24 : It's Hard to Resist

Matt menyesap dalam-dalam lintingan tembakau yang terselip di antara dua jarinya, membiarkan sejenak sensasi nikmat nikotin menjalari paru-parunya sebelum dihembuskan keluar melalui lubang hidung. Terhitung sudah tiga puntung rokok berserakan di bawah bangku dekat gudang alat kebersihan sekolah.

Sembari menikmati batang rokok yang mencandu, pikirannya yang rileks tengah mereka-reka apa saja yang sudah diperbuatnya belakangan ini. Gelengan kepala heran serta senyum langsung menghiasi kedua belah bibir tipisnya, saat mengingat sepak terjang mantan musuh bebuyutannya yang nggak tahu malu itu untuk mendapatkan hatinya. Hingga puncaknya mereka berdua berakhir di ranjang hotel kemarin sore. Meski nggak terlalu hot kayak di bokep-bokep gay yang sering ditontonnya, bisa dibilang pengalaman sex pertamanya cukup memuaskan. Bahkan dia sampai ngecrot tanpa bantuan tangan saking enaknya.

Namun seketika perasaan bersalah mengusik hati, saat tatapannya jatuh pada arloji pemberian Yudha yang dia kenakan hendak mencari tahu sudah berapa lama dia bersembunyi dari gurunya itu.

Matt merasa sudah terlewat kejam menghukum pria yang sudah sangat baik padanya selama ini. Wali kelasnya itu pasti sedang kelimpungan mencarinya sekarang, padahal dia belum tentu main api dengan bencong laknat seperti yang dia pikirkan. Sementara dirinya sendiri malah terlanjur jatuh dalam persetubuhan terlarang dengan Nick sampai hilang keperjakaannya. Lalu, bagaimana jika ternyata semua asumsinya salah dan Yudha sama sekali nggak main belakang dengan Sam?

"Ah sial, lebih baik aku segera minta maaf sama Mas Yudha sekarang," ucap Matt gusar, menyadari dia terlalu gegabah dalam bertindak. Pemuda itu segera bangkit berdiri sembari membuang batang keempat yang tinggal setengah. Kemudian memacu langkahnya cepat meninggalkan tempat rahasia di mana Nick dan gerombolannya biasa berkumpul.

Sesampainya di ruang guru, Matt langsung bergegas masuk setelah sebelumnya mengetuk pintu yang terbuat dari kaca. Ruangan itu tampak sepi, hanya terdapat puluhan meja kosong yang tertata rapi dan sebuah ruangan kecil berdinding full kaca di pojok. Matt juga nggak mendapati tanda-tanda Yudha berada di sana. Jadinya pemuda ganteng itu harus sabar membaca satu-persatu nama guru yang tertera pada label dari bahan vynil di atas masing-masing meja untuk menemukan milik Yudha. Dia berniat menunggu di depan meja kerja wali kelasnya.

"Kamu cari siapa, sayang?" tanya seorang guru wanita yang sedang duduk di salah satu meja di pojok ruangan, tengah mengoreksi lembaran kuis murid-muridnya. Dia merasa kasihan melihat siswa blasteran favoritnya yang sepertinya sedang kebingungan.

Matt menoleh ke arah sumber suara. Pikirannya terlalu fokus ingin mencari Yudha, hingga nggak sadar dia nggak sendirian di tempat itu.

"Saya sedang mencari Pak Yudha, Bu," jawab Matt sopan ke arah guru wanita yang wajahnya terlihat familiar. Kalau nggak salah, dia yang memberikan peluit titipan Yudha pada dirinya tempo hari.

"Pak Yudha nggak ada di tempatnya, sayang. Tuh lihat, ruangannya kosong," ujar guru wanita itu dengan telunjuk mengarah ke depan, ke arah ruangan kecil yang dindingnya terbuat dari kaca transparan hingga bisa terlihat bagian dalamnya.

"Oh, gitu yah, Bu," balas Matt sopan seraya mengalihkan pandangan mengikuti arah telunjuk guru itu ke ruang kaca yang terletak nggak jauh dari meja kerjanya. "Hmm... apa boleh saya menunggu beliau di ruangannya, Bu?" tanya Matt setelahnya.

