18 : Desperately in Love
Mendadak Yudha menghentakkan kaki menginjak pedal rem, membanting setir hingga mobil sedannya menikung ke arah pinggir jalan yang untungnya nggak terlalu ramai. Guru muda itu menghentikan laju kendaraan seraya mulutnya mendesah kesal. Lalu menolehkan kepala, melempar tatapan sinis ke arah pemuda ganteng yang duduk di atas jok sebelahnya.
"Demi Tuhan, Matt! Mau sampai kapan kamu akan terus mendiamkan Mas seperti ini, hah? Bukankah harusnya Mas yang marah atas perbuatanmu dengan bocah berandalan tadi? Please, jangan menyiksa Mas dengan sikapmu itu, Matt! Mas nggak tahan!"
Suasana hening di dalam mobil pecah seketika, membuyarkan kedua insan yang tengah terlibat perang dingin. Matt segera memutar kepala, mengalihkan pandangan dari kaca samping mobil guna menyambut tatapan pria yang tampak frustasi di sebelahnya. "Maaf, Mas. Saya tahu saya salah. Saya hanya takut memperkeruh suasana jika terlalu banyak bicara sementara hati Mas Yudha sedang panas."
"Lalu kamu pikir dengan mengacuhkan Mas barusan bisa membuat suasana hati Mas membaik dengan sendirinya, iya?" Yudha menimpali nggak terima.
Matt menganggukan kepala, lalu buru-buru meralat, menggeleng cepat sambil cengar-cengir nggak jelas. "Eh... salah... maaf Mas, hehe..."
Yudha melenguh panjang sembari jemarinya mulai mengurut keningnya pelan. Sepertinya dia harus extra sabar menghadapi bocah slengean seperti Matt, bila nggak mau mati muda terkena darah tinggi lalu stroke di tempat. Siapa suruh dia berani menyukai pemuda labil yang usianya jauh lebih muda darinya?
"Bisakah kamu sedikit lebih serius, Matt? Please, Mas mohon! Mas capek belum istirahat sama sekali. Mas langsung buru-buru kembali ke apartment untuk mengambil mobil, begitu pesawat yang Mas tumpangi mendarat di kota ini. Mas sudah nggak sabar ingin segera bertemu denganmu. Mas sangat merindukanmu hingga hampir gila, Matt. Tapi lihat apa yang Mas dapat sekarang? Kamu malah membiarkan pria lain memelukmu di depan mata Mas. Kenapa kamu bisa setega itu sama Mas, hah?"
"Maaf, Mas... " lirih Matt sambil menunduk, menyadari kesalahannya. "Seandainya tadi saya tahu ada Mas Yudha di sana, saya nggak bakal membiarkan Nick seenaknya memeluk saya. Saya pasti akan menghajar preman kampung itu habis-habisan, sampai mampus kalau perlu."
Ups, Matt langsung menggigit bibir bawahnya, menyadari ucapannya barusan seperti salah dalam pemilihan kata-kata. Hmm... tampaknya memang lebih baik dia diam saja daripada makin memperkeruh suasana jadi kayak air got.
"Ash... !!"
Benar saja, Yudha langsung mengumpat sambil memukul lingkaran setir di depannya kesal. Sementara tangannya yang lain mencengkeram erat ujung persneling mobil menahan emosi. "Jadi maksudmu selama nggak ada Mas di dekatmu, kamu mau-mau saja dipeluk bocah berandalan itu, hah? Sialan kamu, Matt! Kamu pikir Mas ini charger HP yang bisa kamu gantikan dengan powerbank, apa?" suara Yudha mulai meninggi.
"Eh, bukan... bukan gitu maksud saya, Mas. Tapi... anu... sudahlah, saya takut salah bicara lagi. Pokoknya saya benar-benar minta maaf sudah menyakiti hati Mas Yudha. Please, Mas jangan marah-marah terus seperti ini." Matt langsung menyergap punggung tangan kiri Yudha yang berada di atas persneling untuk ditangkupnya erat, berusaha menenangkan. Nggak lupa, pemuda itu juga membulatkan kedua bola matanya, memasang tampang memelas tanda menyesal.
Ah, sial! Yudha mengumpat dalam hati. Lagi-lagi dia terpaksa mengalah sebab hatinya selalu nggak tega melihat pemuda itu bersedih. Keratan tangannya pun perlahan mengendur di dalam dekapan hangat ruas jemari murid kesayangannya. "Ok... ok... Mas maafin kamu kali ini. Sekarang, Mas mau tanya sama kamu. Tolong kamu jawab dengan jujur, Matt."
