83 - mencari ujung ditengah lingkaran
Setelah Solar mendengar ucapan Halilintar tentang pertemuannya dengan Taufan, Solar langsung berlari keluar minimarket. Ia berlari mencari jejak apapun yang ia harapkan bisa menjadi clue akan keberadaan sang mentor.
Sertakan Ice, ia terdiam saat mendengar ucapan Halilintar. Sedikit mengerutkan alisnya, "kau mencengkram tangannya?" Tanyanya kurang setuju.
"Awalnya refleks, lalu.. " Halilintar terdiam sesaat.
"Lalu aku takut dia kabur, jadi aku terus menggenggamnya. " Lanjutnya.
"Hali, kapan kau akan belajar? " Tanya Ice dengan hembusan nafas pasrah.
"Bayangkan kucing yang sering kita usir dengan cara dipukul, lalu tiba-tiba suatu hari kau mendekatinya dan malah menggendongnya, kucing itu akan ketakutan. " Ucap Ice lagi.
Jika ada satu hal dari dirinya yang berubah, itu adalah kemampuannya dalam memahami emosi orang lain. Setelah kepergian Taufan, ia merasa sangat terpukul dan bersalah.
Apakah itu karena ia terlalu egois? Apatis? Terlalu tidak peka akan emosi dan perasaan orang lain? Ia terus bertanya-tanya hingga akhirnya ia memutuskan untuk mempelajarinya.
Tidak seperti kode komputer, perasaan manusia adalah suatu hal yang kompleks, Ice mulai membaca buku, belajar dari internet, bahkan menonton video parenting untuk lebih mengerti bagaimana seharusnya ia menjadi orang yang "baik".
Orang yang tidak akan menyakiti orang lain karena ke-individualitasannya.
Setelah mengulik ilmu-ilmu itu disetiap waktu senggangnya, ia akhirnya mulai mengerti.
Mengerti bahwa selama ini dia sangatlah bodoh. Dan mengerti bahwa dia selama ini sungguh egois dan entitled.
Seandainya ia bisa memutar balik waktu dimana ia bisa bertemu Taufan sekali lagi, ia pasti akan berusaha untuk mendengar segala beban Taufan, atau setidaknya, bertahan disisinya.
Ia menghela nafas panjang, menepuk pundak sang kakak sulung yang kini wajahnya menunjukan ekspresi gundah dan rasa bersalah. "Sudah, jangan terlalu tenggelam dalam perasaan negatif. Daripada menyesali yang sudah berlalu, lebih baik perbaiki apa yang bisa diperbaiki. " Ucapnya sambil memberikan buku "1001 cara gentle parenting anak remaja : ibu, mari benahi hati sang anak. " Kepada Halilintar.
"Kalau menyesal, lebih baik belajar. " Lanjutnya lagi. Kini Ice menghampiri sang cashier yang masih terdiam menatap rak yang lagi-lagi rubuh oleh duo angin tersebut.
"Kak? " Panggilnya. Sang cashier langsung menoleh.
"Ah, iya maaf, ada yang bisa dibantu kak?" , ucap cashier itu, berusaha profesional walau tempat kerjanya kini berantakan.
"Saya mau bayar. " Ucap Ice sambil menaruh minuman bersoda yang baru saja ia ambil dari lantai karena rak yang rubuh.
"Oh, boleh kak. Ini aja kak? Mau bayar pakai cash atau qr--" Ucapannya terhenti.
"Tapi sebelum itu kak, saya mau tanya boleh? " Tanya Ice dengan senyum yang terlihat.. Ramah. Dan palsu. Senyum profesional yang biasanya Taufan gunakan saat ia sedang menggali informasi.
Tak pernah ia bayangkan, dirinya yang seorang agen yang jarang berinteraksi secara langsung dengan orang lain, kini harus menggunakan skill yang pernah dahulu ia adopsi dari sang kakak yang ia rindukan, untuk mencari sang pemilik manik safir tersebut.
"Eh, boleh kak, ada apa ya? " Jawab sang cashier.
"Tadi ada pelanggan sebelum kami kan ya kak? " Ucap Ice yang disambut anggukan sang cashier.
"Apa kakak kenal mereka?" Tanya Ice, manik biru mudanya kini menatap lurus sang cashier. Mengirimkan rasa dingin menusuk tulang kepada sang cashier tersebut.
Sang cashier terdiam sejenak. ".. "
"Waduh, maaf kak saya kurang tahu ya." Ucap sang cashier. Ia sebenarnya tidak terlalu khawatir dengan kerusakan di minimarket ini, karena ia tahu bahwa pasti akan ada uang kompensasi.