"Boleh, boleh... kamu langsung masuk saja ke dalam. Atau kalau kamu mau, kamu bisa duduk sini di depan meja Ibu. Kita bisa mengobrol daripada kamu bosan sendirian di dalam," tawar guru wanita itu sambil mengulas senyum penuh harap. Kapan lagi dia bisa dekat-dekat dengan siswa ganteng yang pernah ingin dipeletnya itu.

"Ehm... terima kasih atas tawarannya, Bu. Tapi saya menunggu Pak Yudha di dalam saja," tolak Matt sesopan mungkin sembari buru-buru membuka pintu kaca ruangan kerja wali kelasnya setelah knob pintu berada dalam jangkauan tangannya. Dia nggak mau meladeni kegenitan guru wanita yang kedua matanya serasa mau copot memandanginya lekat-lekat.

Dia lantas mendaratkan pantatnya di atas kursi di depan meja kerja Yudha setelah berada di dalam. Lalu mengeluarkan ponsel yang sengaja dia silent sebelumnya untuk mengabari kekasih tercinta. Senyumnya mengembang saat mendapati beberapa miss call dan sejumlah pesan masuk lewat akun LINE miliknya. Semuanya tentu berasal dari sumber yang sama, dari guru kesayangan yang sudah dibuatnya kelabakan gara-gara dirinya tiba-tiba kabur menghilang.

Tanpa buang waktu, Matt segera membalas pesan Yudha dengan kalimat singkat yang langsung dibaca penerimanya.

Matthew Prakoso: Aku di kantor Mas sekarang. Read.

Nggak butuh waktu lama untuk Matt menunggu, sosok Yudha sudah muncul melewati pintu ruang kerjanya sekarang.

"Dari mana saja kamu, hah?" Yudha langsung mencecar jengkel sambil berjalan melewati punggung Matt menuju kursi yang berhadapan dengan pemuda itu di balik meja kerjanya.

"Saya habis merokok, Mas," jawab Matt jujur.

Yudha mencondongkan sedikit wajahnya melewati meja, hidungnya mengendus dan menangkap bau asap tembakau menguar dari tubuh pemuda yang duduk di depannya. Bagus, berarti murid kesayangannya itu nggak bohong. Tapi dia belum sepenuhnya puas, masih banyak hal yang mengganjal dalam hatinya.

"Kamu tahu kan, kalau merokok di sekolah itu dilarang?"

"Tahu, Mas." Matt menganggukkan kepala.

"Lalu kenapa masih kamu langgar, Matt? Apa mentang-mentang kamu pacar Mas lalu kamu seenaknya melanggar peraturan sekolah karena kamu tahu Mas bakal melepasmu, iya?"

"Nggak, Mas, bukan begitu. Saya cuma ingin melepas penat tadi."

"Owh... Mas tahu, ini semua pasti pengaruh si murid berandalan itu, kan? Sudah berapa kali Mas bilang jangan pernah bergaul dengan Nicholas. Dia itu pembuat onar dan Mas nggak mau dampak buruknya menular ke kamu," tafsir Yudha sinis sebab selama bersamanya Matt nggak pernah sekalipun kedapatan merokok.

"Ah, kenapa Mas jadi bawa-bawa Nick sekarang?" sahut Matt terpancing emosinya. Dia mendadak merasa jengkel sebab Yudha selalu menarik dirinya masuk ke dalam dendamnya yang belum usai pada Nick. "Jauh sebelum saya mengenalnya, saya sudah merokok, Mas!" tekannya dengan sorot mata mengiris tatapan menuduh Yudha. "Dan menurut saya Nick nggak seburuk itu. Setidaknya dia selalu ada waktu buat menemani saya."

"Oh... jadi maksud kamu, Mas nggak bisa menyalahkan berandalan itu mendekatimu karena sebenarnya ini semua adalah salah Mas sendiri, iya?" balas Yudha nggak terima. "Hebat! Bela saja terus berandalan itu, Matt! Rasanya memang Mas ini nggak pernah berarti apa-apa di matamu," sindirnya muak.

"Cukup!" potong Matt cepat. "Terserah Mas mau bilang apa! Lebih baik saya kembali ke kelas saja sekarang. Saya nggak mau berdebat dengan Mas," lanjutnya sambil langsung bangkit berdiri.

