17 - aku nembak kamu boleh?

Solar terdiam, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Cahaya lampu tidur disebelahnya adalah satu-satunya hal yang menyinari ruangannya.

Dia masih tetap terbayang akan sosok sang mentor saat mengatakan hal itu. Ekspresinya, sorot matanya, senyumannya, bahkan gestur kecil seperti bagaimana jarinya terhenti saat mengatakannya.

Rasa takut.

Itulah yang terpancar dari wajah sang mentor saat mengatakan secara detail tentang hal yang bersangkutan dengan misinya tadi.

Sorot mata dari manik safir itu seakan memandang jauh, ke hari yang telah berlalu, yang tak dapat lagi dikembalikan. Seakan mata birunya menunjukan bahwa ia telah tenggelam dalam samudera penyesalan.

Hal apa yang bisa membuatnya sampai seperti ini?

Bukannya Solar tidak tahu, sedikit banyak ia tahu tentang 'kejadian hari itu'.

Walau dia tidak di sana, dan walaupun dia tidak merasa dekat dengan 'orang itu' tentu ikatan mereka cukup kuat untuk membuat Solar merasakan kehampaan dan rasa sakit saat ia mendengar bahwa 'orang itu' sudah tidak ada.

Itulah mengapa hanya hal buruk yang dapat ia asosiasikan pada sang mentor saat itu.

Hanya saja.. walau baru sebentar, pendapat nya sudah banyak berubah.

Walau otaknya sedang bekerja dengan super cepat, rasa kantuk mengalahkannya. Wajar saja, ia bangun di pagi buta dan melakukan misi yang melelahkan. Tubuhnya memberontak untuk membiarkannya beristirahat.

Perlahan kelopak mata itu tertutup, mengantarkan nya ke alam mimpi.

.
.
.

"Bungsu~ hey bungsu utututu ayo bangun" ucap suara jahil yang khas.

Siapa lagi kalau bukan mentornya? Suara jahilnya yang berpadu dengan suara alarm yang entah sejak kapan berubah dari musik biasa untuk membangunkannya menjadi suara ayam berkokok yang di remix. Ia sudah tahu siapa dalang dari hal ini.

Alisnya mengerut karena harus dibangunkan dengan cara yang sangat mengesalkan. Tangannya dengan sedikit tekanan mengacak-acak rambut nya dan menggosok wajahnya.

Taufan dengan senyuman ceria yang khas menghentikan tangan sang murid dan mendaratkan tangan miliknya di kepala sang adik, "jangan dikucek-kucek matanya, nanti perih loh."

Solar terdiam, mengangguk,dan dengan gesit mengambil visor nya. Ia sungguh sadar akan kekurangannya di misi kemarin hari.

Setelah menantang Halilintar dengan penuh rasa percaya diri, dia tak dapat mengorbankan harga diri dan gengsi dia dan menerima rasa malu kan?

Taufan tertawa kecil dan kembali mengacak-acak rambut sang adik, "wah,muridku semangat sekali hari ini." Senyumnya.

Solar mengenakan topinya dan menggunakan jaket trainingnya, sekilas ia dapat melihat kantung mata di bawah mata Taufan.

"Kau begadang ya?" Tanya Solar.

Taufan terdiam dan tersenyum, "ada misi mendesak semalam, jadi aku mengurusnya dulu. Tapi jangan khawatir aku akan tetap mengajarimu dengan baik."

Solar merasakan perasaan tidak suka saat melihat mentornya seperti ini. Rasanya seakan ia kesal. Ia tak tahu, emosi apa ini?

Baru terhitung jari ia tinggal bersama sang mentor sekaligus kakak kedua, namun sudah berbagai emosi baru yang terpaksa ia cicipi.

°°°°°

"Jadi, kau ikuti caraku tadi ya?" Ucap Taufan sambil tersenyum ceria.

Ia baru saja mendemonstrasikan cara menembak dengan sniper, dari jarak jauh pastinya.

Aim nya tepat sasaran, bahkan mengenai 'bullseye' dari target. Solar terdiam, rasanya ada satu alasan lagi yang membuatnya semakin takjub akan mentor bodohnya ini, namun hal itu membuatnya semakin kesal.

Ia mengikuti cara Taufan, melihat ke layar dimana ia dapat menentukan target, dan ia tekan trigger untuk menembaknya.

Dan dia sangat baik dalam hal ini.

Taufan tidak terkejut, ia sudah meneliti data tentang adiknya. Adiknya ini memiliki kekuatan 'Solar' yang salah satu cara terbaik untuk memanfaatkan kekuatan itu adalah dengan cara menembak. Jadi secara natural, mungkin ia akan cocok dengan hal ini, dan prediksinya benar.

