2 : The Super Sexy Teacher, Yudha.

Ini adalah sebuah rahasia yang cuma aku, kamu, Matt dan Tuhan yang tahu, jika Matt masih perawan. Tentunya coli nggak masuk hitungan. Karena itu hal yang wajar buat seorang cowok.

Matt memiliki kebiasaan coli yang extreme. Dia hypersex. Nafsunya gedhe. Bisa 6-8 kali sehari. Mungkin juga biasa buat yang sudah pernah melakukannya.

Nggak hanya sampai situ, Matt juga suka menggerayangi tubuhnya sendiri saat onani. Dia sering meremas-remas dadanya yang bidang itu sambil memelintir putingnya bergantian, kanan-kiri-kanan-kiri sampai tubuhnya kelenjotan keenakkan. Rupanya salah satu titik rangsang terbesarnya terletak pada tonjolan mungil pada dada kekarnya itu.

Sexy dan menggairahkan. Kesan jika melihat seorang pria muda sekekar Matt dengan tubuh putihnya yang mengkilap dibasahi keringat, sedang mengocok kasar penisnya sambil memainkan puting berwarna merah terangnya itu. Desis dan lenguhan suara beratnya yang agak serak akibat kebanyakan merokok, bukan desahan melambai-lambai nan lebay ala bencong yang bikin ilfeel, membuat semua terkemas rapi dalam diri Matt sebagai seorang pria gagah yang super hot.

Tapi....

Meski terlihat jantan, maskulin, gagah dan perkasa kayak jagoan ala Jason Statham. Bot selamanya tetap bot. Nalurinya tetap sama, pingin dientot top-nya.

Hal ini berlaku juga buat Matt. Jemari tangannya nggak jarang dia tusuk-tusukkan ke lubang kenikmatannya, menyisir mencari kelenjar prostatnya sambil menonton bokep. Bokep gay tentunya. Tapi bukan sembarang adegan esek-esek yang dia tonton. Dia suka rewel. Dia nggak suka jika botnya slim atau bahkan kerempeng mana keren, berteriak-teriak histeris dan merintih kayak cewek ketika lubang pantatnya diobok-obok, meski seganteng apapun pemerannya.

Rasanya dia ingin menyumpal mulut bot yang berisik itu dengan botol bekas baygon. Kalau bisa yang masih ada sedikit sisa cairan racun serangga itu didalamnya, biar sekalian ketelan terus koit deh. Great! Matt bahagia jika berkurang satu populasi mahkluk yang dibencinya itu.

Matt hanya suka menonton yang botnya lumayan muscle dan maskulin seperti dirinya. Lebih hot dan sexy serta cepat merangsang libidonya. Matt sering membayangkan jika Ben sedang nge-fuck dia seperti adegan di film dewasa itu.

Jadi nggak heran jika Matt selalu jomblo dan masih perawan. Bukannya dia nggak laku karena yang naksir seabrek kayak antrian sembako di sekolah SMA lamanya. Yang pastinya semua mahkluk bergunung kembar dan berlembah rimbun semak belukarnya.

Tapi Matt nggak mau munafik dengan memacari seorang cewek. Dia gay dan dia sadar orientasinya itu. Dia nggak mau menyakiti hati seorang cewek dengan berpura-pura menyukai mereka. Dia nggak mau memainkan perasaan mereka dengan memberi harapan palsu.

Matt memang terkesan seperti seorang gentleman sejati bagi seorang wanita tapi sekaligus monster mengerikan bagi kaum amphibi. Pria bukan, wanita juga bukan. Setengah-setengah.

Dia lebih menghormati dan menjaga perasaan mahkluk ber-vagina itu daripada mahkluk lelembut yang meliuk-liuk ngondek kayak uler keket. Wajib dipites hingga mampus.

