54 - abai
Manik biru muda itu dikelilingi dengan lingkar hitam. Setelah ia menerima kabar bahwa elemental Angin telah rusak, ia langsung berusaha mencari cara.
Cara untuk meraih sang kakak. Dahulu manik biru mudanya itu sering di salah kenali oleh yang lain, ia dan Taufan sering kali tertukar di mata orang lain. Tentu jika bukan karena perangai yang berbeda juga posisi topi, maka sedikit sulit untuk membedakan mereka.
Padahal yang kembar adalah Halilintar, Taufan dan Gempa, tapi yang sering salah dikenali adalah mereka berdua.
Ditambah dengan mereka yang terkadang memakai kacamata hitam kembar, dan barang-barang kembar lainnya, orang lain sampai tepuk jidat karena sulit membedakan kedua orang itu.
Ya, Taufan memang orang yang seperti itu. Ia sering sekali dan hobi sekali membeli barang-barang kembaran untuk dirinya dan saudara-saudara nya. Tak peduli dengan komentar tentang dia yang sudah dewasa tak pantas untuk memakai barang-barang kembaran lagi.
Bahkan topi itu.. topi yang dulunya hanya dimiliki oleh Boboiboy, topi kembaran adalah idenya untuk menunjukan pada dunia ikatan persaudaraan mereka.
Yang ironisnya, sang perintis ide tersebut lah yang pertama kali melepas identitas persaudaraan mereka, menyembunyikannya, seakan tak ingin lagi dikaitkan dengan mereka.
Segala hal itu membuat Ice kesal, tentu saja. Semudah itu ia melepas sebuah ikatan? Begitulah yang selama ini ia pikirkan.
Baik. jika Taufan saja bisa semudah itu membuang tali persaudaraan mereka, begitu pula dia. Dia tak akan peduli lagi. Ia akan abai. Begitulah selama ini cara Ice menghadapi masalahnya.
Namun berkali-kali, tekad itu goyah setiap ia mendengar suara Taufan. Ada rasa rindu yang dalam, yang terbalut selimut amarah dan kekecewaan.
Lalu yang ia dapat lakukan hanyalah berpura-pura. Berpura-pura tidak peduli. Berpura-pura bahwa ia baik-baik saja dalam kondisi ini. Berpura-pura bahwa Taufan sudah tak memiliki makna penting bagi dirinya.
Ia tidak sejahat Halilintar, atau begitu pikirnya. Ia tidak mencaci Taufan setiap kali mereka bertemu, tidak menatapnya dengan tatapan tajam setiap mereka berpapasan.
Ia hanya.. memperlakukan Taufan seperti orang asing. Orang yang tak pernah memiliki makna dalam hidupnya. Orang yang tak pernah bersinggah dalam hari-harinya.
Namun ia tersadarkan. Seberapa besarpun usahanya untuk berpura-pura, sebesar apapun tekadnya untuk mendorong Taufan jauh dari hidupnya..
Ia merasa getir setiap melihat Taufan mengobrol akrab dengan sang bungsu. Rasa "seharusnya itu posisiku" selalu memukul ulu atinya. Namun lagi, entah apa yang merasukinya. Entah bagaimana bisa seseorang yang diharapkan memiliki ketenangan seperti air, kini malah tak dapat mempertahankan ketenangannya setiap kali ia berurusan dengan Taufan.
Ah. Rasanya seperti pusaran air. Menenggelamkannya tanpa ampun dan penuh sesak.
Ice sedikit merasa ironis, mengingat angin adalah salah satu pemicu pusaran air.
Ia menatap kartu yang ada di genggamannya. Kartu Pokenot versi pertama. Atau yang biasa Taufan bilang "Beta ver." Kartu yang hanya dimiliki oleh saudara-saudaranya.
Kartu yang ia pikir tak akan pernah lagi ada fungsinya, kini menjadi satu-satunya cara yang dapat membantunya meraih orang itu.
