18 - salahkan nyamuk dan mimpi buruk
"kau tau ini beresiko." Ucap pria itu. Manik safir yang biasanya berbinar penuh keceriaan kini terlihat serius dan menusuk.
"Aku tahu." Ucap orang itu.
"Kau ini sungguh..,lupakan. Kau tahu bahwa mereka akan marah besar jika kau tetap melakukannya kan?" , Tanya Taufan pada nya.
"...kau sendiri.., apa akan marah padaku?"
Taufan tertegun saat mendengarnya, entah karena terlalu banyak tekanan atau terlalu kesal akan pertanyaan itu, ia tertawa, tentunya tawa yang penuh kepahitan. "Kau begitu ingin hubunganku dengan mereka menjadi retak huh?" Tanyanya dengan tawa khasnya.
"Kau kan tahu bahwa mereka sangat menyayangimu." Ucap Taufan.
"Begitupula denganku, aku juga tak ingin terjadi apa-apa padamu, kau yang membuat kami ada disini.. kami mencintaimu layaknya saudara." Jelas Taufan, meneguk air mineral nya.
Lawan bicaranya mengangguk, "aku tahu, dan aku pun begitu..aku tak ingin kalian berada dalam bahaya."
"Ucapan yang bodoh, mengingat kita adalah agen dan akan selalu menerpa bahaya." Ucap Taufan, sorot matanya yang dingin dan senyum simpul yang sama dinginnya.
Jarang sekali ia melihat senyuman Taufan yang seperti ini ditujukan pada dirinya.
"Taufan, kau kan tahu aku tak dapat hidup tanpa kalian.." ucapnya.
Taufan terdiam. Ia tahu betul situasi saat ini. Hal bodoh yang diucapkan oleh lawan bicaranya itu..
Misi yang sangat berbahaya itu..
Dan si bodoh ini malah ingin pergi ke sana sendirian.
Taufan sudah cukup mendengar berbagai argumen dan penolakan yang tak terhitung jumlahnya atas proposal lawan bicaranya ini.
Tentu saja, tak ada satupun dari elemental bersaudara yang menyetujui rencana nya itu.
Taufan pun berniat begitu..
Namun..
"Apakah ini keinginanmu?" Tanya Taufan.
"Kau tahu resikonya bukan? Apa kau siap menanggung resiko nya? " Tanya Taufan lagi.
Lawan bicaranya mengangguk, walau ada ketidakberdayaan dalam pandangannya, ia tetap berusaha untuk tegar.
"Apa sebegitu pentingnya kami bagi dirimu?" Tanya Taufan lagi.
Lagi, sang lawan bicara mengangguk.
Taufan tersenyum, "apa kau tahu bahwa kau sangat penting untuk kami?"
Kini lawan bicaranya terdiam, senyuman penuh ketidakberdayaan terlukis diwajahnya.
"Baiklah. Aku izinkan." Ucap Taufan.
Mata lawan bicaranya berbinar, "benarkah?!"
"Tentu saja dengan syarat, bawa aku bersamamu. Toh, kalau kau pergi ke sana sendirian sama saja dengan bunuh diri tanpa mendapat keuntungan sepeserpun." Ucap Taufan.
Kini mata sang lawan bicara membelalak. Ia menggeleng, "tidak! Taufan misi ini sungguh bahaya!"
"Kalau kau boleh, kenapa aku tidak?" Tanya Taufan.
"Aku pergi ke misi ini karena ingin melindungi kalian dan menghindarkan kalian dari bahaya! Jika kau ikut dan terpapar bahaya, lalu apa gunanya!" Bantah sang lawan bicara.
"Hey hey, kami berharga bagimu, aku tahu itu. Dan kau juga harus mengerti kalau kau sama berharga nya bagi kami. Aku tidak mau kau menghadapi bahaya sendirian,aku harus menjagamu, dan memastikan kau kembali ke agensi dengan selamat." Ucap Taufan.
.
.
.
.
"Taufan, maaf.."
"Sepertinya..aku gagal menepati janji ku."
"Kembali kepada kalian semua dengan selamat... Aku tidak akan mampu."
Taufan terdiam, darahnya berdesir, emosi bergejolak dalam dirinya.
Suara teriakan saudaranya yang baru sampai terdengar samar, sepertinya karena terhalang oleh suara pusaran angin yang mengelilinginya. namun Taufan tahu bahwa mereka sedang mengumpat dan menyuruh Taufan dan 'dia' untuk segera mundur dari misi itu.
"Taufan! Jika saja kau tidak gegabah-- dia-- dia pasti masih ada disini!"
Suara Hali yang dipenuhi emosi, terdengar menyayat hati.
°•°•°•°
Taufan terduduk dengan panik, peluh dingin mengalir dari dahinya. Matanya membelalak dan nafas nya menderu.
