77 - show me the way
Setelah seluruh usaha yang ia kerahkan, seluruh padam listrik yang diakibatkan oleh dirinya yang memusatkan segala energi untuk 'menjaga' tubuh pemilik manik safir biru, kini Revan yang terlihat lelah itu akhirnya bisa sedikit bernafas.
Akhirnya, ia bisa mengembalikan detak jantung yang begitu lemah pada tubuh yang telah rusak itu. Akhirnya ia berhasil memaksa pria itu untuk bernafas kembali, walau ia rasa setiap tarikan nafas sang pengendali angin itu akan disertai rasa sakit dari seluruh anggota tubuhnya karena luka yang begitu parah itu.
Maaf.
Maafkan aku.
Aku egois, aku tahu itu.
Batin sang pemilik surai putih sambil menyandarkan kepalanya di tabung kaca besar dimana Taufan 'dirawat'.
Seluruh layar hologram besar sibuk untuk terus memantau kondisi sang pemilik manik safir itu secara real time. Memperbaharui data setiap detik, dan juga mengunggah segala data ke main computer untuk nantinya di analisa yang diharapkan bisa membawa perubahan yang lebih baik pada kondisi yang sudah sangat parah itu.
Jika bukan karena obat-obatan yang belum legal karena masih dalam proses pengembangan dengan efek samping yang belum diketahui, jika bukan karena pemberian dosis yang diatas batas yang diperbolehkan, Revan yakin tubuh itu tak akan bisa diselamatkan.
Ia menatap kawannya yang pucat. Jika dahulu kawannya di rendam di tabung yang berdiri secara vertikal, kini ia dibaringkan di dalam tabung dengan posisi horizontal. Sang pemilik manik biru safir itu terlihat sangat tenang.
Lukanya berhasil ditutup oleh Revan setelah berkutat selama kurang lebih tiga hari untuk menangani segala luka tusuk, sobek, benturan, dan lainnya.
Tentu saja itu tidak merubah fakta bahwa tubuh Taufan telah menerima terlalu banyak luka, dan organ dalamnya sudah banyak yang rusak karena serangan maupun racun.
Jika ia hanya manusia biasa, sudah pasti ia tak akan bisa diselamatkan.
Manik rubi revan menatap sendu kawannya yang terbaring itu, pandangannya beralih ke monitor yang menunjukkan adanya detak jantung yang lemah, "melihatmu seperti ini, aku tak tahu apa yang harus kurasakan." Ucap Revan.
Seekor kucing putih dengan corak abu-abu menghampirinya. Blueberry, kucing norwegian forest yang disayang oleh Taufan kini mengeluskan dagunya pada kaki Revan.
Entah untuk menghiburnya, atau untuk meminta makan.
Revan tersenyum, menggendong kucing itu keluar dari ruangan penuh teknologi dan alat medis itu, dan setelah pintu itu tertutup ia tertawa kecil. "Apa dia.. akan memaafkanku?"
°•°•°•°
Sudah 11 bulan ia merawat sang kawan yang terbaring itu. Walau detak jantungnya masih lemah, namun setidaknya ada peningkatan kondisi keseluruhan dari sang pemilik manik safir itu.
Setidaknya lukanya sudah tertutup, dan Revan sudah tahu dosis dan obat yang dibutuhkan untuk menjaga jantung kawannya itu agar tetap berdetak memompa darah.
Ia juga sudah berhasil mengurangi kadar racun dalam darah Taufan, walau tentu saja, tidak bisa semuanya.
Manik rubinya masih terlihat lelah, ia menyuntikkan obat ke lengan Taufan. "Aku sudah bilang berkali-kali untuk tidur yang cukup setiap hari. Minimal 3 jam. Lihat dirimu, sudah berbulan-bulan masih belum juga bangun.." ucapnya, tidak berekspetasi akan ada yang menjawab omelannya.
