengupas buah apel menjadi bentuk kelinci. 

Di masa lalu, sudah pasti sang kakak bermanik safir itu akan memulai pembicaraan dengan natural. Membicarakan apa saja yang menurutnya menarik. Gempa memang bisa dianggap pintar dalam berbicara jika dibandingkan dengan para saudara elementalnya yang lain. Namun Taufan, ada sebuah aura magnetik yang membuatnya selalu nyaman saat mendengar omongannya. 

Atau begitu dulunya, sebelum kesalah pahaman membuat hatinya kesal setiap mendengar suara sang pengendali angin. 

Namun kini, ratusan hari yang ia habiskan dengan menyakiti perasaan sang kakak, ia sedang berusaha memperbaikinya. 

Jika dulu ia pernah berkata “nasi telah menjadi bubur.”, mungkin sang Taufan versi ceria sebelum kesalahpahaman terjadi ini akan mengatakan “ Kalau begitu tambahkan ayam suwir dan jadilah sarapan yang enak.” 

Kini, ia sedang berusaha menjadikan bubur itu sebuah hal yang dapat mengobati luka sang kakak. 

Oleh karena itu, saat Solar datang menghampirinya dengan wajah dingin, memberikan pesan yang seakan ia keberatan untuk mengatakannya, ia sangat tidak percaya. 

“Taufan bilang kalian boleh menemuinya.” Ucap Solar singkat dan langsung meninggalkan ruangan mereka tanpa mendengarkan pertanyaan dari Gempa. 

Namun hanya satu kabar itu, satu kabar itu saja seakan telah mengangkat batu besar dari pundaknya. Taufan benar masih hidup? Dan dia.. Memaafkan kita? 

Kesempatan yang diberikan sang kakak ini tidak akan ia sia-siakan, begitulah tekadnya. 

Namun kenyataannya, semua ini terasa canggung. Taufan tidak mendorong mereka pergi, namun ia juga tidak mendekati mereka. 

“pasif” adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan peran Taufan saat ini. 

Namun Gempa tidak menyerah, setelah selesai mengupas apel itu, ia menatap manik safir yang sayu itu. “.... Kak, mau apel?” Tanya Gempa kepada Taufan. Dahulu, mana mungkin ia terfikir bahwa akan terasa sangat canggung dan salah untuk memanggil sang kakak dengan panggilan kakak. 

Dilubuk hatinya ia tahu bahwa ia tidak berhak, bahwa ada rasa sesal dan bersalah yang mmebuatnya tak dapat mengucapkan kata itu dengan ringan. 

Taufan tersenyum, “terimakasih, simpan saja dulu disitu, nanti kumakan.” Responnya dengan sopan. 

Bukan ini yang Gempa inginkan. 

Bukan hubungan yang harus dijalani diatas seutas tali tambang dengan berjinjit agar tetap seimbang ini yang ia butuhkan. 

Namun, segala memori dari Boboiboy yang ditumpahkan padanya, membuatnya cukup tahu diri untuk tidak komplain akan perlakuan ini. 

Gempa mengangguk, tersenyum. Sudah satu minggu sejak ia dan saudara-saudaranya yang lain bertemu dengan Taufan. 

°•°•°•°

Di hari pertama mereka semua datang menemuinya, di kediaman yang ternyata dekat dengan minimarket yang mereka datangi. 

Di hari itu, rasanya seperti mimpi yang menjadi nyata. Saat mereka semua dengan gugup berdiri didepan pintu gerbang rumah itu dan saling berkomunikasi melalui tatapan akan siapa yang harus menekan bel. 

Di hari itu, saat mereka memasuki ruangan dengan lapisan fitur keamanan, jantung mereka berdegup kencang. Ekspektasi namun juga rasa takut memenuhi diri mereka. Harapan yang besar namun juga ingatan lampau tentang hari dimana Taufan menghilang memenuhi benak mereka. Bagaimana kalau segala harapan mereka berujung dengan kekecewaan? 

Namun mereka disambut dengan manik safir teduh yang sangat mereka rindukan itu. Manik safir biru bagai lautan dalam, sangat dalam hingga ombak tak akan terlihat. 

“..Taufan.” Gumam Halilintar, manik rubinya sedikit membelalak saat melihat sosok sang adik yang terlihat jauh lebih ringkih dibanding saat terakhir ia melihatnya. 

Halilintar sangat ingin menghampirinya, namun ia tak berani. Apakah ia benar-benar pantas untuk bahkan menatap mata sang adik setelah apa yang telah ia lakukan padanya selama ini? 

Tanpa ia sadari, ia membuang pandangannya dari sosok sang mantan pengendali angin itu. Sertakan Blaze dan Thorn sudah lebih dahulu menghampiri Taufan. 

“Kak Taufan, ini betulan kau kan?” Tanya Blaze sambil menggenggam tangan Taufan yang masih dipasangi plester bekas infusan yang tadi pagi baru dilepas. 

Thorn sepertinya lebih peka akan hal itu, ia langsung mengusap lembut bekas infus itu seraya berucap pelan pada Blaze, “jangan terlalu kuat, ada bekas infusan.” 

Thorn menatap figur Taufan, tentu ini bukanlah tampang orang yang baik-baik saja. Benar, bisa selamat dari segala hal yang terjadi pada Taufan saja sudah seperti mukjizat. 

Mukjizat, atau kekeras kepalaan seseorang. 

“Kak Tauf–” Ucapannya disela oleh Gempa yang ternyata sudah ada disebelah Thorn. 

“Bagaimana kabarmu kak?” Tanyanya dengan mata yang berkaca-kaca. 

