6 : The Past Haunts Back

Setelah makan siang yang menyenangkan dengan wali kelasnya yang ganteng dan super sexy itu, Matt terpaksa harus meninggalkan Yudha sendirian di kantin karena bunyi bell sekolah yang memisahkan kebersamaan mereka. Jam istirahat makan siang para siswa telah berakhir.

Matt segera melangkahkan kakinya kembali menuju ke ruang kelasnya, kelas XI-1. Hatinya sedang berbunga setelah bertemu Yudha barusan. Senyum simpul terus mengembang di kedua belah bibirnya. Dia merasa bersemangat dan lumayan terhibur dari kegalauannya yang masih saja menjomblo hingga saat ini. Pikirannya mulai sedikit teralihkan dari kerinduannya pada cowok pemilik hatinya yang masih nggak jelas keberadaannya dimana itu.

Sebuah request dari Yudha sesaat sebelum Matt meninggalkan kantin tadi, kini tengah terngiang-ngiang di otaknya. Guru ganteng itu meminta tolong padanya untuk mengambilkan peluit miliknya yang tertinggal di laci meja guru, di dalam kelas asuhannya tempat Matt bersarang. Dari situ, dia jadi tahu jika ternyata wali kelasnya itu adalah seorang guru olah raga.

Rupanya, itulah alasan mengapa Yudha ingin menemui Matt di sela jam istirahat makan siangnya barusan.

Sedikit nggak masuk akal, tapi itu kenyataannya. Yudha tentu bisa mengambil peluit itu sendiri tanpa harus meminta tolong pada murid yang disukainya itu. Entah, ada maksud tersembunyi apa yang sedang dirancang guru muda itu untuk Matt.

Namun, Matt tentu nggak keberatan dengan permintaan Yudha yang baginya terkesan simple dan nggak merepotkannya sama sekali. Dia malah senang bisa bertemu lagi dengan Yudha di ruang guru sambil membawakan peluit miliknya.

Matt mulai merasa enjoy dan nyaman berada didekat gurunya yang super sexy itu, seakan waktu nggak akan pernah cukup baginya untuk menjumpai guru muda itu. Dia bahkan merasa kehadiran Yudha seperti sebuah oase yang menyegarkan disaat hatinya gersang merindukan Ben, cinta pertamanya itu.

Keyakinan Yudha akhirnya memang terbukti. Sex appeal yang dia miliki mulai berhasil memikat hati murid tampan yang sedang diincarnya itu. Yudha memang terlalu seductive dan menggiurkan bagi Matt yang terbilang masih polos dan amatiran dalam urusan percintaan. Hingga pemuda itu pun perlahan mulai takluk dengan pesona wali kelasnya yang ganteng dan terkesan misterius itu.

Saat kedua kaki Matt menapak naik, meniti anak tangga menuju kelasnya yang terletak di lantai dua bangunan sekolah itu, bahunya nggak sengaja menabrak dada seseorang yang tengah berjalan menuruni tangga itu, dari arah berlawanan dengannya. Matt terlalu bersemangat sambil pikirannya sedikit teralihkan oleh sosok Yudha yang mulai membayangi otaknya, hingga sekedar berjalan lurus pun dia nggak bisa berkonsentrasi.

"Ups...Sorry," ucap Matt sambil menoleh ke arah sosok yang barusan ditabraknya, yang ternyata seorang pria sesama siswa sekolah itu.

Kedua bola mata Matt langsung membulat saat melihat wajah pemuda di sebelahnya itu. Mulutnya masih menganga belum sempat dia katupkan, setelah melontarkan permintaan maaf barusan. Dia terhenyak kaget dan membeku, begitu pula dengan pemuda yang baru saja ditabraknya itu.

Mereka berdua sama-sama berdiri mematung di tengah undak-undakan tangga sekolah yang cukup luas itu, saling memandang satu sama lain. Dunia seakan berhenti sejenak saat tatapan mata mereka bertemu. Matt merasa sangat mengenal cowok itu, tapi tenggorokannya mendadak tercekat hingga dia nggak mampu meloloskan nama pemuda itu dari mulutnya.