Pemuda itu mengangukkan kepala sembari memandangi wajah Yudha yang tengah menatapnya serius.
"Apa... kamu masih tetap menyukai Mas sampai detik ini, Matt?"
Hening, kedua belah bibir Matt terkatup rapat. Lidahnya terasa kelu. Dia nggak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari wali kelasnya. Bayangan pelukan Nick yang memaksa namun terasa nyaman masih terus saja berkelibatan dalam otaknya, membuatnya susah untuk menentukan sikap.
Reaksi Matt yang membisu -- nggak serta merta langsung menjawab pertanyaannya -- sungguh memukul nurani Yudha. Guru muda itu kecewa, kemudian menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan perkataannya. Apa murid kesayangannya itu sudah nggak menginginkannya lagi hingga butuh waktu selama itu untuk berpikir? Rongga dada Yudha mendadak terasa sesak.
"Ok, Mas sudah tahu jawabannya. It's ok, Mas bisa terima." Yudha tersenyum miris. "Mas akan melepasmu, Matt, sebab dari awal Mas memang nggak ingin memaksa. Mas mau kamu dengan kerelaan hati menjalin hubungan yang serius dengan Mas. Tapi tenang saja, Mas nggak akan membencimu. Mas akan tetap selalu ada buatmu meski hubungan kita berakhir. Bagaimanapun juga Mas adalah wali kelasmu yang akan menggantikan posisi orang tua di sekolah. Terlebih Mas juga sudah janji pada diri sendiri akan sekuat tenaga membantumu naik kelas tahun ini. Jadi Mas akan selalu mengusahakan yang terbaik untukmu apapun kondisinya."
Matt terkesiap, kedua manik matanya berpendar mendengar perkataan Yudha barusan. Dia tersentuh oleh cinta wali kelasnya yang terkesan tulus dan nggak menuntut. Hatinya menghangat seketika hingga pemuda itu nggak sanggup berkata apa-apa, selain bergegas mengangsurkan cepat tubuhnya ke samping menyeberangi persneling mobil untuk menyambar bibir Yudha. Sangat cepat hingga guru muda itu pun nggak sempat mengelak.
Matt mengulum lembut bibir tipis Yudha dengan penuh perasaan. Dia sadar jika dirinya masih sangat menginginkan gurunya yang super sexy itu sampai detik ini. Hanya saja kehadiran Nick disaat Yudha nggak ada di sampingnya, bukan merupakan ancaman abal-abal yang bisa disepelekan begitu saja. Preman kampung itu perlahan namun pasti berhasil merobohkan pertahanan yang dibangunnya sedemikian rupa. Dia sudah terlanjur menyusup masuk ke dalam hatinya, bersiap menggeser posisi Yudha sewaktu-waktu. Tampaknya pemuda ganteng itu harus lebih mengokohkan pendirian dan bersikap tegas menolak Nick jika nggak mau kehilangan guru kesayangannya.
"A-apa... mak-maksudnya ini, Matt?" tanya Yudha terbata kebingungan setelah Matt melepas pagutan bibirnya. Dia sungguh nggak menyangka pemuda yang duduk di sebelahnya itu akan main sosor bibirnya barusan. "Saya masih, dan akan selalu tergila-gila sama Mas. Saya nggak mau kehilangan Mas Yudha. Saya ingin terus menjadi kekasih Mas. Maaf, jika sudah membuat Mas kecewa karena tindakan bodoh saya tadi."
"Apa-apa... kamu serius dengan ucapanmu itu, Matt?" tanya Yudha pelan penuh kebimbangan, seraya memandangi wajah pemuda yang berjarak sangat dekat di hadapannya. Kenyataan Matt yang diam saja saat dipeluk Nick di halaman parkir sekolah masih membekas jelas dalam pikirannya, membuat guru muda itu susah begitu saja percaya dengan kata-kata anak bimbingnya.
"Saya sangat serius, Mas. Tapi jika Mas masih ragu, tataplah kedua mata saya dan cari kebenarannya di sana." Matt mengelus lembut kening Yudha, menyibakkan beberapa helai poni yang jatuh menutupi pandangannya. "Sekarang, apa saya seperti sedang membual, Mas?"
