24 - mimpi manis dari masa lalu

Remaja laki-laki itu berdiri, mengenakan jas hitam bersih yang terlihat profesional namun santai, ditambah topi biru favoritnya, hal yang menjadi bukti akan ikatan dirinya dengan mereka semua. Mereka semua dan dia.

Ia melangkah, tersenyum lebar. Hatinya terasa ringan, tiada masalah ataupun beban. Dengan ceria ia melompat ke punggung sang adik yang sedang sibuk mengunyah snack nya.

"Ack!" Suara malas dan dingin khas adiknya terdengar, disusul dengan tawa yang seringan udara.

"Taufan, aku hampir keselek gara-gara kamu.." keluh sang adik dengan kesal, namun tidak dihiraukan oleh Taufan.

Taufan mendaratkan tangannya di topi sang adik, mengelus kepala sang pengguna elemen air dan es itu. "Pagi-pagi jangan ngemil, makan yang benar."

Ice mengabaikannya dan tetap mengunyah snack kesukaannya, "nanti habis ngemil aku makan"

"Ngga gitu konsepnya." Potong Taufan.

"Perutku spesial, ada ruangan khusus untuk makanan pokok, makanan ringan, dan makanan manis, jadi tidak akan penuh" jelas Ice lagi.

Taufan menghela nafas, adiknya yang satu ini memang hobi sekali makan. "Kalau begitu, kau harus latihan dua kali lebih banyak dibanding kita semua" ucapnya.

Ice mengerutkan alis, hal yang paling ia tidak sukai adalah menggerakkan badannya. "..ngga mau"

"Yah, bagaimana lagi? Dari tadi di belakang kita ada Gempa yang sudah menatap kita dengan tajam karena kau ngemil di pagi hari." Tawa Taufan sambil menggunakan kekuatan anginnya untuk kabur. Meninggalkan sang adik yang panik karena tertangkap basah.

Taufan kini menghampiri Hali yang sedang sibuk mengutak-atik sesuatu di komputernya. Ia terdiam sambil menatap serius layar komputernya, jari panjangnya menekan keyboard dengan cepat dan agresif, sungguh cocok dengan dirinya.

Taufan mengejutkan sang kakak dari belakang, membuat sang kakak reflek dan menekan tombol yang salah, pekerjaannya pun terhapus dan harus dimulai dari awal. Aura penuh amarah memenuhi dirinya. Taufan tertawa kecil dan dengan sigap mengambil alih keyboard.

"Hey, hey, Hali jangan marah dulu. Lihat caraku menyelesaikan ini" ucapnya sambil berusaha tertawa santai. Ia takut Hali akan marah dan membuatnya babak belur. Karena di antara elemental bersaudara yang ada di situ saat ini, Hali lah yang paling kuat.

Jari jemari Taufan yang lentik dengan lihai mendarat di atas keyboard, menekan tombol-tombol itu dengan natural, tak ada lima menit berlalu, ia telah sukses memecahkan kode yang sedari tadi Hali coba untuk pecahkan.

"Hebat juga kau" , puji Hali dengan getir.

"Oho,pastinya. Aku jenius" ucap Taufan sambil mengusap hidung sendiri dengan bangga.

"Kau.. aku dengar dari 'dia' bahwa yang mendapatkan sifat narsis dan sombong paling banyak adalah elemental termuda, tapi lihat dirimu" omel Hali sambil menoyor topi Taufan.

Taufan mengaduh pelan dan tertawa, "hehe, kalau urusan narsis Hali juga narsis kok" , ucapnya, seakan ia membalas pujian.

Tentu saja tingkah itu membuat Hali semakin kesal. Jangan salah anggap, bertengkar kecil dengan Taufan adalah rutinitas pagi harinya.

Saat ia sedang menjambak Taufan dengan raut wajah kesal, dan Taufan yang sedang menjewer kakaknya dengan tawa sumringah seakan ini adalah permainan yang menyenangkan, pintu terbuka.

"..kalian, bisakah kalian tidak bertengkar? Rasanya emosi ku jadi tidak stabil karena kalian, super senang tapi super kesal juga tapi juga super lapar tapi super kenyang lalu super bingung dan super semangat" ucap laki-laki yang sepantaran dengan tiga elemental bersaudara tertua.

Taufan tertawa, "haha, sudah berapa kali kau mengucapkan super?" Tanyanya.

Laki-laki itu kini kesal, "hey! Kurasa bukan itu poin masalahnya!"

Amarahnya disusul oleh tawa Taufan yang semakin terdengar mengesalkan.

"Taufan, kau ini sopan sedikit dong, kau harusnya tau kalau tidak ada aku, kau tak akan ada disini" ucap laki-laki itu.

Taufan tertawa, "tapi terkoneksi dengan seluruh emosi seperti itu sungguh melelahkan bukan? Bagaimana kalau kau merasuki salah satu saja? Jadi emosi salah satu diantara kita sajalah yang akan kau rasakan."

"Hey! Kau seenaknya menyuruhku merasuki padahal figur kalian semua itu berdasarkan diriku." Omelnya.

"..aku, aku senang memiliki raga terpisah seperti ini kau tahu? Walau memang sangat chaotic, tapi aku merasakan kehangatan akan ikatan kita semua. Walau kalian ada karena kekuatanku, tapi kalian adalah kalian, individu yang berbeda, memiliki keinginan berbeda, dan memiliki mimpi yang berbeda. Aku senang melihat kita semua tumbuh dan meraih mimpi itu bersama-sama." Ucap laki-laki itu dengan senyum hangatnya.