Tersadar dari kebekuannya, pemuda itu langsung mengubah mimik wajahnya yang menyiratkan ketidak sukaannya pada Matt. Terkesan sinis dan benci. Dia pun segera membuang mukanya seolah dia nggak mengenal Matt. Lalu kemudian melanjutkan langkah kakinya menuruni anak tangga sekolah itu, meninggalkan Matt yang masih tampak tertegun, sedikit shock dengan pertemuan kejutan mereka.

"Kak Ken..."

Sebuah panggilan pelan akhirnya meluncur juga dari mulut Matt, yang membuat pemuda di depannya itu mengerem mendadak langkah kakinya. Dia berhenti sejenak namun tetap berdiri membelakangi Matt yang berada di atasnya, lalu segera melanjutkan langkahnya kembali tanpa menoleh ke belakang.

Matt menjadi heran dan sedikit bingung, mengapa pemuda tadi mengabaikan panggilannya. Dia yakin suaranya cukup keras untuk sampai ke telinga cowok itu karena dia sempat berhenti sesaat, yang menandakan dia mendengar namanya diserukan. Matt juga yakin dia nggak salah orang. Pemuda itu pasti Ken, kakak kandung Ben yang selisih setahun lebih tua dari sahabatnya itu.

Wajah dua bersaudara itu sangat mirip meski Ken sedikit lebih tampan dari Ben. Matt nggak mungkin salah mengenali, sebab dia sudah merekam wajah mereka berdua di memory otaknya, di slot kosong yang masih belum terisi tampang para pemain bokep gay favoritnya.

Seingat Matt, Ken adalah orang yang sangat baik dan ramah. Meski nggak terlalu akrab, dia selalu terlebih dahulu menyapa jika berpapasan dengan Matt di sekolahnya yang dulu. Dia juga sering mengajak Matt mengobrol, sekedar berbasa-basi saat dia main-main ke rumah Ben, adiknya itu.

Namun mengapa sekarang Ken terkesan begitu sombong dan mengacuhkannya? Bahkan Matt bisa menangkap kekecewaan dan kebencian dari sorot matanya. Apa yang dia sudah lakukan hingga melukai perasaan kakak sahabatnya itu?

Sejenak, pikiran pemuda itu menjadi sedikit kacau dan sedih, memikirkan penyebab perubahan drastis sikap Ken pada dirinya. Tapi tentu hanya berlangsung sebentar saja, karena ada hal yang lebih penting terbesit dibenak Matt saat ini. Bila Ken bersekolah di sana, itu berarti nggak lama lagi dia bisa segera melacak keberadaan adiknya yang mungkin juga bersekolah di tempat itu.

Kelihatannya, Matt bisa menanyakan hal itu pada Yudha yang pastinya mengetahui data semua murid kelas XI seangkatannya.

"YESS...!" ucap Matt mantap dan sangat bersemangat sambil mempercepat langkahnya kembali ke kelas untuk segera mengambil peluit milik Yudha.

Bayangan pertemuannya dengan Ben mulai menari-nari di pikiran Matt menyingkirkan sosok Yudha untuk sesaat, mengiringi langkah kakinya sepanjang melewati koridor menuju ruang kelasnya. Dia tampak begitu gembira dan very exciting. Hatinya membuncah bahagia. Dia jadi nggak sabar ingin segera bertemu Yudha untuk mengorek informasi lebih lanjut tentang keberadaan cinta pertamanya itu.

==========

Setelah agak nyasar sana-sini, Matt sampai juga di depan pintu kaca yang berlabel ruang guru di bagian atasnya.

Semula, Matt berniat untuk mengetuk tapi urung dilakukannya, karena terlihat seorang pengajar wanita yang tampak berjalan mendekati pintu kaca itu, hendak keluar dari dalam ruang guru. Matt berpikir akan menunggu guru wanita itu keluar terlebih dahulu baru dia akan mengetuknya.

"Hmm...kamu pasti Matt," ucap guru wanita tadi yang ditangan kirinya terlihat setumpuk buku pelajaran yang dirapatkan di dadanya. Dia langsung menghampiri Matt setelah keluar melalui pintu kaca di depannya itu.

"I-iya benar saya Matt. Kok ibu bisa tahu?"

"Astaga, Matt! Kamu lupa kalau diseragammu ada name tagnya?"