Lengkung sendu bibir Yudha perlahan terangkat naik hingga kedua matanya menyipit saat mendapati kejujuran dalam setiap tatapan pemuda yang sangat dicintainya. Sebuah sorot mata yang penuh hasrat untuk memiliki dirinya. Nggak ayal, hati guru muda itu langsung dipenuhi perasaan bahagia bukan kepalang yang menyeruak seketika. Dia segera merengkuh punggung kekar pemuda di hadapannya untuk ditarik masuk ke dalam dekapannya. Lantas mengusap-usap lembut pucuk kepala Matt yang sudah dia benamkan di atas permukaan dada bidangnya.
"Thank you, Matt. Kamu masih bersedia menjalin hubungan dengan Mas. Sungguh, Mas benar-benar merasa bahagia saat ini. Mas sangat mencintaimu, Matt." Kedua manik mata Yudha berkaca-kaca seiring bibirnya yang bergetar. Jemarinya makin kuat mengerat punggung pemuda itu seolah takut kehilangan. Sesekali dia menundukkan kepala menciumi rambut murid kesayangannya itu. Dia merasa sangat bahagia namun pada saat yang sama terselip pilu dalam hatinya. Apa dia sanggup kehilangan Matt jika kelak jati dirinya yang sesungguhnya terbongkar, sementara cintanya pada pemuda itu terlanjur mengakar kuat dalam hatinya?
"Jadi Mas sudah nggak marah lagi kan sekarang?" tanya Matt memecah keheningan. Jemari pemuda ganteng itu terlihat sibuk memutar-mutar kancing kemeja Yudha. Tampaknya Matt ingin segera menyingkirkan benda kecil yang menghalangi pemandangan segar untuk kedua matanya. Dia sudah nggak sabar ingin menikmati lekuk tubuh kekar dan super sexy milik wali kelasnya. Seperti biasa, nafsu Matt selalu meluap-luap jika sudah berdekatan dengan Yudha, meski badannya mulai terasa pegal karena posisinya yang menyilang di balik persneling mobil.
"Mas mana bisa marah padamu, Matt. Tadi Mas cuma sebal saja melihatmu diam saja saat dipeluk oleh Nicholas. Mas cemburu."
Matt terkekeh geli, seperti ada ribuan kupu-kupu berterbangan dalam perutnya. Baru kali ini ada yang mengaku cemburu di depannya. Dia merasa dicintai. Maklum saja, selama ini dia selalu jones. Rasanya dia ingin segera ngentot dengan Yudha saking senangnya.
"Ow yah, Matt, kalau Mas boleh tahu kenapa siswa berandalan itu bisa sampai memelukmu? Cepat sekali kalian berdua tampak akrab. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Matt menarik kepalanya dari dada Yudha, kemudian membenarkan kembali posisi duduknya. Dia ingin melemaskan otot punggungnya yang mulai sedikit kram. "Ceritanya panjang, Mas. Nanti saya akan ceritakan sepanjang perjalanan. Jadi sebaiknya sekarang Mas Yudha segera membawa kita berdua pergi dari sini. Masa kita mau bermesra-mesraan di pinggir jalan, Mas? Kalau sampai kepergok polisi yang sedang patroli bisa malu dan repot kan, Mas."
"Hahaha... bisa saja kamu, Matt." Yudha tergelak sambil menggeleng-gelengkan kepala, kemudian mengalihkan pandangan ke depan, bersiap melajukan kembali sedan miliknya. Dengan senyum yang senantiasa menghiasi bibir tipisnya, Yudha memutuskan untuk berhenti memikirkan kerisauan yang tengah melanda hebat hatinya. Dia akan berusaha sekuat tenaga menutup rapat rahasia tentang jati dirinya entah sampai kapan. Guru muda itu hanya ingin merasa bahagia saat ini, bisa menghabiskan waktu dengan pemuda yang sangat dicintainya.
"Hmm... kamu mau makan dulu atau langsung ke apartment Mas, Matt?"
"Langsung ke apartment Mas saja!" sahut pemuda ganteng itu bersemangat.
"Apa kamu nggak lapar, Matt?"
"Enggak!" Matt menggelengkan kepala mantap. "Tadi saya sudah makan siang di kantin, Mas. Jadinya sekarang masih belum lapar." Matt berbohong sebab sebenarnya perutnya sudah mulai mendendangkan musik keroncong. Dia nggak sempat menyelesaikan makan siangnya gegara dipaksa Boss untuk melerai perkelahian nggak penting di halaman belakang sekolah.