Taufan terdiam, ia membalas senyuman itu. Namun ia tahu, mungkin karena ikatan yang kuat, ia sangat mengerti bahwa dibalik senyuman itu, ada sebuah rencana besar yang tidak ia sukai.
.
.
Mata Taufan membelalak saat melihat itu terjadi. Laki-laki itu berlumuran darah, dan sebagian raganya menjadi serpihan dan hampir menghilang.

Taufan mendekapnya, berusaha memaksanya untuk merasuki tubuhnya saja. Setidaknya, ia harus menyelamatkannya.

Namun sepertinya itu terlalu telat. Suara terakhir yang ia dengar dari laki-laki yang begitu mereka sayangi adalah "ini bukan salahmu Taufan.. ini semua..salahku. jadi jangan pernah salahkan dirimu.."

.
.
.
.

Mata Taufan terbuka lebar sesaat setelah gambaran yang begitu nyata itu terlukis jelas di dalam benaknya. Nafas yang terpingkal karena rasa takut dan cemas yang berlebih membuat ia, sang pemilik kekuatan angin, harus berusaha sekuat tenaga untuk menghirup udara.

Ia terdiam, menatap sekeliling yang begitu familiar namun juga berbeda.

"Ini kamarku.. kamar agen gagal di gedung B.." ucapnya pelan. Jendela besar itu menunjukan cahaya oranye bersama matahari yang hendak kembali tertidur.

"Sudah sore.."

"Tadi itu..hanya mimpi.."

"Mimpi.." ucapnya lagi, berusaha menenangkan diri.

"Harusnya aku saja yang pergi…" ucapnya lagi.

Tanpa ia sadari pintu kamarnya terbuka, menampilkan sosok sang murid bertopi putih dengan motif rumit.

"Pergi ke mana?" Tanya sang bungsu pada sang mentor gang baru saja terbangun.

Taufan terkejut, senyumannya terlihat sedikit kaku, "...ke luar"

"Kau masih terluka, tadi lukamu kan terbuka lagi." Ucap Solar.

Taufan tertawa kecil, "itu bukan apa-apa.. kau tahu? Aku sudah biasa--"

"Sudah biasa bukan berarti semuanya baik-baik saja." Ucap sang murid dengan tegas. Langkah kakinya terdengar seakan ia tak memiliki keraguan.

Ia memeriksa apakah perban Taufan dibanjiri darah lagi atau tidak. Karena sudah dua kali luka sang mentor terbuka lagi. Hal itu membuat ia khawatir.

Ia merasa bahwa ia tidak akan menyukai perasaan kehilangan.

Ia merasa bahwa, jika terjadi sesuatu pada Taufan, ia tidak akan suka.

Tangan dingin itu mengusap kepala adiknya dengan lembut, "lihat dirimu, aku yang mentor tapi malah kamu yang mengasuh." Ucapnya dengan tawa kecil. Namun entah mengapa Solar dapat merasakan kesedihan dari nada bicara mentor itu.

"Gopal menyuruhku." Jawab Solar.

Tentu saja itu benar, Gopal memang menitipkan Taufan padanya. Ia bilang, Solar harus menjaganya dengan benar karena Gopal tiba-tiba mendapat panggilan dari atasan.

Namun walau tanpa disuruh oleh Gopal, ia akan tetap melakukannya.

Ia harus mengakuinya, sosok Taufan menjadi salah satu sosok yang cukup penting baginya. Bahkan bisa-bisa merebut tempat 'dia' baginya.

Tapi tentunya, gengsi Solar terlalu tinggi untuk mengakui hal itu. Ia takut sang mentor akan menertawakan dirinya.

Taufan tertawa kecil, "ah, begitu? Tapi kau tak perlu khawatir Solar, aku benar-benar tidak apa!"

"Dulu aku pernah memiliki luka bolong lima cm! Diameter ducking donut! Tapi aku tetap hidup tuh, iya kan?" Canda nya.

Solar mengerutkan alis, entah memang selera humornya yang terlalu tinggi atau jiwa adik bungsu  yang bangkit, ia tidak suka mendengar kondisi buruk kakak sekaligus mentornya sebagai candaan.

Lagi, Taufan menatap jendela lebar itu. Lagi, sorot mata yang menatap kejauhan dengan kesedihan yang amat dalam, yang bahkan tak dapat diukur itu menetap di manik birunya yang sendu.

"..aku"

"Aku mau mencari udara segar dulu." Ucapnya pelan.

Solar terdiam, haruskah ia melarangnya? Atau haruskah ia memberi sang mentor waktu untuk membenahi apapun yang ada di kepala nya?

"Solar, kau.. latihan dan jaga rumah selagi aku pergi ya. Aku tidak akan lama kok" ucap Taufan sambil mengusap kepala sang bungsu. Senyuman lembut terlukis di wajah sang mentor, namun itu tidak terlihat secerah biasanya. Mungkin itu karena bibirnya yang pucat..atau mungkin saja karena sorot matanya yang terlihat hampa..

Yang pasti, Solar tak menyukai itu. Namun ia tak dapat melakukan apapun selain mengangguk, "..jangan terlalu lelah"

//Author's note//

Aku balik!! Yeyyy!! Alhamdulillah udah sembuh makasih doanya ya kawan2.. sebenernya writer block beberapa minggu ini, tapi Alhamdulillah kemarin abis dapet sogokan tiba2 lgsg semangat nulis lagi.

Kayanya rahasia dari masa lalu udah mulai terungkap, ada yang bisa nebak 'dia' itu siapa? Hehe..

Anyway, comment yak! Komentar, dan dukungan kalian yang membuatku termotivasi.

Also, ciye Solar mulai perhatian..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top