Ya, ia tak dapat lagi berdiam diri. Rasanya seperti ada pusaran air besar yang mengganggu ketenangannya. Ia tak dapat berdiam diri dan dipenuhi rasa khawatir bukan?
Ia menyadari bahwa rasa acuh itu tak dapat mengalahkan rasa takutnya. Didalam dirinya ia sadar bahwa ia sangat takut untuk kehilangan sosok itu.
Berkali-kali jari jarinya bertarung dengan keyboard. Manik biru mudanya bergerak cepat selagi ia melihat kode-kode di layar monitor nya.
Perlindungan sistem Whoosh.co, atau perusahaan yang didirikan Taufan sangat-sangatlah rumit dan ketat. Bagaimana tidak? Taufan si jenius dan kawannya yang tak kalah jenius lah yang membuat perlindungan itu. Bukan berarti Ice tidak jenius. Ia adalah yang terbaik di divisinya. Namun sebuah perlindungan yang dibuat oleh dua orang hebat dengan karakteristik mereka masing-masing tentu saja membuat ia kewalahan.
Berkali-kali ia menguap, tak tahan dengan rasa kantuk yang menerpanya. Namun entah mengapa ia tak dapat tidur. Setiap kali ia memejamkan mata, benaknya dipenuhi akan kekhawatiran terhadap saudaranya itu.
Rasa takut akan kehilangan sang kakak yang selama ini ia perlakukan seperti orang asing, seorang kakak yang senyumnya dibalut luka karena perlakuan buruk darinya, seorang kakak yang memutus tali persaudaraan secara sepihak, melepaskannya dan meninggalkannya seperti saat ini.
Kau tidak boleh pergi.
Entah sudah berapa kali ia mengamati pola dari sistem whoosh. Co , menjelajahinya, berusaha untuk menemukan celah. Dan gagal. Gagal dan gagal lagi.
Entah setelah berapa lama, ia menemukan pola dari sistem itu. Ia bahkan sudah tak menghitung waktu jika bukan karena Blaze yang sesekali membawakannya makanan.
Rasanya sedikit puas, dapat menemukan celah pada sistem yang sangat rumit itu.
Namun, seperti yang sudah ia perkirakan, menerobosnya tidak semudah itu. Yang ia temukan barulah celah.
Ia mencoba, dan terus mencoba. Hingga tiba-tiba saja celah itu hilang. Ya. Sang empu dari sistem rumit itu sudah memperbaharui polanya.
Rasa kecewa memukul dirinya, rasanya perjuangannya beberapa hari ini sangat sia-sia.
Namun, otak yang sudah sangat lelah karena kurang tidur itu ternyata masih sedikit bekerja.
Jika sistemnya di diperbaharui, maka ada kemungkinan Taufan yang melakukannya kan?
Tandanya.. ia masih hidup kan?
Maniknya kini berbinar, seakan menemukan secercah cahaya di badai salju yang dingin.
°•°•°•°
"..hai?" Ucap Taufan. Baru ia menekan tombol dial pada layar hologramnya, dan belum sampai sedetik, sudah ada yang menerima panggilan itu.
"..Taufan?" Ucap Solar , terdengar masih tak percaya.
Taufan terkekeh pelan, "hey, apa kau menghapus nomorku hanya karena sekarang aku bukan lagi mentormu? Sungguh kejam." Ucap Taufan pura-pura merajuk.
Ada jeda disana. Jeda yang cukup lama. Solar bergeming tanpa suara, tak mengeluarkan satu patah kata pun. Tidak membalas candaan ringan yang berusaha dilontarkan sang kakak.
Bukan karena tidak mau,
Namun karena ia tak sanggup,
Rasa panik yang terakumulasi di dua minggu terakhir kini meluluh bersamaan dengan suara khas sang mentor. Air matanya menitik,
"Kau kemana saja bodoh?!" Omelnya, suaranya terdengar serak, seakan ia menahan emosi yang menyesakkan.