Tapi untung saja otak Matt sekarang sedang dipenuhi pikiran mesum akan segera ngentot dengan Yudha, hingga mampu mengesampingkan rasa laparnya sejenak. Pemuda ganteng itu malah asyik berkhayal jorok, memikirkan berbagai macam gaya bercinta yang akan dia praktekkan seperti adegan-adegan hardcore dalam bokep gay favoritnya. Dia sudah membulatkan tekad untuk segera mengakhiri masa keperawanannya. Nggak boleh meleset seperti tempo hari. Dia sudah lelah jadi perawan ting-ting yang parahnya jablay pula. Buat apa dia bertampang ganteng, keren, berbadan kekar serta tajir, tapi lubang pantatnya masih tersegel rapi. Belum ada yang mengobok-obok. Hei, Matt butuh meng-explore lebih lagi kegunaan dari lubang itu, bukan sekadar saluran keluar masuknya kotoran, right?
Pokoknya Matt nggak mau tahu, dia harus bisa merasakan kenikmatan dunia lewat lubang pantatnya. Segera, mendesak, dan secepatnya! Dia nggak mau kalah dari bottom-bottom lain seusianya yang ngondek, melambai, dan bahkan parahnya bermuka pas-pasan berhias ribuan jerawat pula, tapi sudah digenjot berulang kali oleh topnya. Dengan kata lain, kali ini Yudha harus berhasil menjebol lubang perawan miliknya bagaimanapun caranya. Titik!
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri seperti itu, Matt? Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Yudha sambil meraih tangan Matt untuk digenggamnya. Kemudian mengecup kilat pipi murid kesayangannya itu.
"Eh..." Matt terkaget, lamunan mesumnya buyar seketika. Dia juga reflek menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Yudha untuk memegangi pipinya yang terasa memanas akibat ulah nakal gurunya itu barusan. "Lho... kenapa mobilnya berhenti lagi, Mas?"
"Yah mau gimana lagi, Matt. Habisnya dari tadi kamu diam saja waktu Mas panggil-panggil. Sudah gitu pakai senyum-senyum nggak jelas segala. Ya sudah, Mas pinggirkan saja mobilnya agar bisa menyadarkanmu sebelum kesambet."
"Saya... saya baik-baik saja kok, Mas. Lagian siang bolong kayak gini mana mungkin sih orang bisa kesambet."
"Yah kali aja hantunya iseng, Matt hehehe..." Yudha terkekeh sambil menguyel-uyel rambut pemuda itu. "Hmm... kalau Mas boleh tahu, apa yang sedang kamu pikirkan barusan, Matt? Kayaknya seru sekali."
"Mas mau tau aja apa mau tau banget?" Matt mulai iseng. Tampaknya selain pikiran mesum, sisi manja pemuda ganteng itu juga turut lepas saat berada di dekat wali kelas yang nggak kalah ganteng darinya itu.
"Hmmm... mau tau banget donk!" jawab Yudha bersemangat.
"Ah... Mas Yudha kepo!"
"Ya sudah... mau tau aja kalo gitu."
"Rahasia!"
"Argghhh..." Yudha menggeram gemas.
"Please, Matt! Apa kamu mau Masmu ini mati penasaran?"
"Hehehe... Mas beneran ingin tahu?" Matt mengerling nakal.
Yudha mengangguk-angguk nggak sabaran.
"Saya sedang membayangkan liarnya bercinta sama Mas, hehehe..."
Glek, Yudha menelan ludah, nggak menyangka bila pikiran murid kesayangannya akan semesum itu. Sepertinya dia menyesal ingin tahu apa isi otak pemuda yang duduk di sebelahnya. Dia menurunkan tangannya yang sedianya mengusap lembut kepala Matt untuk mendorong persneling mobil. Sebaiknya Yudha segera kembali menjalankan mobil sebelum semua terlambat.
Guru muda itu takut lepas kontrol. Dia mendadak jadi ikutan horny. Mau nggak mau bayangan adegan bercinta dengan Matt jadi ikut melintas dalam otaknya tanpa diundang. Hingga mengusik ketenangan adik kecilnya yang sedang tidur. Dia nggak mau sampai terjaring polisi akibat berbuat mesum di tempat umum gegara nggak kuat menahan nafsu. Tepatnya, ngentot di dalam sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Parahnya lagi dengan muridnya sendiri dan sesama pria pula. Nggak, Yudha masih cukup waras. Dia nggak mau tindakan asusila yang pastinya memalukan itu sampai terjadi.