"Ok, silahkan pergi sana, Mas nggak akan menahanmu..." tantang Yudha sengit, nggak mau kalah. "Tapi setelah kamu melewati pintu itu, maka..." ucapannya terhenti sambil menghela nafas panjang, "hubungan kita berakhir sampai di sini..." lanjutnya bersungguh-sungguh sambil menahan rasa perih yang seketika menjalari hati.

Langkah kaki Matt langsung terhenti di depan pintu mendengar ancaman Yudha. Jemarinya perlahan mengendur, melepas genggaman pada knob pintu. Bukan, bukan ini yang dia mau. Tujuannya kemari adalah untuk meminta maaf, bukan malah kehilangan guru ganteng yang masih sangat dicintainya itu. Matt memilih mengalah, dia harus bisa meredam emosinya.

"Lho, kenapa kamu kembali, hah?" tanya Yudha pura-pura sinis meski hatinya mendadak terasa sangat lega mendapati murid kesayangannya kembali duduk di depannya.

"Saya... saya nggak mau kehilangan Mas Yudha," aku Matt jujur, menatap serius ke arah wali kelasnya.

"Kenapa? Bukannya kamu bisa bebas jika sudah nggak sama Mas lagi? Kamu bisa bergaul dengan siapa saja tanpa ada yang melarang."

Matt menggeleng. "Saya nggak mau sama siapa-siapa, Mas. Saya maunya hanya dengan Mas Yudha saja. Tolong, jangan usir saya dari kehidupan Mas."

Yudha terdiam sambil memindai sebentar wajah serius pemuda di hadapannya. Setelahnya, lenguhan pasrah tanda menyerah lolos dari mulutnya. "Ah sial, kamu itu memang paling pintar membuat Mas jadi besar kepala sendiri," ucapnya seraya mau nggak mau jadi tersenyum simpul. "Ok, sekarang Mas tanya kamu baik-baik. Apa sebenarnya salah kalau Mas melarang pacar sendiri untuk berdekatan dengan pria yang terang-terangan ingin merebutmu dari sisi Mas?"

Matt menggeleng lagi. "Nggak, Mas. Saya pun juga akan berbuat demikian jika Mas didekati pria lain, contohnya si Samuel. Bisa nggak Mas nggak usah dekat-dekat dengan bencong keparat itu?"

"Wahh... kenapa Mas jadi menangkap aura cemburu yah, disini?" celetuk Yudha sambil terkekeh. Hatinya menghangat seketika. Dia nggak menyangka jika Matt bisa cemburu juga padanya. Pikirnya selama ini hanya dia yang bersikap posesif pada kekasihnya itu.

"Ah, sial! Saya sedang serius, Mas! Saya nggak suka Mas dekat-dekat sama Samuel, bisa?"

"Nggak bisa..." jawab Yudha masih dengan senyum mengembang.

"Kenapa? Jangan bilang Mas juga suka padanya?" Matt menyalak sebal.

"Hahaha... kamu lucu kalau sedang cemburu, Matt," tawa Yudha meledak yang membuat Matt merengut makin jengkel.

"Ok, Mas minta maaf kalau nggak bisa memenuhi permintaanmu untuk menjauhi Samuel. Tapi bukan karena Mas suka sama dia, Matt. Mas hanya mencoba bersikap adil sebab dia itu juga murid di sekolah ini. Mas punya tanggung jawab untuk menjaganya seperti murid-murid yang lain. Dia itu punya masalah dengan beberapa mata pelajaran. Nah, kebetulan dia tinggal satu gedung dengan Mas, makanya orang tuanya sering memanggil Mas untuk menanyakan perkembangan kondisi akademik anaknya."

"Oh... I see..." Matt manggut-manggut paham. "Tapi Mas nggak sedang mengarang untuk menutup-nutupi kebohongan Mas, kan?" tanyanya kemudian masih sedikit curiga.

"Tentu saja nggak lah, Matt. Pacarmu ini tipe yang setia. Mas janji cuma ada satu murid yang Mas perlakukan sangat spesial di sekolah ini. Dan murid itu adalah kamu, murid bandel yang suka bikin Mas emosi tapi juga ngangenin di saat yang bersamaan."

"Wah... Mas jangan bikin saya jadi kegeeran sendiri dong, hehehe..."