Cowok gay pun nggak berani naksir dia. Terlalu jantan dan gahar. Takut jika Matt seorang homophobia karena dia suka mem-bully siswa yang gemulai dan melambai. Terlebih kabar Matt yang suka menghajar siswa sekolah sebelah saat tawuran, membuat gay discreet pun ngeri untuk berniat mendekatinya. Mereka takut dihajar.

Matt bisa saja ber-chatting ria dengan para gay di luar sana lewat berbagai macam date apps khusus gay lewat HPnya. Dengan fisik yang nyaris sempurna tentu bukan hal yang susah baginya untuk mencari partner diranjang.

Hanya saja, dia nggak mau nge-sex sembarangan karena baginya sama saja dengan coli. Sama-sama bisa orgasme tanpa cinta. Dia ingin mempersiapkan pantatnya buat Ben seorang. Satu-satunya yang punya ruang khusus di hatinya. Dia ingin sahabat baik yang dicintainya itu jadi top-nya, yang punya special privilege mengakses lubang pantatnya untuk pertama kalinya.

Tapi, seberapa lama Matt kuat bertahan menjaga perasaannya pada Ben, jika di hari pertama dia masuk sekolah barunya, sudah dihadapkan pada godaan yang luar biasa menggiurkan?

Godaan yang membuatnya menelan ludah, saat kepala sekolah kenalan orang tuanya itu memanggil seorang guru muda ke kantornya. Seorang pria dengan kacamata trendy berbingkai besar ala bintang k-pop yang akan menjadi wali kelas Matt.

Gawatnya, dia sangat tampan dan memukau di mata Matt. Super sexy and very hot. Mirip Chico Jericho versi oriental. Lebih tinggi sedikit dari Matt. Terkesan tegas dan maskulin. Badannya pun tegap dan lebih kekar darinya, sesuai kriteria impian Matt sebagai top-nya.

Nggak seperti Ben yang bodynya standard dan lebih kurus dari Matt, jauh dari kriterianya. Tapi sepertinya Matt nggak mempermasalahkan hal itu. Dia tetap mencintai sahabat baiknya itu apa adanya.

Bagi Matt, cinta itu nggak menuntut. Harus bisa menerima segala kelemahan dan kekurangan. Cinta itu saling mengisi dan melengkapi. Dua insan yang sama-sama sempurna nggak bakal bisa saling mengisi karena mereka sama-sama penuh. Yang ada malah saling mencela, mencari kekurangan masing-masing dan menuntut untuk menjadi sesempurna pasangan mereka.

Tapi lain soal, jika Matt harus punya kekasih yang melambai ceria dan ngondek. Dia nggak bisa mentolerir hal itu. Semua pemahaman tentang cintanya nggak berlaku buat mahluk yang baginya lebih menyeramkan ketimbang preman pasar itu jika bergerombol. Dia nggak bisa menerima kekurangan itu karena menurutnya ciptaan Tuhan nggak ada yang setengah-setengah. Terlebih dia punya pengalaman masa lalu yang pahit akan hal itu.

Gay mungkin bukan sebuah pilihan ketika lahir tapi menjadi bencong itu adalah sebuah pilihan hidup.

"Dave...Dave...DAVE!!!..."

Sebuah panggilan keras menyadarkan Matt dari lamunannya. Dia baru sadar jika guru ganteng yang tadi dilihatnya memasuki kantor itu, kini sudah berdiri pas di hadapannya. Di depan matanya.

Matt juga baru sadar jika tangan pria itu sempat menghardik bahunya beberapa kali, mencoba menyadarkan lamunannya. Buru-buru dia menatap ke bawah, menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu. Guru ganteng itu pasti menganggap dirinya aneh karena menatapnya yang sesama pria dengan mata nggak berkedip sama sekali. Ternyata kekaguman Matt pada pria itu membawa dirinya melamun sampai ngelantur kemana-mana nggak jelas arahnya.

"Ya, Pak? Maaf," ucap Matt pelan sambil masih menunduk.

Dengan perlahan, dia mendongakkan wajahnya, memandang sebentar ke arah wajah guru muda yang menggiurkan kayak lelehan coklat ice cream magnum itu.