"Mas, saya horny berat..." Matt mendaratkan tangannya di atas paha Yudha, merambat pelan ke arah selangkangannya.
Glek, Yudha kembali menelan ludah. Gawat, burungnya bereaksi dengan remasan nakal jemari muridnya itu. "Please, jangan sekarang, Matt. Mas sedang menyetir." Dengan sigap, jemari Yudha yang nggak sedang memegang kendali kemudi menangkup punggung tangan Matt. Digenggamnya erat dan dikembalikan tangan pemuda itu ke atas pahanya sendiri.
"Errr... daripada kamu jadi berpikiran yang aneh-aneh kayak gitu. Sebaiknya kamu ceritakan saja bagaimana kamu bisa mengenal Nicholas. Kan, tadi bilangnya mau cerita sama Mas." Yudha menagih janji, berusaha mengalihkan topik pembicaraan yang membuat sesak sempaknya.
"Ahh... Mas nggak asyik!" Matt mencebik kesal. "Padahal kontol Mas saja nggak protes waktu saya pegang-pegang barusan," mulutnya berkomat-kamit menggerutu pelan.
"Mas takut nggak konsen nyetir, Matt. Mas akui sekarang Mas memang nggak kalah horny-nya sama kamu. Mas juga ingin sekali bercinta denganmu, Matt." Tangan Yudha kembali menguyel-uyel rambut Matt. "Tapi masalahnya sekarang kita berada di dalam mobil yang sedang berjalan, Matt. Mas nggak mau sampai membahayakan keselamatan kita berdua gegara nggak sanggup menahan hawa nafsu. Jadi, lebih baik sekarang kamu segera bercerita dan Mas akan jadi pendengar yang baik. Sebagai gantinya, Mas janji akan membawamu ke apartment Mas dengan sangat cepat. Mas mau ngebut kayak Michael Schumacher!"
"Saya sedang nggak mood cerita, Mas. Hmm... gimana kalau Mas Yudha saya oral saja? Jadi Mas masih bisa fokus menyetir sementara saya yang bekerja keras, hehehe..." Matt mencoba menawar, belum mau menyerah. Pikiran mesum masih menguasai otaknya.
"No!" Yudha berdecih sambil menggeleng tanpa menoleh.
"Arghhh... Mas kolot!" protes Matt seraya menepis tangan Yudha yang tengah mengusap-usap lembut kepalanya. Dia ngambek kayak anak kecil yang minta lolipop buat diemut tapi nggak dituruti kemauannya.
"Matt... please, jangan ngambek gitu. Katanya tadi nggak mau bikin Mas kecewa lagi. Mana buktinya?"
"Ahh... iya-iya Mas, saya nurut deh."
Dengan sangat terpaksa, Matt pun akhirnya menyerah. Lupakan hasratnya yang ingin ML di dalam mobil berjalan seperti adegan bokep gay yang pernah dia tonton, meski terlihat sangat menantang dan memacu adrenalin. Dia harus bisa menahan libidonya demi guru yang dia cintai. Dia nggak mau memulai lagi pertengkaran yang baru saja selesai. Dia nggak ingin Yudha kesal dengan tingkahnya yang seenaknya sendiri dan suka melawan. Jadi dia memilih untuk menurut kali ini. Matt mau seperti merpati yang jinak, namun begitu ada kesempatan langsung nyosor.
Pemuda ganteng itu pun mulai bercerita tentang awal mula bertemu dengan Nick sepanjang perjalanan menuju apartment Yudha. Semuanya, termasuk penindasan dan bully-an yang dilakukan preman kampung itu padanya semasa sekolah dasar. Tapi tentu saja Matt mendiskon bagian Nick suka padanya, bahkan sudah pernah menembaknya di tempat umum. Dia nggak mau Yudha merasa tersaingi dan sampai nggak tenang memikirkan hal tersebut. Lalu berujung pada pemecatan sepihak Nick dari sekolah alias drop out. Sebab dalam pikiran Matt, Yudha adalah calon pemilik sekolah yang tentu saja memiliki pengaruh pesar seperti ucapan guru UKS tadi.
Jadi, pemuda ganteng itu menjelaskan jika pelukan tadi siang hanya salah satu keusilan yang sering Nick lakukan padanya akhir-akhir ini, sebab dia memang suka sekali mengerjainya. Semacam pemburu yang menemukan incarannya kembali setelah menghilang beberapa tahun.