"Lalu, sekarang gantian Mas yang mau tanya sama kamu. Kemarin, kamu kemana saja seharian setelah pulang dari apartment Mas? Kenapa kamu sama sekali nggak membalas pesan LINE dariku?"

Matt menelan ludah gugup. Astaga, mau jawab apa dia sekarang. "Oh itu, yah... hmm... kemarin..."

"Kamu nggak pergi sama Nick kan, Matt?" tembak Yudha.

"Iya... saya pergi sama Nick, Mas. Sorry..." jawab Matt sedikit ragu, mencoba jujur.

Wajah Yudha seketika berubah masam, hatinya memanas saat mendengar pengakuan pemuda di hadapannya.

Matt yang menyadari perubahan raut wajah kekasihnya, langsung buru-buru meluruskan perkataannya. "Tapi kita cuma sekadar pergi makan siang dan setelahnya saya langsung mengantar Nick pulang ke rumah. Itupun saya melakukannya dengan sangat terpaksa, Mas. Saya sudah menggembosi ban motornya sehingga dia jadi nebeng pulang ikut mobil saya. Saya mohon Mas jangan marah, yah," ungkap Matt berbohong.

Yudha menghembuskan nafas meredam emosi. "Ok, Mas nggak marah kali ini karena Mas juga merasa salah sudah membiarkanmu pulang sendiri. Tapi Mas minta mulai sekarang kamu jangan dekat-dekat lagi dengan pemuda berandalan itu, bisa?"

"Siap, Mas..." sahut Matt cepat.

"Thank you, Mas pegang janjimu itu. Sekarang, lebih baik kamu tunggu Mas di mobil Mas, yah. Sebentar lagi pergantian jam, guru-guru pasti banyak yang kembali ke sini dulu sebelum melanjutkan mengajar. Mas nggak mau sampai beredar kabar nggak sedap karena terlalu lama menahanmu di sini. Apalagi masalah ancaman dalam foto kemarin pun, kita masih belum tahu siapa dalangnya. Jadi sebaiknya kita berhati-hati dan bermain aman dulu, Matt."

"Ok, saya setuju, Mas. Kalau gitu saya pamit ke mobil Mas Yudha dulu sekarang."

"Ok, tunggu Mas di sana, jangan keluyuran kemana-mana. Sepuluh menit lagi Mas menyusulmu karena Mas masih harus membereskan berkas sebentar."

*****

"Thanks yah Mas, untuk makan siangnya," ucap Matt sambil membuka pintu mobil di sebelahnya, setelah sedan milik Yudha sudah berhenti di salah satu sudut parkiran sekolah yang tampak sepi, sekembalinya mereka dari makan siang di luar.

"Tunggu dulu, Matt," cegah Yudha saat Matt hendak turun dari mobil.

Matt menoleh jengah, nggak jadi melangkahkan salah satu kakinya turun dari mobil. "Kenapa lagi, Mas?"

"Kamu jangan ngambek seperti ini dong. Mas beneran minta maaf, ok?"

"Saya nggak sedang ngambek ataupun marah kok, Mas tenang saja! Saya sudah mulai terbiasa dengan sikap Mas yang seperti ini. Saya paham betul kalau pekerjaan Mas itu jauh lebih penting daripada sekadar menghabiskan waktu dengan murid yang nggak jelas seperti saya," sindir Matt kecewa.

"Kamu jangan ngomong seperti itu dong, Matt. Kamu itu sangat berharga buat Mas lebih dari apapun."

"Buktinya?" bantah Matt cepat. "Sudahlah, saya malas berdebat dengan Mas. Toh, itu nggak akan bisa mengubah apa-apa. Mas tetap pergi dan membatalkan rencana kita. Semoga lancar meetingnya, Mas. See you!" Matt langsung turun dari mobil setelah mengakhiri pembicaraan. Lalu membanting pintu mobil cukup keras saking kesalnya.

Yudha buru-buru menurunkan kaca mobil hendak memanggil muridnya itu. "Matt... Matt... tunggu, kamu jangan pergi dulu. Mas masih mau bicara," teriaknya yang sama sekali nggak digubris oleh pemuda yang terus memacu langkahnya menjauh.