Matt mengerutkan dahinya, lalu menunduk sebentar, melihat letak jahitan name tag di daerah dadanya, kemudian kembali menatap wajah ibu guru yang didepannya itu sambil menyengir, menyadari kebodohannya. Sepertinya Matt belum terbiasa memakai seragam yang memamerkan namanya itu.

"Haha...ibu becanda Matt, jangan kebingungan seperti itu! Ibu tahu namamu dari Pak Yudha. Beliau yang memberitahu ibu jika akan ada murid asuhan barunya bernama "Matt" yang akan mengantar peluitnya kemari. Kamu pasti murid baru itu, kan! Sebab ibu belum pernah melihatmu sebelumnya," ujar guru wanita itu menjelaskan yang diikuti anggukan kepala Matt.

"Pak Yudha juga sudah mengijinkanmu pada ibu untuk sedikit terlambat masuk, sebab ibu yang akan mengajar di kelasmu saat ini. Jadi, tunggu apa lagi. Cepat antarkan peluit ditanganmu itu ke ruang ganti guru pria, beliau sedang menunggumu disana!" lanjut guru wanita itu sambil menunjuk ke sebuah ruangan di sebelah ruang guru itu.

"Baik, bu. Terima kasih! Saya permisi dulu," ucap Matt sopan sambil menganggukkan kepalanya bergegas meninggalkan guru wanita itu.

"Matt..."

"Ya, bu?" tanya Matt menghentikan langkahnya yang sudah melewati ibu guru tadi, sambil menolehkan kepalanya sedikit menyerong ke belakang, memandang wajah gurunya itu.

"Pak Yudha benar sekali. Kamu memang sangat ganteng, nak!" puji wanita itu sambil tersenyum genit, nggak sanggup lagi menyembunyikan kekagumannya pada murid blasteran itu.

"Hehe...terima kasih, bu!" balas Matt terkekeh kecil, lalu kemudian melanjutkan langkah kakinya untuk segera menemui Yudha.

Guru wanita itu tampak nggak berkedip seperti terhipnotis, memandangi Matt yang berjalan menjauh meninggalkannya, hingga sosok pemuda itu nggak terlihat lagi, karena berbelok memasuki sebuah ruangan yang terletak nggak jauh dari tempat itu.

"Andai saja aku masih muda pasti akan kukejar sampai dapat pemuda ganteng itu. Kalau perlu kupelet sekalian biar dia takluk. Ighh...dia sungguh menggemaskan!" batin guru wanita itu dalam hati.

Matt memasuki sebuah ruangan yang penuh dengan locker tingkat dua yang tersusun rapi, berdiri berderet di kedua sisinya, setelah sebelumnya mengetuk pintu masuk ruangan itu terlebih dahulu.

Yudha yang melihat murid kesayangannya telah memasuki ruangan ganti itu, langsung buru-buru meloloskan satu persatu kancing kamejanya sambil menghadap ke arah locker di depannya.

Belahan dadanya yang bidang serta otot-otot perutnya kini terekspos jelas dari kameja yang bagian tengahnya sudah terbuka itu.

"Pak-Pak...Yu-Yudha..."

Matt mulai tergagap memanggil gurunya itu. Jantungnya berdesir ketika kedua matanya menangkap siluet tubuh Yudha dari samping. Dadanya yang membusung kokoh dengan hiasan puting berwarna coklat terang yang menyembul ditengahnya, membuat Matt menelan ludah menahan libidonya yang mulai naik.

Yudha pun segera menanggalkan kamejanya dan langsung melemparnya ke dalam lockernya tanpa dilipat. Dia mulai melepas kait celana kainnya dan menurunkan resletingnya. Lalu dipelorotnya secara perlahan, sambil sedikit menggoyang erotis pinggulnya, meloloskan celana panjang itu hingga tersisa boxer berwarna hitam yang menempel pada tubuhnya.

Yudha memang sengaja ingin menggoda Matt yang tengah memandang lekat setiap inci lekuk tubuhnya dari samping. Dia sangat yakin bila Matt akan tergiur dengan bodynya yang memang hot dan super sexy itu.

"Iya, Matt?"

Dengan santainya, Yudha membalikkan badan kekarnya yang hanya ditutupi selembar kain hitam di bagian selangkangannya, menghadap ke arah murid yang disukainya itu. Dia lantas berjalan mendekat, menghampiri Matt yang tampak berdiri mematung memandangnya.