Lalu, lirikan kedua mata Matt turun ke bawah menangkap pemandangan dada bidang guru ganteng itu yang membusung, tercetak jelas pada kameja lengan panjang berwarna biru muda press bodynya. Bahkan nipplenya juga terlihat sangat menggoda, mengecap dan sedikit menyembul pada permukaan kameja itu, yang membuat Matt menelan ludah kembali sebelum dia kembali menatap lantai.

"Astaga, kamu ini pagi-pagi sudah melamun," ujar Ibu kepala sekolah itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Maaf tante Yu..., eh salah, maksudnya Bu Yuni bukannya saya melamun tapi saya memang kurang tanggap jika dipanggil Dave," jawab Matt mencari alasan ingin menutupi kenyataan bahwa dia sedang menatap lekat guru yang dipanggil Pak Yudha oleh teman orang tuanya itu.

"Ow jadi kamu ingin dipanggil Matt? Hmm...mengapa namamu disini tertulis David Matthew Prakoso." Jari telunjuk Pak Yudha tiba-tiba mendarat di atas dada Matt, pada name tag yang terjahit di permukaan seragamnya. "Bukannya di Indonesia lebih wajar jika nama depan yang dipakai untuk sebuah panggilan?" Kini telunjuk itu bergeser sedikit dari huruf 'David' dan berhenti di atas huruf 'Matthew' yang terletak pas di atas puting Matt.

"Hmm...tapi Matt dari Matthew terdengar bagus juga," ujar Pak Yudha tersenyum tipis sambil menekan pelan ujung telunjuknya yang membuat Matt menelan ludah untuk kesekian kalinya. Putingnya pun mulai mengeras dibawah tekanan jari telunjuk calon wali kelasnya yang super sexy itu.

Jantung Matt bergemuruh dengan hebat dan perasaannya menjadi gelisah. Entah apa yang dirasakan Matt saat ini. Sangat menyesak di dada. Dia pun bergeser sedikit, mendekat pada tante Yuni yang membuat telunjuk Pak Yudha terlepas dari atas dadanya. Matt bisa bernafas lega sekarang.

"Ibu sengaja meminta Pak Yudha untuk menjadi wali kelasmu karena kelas yang dibawahinya adalah kelas favorit. Kelas yang berisi siswa berprestasi di sekolah ini. Siswa yang membanggakan dan membuat harum nama sekolah. Hmhh..." Tante Yuni menghela napas sebentar lalu melanjutkan kata-katanya. "Ibu tahu kamu nggak punya prestasi yang bisa dibanggakan selain catatan merah sebagai biang kerusuhan di sekolahmu yang lama."

Wanita berbadan subur itu pun menghela napas lagi sambil mengurut bagian tengah keningnya seperti sedang frustasi. "Tapi apa boleh buat, Ibu sudah berjanji pada orang tuamu untuk membuatmu nggak gagal meski kamu tiba-tiba dipindahkan di sekolah ini pada triwulan yang kedua. Jadi Ibu berharap kamu bergaul dengan siswa yang pintar dan berprestasi untuk mengejar ketinggalanmu. Jalin persahabatan dengan mereka. Serap ilmu mereka dan bertanya jika nggak mengerti."

Berteman dengan siswa yang pintar sama sekali bukan gaya Matt. Dia lebih suka bergaul dengan sesama berandalan pembuat onar. Disitu dia bisa unjuk gigi kebolehan beradu jotos. Itu keahliannya selain di bidang olahraga karena otaknya memang pas-pasan. Mungkin cuma Ben satu-satunya teman Matt yang masuk dalam kategori alim dan ternyata juga gay seperti dirinya.

Tapi Matt nggak mungkin membantah perintah seorang pimpinan sekolah yang mendapat mandat langsung dari kedua orang tuanya. Dia bisa digoreng hidup-hidup oleh mamanya dan dicoret dari ahli waris kekayaan papanya yang menggunung, jika dia nggak menurut meski dia anak tunggal.