Yudha langsung menggebrak kuat bantaran setir mobil untuk melampiaskan rasa jengkel bercampur frustasi yang mendadak menguasai benaknya. Dia ingin sekali turun mengejar murid kesayangannya itu namun di saat yang bersamaan dia harus segera menemui seseorang yang nggak bisa mentolerir keterlambatannya. Hingga akhirnya guru muda itu terpaksa memacu mobilnya meninggalkan area parkir sekolah.

Di sisi lain, Matt juga nggak kalah emosinya dengan Yudha. Rencana untuk mampir ke apartment wali kelasnya setelah makan siang harus batal di tengah perjalanan menuju ke sana. Seperti biasa, sebuah telfon yang masuk ke ponsel milik Yudha langsung sukses mengubur impiannya untuk bercinta dengan kekasihnya itu untuk kesekian kalinya.

"Arghhh...." Matt menggeram jengkel. Berbagai macam pertanyaan seketika bercokol dalam pikirannya.

Sebenarnya siapa sih, sosok misterius yang selalu berhasil mengganggu momen kebersamaannya dengan Yudha? Kenapa gurunya itu terlihat patuh dan nggak pernah mencoba membantah sekalipun? Bahkan dia sampai berani nggak kembali ke sekolah untuk segera menemuinya. Apa dia nggak khawatir mendapat teguran dari kepala sekolah karena bersikap seenaknya menghilang dari sekolah seperti itu? Atau jangan-jangan apa yang dibilang guru UKS tempo hari itu benar adanya? Yudha juga pernah sampai cuti untuk rapat dengan dewan pimpinan sekolah di luar kota sementara guru yang lain tetap masuk untuk mengajar seperti biasa. Belum lagi, ruang kerja wali kelasnya itu juga terlihat lebih eksklusif dan terpisah dari guru-guru yang lain. Ah, sepertinya Yudha memang bukan guru olahraga biasa seperti yang dia akui di depan Matt, pasti ada yang sedang dia tutup-tutupi darinya.

Dengan rasa penasaran yang membuncah, Matt memacu cepat langkahnya menuju ruang UKS sekolah.

Matt langsung mengetuk badan pintu sesampainya di depan ruang kesehatan siswa. "Permisi, Bu Tincenya ada?" tanya Matt setelah seorang guru wanita yang terlihat asing menyambut kedatangannya.

"Oh, Bu Tince sudah nggak bertugas di sini lagi. Beliau mengundurkan diri dari sekolah kemarin. Mulai hari ini dan seterusnya, saya yang akan menggantikan tugas beliau. Kamu ada perlu apa yah, mungkin saya bisa bantu? Apa kamu merasa nggak enak badan dan membutuhkan obat, mungkin?"

"Oh, saya sehat-sehat saja kok, Bu. Saya cuma ada keperluan sedikit dengan Bu Tince. Tapi karena beliau sudah nggak bertugas di sini lagi, sebaiknya saya kembali ke kelas dulu saja sekarang. Terima kasih yah, Bu."

"Ok, kalau begitu. Saya kembali ke dalam dulu, yah," tutup guru UKS yang baru itu sambil kemudian kembali masuk ke dalam ruangan, meninggalkan Matt yang terlihat masih kurang bisa menerima kenyataan.

"Kenapa bisa sampai kebetulan seperti ini, hah? Satu-satunya guru yang bisa membuka jati diri siapa sebenarnya Mas Yudha malah mendadak mengundurkan ini. Ah, sial! Mau dari mana lagi coba aku mengorek informasi mengenai pacarku itu?" gerutu Matt dalam hati sambil melangkah lambat menuju ruang kelasnya sebab jam istirahat makan siang sudah lama berakhir.

Belum reda rasa penasaran akut mengenai sosok wali kelasnya yang misterius, tiba-tiba dering notifikasi LINE memecah kesunyian saat sepasang kakinya menyusuri pelan koridor sekolah. Sebuah pesan masuk ke dalam aplikasi bertema hijau itu. Dengan malas, Matt segera mengeluarkan ponsel miliknya untuk membaca pesan yang dia kira dari Yudha seperti sebelum-sebelumnya. Menurutnya, Yudha terlewat perhatian sampai sedikit annoying kalau nggak sedang berada di sampingnya. Dia selalu menghujaninya dengan puluhan pesan lewat aplikasi LINE untuk menanyakan kabarnya. Apa mungkin itu sebuah bentuk perasaan bersalah Yudha karena kerap kali mendadak harus meninggalkannya sendirian?

