80 - call me like a hurricane
Jika ditanya, "apa yang kau ingat tentang Taufan?" Maka jawabannya adalah "badai."
Bukan hanya hembusan angin, namun badai besar yang menginvasi hidupnya dengan perlahan.
Serangan yang berani, berlangsung dengan cepat, menembus pertahanannya tanpa izin. Seakan lancang, seakan tak berperasaan, ucapannya pun seringkali tajam, namun entah kenapa tetap terlihat ramah karena berbalut senyuman.
Namun, pernahkah kau berada dalam inti pusaran angin ditengah badai? Bagaimana rasanya? Solar pun tidak pernah merasakannya secara harfiah, namun..
Namun didalam pusaran badai itu ada kenyamanan, kehangatan yang menenangkan. Ada tangan yang mengayomi dirinya, yang selalu menjamin kebutuhannya.
Harusnya ia tahu, harusnya ia mengerti bahwa segala hal itu akan mengurungnya. Ucapan tajam yang meruntuhkan egonya, didikan lembut dan persisten yang mengarahkannya, kenyamanan hangat yang diberikan kepadanya. Pada akhirnya hal itu akan lenyap semuanya.
Bagai badai yang terasa intens namun berakhir begitu saja, meninggalkan kehancuran. Begitu pula dengan Taufan yang datang begitu saja, memberikan segalanya kepada Solar lalu meninggalkannya.
Hanya puing-puing yang tersisa. Hanya peninggalannya yang tersisa. Begitulah yang ia rasakan.
Setelah ia membuka kartu pokenot itu bersama Ice. Ia merasa bahwa sekali lagi ia ditertawakan oleh takdir. Padahal ia berharap bahwa ada secercah kemungkinan bahwa kartu itu berisikan informasi tentang keberadaan sang kakak. Tapi, yang ada didalam itu hanyalah aset-aset yang Taufan tinggalkan untuk Solar.
Bisnis, perusahaan, ilmu yang ia rangkum sendiri, aset, semua hal yang Taufan dapatkan atas kegigihan dan jerih payahnya, ia tinggalkan untuk sang adik.
Wajah Ice datar, jika saja dirinya adalah orang yang sama dengan dirinya di masa Taufan masih disini, pastilah hatinya sudah diisi rasa iri dengki terhadap Solar yang lagi-lagi menerima perhatian dari sang kakak. Namun, segala hal itu sekarang tak terlalu berarti baginya. Ia telah belajar tentang rasa pantas dan tidak pantas. Dan nyatanya, ia cukup sadar diri untuk mengerti bahwa afeksi dari Taufan sudah tak pantas untuk ia terima.
Bahkan Solar, orang yang selalu ia rasa mencuri tempatnya, kini terlihat memprihatinkan dimatanya. Bocah itu, si bungsu itu, seakan mendapatkan dunianya berubah menjadi angin. Hilang dari pandangannya. Seakan dunianya tak lagi dapat berputar pada porosnya, rapuh, menghancurkan dirinya.
Seakan satu-satunya alasan dirinya untuk tetap melangkah adalah agar dapat menerima kembali sang mentor di sisinya. Kembali masuk kedalam badai miliknya dan memastikan bahwa ia tak akan pernah keluar dari inti badai.
Ice menepuk pundak Solar. "istirahatlah dulu." Ucap Ice sambil pergi meninggalkan kamar Taufan. Ia kini menatap kitchen set yang hanya berhiaskan sereal instan dan minuman protein. Helaan nafas panjang ia lepaskan. "Gaya hidup seperti ini..." Mengingatkannya akan Taufan. Sembarangan dalam urusan makanan.
Ice sendiri bukanlah orang yang berprinsip harus makan 4 sehat 5 sempurna. Namun ia cukup percaya diri dengan asupan nutrisinya karena banyaknya variasi makanan yang ia lahap tiap harinya.
Ia menyeret tubuhnya yang malas itu, membuka kulkas yang syukurnya masih memiliki tiga butir telur didalamnya. Ia panaskan wajan dan mulai memasak. Ice memang hebat dalam memakan, namun skill memasaknya biasa-biasa saja menurutnya.
Tentu lebih bagus dibandingkan Blaze, Thorn ataupun Solar. Namun tentunya jauh dibawah Gempa dan Taufan. Namun sekedar omurice masih bisa ia buat. Untungnya ada nasi kemasan instan di laci makanan milik Taufan. Ice memasak seluruh bahan yang diperlukan dan menatanya di meja.