Senyuman tipis dan anggukan yang lemah Taufan berikan kepada mereka sebagai jawaban. “seperti yang kalian lihat..” Jawabnya. Akan terlalu kejam jika ia harus bilang bahwa kondisinya sangat buruk sampai terkadang ia ingin memilih untuk menghentikan semua upaya preservasi ini, namun di lain sisi, “baik-baik saja” Bukanlah kata-kata yang bisa menggambarkan dirinya. Ia memang sudah lama untuk selalu berpura-pura untuk baik-baik saja, dan ia pikir ia hebat dalam hal itu. Namun ternyata, ia sudah terlalu lelah untuk mengatakan jawaban basi seperti itu. Belum lagi sampai sekarang hatinya membuat dirinya bingung. 

Taufan kira, ia akan bahagia jikalau bertemu lagi dengan saudara-saudara yang telah mengetahui kebenarannya dan memaafkannya. Namun nyatanya, saat segala perandaian itu terealisasi, rasa berat dalam hatinya belum juga menghilang. Ia tidak lagi mengerti dengan dirinya. Padahal saat bertemu dengan Solar, ia dapat merasakan kebahagiaan dan kerinduan untuk sang bungsu. 

Padahal yang lain juga saudara mereka, tapi kenapa perasaan yang ia miliki tidaklah sama? Namun segala kebingungan yang ia rasakan itu terpecah saat Thorn kini membungkuk dihadapannya. 

“Maafkan aku ya kak.” Ucapnya pelan. Manik emeraldnya bergetar pelan. Sebelum Taufan memiliki kesempatan untuk bereaksi, Ice dan Blaze juga ikut membungkuk bersamanya. “Aku juga minta maaf, kak Taufan.” Ucap Blaze. 

“Aku pernah marah padamu tanpa mengetahui kebenarannya.” Lanjut Blaze yang menahan isakannya. 

“Aku sungguh bodoh, selalu menolak upayamu untuk menjelaskan, selalu mendorongmu jauh namun juga bertingkah sok akrab kepadamu seakan aku tidak menyakitimu.” Lanjut Blaze. 

Ia sadar diri, dulu ia dan saudaranya yang lain marah kepada Taufan karena kejadian yang menimpa BoBoiBoy. Ia menjauhinya, melampiaskan amarahnya padanya, namun setelah Taufan menjauh, ia merasa bahwa ia tidak boleh membiarkannya. Ia merasa menjadi seorang pengecut karena tak pernah berusaha mengerti namun juga tetap berusaha untuk memastikan bahwa tali ikatan persaudaraan dengan Taufan tak terlepas. 

Mungkin tingkahnya yang terkadang mendorong Taufan menjauh namun juga menariknya untuk mendekatlah yang menambahkan rasa sakit di hati sang kakak bermanik safir itu. 

Dan rasanya, tidak adil jika ia dapat melimpahkan segala emosi dan kerinduan yang ia rasakan kepada Taufan padahal selama ini ia selalu berbuat sesuka hati pada sang kakak. 

Taufan sepertinya terkejut dengan pemandangan dihadapannya. Tubuhnya yang sudah tidak bisa berfungsi normal itu membutuhkan waktu untuk memproses segala yang terjadi di hadapannya saat ini. “.. Jangan di lantai seperti itu, berdirilah–” 

Ice yang sedari tadi terdiam dan berlutut, kini membuka suara, “aku juga—” 

“Terlalu banyak hal jahat yang kulakukan kepadamu.. Aku tahu akan berat untuk memaafkanku, jadi kau tak perlu melakukannya jika merasa terbebani, namun, setidaknya biarkan aku mengatakan ini padamu.” 

“Maafkan atas segala perbuatanku selama ini.. Awalnya, itu semua hanyalah caraku untuk melindungi diri dari rasa sakit, namun lama kelamaan itu menjadi caraku untuk menghindari rasa takut akan kebenaran dan konsekuensi dibalik tindakanku. Aku baru menyadarinya setelah sudah telat, tapi aku berjanji, aku sudah belajar untuk berintropeksi diri kak–” 

Kak? Apa aku masih pantas memanggilnya kak?

“Aku tahu ini akan membebanimu, oleh karena itu kau tak perlu bilang bahwa kau memaafkanku, kau boleh merasa benci padaku, aku akan berusaha sebisa mungkin untuk membetulkan apa yang sudah kurusak.” Ucap Ice, ini adalah kalimat terpanjang yang ia ucapkan minggu ini. 

Setelah ia selesai dengan kalimat panjangnya, keheningan tercipta diruangan itu. Adik bungsu mereka kini muncul dari ruangan lain sambil membawa nampan berisikan air minum, “sudahi dulu topik pembicaraan kalian itu.” 

“Minum ini dan kembalilah.” Ucapnya sambil menyuguhkan gelas berisikan jus jeruk segar. 

Diantara saudaranya yang lain, wajah Gempa seakan mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan ucapan Solar. “next time, datang kesininya tidak perlu rombongan. Kalian hanya akan membuatnya kelelahan.” 

//author's note//

maaf ya updatenya slow banget, dan minal aidin wal faizin semuanya.

Sejujurnya karena passionku bukan di fandom ini lagi, butuh energi lebih buat lanjutin agent au ini, tapi komitmen awalku emang sampe namatin kok, jadi walau mungkin it takes time, tapi insyaAllah aku bakal lanjut agent au sampe tamat...

Makasii atas support yang kalian berikan yaa gais, maaf gabisa balesin satu-satu..

Minta doanya biar lancar terus semuanyaa yaa



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top