"Kenapa tidak membalas pesanku? Kenapa tidak mengangkat telfonku? Mengapa tidak menanggapi pesan SOS ku? Bukankah kau janji kau akan menolongku kapanpun? Lalu kemana saja kau?" Omelnya lagi, rasanya telinga Taufan cukup sakit karena harus menghadapi omelan dari sang adik saat ia baru saja siuman seperti ini.
"Aku khawatir!" Ucap Solar, kini manik safir Taufan membelalak. Menunjukan ekspresi hangat yang sudah lama tak ia tunjukan.
"Haha, terimakasih sudah mengkhawatirkan ku. Tapi aku tidak apa-apa. Sungguh." Ucap Taufan.
Tentu saja apa yang keluar dari mulutnya adalah kebohongan. Ia hanya berharap sang bungsu mau mempercayai kebohongan itu.
Yang sudah pasti tidak semudah itu.
"Aku tidak percaya." Ucap Solar.
Manik silvernya bergetar, begitu pula tangannya yang sedang menggenggam ponsel.
"Kalau benar kau tidak apa-apa, kau tak akan mengabaikan panggilanku. Aku tahu itu."
Bagaimana bisa sang mentor mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa? Padahal Solar masih sangat ingat bagaimana jam tangannya memperingatkan tentang kerusakan kronis pada elemental angin.
"......aku tak dapat berkata apapun kalau kau tak percaya, tapi intinya Solar, aku benar-benar tidak apa-apa, jadi bisakah kau bilang pada Agen Ice untuk berhenti berusaha meretas sistemku? Jujur itu membuatku sakit kepala." Ucap Taufan yang lagi-lagi berusaha mengalihkan pembicaraan.
Solar terdiam. Selalu seperti ini. Taufan selalu berusaha mendorongnya, membuat dirinya menjauh.
"..aku tidak mau." Ucap Solar, jarang-jarang ia memberikan jawaban kekanakan seperti ini.
"Ehh? Tapi aku menghubungimu segera setelah sium- maksudku, segera setelah aku bisa menghubungi seseorang, karena aku percaya padamu lho?" Ucap Taufan membujuk sang bungsu.
"Kalau begitu datanglah kesini, biar aku yang melihat dengan mata kepala sendiri tentang kondisimu." Ucap Solar.
Taufan tak ingin setuju, baru ia mempersiapkan argumen, namun Solar melanjutkan ucapannya.
"Atau aku yang akan mencari tempat tinggalmu saat ini, pilih yang mana?" Tanyanya. Tidak menyediakan tempat untuk Taufan berkompromi.
Taufan menghela nafas panjang, "baiklah.. minggu ini aku akan mencoba mengosongkan jadwal dan mengunjungi agensi." Ucap Taufan.
Solar mengiyakan, dan percakapan mereka berlanjut sebentar sampai akhirnya Taufan menyuruhnya untuk memutuskan panggilan.
Solar terdiam, tangannya dikepalkan begitu erat.
Ia tidak mengatakannya, namun ia dapat tahu betul bahwa Taufan tidak baik-baik saja.
Adanya jeda dalam memberi respon, seakan ia tidak terfokus..
Solar tahu bahwa mentornya tidak baik-baik saja.
//Author's note//
Tidak ada beta read kita mati seperti taufan/jk
Anyway wkwkkwkw kepikiran Ice dengerin deja vu setiap ngeliat Taufan ngasuh Solar.
Seperti biasa, klo komen ganyampe 200 ku galanjut ya.
Maaf belum bisa balesin komen,
Dan aku bakal UAS jadi klo up nya nanti telat maafkan ya
....
30 juli 2022
Yeayy udh sampe chapter terakhir waktu itu sebelum ku unpublish, mulai dari sini aku up chapter yg bener2 baru yaa,
Mohon dukungannya terus yaa!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top