Yudha bahkan belum berniat memakai kaos olahraga dan celana training yang masih terlipat rapi di dalam lockernya. Dia masih ingin memanjakan mata pemuda dihadapannya itu dengan tubuh polosnya.

Berulang kali Matt menelan ludah, menikmati pahatan sempurna tubuh kekar milik Yudha. Badan Matt pun menjadi panas dingin seiring gejolak nafsunya yang semakin naik. Dia nggak pernah menyangka pemandangan tubuh kekar nan sexy seorang pria yang biasa dia tonton di bokep gay, kini terpampang nyata dihadapannya.

Celana Matt mendadak menjadi sempit di bagian selangkangannya. Dia terangsang. Adik kecilnya menggeliat di balik sempaknya, menegang dan menekan permukaan celananya yang menimbulkan rasa sesak dan sedikit ngilu. Semakin Yudha mendekat semakin rasa ngilu itu menjadi.

Nafas Matt mulai tersengal-sengal dan jantungnya semakin berdetak kencang. Dia begitu bernafsu dan sangat horny. Ingin sekali rasanya dia mencopot seluruh seragamnya dan segera merengkuh tubuh pria di hadapannya itu, lalu kemudian menungging sambil memohon untuk menjebol keperawanannya. Lama-lama dia bisa khilaf jika Yudha terus menggodanya.

Untungnya akal sehat Matt masih berfungsi, yang membuat dia melempar peluit di tangannya itu ke lantai. Dia lantas lari terbirit-birit meninggalkan wali kelasnya yang masih terkejut melihat tingkahnya itu, di dalam ruang ganti tersebut. Matt takut nggak kuat menahan nafsunya.

Dia nggak mau Yudha sampai tahu dia sangat terangsang melihat bodynya yang kekar dan sexy itu. Dia takut Yudha bukan gay yang menganggap sebuah hal biasa untuk seorang pria menanggalkan bajunya dihadapan sesama pria.

Kini, kepala pemuda itu sudah penuh dengan fantasy liar tubuh sexy gurunya itu yang membuat penisnya terus menegang. Dia seorang hypersex. Nafsunya diatas rata-rata. Dia bisa coli berkali-kali dalam sehari. Maka dari itu, Matt harus segera menyalurkan hasratnya atau dia nggak bakal bisa memikirkan hal yang lain, apalagi harus mengikuti pelajaran di kelas.

Matt sudah sampai di depan sebuah toilet pria yang agak jauh letaknya di ujung pojok bangunan, di dekat sebuah lab praktikum yang kosong dan sepi. Sepertinya, nggak ada kegiatan belajar-mengajar yang mengharuskan menggunakan lab tersebut pada hari itu.

Ini baru pertama kalinya Matt menginjakkan kaki di tempat yang baginya masih asing itu, gegara berlari tanpa arah menghindari hal-hal yang nggak diinginkan terjadi barusan.

Tanpa pikir panjang, Matt langsung memasuki toilet pria itu untuk segera menuntaskan hasratnya. Dia harus segera coli. Penisnya semakin terasa nyeri dan ngilu akibat ingin melesak keluar menerobos celananya yang semakin terasa sempit dan sesak.

Tapi ketika Matt hendak memilih salah satu bilik di dalam kamar mandi itu, dia mendengar suara berisik yang agak aneh dari salah satu bilik di ujung ruangan itu.

Tergelitik rasa penasaran, Matt memutuskan untuk menunda sebentar solo karirnya itu. Dia melangkahkan kakinya sedikit mengendap-endap, mendekati bilik di ujung ruangan itu sambil memasang telinganya baik-baik, ingin menangkap lebih jelas suara dari dalam ruangan sempit tersebut.

"Mmhh...eegghhh...uhh...akhh..."

Terdengar rintihan seorang cewek, bukan, bukan, lebih tepatnya sebuah desahan dari dalam bilik tersebut.

"Sssttt...jangan keras-keras, sayang! Nanti bisa terdengar sampai luar," bisik seorang cowok memotong desahan cewek tadi.