Hal yang harus ia lakukan hanyalah menjaga agar identitas kedua pelanggan tampan tersebut tak terbongkar. Karena sang pengendali angin bersurai brunette itu pernah tersenyum dan bilang kepadanya bahwa "alangkah baiknya jika identitas kami terjaga, karena kawanku yang berambut putih ini sangatlah pemalu, siapa yang tahu apa yang dia akan lakukan jika perhatian ditujukan terhadapnya. "
Alias, terjemahannya adalah "tolong jaga rahasia ataupun informasi tentang keberadaan kami, jika tidak, si rambut putih yang satu ini akan mengamuk. "
Ice menghela nafas, sedikit kecewa. Dia tersenyum dan mengeluarkan uang cash dari sakunya. "Oke, terimakasih kak. "
°•°•°•°
Solar berlari, mencari jejak apapun yang bisa memberikan sedikit saja bukti akan keberadaan sang mentor. Sebuah drone kini terbang diatasnya, drone canggih dengan tulisan 'whoosh.co' menjatuhkan secarik kertas pas di kepala Solar.
Manik silver Solar membelalak. Ia langsung mengambil kertas itu dan membacanya. [Kafe yang sama, esok siang. Datanglah sendiri, rahasiakan dari yang lain. ]
Solar sangat mengenal tulisan tangan ini. Tulisan tangan kursif yang sedikit acak-acakan dan tak terlalu terbaca layaknya tulisan resep dokter ini adalah tulisan yang fulu sering menghiasi sticky-note yang ditempel di kulkas ruangan mereka di gedung-B.
Jantungnya berdegup kencang. Rasanya setelah sekian lama, hatinya yang penuh dengan kegelapan kini menemukan setitik cahaya.
°•°•°•°
Hari itu, Solar sengaja mengambil misi dan menyelesaikannys dengan cepat. Selanjutnya, ia langsung pergi ke kafe yang pernah ia datangi untuk menemui sahabat sang kakak sekaligus mentornya.
Jantungnya berdegup kencang, kekanakan memang, tapi hari ini dia berdandan rapih. Menggunakan coat yang dibelikan oleh sang mentor, ia memasuki Kafe itu.
Kafenya sepi, sangat sepi. Hanya ada satu waiter yang berjaga, dan segera setelah Solar memasuki pintu cafe itu, ia mendapatkan ada sosok yang terduduk di bagian pojok cafe.
Sosok bersurai putih. Hati Solar sedikit kecewa. Harapannya untuk bertemu kembali dengan mentornya hancur seketika. Namun ia tetap menghampiri sang pria bersurai putih itu, berharap setidaknya ada petunjuk akan keberadaan sang kakak.
"Oh, kau datang rupanya?" Ucap Revan sinis.
Solar mengangguk, "tak perlu basa basi, ada perlu apa kau memanggilku kesini? " Jawabnya ketus dan dingin.
"Sebelum itu, bukannya harusnya kau memesan minuman dulu?" Ucap Revan.
"Aku tak punya cukup waktu untuk berleha-leha di kafe sepertim--" Ucapannya terhenti saat ada yang menyodorkan secangkir latte hangat dihadapannya.
"Ck, aku tidak order--" Ucapannya kembali terhenti saat ia menatap lebih seksama akan tangan yang menyodorkannya latte itu. Lebih ringkih dan pucat, namun ia mengenal tangan ini.
Kepalanya langsung menoleh kebelakang, manik silvernya disambut dengan senyuman. Senyuman yang sangat ia rindukan. Suara yang sangat ia rindukan juga terdengar, seakan sebuah mimpi manis yang berputar untuk dirinya.
"Ah, maaf. Saya kira anda akan menyukai latte ini. " Ucap orang itu.
Solar langsung berdiri dari tempat duduknya, air matanya menitik. Jantungnya berdegup kencang, rasa tak percaya, syukur, dan segala perasaan yang tak dapat ia jelaskan bersatu menjadi gumpalan yang menyesakkan.
Ia menarik sosok itu kedalam pelukannya. Sosok yang sangat ia rindukan itu. Mentor bermanik safir kesayangannya itu.
Kakak, sekaligus figur yang paling penting dalam hidupnya itu.
// Author's note //
Jangan melakukan kekerasan terhadap hewan ya ges.
Btw, maafkan aku menghilang lamaa, skripsian kak hehe ^^
BTW DOAIN YAAA MAU SEMPRO PLIS DOAIN LANCARRRR BANGET GA DIBANTAII biar kalau lancarkan nanti lebih cepet update ya ga? Iya dong. Jadi DOAIN ya gess, tolong kirim doa untuk saya
Btw FINALLY HEHEHEH MEREKA KETEMU LAGI. SENENG GA??? SENENG GAAA??
Maaf klo ada typo ya ges
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top