Namun ternyata dugaan Matt kali ini salah. Langkah kakinya seketika langsung terhenti saat mendapati nama asing yang muncul dengan sebuah pesan baru.

"Sial, dari mana si brengsek itu mendapat akun LINEku?" umpat Matt pelan sambil membuka isi pesannya.

Nicholas Prayoga: Kamu dimana, cong? Kok, aku nggak liat kamu di kantin tadi. Read.

Dengan gemas, jemari Matt langsung mengetik cepat membalas.

Matthew Prakoso: Cang, Cong, Cang, Cong... Mau aku patahkan gigimu, hah? Read.

Nicholas Prayoga: Wuih... galak amat sih, kamu, yang! Read.

Matthew Prakoso: Anjing! Mulutmu itu minta aku gampar, hah? Bisa nggak, panggil namaku dengan benar? Read.

Nicholas Prayoga: Nggak bisa :p Aku kan, mau memanggilmu lain daripada yang lain, hehehe... Kamu lagi dimana, yang? Read.

Matthew Prakoso: Ya di kelas lah, mau dimana lagi? Heran, kamu itu punya otak nggak sih, tanya yang nggak perlu-perlu seperti itu? Oh ya, ngomong-ngomong kamu tahu dari mana akun LINEku, hah? Read.

Nicholas Prayoga: Hehehe... makanya yang, kalau kamu ketemu aku jangan terlalu bahagia sampai lupa daratan gitu. Kamu lupa yah, kalau kamu meminjamkan ponselmu padaku sewaktu di hotel kemarin? Read.

Astaga, Matt langsung menepuk jidatnya sendiri. Sepertinya dia terlalu larut dalam kegugupannya sendiri hingga nggak menyadari Nick mengutak-atik ponselnya. Dia pasti diam-diam membuka akun LINE miliknya untuk menambah teman, disela menonton bokep yang diputar dalam ponselnya.

Nicholas Prayoga: Woi... kok diam saja sih, yang? Aku kangen, nih! Bisa nggak, kita ketemu sekarang? Read.

Matthew Prakoso: Nggak! Aku malas ketemu kamu. Mending aku tidur di kelas saja. Read.

Nicholas Prayogo: Ayolah yang, pleaseeeeeeeee... Aku juga sedang sange berat nih, mikirin kamu. Aku pingin ngentot kamu lagi. Aku tunggu yah, di WC cowok tempat pertama kali kita ketemu dulu. Read.

Nicholas Prayogo: Pleaseeeeee... Read.

Nicholas Prayogo: Pleaseeeeee... Read.

Nicholas Prayogo: Pleaseeeeee...

Jancok! Matt ingin sekali mengumpat gemas. Kok bisa sih, ada orang semenjengkelkan dan nggak punya malu seperti Nick itu? Bisa-bisanya dia dengan entengnya bilang kepingin bercinta lagi dengannya? Pacar saja bukan!

Tapi anehnya, kenapa Matt malah jadi menimang-nimang permintaan kurang ajar preman kampung itu. Dia merasa nggak berdaya langsung menolaknya dengan tegas. Belum lagi penisnya mendadak menegang saat teringat kejadian di hotel kemarin, yang tentu saja makin mempersulit posisinya. Nggak ayal, pemuda itu langsung otomatis memutar badan, mengurungkan niatnya untuk kembali ke kelas. Dia malah berjalan menuju toilet pria di pojok bangunan dekat lab praktikum.

"Arggh... brengsek! Kenapa kalau sudah urusan kontol aku selalu menyerah seperti ini?" gerutu Matt dalam hati sambil mempercepat langkahnya. Pikirannya mendadak dipenuhi nafsu bercampur emosi yang meluap-luap. It's ok, nggak ada Yudha, ada Nick yang siap menggantikan posisinya.

TBC

Ah, lama banget nunggu part 22 votenya 200 padahal yang baca udah tembus 1K. Tapi ya sudahlah, karena aku part baik hati aku kasih deh part ini, huhuhu...

Untuk next part minimal vote 200 yah untuk part ini. Thank you.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top