Selama 11 bulan ini, Taufan sudah mengalami 24 kali henti jantung, dan kerusakan ginjal yang menyebabkan Revan harus mengangkat ginjal Taufan yang rusak. Menyisakan hanya satu yang masih dapat berfungsi ditubuh rapuh itu. Percayalah, ia sangat sungguh bersedia untuk memberikan satu buah ginjal miliknya jika itu berarti dapat meningkatkan kualitas hidup kawannya, namun apa daya? Dia bukanlah manusia biasa. Revan adalah makhluk yang tercipta dari ribuan eksperimen kejam, yang tentunya entah organ tubuh yang seperti apa yang berhasil mengoperasikan badan 'manusia' miliknya itu. Tentu saja ginjalnya akan berbeda dengan milik Taufan yang tercipta dengan 'Boboiboy', manusia biasa, sebagai prototype nya.
Dan bukannya ia tidak memikirkan untuk mengambil ginjal dari salah satu musuh perusahaan mereka, namun saja, jangankan untuk mencari ginjal yang cocok, untuk menjalani kebutuhan sehari-hari dan keluar dari headquarter baru mereka saja sangat sulit untuk ia lakukan. Beribu rasa takut dan khawatir akan apa yang akan terjadi jika ia pergi meninggalkan kawannya sendirian cukup untuk membuatnya mengurung diri di dalam rumah.
"Hey.." ucap Revan menatap sosok yang masih terpejam dalam tabung horizontal itu.
"Aku kehilangan arah.." gumamnya lagi pada sang pemilik manik biru yang telah menyembunyikan binarnya dalam 11 bulan ini.
"Dan aku butuh saranmu, sepatah dua patah kata darimu, untuk memberi tahuku bagaimana aku harus melanjutkan ini semua? Bagaimana aku harus menghadapi ini semua?" Lanjutnya sambil mengepalkan tangannya dengan erat.
"Oleh karena itu, jika sudah tidak terlalu terasa sakit, berikan waktumu dan buka matamu, ya?"
°•°•°•°
Halilintar menebas kepala monster dihadapannya. Manik rubinya yang menyala perlahan kembali normal setelah ia memastikan bahwa musuhnya telah dikalahkan.
"Akhir-akhir ini monsternya semakin banyak ya? Jenis baru juga semakin banyak bermunculan, apa yang sebenarnya terjadi ya?" Ucap Gopal sambil menyayat tubuh monster tersebut untuk menemukan 'monster core' di dalamnya.
Halilintar hanya mengangguk pelan, matanya menatap jauh. Ironis, tak peduli betapa merahnya tanah yang ia pijak ini karena darah monster yang berceceran, namun langit diatasnya masih saja terlihat biru dan jernih. Awan-awan putih yang menghiasi membuatnya terlihat seakan-akan ini hari yang baik.
"..Gopal." panggilnya.
Gopal menjawab dengan "hmm?" Sambil menganalisis data tentang monster dihadapannya.
"..bagaimana caranya agar dia bisa memaafkanku?" Tanya Halilintar dengan suara yang berat.
Gopal menghentikan kegiatannya, ia terdiam dan menatap sosok sang elemental sulung itu. Ia teringat bagaimana hancurnya Halilintar saat mengetahui kenyataannya.
Dan bagaimana akhirnya hubungan para saudara elemental itu menjadi berjarak, karena mereka terlalu sibuk untuk berduka tanpa tahu siapa harus disalahkan. Mungkin memang dari awal, tidak ada yang bisa disalahkan.., atau mungkin, memang dari awal, mereka semua telah bersalah.
"Aku terus menanyakannya pada diriku sendiri, mengapa dia melakukan itu semua.." lanjutnya.
Dan dengan tawa sinis namun juga dipenuhi rasa sakit, ia melanjutkan, "namun, ada suara dalam diriku yang malah bertanya.. 'kenapa kau melakukan itu semua?' " lanjutnya.
"Gengsi, harga diri, amarah, rasa benci, rasa ingin menemukan orang lain yang bisa disalahkan.."
