63 - biggest big bro
Kini lagi-lagi hanya ada keheningan. Kedua pria itu ada di ruangan yang sama, namun bertingkah seakan tidak ada siapapun di sana.
Jendela yang tadi dibuka oleh Solar saat menunggu Taufan siuman, kini menjadi ruang untuk udara segar masuk. Angin berhembus meniupkan tirai virtase putih transparan itu, seakan tirai-tirai itu berdansa pelan.
Taufan terdiam, ia ingin sekali keluar dari situasi canggung ini. Masih banyak hal yang harus ia lakukan. Dan mengetahui kondisinya yang sedikit lebih buruk dari yang ia kira, ia tahu bahwa ia kini harus bergegas.
Halilintar menatap keluar jendela, entah apa yang ada di pikiran sang pemilik manik rubi itu. Ia memang seperti itu, terkadang lebih merasa nyaman dengan kesunyian.
Dan Taufan pun kini memang merasa nyaman dengan kesunyian. Namun bukan kesunyian yang canggung seperti ini. Ia menghela nafas, terdengar sedikit lebih keras dari yang ia harapkan. "Apa yang membuat Agen Halilintar berada disini?" Tanya Taufan, entah bagaimana pertanyaannya di interpretasikan oleh sang lawan bicara. Ia tidak memiliki cukup energi untuk peduli tentang bagaimana sang sulung menerimanya.
Benar saja, Halilintar merasa sedikit.. entahlah, kesal? Saat mendengar pertanyaan Taufan yang sangat formal dan profesional itu. Seakan sedang bertanya pada seorang atasan.
Sepertinya Halilintar lupa akan fakta bahwa ialah yang memerintahkan Taufan untuk tidak 'sok akrab' dengannya.
Halilintar terdiam sejenak, "ada apa dengan nada bicaramu?" Tanyanya ketus.
Taufan terdiam, mungkin karena kondisinya, membutuhkan sedikit lebih banyak waktu untuk menunjukkan reaksi yang lebih 'pantas' untuk diperlihatkan.
"Bagaimana nada bicaraku?" Tanya Taufan, tidak terlalu peduli.
"Itu tidak terlalu penting, tapi apa yang membawa Agen Halilintar kesini?" Tanya Taufan lagi. Manik biru nya terlalu sayu untuk menunjukkan emosi apapun. Ia hanya menatap datar ke arah Halilintar. Tak dapat dibaca emosinya.
Halilintar terdiam, "Gempa menyuruhku memeriksa kondisi kakaknya." Jawab Halilintar ketus.
Taufan mengangguk, "baiklah, kondisiku sudah lebih baik. Terimakasih atas perhatiannya." Ucap Taufan lagi. Jawaban yang sangat formal itu benar-benar membuat Halilintar tak nyaman.
"Ia juga menyuruhku membawa makanan ini. Suruh adik bungsumu menghangatkannya saat ingin memakannya." Ucap Halilintar lagi. Suaranya datar, namun sebenarnya ia sedang menahan beberapa emosi yang ia kurang tahu maksudnya, dan itu cukup membuatnya kesal.
"Tolong sampaikan terima kasih ku padanya, namun kedepannya, tak perlu repot-repot lagi." Jawab Taufan.
Manik rubi Halilintar menatap tajam manik safir sang adik. Dengan dingin ia berkomentar. "Hentikan dengan gaya bicaramu itu, aku muak mendengarnya."
Taufan terdiam, ia hanya memberikan senyum simpul sebagai balasan sederhana.
Namun tak ada lagi percakapan antara mereka berdua, dan ini membuat Halilintar semakin tidak nyaman.
Taufan yang dulu jauh dari apa yang ia lihat sekarang. Taufan yang dahulu tak mungkin akan memperlakukannya dengan mengesalkan begini. Walau sama-sama mengesalkan, dahulu Taufan pasti akan menjawabnya dengan ceria dan jenaka, bukannya dengan formal dan berjarak seperti ini.
Ia masih tak dapat memaafkan Taufan akan kesalahannya di masa lalu. Ia, Taufan, dan Gempa adalah yang terdekat dengan Boboiboy, mereka sudah selalu bersama sejak ketiga elemen itu berhasil diaktifkan dan menjadi milik sang remaja laki-laki itu.
Lalu bisa-bisanya Taufan malah merenggut Boboiboy dari mereka? Ia tak dapat memaafkan itu. Namun akhir-akhir ini ia sedikit menyadari, ia belum pernah mendengar kejelasan dan kronologi akan kejadian yang merenggut nyawa sang master.
Ia berusaha untuk tidak memikirkannya. Namun sekarang, setelah kondisi Taufan yang hancur, ia jadi sedikit penasaran akan apa yang terjadi saat itu.
Karena ternyata, walau ia pikir ia sangat membenci sang adik, ia masih merasakan rasa yang tidak mengenakkan saat tahu bahwa Taufan dalam bahaya.
