78 - blue hoodie
Keinginan egois, saat didapatkan terkadang akan mendatangkan rasa bersalah yang amat besar.
Dan Revan sangat mengerti akan hal itu. Namun egonya berkata "dia seharusnya tahu bahwa hal ini akan terjadi saat dia memilih untuk menampungku."
Mungkin hal itu bisa disebut sebagai obsesi dan ketidakrelaan. Oleh karena itu, walau ia sangat mengenal sang kawan yang seharusnya mati pada hari itu, ia berpura-pura untuk tidak mengerti.
Ia akan memaksa dirinya sendiri untuk berfikir bahwa sang kawan akan kembali hidup bahagia saat ia terbangun.
Jadi, saat manik biru itu akhirnya memunculkan binarnya setelah terlelap hampir satu tahun, harapannya hancur.
Bukan karena ada lontaran amarah dari sang pemilik manik safir yang tidak terima karena ia telah dibangkitkan, melainkan karena yang sang pengendali angin itu sambut untuk pertama kali setelah terbangun adalah rasa sakit yang amat sangat, menggerogoti jantungnya.
Tangan ringkih itu mencengkram dadanya walau tentu saja cengkraman itu sangatlah lemah. Ia baru saja terbangun, dan tubuhnya memang sudah rusak. Jadi ia sendiri mengerti.
Bahwa terbangun seperti ini hanya membuat kehadirannya dapat dirasakan. Dirasakan oleh orang-orang yang masih tak rela melepasnya.
Taufan mengerahkan seluruh tenaga yang ia bisa untuk menarik nafas, berharap setidaknya rasa sakit tumpul yang mengamuk di dalam dadanya dapat sedikit menjinak.
Revan menghampirinya dengan tatapan yang lega saat melihat kawannya yang telah terpejam berbulan-bulan itu kini akhirnya membuka matanya, namun ia bergegas menyuntikan obat ke alat infus Taufan.
"Painkiller nya akan bekerja sebentar lagi.." ucap Revan dengan suara yang terdengar menahan rasa bersalahnya.
Taufan menatap kawan bersurai putihnya itu. Butuh beberapa saat agar pandangannya dapat menyesuaikan diri setelah lama terpejam. Senyum ia lukiskan, senyum ramah yang malah terlihat rapuh.
"Maaf .." ucap Revan setelah melihat senyum itu. Ombak rasa bersalah berhasil menghantam tebing egonya. Kini ia menjadi orang yang malah memberikan rasa sakit kepada sang kawan yang hidupnya sudah dipenuhi rasa sakit.
"Maaf, maafkan aku." Ucapnya sambil mencengkram sprei. Air mata yang selama ini ia kira tak dapat ia keluarkan kini mengalir deras di pipinya. Rasanya seakan ia adalah anak kecil yang menangis di depan ibunya, lucu, mengingat ia tidak pernah memiliki ibu yang dapat menyayanginya.
Taufan menggerakan tangannya yang lemah itu, berusaha mendaratkan telapak tangannya ke kepala Revan. Ia mengusak surai putih itu, "tidak apa-apa." Ucapnya lembut dengan suara yang sangat serak dan parau karena sudah lama tak digunakan. Membuat rasa bersalah Revan semakin memuncak.
"Revan, tidak apa-apa." Ucap Taufan lagi, menepuk-nepuk tangan Revan yang masih mencengkram sprei itu.
"Justru.. aku harus berterima kasih." Ucap Taufan sambil menggenggam tangan sang kawan sekuat yang ia bisa.
Namun Revan rasa bahwa perkataan itu hanyalah kalimat penghibur untuk dirinya.
°•°•°•°
"Apa benar tidak apa-apa?" Tanya Revan dengan berhati-hati. Biasanya ia bersikap acuh tak acuh dan bermulut tajam, namun ia seakan menjadi marshmellow lembut yang lumer dalam cokelat panas, alias, sungguh sangat lembut dan berhati-hati. Jika kondisi Taufan sedang baik-baik saja, sang pemilik manik safir itu sudah pasti merinding dibuatnya.
Sudah dua minggu berlalu semenjak Taufan terbangun dari 'koma' nya. Ia kini menjalani rehabilitasi 'ilegal' yang dipandu oleh dokter 'ilegal' yaitu dokter Revan.
Tubuhnya kini sudah lebih mudah untuk digerakan, walaupun tentu saja kondisinya jauh lebih buruk dibanding saat ia masih menjadi agen. Satu jam sekali ia harus meminum pil untuk menjaga fungsi tubuhnya.
Chip yang dahulu ia tanamkan di tubuhnya juga sudah hancur. "Aneh rasanya.." ucap Taufan yang sedang belajar berjalan lagi dibantu oleh Revan yang menahan tubuhnya agar tak terjatuh.
"Aneh bagaimana?" Tanya Revan sambil memapah Taufan.
"Orang sepertiku ternyata memiliki keinginan untuk hidup yang cukup kuat.." jawab Taufan.