"Ternyata aku memang benar-benar egois. Betul kata Solar, masalahnya ada padaku.." entah mengapa, berat rasanya untuk mengucapkan ini semua. Selama ini memang begitulah perasaan yang ia rasakan dalam dirinya, namun mungkin ada satu titik kecil yang masih berusaha melindunginya. Yang masih membisikkan padanya bahwa dia tidak salah. Namun setelah mengeluarkan seluruh fikirannya melalui kata-kata yang terlontar dari mulutnya, semakin tersadar ia bahwa memang dari awal, ini salahnya.
Tidak, walau mungkin memang tidak sepenuhnya adalah salahnya,
Setidaknya, ia memiliki andil yang cukup besar..
Ia juga salah.
Ia tidak seharusnya seperti itu.
"Halilintar, sebenarnya saat itu, siapa yang ingin kau benci, dirimu, atau Taufan?" Tanya Gopal, maniknya menatap sendu sepasang rubi milik sahabatnya itu.
"Dan sebenarnya, saat itu, siapa yang ingin kau maafkan? Dirimu atau Taufan?" Lanjutnya lagi.
"Itu--" ucapan Halilintar terputus,
"Dan saat ini, siapa yang kau ingin dapat mengampuni kesalahanmu, Taufan, atau dirimu?" Tanya Gopal, maniknya menatap lurus kearah Halilintar.
Sahabat yang sudah ada sedari dulu.untuk Boboiboy, bahkan sebelum para elemental datang. Orang yang bisa mengerti mereka, jauh lebih baik dari orang lain. Kini orang itu tersenyum seakan ia menyerahkan kelanjutan segala hal ini pada takdir.
"Dari sudut pandangku yang telah melihat kalian semua, aku akui, kau memang salah. Kesalahanmu memang sangat banyak. Kau berkali-kali menutup kesempatan untuk kalian bisa kembali bersama. Namun sebagai sahabat kalian semua, aku juga mengerti bahwa kalian terlalu terluka untuk dapat mencoba mengerti, Taufan terlalu terluka dan akhirnya pergi, dan aku juga sangat kesal karena keputusannya itu, namun mungkin ini semua adalah bentuk dari pendewasaan..bukankah begitu?" Lanjutnya sambil menepuk bahu Halilintar.
"Aku tahu ini terdengar klise, namun, melohat kalian semua menyesal seperti ini, melihat kalian semua menjauh seperti ini, melihat kalian semua seakan kehilangan arah seperti ini.. aku yakin Taufan tak akan menyukainya." Lanjut Gopal.
"Apa kau lupa? Di misi pertama dimana segalanya hancur, Taufan memilih untuk ikut dengan Boboiboy karena ia ingin ikut melindungi kalian dan juga..melindungi orang yang kalian sayangi.. bukankah itu rasa sayang yang sangat besar?"
Halilintar terdiam, ia menundukkan kepalanya, matanya terpaku pada kakinya sendiri, tak berani untuk menatap kedepan. Setengah wajahnya tertutup oleh lidah topi persaudaraan miliknya.
Padahal, di awal kita semua muncul, bukankah kita semua sudah sepakat bahwa aku adalah yang tertua? Aku yang akan menjadi kakak tertua yang bisa menjadi tempat kalian semua bersandar..
Namun kenapa malah kau yang mengemban beban untuk menjadi sandaran, kau yang malah memikul banyak hal sendiri?
Halilintar tersenyum, senyum yang memiliki terlalu banyak makna, "aku memang merasa tak pantas untuk dimaafkan."
// Author's note //
Hmmm kalau mau idup masi rada lama nih gess apa kita tamatin aja disini ya bikin taufan mati gabangun /ga
Btw doain lancar segala urusan yaa, kalian semangatt
Gaada target jumlah komen tapii seperti biasa, klo emang udh nyampe 200 biasanya bakal deket2 update hehe klo belum ku biasanya nyantai dulu, tp tergantung sikon sih ya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top