Dulu ia memang tidak siap untuk mendengarkan jawaban dari sang pengendali angin, dan bahkan sekarang ia pun tak tahu apa dirinya telah siap,
Tapi sekiranya ia bisa membuat rasa kesalnya berkurang, ia ingin mendengar jawaban Taufan secara langsung. Itulah mengapa ia datang kesini sekarang.
Namun ia tak dapat berkata-kata. Ia tak dapat menanyakan hal yang ingin ia ketahui. Jawaban yang terlalu sopan itu sukses membuatnya naik pitam.
"Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu? " Tanya Halilintar setelah beberapa lama tenggelam dalam kesunyian yang tidak nyaman.
Langit yang tadinya belum memiliki warna merah kini mulai terlukiskan oleh merahnya matahari menjelang senja.
Taufan masih terdiam.
"Sampai kapan kau akan terus membuat masalah seperti ini?" Tanya Halilintar. Walaupun pertanyaannya yang tajam, ia menanyakannya dengan nada yang lumayan datar. Tidak terdengar marah ataupun kesal.
Taufan masih diam, ia menatap langit sore yang melukiskan warna jingga disekitarnya. Angin sepoi-sepoi menerpa tirai putih transparan dikamarnya, juga menerpa wajahnya. Manik biru itu memantulkan warna oranye langit, entah apa yang ada di fikiran sang empu.
"Hali.." ucap Taufan, masih menatap ke kejauhan.
Halilintar sedikit terkejut dengan panggilan itu. Ternyata hatinya terasa tidak terlalu sesak saat mendengar panggilan itu.
"Aku akan pergi" ucap Taufan datar. Menatap langit sore yang menyinari gedung-gedung di agensi.
Halilintar mengerutkan alisnya, sedikit kesal dan tak sabar. "Apa maksudmu?"
"Exactly what you've heard" jawab Taufan.
"Aku pergi, agen Halilintar" ucap Taufan, kini menatap wajah sang sulung yang mengerutkan kedua alisnya itu.
"Aku tak mengerti apa yang kau maksud." Ucap Halilintar lagi, walau begitu ia merasa sedikit tidak nyaman. Ada rasa tidak suka dan rasa... Khawatir? Yang ia rasakan.
Sang penghalang, seorang yang kini hanya dapat membuatmu naik pitam, ia sebentar lagi akan pergi dari hadapanmu.
Taufan mengangguk, kini langit sudah mulai menggelap. "Bukan hal yang penting." Ucap Taufan.
Halilintar terdiam, manik rubinya menatap sosok sang adik yang kini rapuh dan pucat itu. Ada rasa yang membuat hatinya terasa tercengkram saat melihat sosok lemah itu. Namun ia berusaha mengabaikannya, "aku sudah menyampaikan pesan dari Gempa." Ucap Halilintar, melangkah ke pintu keluar.
Taufan tersenyum, "baik, aku akan mengingatnya, terimakasih, Agen Halilintar"
Sosok tinggi itu melangkah pergi, sosok yang setiap langkahnya biasanya dipenuhi dengan kepastian dan rasa percaya diri, entah mengapa terlihat sedikit ragu. Namun manik biru sayu milik sang adik gagal untuk menyadari hal itu.
Entah apa yang sedang ia fikirkan, karena sepertinya kerusakan saraf pada tubuhnya telah membuatnya jadi lebih sulit berekspresi.
Namun mungkin karena pantulan cahaya langit senja yang menembus jendelanya? Ataukah karena tirai putih transparan yang berdansa seraya angin menerpa dan meniup surai brunettenya? Taufan terlihat seakan tubuhnya dapat menghilang kapan saja.
Seakan angin dapat membawanya pergi kapan saja,
Aku titipkan mereka padamu, kak.
Halilintar menatap kebelakang sebelum menutup pintu ruangan itu, dan di depan matanya ada sosok berwajah datar yang terlihat kosong namun juga terlihat seakan ia sudah menentukan sebuah keputusan yang besar.
Dan entah mengapa, dirinya merasa gundah.
Setelah itu, pintu ditutup, mengakhiri percakapan singkat kedua saudara itu seraya gelapnya malam menelan kiasan oranye terakhir di langit.
Seperti senja yang singkat, percakapan itu terasa seperti sebuah ilusi yang hanya ada sesaat, sebelum akhirnya hilang tanpa jejak.
// Author's note //
Haii, maaf ya telatt! Sebenernya mau update pas sabtu kemaren eh gambaranku ilangg (ini gambar baru tp udh ga mood jd sketch doang :(( ) terus aku juga udh mulai masuk offline jd rada2 bingung atur waktu nyaa
Semoga sukaa yaa! Gimana tanggapan kalian dri chapter ini? Seru ngga? Geregetan gaa?? Akhirnya taufan ngobrol sama hali ya ❤️❤️❤️
Btw minimal 250 komen yaa hehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top