Matt terhenyak kaget. Lagi-lagi dia nggak menyangka adegan yang pernah dia saksikan di film remaja Thailand kesukaannya "Hormones the Series", kini sedang terjadi di depan matanya. Sepasang pelajar cowok dan cewek sedang bercinta di dalam bilik kamar mandi sekolah yang sempit.

"Sialan! Kamu sih enak tinggal masukin doank, bisa dengan mudahnya nyuruh aku diam. Apa kamu pikir nggak sakit, kontol segedhe punyamu itu masuk di lubang sesempit ini? Dasar jembut!" balas cewek itu sewot.

"Tapi kan itu yang buat kamu ketagihan, yang!" rajuk cowok itu.

Cewek itu diam, nggak membalas. "Akhh...mmhhh...ouhhh..." Cewek itu kembali mendesah kenikmatan.

DOK...DOK...DOK...!!!

Matt dengan isengnya menggedor-gedor keras pintu itu sambil kemudian langsung berlari menuju deretan wastafel dengan hiasan kaca cermin memanjang di dinding atasnya, di depan bilik itu.

Matt memutar kran salah satu wastafel itu hingga airnya mengucur deras. Dia berpura-pura mencuci tangannya sambil menunggu sang aktor dan aktris yang akan segera keluar dari bilik itu. Matt yakin bila mereka berdua sekarang sedang panik dan buru-buru mengakhiri kegiatan mesumnya itu.

Nggak lama berselang, pintu bilik itu pun terbuka. Seorang gadis cantik berpayudara besar yang sudah berseragam lengkap, terlihat berjalan keluar dengan santainya sambil membetulkan posisi roknya yang agak miring.

Kedua mata Matt terbelalak kaget mengamati wajah gadis yang berjalan melewati punggungnya itu, dari pantulan kaca cermin di depannya. Dia mengenali sosok gadis tersebut. Dia adalah si gadis semangka, kekasih Lee, yang baru saja dilihatnya di kantin saat istirahat jam makan siang tadi. Matt pun menebak setelah ini Lee akan segera keluar dari dalam tempat persembunyiannya.

Namun, ternyata Matt keliru. Dia salah menduga. Dia bukan Lee.

Seorang pemuda kekar berwajah tampan dan tegas tapi terkesan urakan, berjalan dengan santainya keluar dari dalam ruangan sempit itu, seolah sedang nggak terjadi apa-apa. Dia berjalan melenggang melewati punggung Matt tanpa dosa.

Namun, langkahnya terhenti saat dia nggak sengaja menoleh ke arah cermin panjang itu. Mendadak raut wajah pemuda itu tampak berubah bak singa lapar hendak menerkam mangsanya. Dia berbalik arah dan kembali menghampiri Matt yang sudah dilewatinya, sambil terus menatap lekat wajah pemuda itu dari sepanjang pantulan kaca cermin yang dilaluinya.

Kedua mata Matt langsung menyipit tajam saat tatapan mereka bertemu dari pantulan cermin itu. Matt kenal betul dengan pemuda itu meski wajahnya sedikit berubah seiring pertambahan usia, begitu juga sebaliknya.

Tangan kanan Matt langsung mengepal penuh emosi, bersiap-siap menonjok pemuda yang semakin berjalan mendekatinya itu.

"Hai, bencong! Do you miss me?" bisik pemuda itu di telinga Matt sambil meremas bokongnya.

Seketika, kepalan tangan Matt langsung melemas. Tenaganya mendadak hilang. Dia nggak bisa membalas tindakan pelecehan pemuda itu. Trauma masa kecilnya tiba-tiba kembali menghantui pikirannya. Lututnya pun jadi terasa lemah seperti nggak bertulang, hingga dia jatuh terduduk di atas lantai kamar mandi itu dengan tatapan matanya yang kosong.

"See you, bencong!" ucap pemuda itu sambil tersenyum licik dan puas, berjalan meninggalkan Matt.

TBC

Aduh penyakit nih. Susah banget buat cerita yang simple. Entah kenapa aku suka dengan konflik yang complicated. Huh, maafkan daku yah jika chapter ini jadi kepanjangan karena aku terlalu exciting...

Aku lagi senang ngeliat respon yang baca cerita ini, makanya updatenya cepet hehe...

Jadi kalau vomentnya di chapter ini banyak aku usahain updatenya cepet deh #ngarep

Thank you very much.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top