Orang tuanya lebih rela menghibahkan kekayaannya pada fakir miskin dan anak terlantar yang katanya dipelihara oleh negara kayak bunyi UUD 1945 pasal 34 ayat 1, tapi yang nggak pernah terealisasi juga. Daripada harus dipakai Matt, anak semata wayang mereka untuk berfoya-foya dengan otak kosongnya.

Mereka ingin Matt menjadi orang yang sukses dan berinteligensi tinggi. Mereka ingin anaknya mandiri dan siap jika saatnya mereka berpulang kembali kepada Sang Pencipta.

"Jadi Matt, sekarang silahkan kamu ikut Pak Yudha menuju ke ruang kelasmu. Kelas XI-1. Pak Yudha titip Matt yah, bimbing dia supaya bisa melewati tahun ajaran ini dan nggak tinggal kelas. Saya mengandalkan Pak Yudha. Jangan bikin saya malu sebagai pimpinan sekolah ini."

"Siap, Bu Yuni. Tenang saja, ibu nggak perlu khawatir. Sepertinya saya dan Matt akan cocok. Saya pasti bisa membuat Matt naik kelas. Benar begitu kan, Matt?" jawab Pak Yudha mantap, menatap calon anak bimbingnya itu sambil mengedipkan salah satu matanya.

Matt nggak bisa menjawab apa-apa. Dia terdiam kikuk dan melempar pandangannya ke arah selain menatap wajah guru ganteng yang bikin jantungnya cenat-cenut itu. Pak Yudha benar-benar membuat Matt mati kutu dan nggak berkutik yang dia sendiri nggak tahu penyebabnya. Andai Pak Yudha gay, mungkin dia tipe yang bisa menaklukkan bot perkasa seperti Matt.

"Baiklah Bu, saya permisi dulu. Saya ingin mengenalkan murid baru saya yang ganteng ini ke teman sekelasnya," ujar Pak Yudha bercanda tapi bagi Matt itu seperti sebuah flirting padanya.

"Permisi, Bu!" pamit cowok itu pada ibu kepala sekolah sambil mengekor di belakang langkah guru muda yang dikaguminya itu, hendak meninggalkan ruang kantor tersebut.

"Matt..." panggil tante Yuni tiba-tiba saat Matt sudah berada di depan pintu keluar kantor itu.

"Ya, Bu?" jawabnya sambil menoleh ke wanita itu.

"Kamu memang ganteng banget. Nggak nyangka juga anak teman ibu ada yang seganteng kamu. Semangat ya belajar disini. Semoga betah. Kalau ada apa-apa boleh kok konsultasi ama tante," ucap wanita itu mencoba ramah dan welcome, namun terkesan kegenitan.

Belum sempat menjawab, Matt sudah ditarik keluar dari ruangan itu oleh Pak Yudha.

"Saya nggak ingin kamu membuang waktu dengan berbasa-basi melayani wanita genit itu. Jadi sebaiknya kita langsung ke kelas saja agar kamu juga bisa langsung belajar."

Pak Yudha terlihat sangat jengkel dengan wanita yang juga pimpinannya itu. Matt nggak ingin tahu masalah apa yang terjadi diantara mereka berdua. Dia hanya ingin menuruti omongan gurunya yang ganteng itu sambil memperhatikan dengan seksama setiap lekuk wajah jengkel pria itu. Semakin emosi dan jutek semakin tampan dan memukau bagi Matt.

Lagi-lagi seperti kebanyakan gay pada umumnya, setelah jatuh cinta pada sahabatnya sendiri, kini Matt juga mengagumi gurunya yang super sexy itu.

TBC

Wah sorry kalau ceritanya membosankan dan nggak seperti yang diharapkan.

Gambar di multimedia adalah Pak Yudha.

Tolong divoment yah biar bisa memotivasi melanjutkan cerita ini yang bahkan aku kurang PD menulisnya.

Thank You

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top