Rasa bangga terlukiskan di raut wajah sang adik bungsu itu, manik silver yang ditutupi visor itu terlihat berkilau senang. Namun saat wajahnya bertemu dengan wajah sang mentor, ia berusaha keras untuk terlihat tetap cool, seakan tidak peduli atas hasil tembakannya itu.

Taufan tertawa kecil sambil bertepuk tangan, lagi, tangannya mendarat di kepala sang adik. Bahkan Solar sudah terlalu lelah untuk mengelak atau mengomel, jadi ia hanya mengabaikannya.

"Kerja bagus, muridku ini sungguh luar biasa. Bahkan di percobaan pertama sudah sebagus ini. Aku yakin kau bisa mengalahkan rekor tertinggi jika gigih berlatih." Ucap Taufan dengan tepukan tangan nya.

"Siapa rekor tertinggi disini?" Tanya Solar.

Taufan terdiam, raut wajahnya menjadi cerah dan ceria dalam beberapa detik, namun berubah menjadi murung, "rekor kedua tertinggi adalah Gopal."

"Dan yang pertama?"

"Yang pertama adalah..agent Gempa dari divisi S." Jawab Taufan, lagi, sorot mata itu lagi.

Solar tak mengerti kenapa ia terus-terusan mengerti akan sorot mata itu. Padahal jika dipandang secara objektif, ekspresi Taufan terlihat biasa saja. Namun kenapa..

Kenapa ia dapat melihat kesedihan dari mata itu?

"Kau peringkat keberapa?" Tanya Solar, padahal ia berniat untuk hanya diam, ia sendiri pun tak mengerti kenapa ia malah berusaha mengalihkan perhatian Taufan.

Taufan terlepas dari renungan seorang diri dan menunjukan ekspresi ceria dan santai, "aku? Hehe tidak terlalu bagus."

"Oh begitu?" Ucap Solar, merasa sedikit bangga bahwa ada hal yang dapat ia lakukan lebih baik daripada sang mentor.

Taufan tertawa malu dan tak berdaya "hehe.."

"Aku cuma peringkat 10 di agensi dalam hal menembak.." ucap Taufan.

Lagi-lagi Solar terdiam. Jika hanya ada 10 orang, mungkin hal itu akan memalukan.

Namun ini satu agensi, agensi yang beranggotakan ratusan..bahkan ribuan orang..

Dan Taufan peringkat 10? Dan dia terlihat tidak senang?

Ini pertama kalinya Solar kesal dengan orang yang berprestasi.
.
.
Ia menikmati sesi menembak, dalam setiap tembakkan nya, ia selalu menjadi semakin baik dalam hal ini. Tak jarang Taufan memberikan beberapa tips yang berguna untuknya dengan pembawaan yang mudah dimengerti.

Kedua laki-laki itu duduk di sebuah kursi, Solar yang meneguk air mineral dan Taufan yang dengan rakusnya meneguk habis minuman bersoda yang ia bawa.

"Menjadi agen itu.. rumit"

"Karena itu, kau harus memiliki banyak cara untuk mencapai tujuanmu. Jangan terfokus pada satu cara, siapkan backup plan, jadi setidaknya saat cara utama gagal dilaksanakan, kau dapat selamat menggunakan cara cadangan."

"Solar, saat menjadi agen..menurutmu apa yang terpenting?" Tanya Taufan, manik biru safir nya yang terlihat seperti samudera yang memantulkan cahaya matahari, bertemu dengan manik silver dengan visor yang baru saja dilepas.

Solar terdiam, meneguk air minumnya, "tentu saja..keberhasilan misi kan?"

Taufan tertawa kecil, "itu benar"

"Tapi.."

Kini matanya menatap langit yang mulai menunjukan warna biru dan oranye seiring matahari terbit, "tak ada yang lebih penting dari selamat."

"Karena dalam kehidupan itu tidak ada tombol restart."

"Walau ini terdengar seperti pengecut, tapi..sebagai mentor sekaligus kakakmu. Aku berharap kau dapat memprioritaskan keselamatanmu lebih dari apapun."

Senyuman itu lagi. Senyuman beribu makna tapi tak dapat Solar mengerti. Ia benci senyuman itu, karena ia tak tahu emosi apa yang tertahan oleh senyuman itu, dan bagaimana cara mengetahuinya?

Solar terdiam, "berikan aku minuman soda mu." Ucapnya santai, seakan tidak mendengar nasihat sang mentor.

Taufan tersenyum, memberikan botol minuman kosong kepada Solar, Solar yabg menerimanya lekas melempar botol itu dengan kesal ke wajah Taufan.

Taufan menangkisnya, dan botol itu langsung masuk ke tempat sampah, senyuman iseng dan puas terlukis diwajahnya. "Hehe, nice shot"

//Author's note//

Maafkan diriku menjadi bang toyib dan menghilang, ku tidak ada inspirasi SIRAM AKU DENGAN MOTIVASI PLS (ini nulis chapter jam 11 malem baru muncul inspirasi)




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top