Setelah selesai, ia mencicipinya. "Ugh." Komentarnya. Bukannya tidak enak, hanya saja, sedikit hambar. Ia menghela nafas sekali lagi, menutup makanan tersebut dengan tissue agar tidak terlalu terekspos udara dan pergi meninggalkan apartment itu.
[Makan omurice di meja ya. Aku sangat mengerti semua hal ini sangat berat untukmu, tapi hidup harus terus berlanjut] ketiknya, dan ia mengirimkan pesan itu pada Solar.
°•°•°
"Ah, terima kasih.", Ucap sang pemilik manik safir itu dengan suara yang sudah tidak selemah sebelumnya, namun masih sangat rapuh. Tangannya yang gemetar kini sudah lebih kuat dalam menggenggam gelas tanpa menjatuhkannya. Seakan itu adalah sebuah pencapaian, sangat menyedihkan baginya.
Revan menggeleng pelan, tetap membantunya agar Taufan bisa minum dengan nyaman. "..bagaimana perasaanmu?" Tanyanya dengan suara yang masih dibalut dengan rasa bersalah.
Taufan tersenyum pasrah, "jauh lebih baik. Jadi hentikan ekspresi menyedihkanmu itu." Ucapnya menberikan gelas yang tadinya ia pegang ke Revan.
Ekspresi itu masih terlukis di wajahnya, Taufan menghela nafas dan menggerakkan tangannya yang lemas dan mendaratkan sentilan di dahi sang kawan.
"Kau yang berusaha membangunkanku dari tidur panjang namun saat aku sudah bangun kau malah terlihat stress." Komentarnya.
Revan tersentak, merasa bersalah. Ia menundukkan kepalanya. "Maaf--"
"Hush, tidak perlu minta maaf. Hari ini moodku cukup baik, rasa sakitnya juga tidak seburuk biasanya. Jadi, jangan rusak suasananya."
Revan terdiam, memberikan anggukan.
Taufan menatap alat infus yang masih setia terpasang di tangannya. "Tapi Revan.. aku punya pertanyaan."
"Hm? Tentang apa?" Tanya Revan.
Taufan menatap meja dimana obat-obatan miliknya tertata, "dengan bantuan segala obat dan alat medis ini, seberapa lama aku akan bertahan?"
Tatapan yang dipenuhi rasa sakit terpancar dari manik Revan, "itu--"
"Dan, kau tahu, rasa sakit dari efek samping obat-obatan itu dangat tidak enak." Lanjut Taufan.
Revan menatap manik Taufan, lalu ia melirik kearah lain, merasa tidak pantas untuk bertukar pandangan dengan orang yang sudah tersiksa karena keegoisannya. "Maafkan aku."
"Eyy, sudah kubilang jangan minta maaf." Jawab Taufan lagi.
"Jika aku tidak mengonsumsi obat-obatan yang memiliki efek samping merepotkan itu, berapa lama aku bisa bertahan?" Tanya Taufan lagi.
Revan kini terdiam beribu kata, pandangannya ia arahkan ke lantai. Ia tidak mau menatap Taufan, ia tak sanggup. Setelah segala keegoisannya yang membuat Taufan semakin menderita, bagaimana ia bisa bilang bahwa bahkan setelah segala usahanya, itu hampir bisa dikatakan sia-sia?
Taufan tersenyum, mengusak surai putih sang kawan. "Kau tahu aku berjiwa bebas kan?" Tanyanya.
"Mengurungku disini terus menerus, sungguh kejam." Lanjutnya.
"Kalau kau merasa bersalah padaku, bagaimana kalau kau bawa aku keluar? Aku merasa sumpek berada disini terus menerus." Tanya Taufan dengan nada yang seakan ia tidak akan menerima "tidak" sebagai jawaban.
Revan terdiam sebelum akhirnya mengangguk. "Aku akan siapkan mobil."
"Tidak. Aku mau jalan." Ucap Taufan.
"Tapi kakimu masih--"
"Ini hukuman untukmu. Kau jadi harus memapahku. Aku tahu kau paling benci dengan orang yang jalan lambat."
Revan terdiam, menarik nafas panjang dan akhirnya mengangguk. "Baiklah."
Taufan tersenyum.
"Revan, jika kau selalu memperlakukanku seperti orang yang rapuh, aku tidak akan pernah bisa hidup seutuhnya." Ucap Taufan.
//Author's note//
Lama nunggu ya? Maaf yaa author semester tua tugasnya banyakk T^T ini juga mau KKN doain lancar yaa, oh iya kelanjutannya lagi author siapin koo nanti author up klo udh jadi ya.
Komen yaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top