Mimpi, mimpi itu lagi. Kejadian yang sangat jelas terukir di benaknya, tak mau meninggalkan nya. Sebagai prasasti akan kegagalannya.
Taufan tertawa kecil sambil mengusap air mata yang menitik di pipinya. "Seharusnya tak pernah ku turuti permintaanmu." Ucapnya lirih.
Ia menatap layar hologram di sebelahnya, pukul dua malam. Padahal ia meneguk obat tidur itu agar bisa tidur sampai pagi, nyatanya, mimpi buruk membangunkan ia dari tidurnya.
Taufan melangkah lunglai, di wastafel ia mencuci wajahnya. Sorot mata lelah dan penuh dengan luka yang tak dapat dideskripsikan itu menatap dirinya dari pantulan cermin. Wajah tampannya terlihat penuh dengan rasa gundah, tanpa segarispun senyum terlukis.
"Jangan bersantai." Ucapnya pada refleksi dirinya.
"Tebus dosamu." Ucapnya lagi.
"Kau...tak pantas berada di sini, loser."
Tinjunya sukses memecahkan cermin, kepingan-kepingan kaca itu membuat seakan refleksi dirinya pada cermin terlihat retak. Darah menetes dari tangannya, namun ia tidak peduli. Terkadang rasa sakit ini yang dapat membuat ia sedikit tenang, membuat ia sedikit dapat berfikir rasional, dan membuat ia.. bertahan untuk hari esok yang selalu ia benci.
"...kau, sedang apa?" Tanya seseorang dari balik pintu.
Taufan tersentak, lantas maniknya menatap ke sosok sang bungsu yang terlihat mengantuk, "aku mendengar suara benturan dan terbangun, sungguh, kau sebenarnya sedang apa?" Tanya Solar sambil mengerutkan alisnya.
Ia dapat melihat jelas darah yang mengalir dari tangan Taufan, dan beling yang tertancap di kulitnya, juga cermin yang kini telah pecah.
Ia butuh penjelasan tentang hal ini.
Sang mentor terdiam, mendekati muridnya itu. Ia tersenyum, menggunakan tangan yang tidak berdarah untuk mengelus kepala sang adik.
"Tadi ada nyamuk mendarat di cermin, jadi ku tonjok" , jelas Taufan.
"Wow, makhluk yang sungguh bodoh. Lalu? Dapat nyamuknya?"
Taufan tertawa kecil, "tidak."
Solar tahu bahwa sang mentor menutupi sesuatu, ia hanya merasa itu bukan urusannya. Belum.
Ia terdiam, walau ingin sekali rasanya untuk benar-benar tidak peduli, matanya lagi dan lagi terpaku pada luka ditangan Taufan dan ekspresi lelah Taufan.
"Berikan Tanganmu, biar ku obati." Ucapnya, mencari kotak p3k.
"Tak perlu, hal seperti ini nanti sembuh sendiri."
Namun Solar tidak menghiraukannya, ia tarik tangan yang penuh darah itu dan membersihkannya dengan kapas yang sudah diberi antiseptik.
Taufan mengaduh perih, "pak dokter-- jangan kejam-kejam ngebersihin lukanya."
"Salahin nyamuk, atau dirimu yang bodoh itu." Ucap Solar.
Taufan tertawa kecil, dan meringis kesakitan lagi.
"Sudah kuperban, harusnya sih tidak infeksi. Kau ini mentor tapi mengapa ceroboh sekali?"
Taufan tersenyum, tidak melawan. Ia menundukkan kepalanya, " maaf, jadi mengganggu tidurmu kan.."
Solar terdiam, rasanya ada yang salah dengan perangai mentornya hari ini. Biasanya ia akan bercanda atau membuat Solar kesal setiap kali membuka mulutnya.
Namun sekarang, ia seperti tidak dapat berfikir lurus.
"Aku tidur lagi kalau begitu, besok harus latihan." Ucap Solar.
Taufan mengangguk, "latihan nya dimulai jam 9 pagi besok, kau bisa tidur lebih lama." Ucapnya.
"Mengapa?" Tanya Solar tak mengerti dengan perubahan jadwal yang tiba-tiba.
Taufan tersenyum, menyiapkan tasnya, "aku ada misi habis ini. " Ucapnya.
Bohong, misinya dimulai esok hari.
Namun Taufan butuh sesuatu untuk mengalihkan fikirannya. Ia butuh waktu untuk membetulkan moodnya. Karena itu, ia mengambil misi-misi level S yang bahkan tak dapat diambil oleh agen A.
Solar terdiam, sekali lagi ia mencuri pandang akan sosok sang mentor yang terlihat acak-acakan dan lelah itu.
"Ok." Jawabnya, sambil menutup pintu kamarnya. Ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih dari ini. Toh, itu bukan urusannya.
Begitu batinnya.
//Author's note//
Ciyee masa lalunya udah mulai muncul ciyee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top