Revan terdiam, sedikit mengerutkan alisnya. "Apa kau lelah?" Tanya Revan, mengalihkan pembicaraan.
"Haha, sedikit. Bolehkah kita beristirahat dulu?" Tanya Taufan yang disambut oleh anggukan Revan sebagai jawaban.
"Biar aku bantu." Ucap Revan membantu Taufan untuk duduk.
Sang pemilik surai brunette itu terlihat sungguh lelah. Hanya sekedar melangkahkan kaki saja sudah sangat menguras energinya. Menyedihkan rasanya, mengingat dahulu ia terbiasa untuk berlari, melompat, bahkan terbang dan terjun bebas dengan mudahnya.
Sebenarnya, aku sudah sangat lelah.
"Revan,aku ingin bertanya mengenai sesuatu." Ucap Taufan sambil mengangkat botol minum menggunakan tangannya yang lemas dan gemetar itu.
"Hmm?" Tanya Revan sambil memeriksa layar yang berisikan data kondisi keseluruhan tubuh Taufan yang di update tiap menit.
"Bagaimana kabar Solar?" Tanya Taufan. Ini pertama kalinya ia menanyakan tentang saudara-saudaranya setelah ia terbangun. Alasannya tak lain karena kondisi tubuhnya sangat tidak stabil hingga ia tak bisa terbangun lebih dari dua jam selama ini. Baru akhir-akhir ini saja durasinya bertambah.
"Ah.." Revan lantas menatap layar hologram kedua yang menampilkan layar yang mirip dengan UI ponsel miliknya.
"Sejujurnya aku terlalu sibuk sampai belum sempat memeriksa keadaan saudara-saudaramu di agensi sialan itu." Ucapnya yang dibalas oleh tawa pelan dari sang kawan yang sayangnya disusul dengan ekspresi menahan sakit.
"Kau istirahatlah dulu. Aku akan mencari tahu secepatnya." Ucap Revan sambil membantu Taufan berbaring.
Dan anggukan Taufan berikan sebagai jawaban. Setidaknya dikondisinya saat ini ia dapat mendapatkan kompensasi jatah tidur yang selama ini telah hilang selama ia bekerja di agensi.
°•°•°•°
Hoodie biru ia kenakan. Aneh rasanya, ia merasa pakaian berwarna hitam adalah yang paling cocok untuknya. Dan karena itu juga ia berkali-kali di ledek dengan sebutan "emo" oleh penyelamatnya.
Ia menatap kartu transparan bergambar hewan dan manisan, dengan ragu ia mengambil dan membawanya.
Kartu ini tak lain adalah "wasiat" dari Taufan. Hal yang telah ia siapkan sejak ia tahu bahwa suatu hari ia harus meninggalkan sang bungsu. Revan tak tahu apa isi dari kartu ini karena kartu ini di enskripsi dengan password yang hanya diketahui oleh sang mentor dan murid tersebut.
[Cafe distrik 24, jam 21.00] tulisnya di pesan singkat yang ia kirim melalui layar hologramnya. Selanjutnya ia membawa Zerocola, supercar hitam milik CEO whoosh.co dan bersama angin mobil itu melesat sekejap mata.
.
.
Ke-awkward-an tercipta diantara mereka berdua saat bertemu. Bagaimana tidak? Keduanya menggunakan hoodie biru yang hampir terlihat persis. Seakan pasangan yang mengenakan baju kembaran.
Ingin rasanya Solar putar balik, begitu pula dengan Revan. Memang ternyata hitam paling cocok untukku. Batinnya.
Namun Solar berusaha menelan gengsinya. Walau nomor tak dikenal yang mengirimkan pesannya, saat melihat surai putih dan mata merah orang tersebut, ia tahu orang itu adalah orang yang seringkali ia lihat bersama dengan Taufan.
"..Kakakku, ada dimana?" Tanyanya, manik silvernya berkilau ke arah sang pemilik mata merah yang menatap datar dirinya.
Author's note //
Hii, maaf yaa udah menghilang lama bangett, semoga suka chapternyaa!! Komen yang banyakk yaa biar cepet lanjut, aji mumpung masih libur wkwkkw.
Minal aidin wal faidzin gess mohon maaf lahir batin yaa. Maafin author belum sempet bales komen + up
Jujur semenjak masuk semester 6 yang kebanyakan offline, Author jadi sibuk banget di rl, jangankan buat nulis, buat istirahat ajaa waktunya kurang huhu 😭😭😭 jadi ini pas libur baru sempet nulis lagii maaf yaa 😭😭 makasii udah mau nungguin ❤️❤️❤️ klo komentarnya banyak author usahakan buat update lagiii di masa2 author libur inii
Doakan ya biar kuliahnya mereda kepadatannya 😭😭 makasii gaiss sukses teruss,
Semoga terhibur yaa dengan chapter inii, ehe,
welcome back,Taufan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top