Sebagai penutup, Matt menambahkan jika dia sangat membenci pemuda yang suka cari gara-gara dengannya itu, meski sebenarnya hati kecilnya protes. Tapi bukankah apa yang terlontar dari mulut sering berbanding terbalik dengan isi hati? Kira-kira seperti itulah gambaran Matt sekarang.
Di sisi lain, Yudha tentu nggak menelan mentah-mentah begitu saja cerita murid kesayangannya. Dia sedikit sangsi dengan cerita Matt meski ada beberapa bagian yang dia percayai.
Dari sorot mata Nick saja, Yudha bisa menangkap jika pemuda berandalan itu sangat berhasrat ingin memiliki Matt, bukan sekadar mengerjai atau keusilan belaka. Terlebih Matt juga diam saja saat dipeluk Nick setelah beberapa kali memberontak. Seharusnya murid kesayangannya itu bisa terus memberontak sampai menimbulkan kegaduhan hingga menarik orang lain berdatangan untuk melerai, jika nggak sanggup melawan. Bukan malah sempat terlihat menikmati dekapan Nick untuk beberapa saat.
Shit! Yudha mendadak kesal dalam hati. Dia mendongkol. Pasti ada yang disembunyikan Matt darinya.
Yudha ingin sekali protes dan mengorek lebih jauh mengenai hubungan mereka berdua. Tapi mulutnya kembali terkatup saat hendak menyerang Matt. Dia sadar jika dia juga memiliki sebuah rahasia besar yang tengah dia coba tutup rapat-rapat. Jadi lebih baik biarlah seperti ini dulu hubungan mereka berdua. Yudha berniat mengais kebahagian sekecil apapun bersama Matt di sisa waktu yang ada sebelum semuanya terbongkar.
"Hmm... saya kan sudah menceritakan semua, Mas. Sekarang giliran Mas Yudha donk yang cerita. Saya kan juga ingin tahu latar belakang pacar saya gimana, Mas. Hehehe..."
"Ah... sepertinya nggak ada yang menarik dari Mas untuk kamu dengar, Matt. Masmu ini cuma seorang guru olah raga biasa seperti guru-guru lain pada umumnya." Yudha menoleh sejenak sambil tersenyum lembut ke arah pemuda yang baru saja menyebut dirinya "pacar". Dia tentu nggak protes sebab dia sudah pernah terang-terangan menyatakan perasaannya pada pemuda itu. Ini yang namanya gayung bersambut. Yudha merasa sangat senang dengan status barunya. Dia merasa lebih memiliki pribadi Matt sekarang.
"Masak sih, Mas? Kok kata Bu Tince tadi, Mas Yudha itu calon pemilik sekolah. Apa benar itu, Mas?" tanya Matt antusias.
Yudha tersentak. Seketika jemarinya mengerat kuat lingkaran setir yang tengah dipegangnya.
Sementara Matt terus memandangi wajah Yudha dari samping menanti jawaban. Pemuda ganteng itu berharap gosip tersebut benar adanya supaya dia nggak perlu terlalu ngotot belajar dan punya lebih banyak waktu untuk berbokep ria sambil coli. Menjadi kekasih sang pemilik sekolah dijamin pasti naik kelas, bukan? Matt jadi cekikikan sendiri.
"Ah... ahaha... hahaha..." tawa Yudha pecah seketika. "Astaga, itu gosip dari mana, Matt? Pasti Bu Tince sedang melantur hingga mengarang cerita seperti itu, atau mungkin dia terlalu mengidolakan Mas. Dia memang suka becanda orangnya, Matt. Masmu ini cuma guru biasa kok. Coba besok kamu tanya saja pada guru yang lain. Ada-ada saja, hahaha..." Yudha kembali mengusap-usap pucuk kepala pemuda yang duduk di sebelahnya sambil terkekeh.
Yah... harapan Matt untuk naik kelas dengan mudah pupus sudah.
Yudha menoleh sebab mendadak nggak terdengar lagi tawa kecil pemuda di sebelahnya. "Lho-lho... kenapa pacar Mas kayaknya kecewa gitu setelah tahu Mas hanya seorang guru biasa? Apa kamu sungguh berharap Masmu ini calon pemilik sekolah, Matt?" tanya Yudha saat mendapati wajah murid kesayangannya terlihat sedikit lesu.
"Saya nggak kecewa, Mas. Saya suka Mas apa adanya, meski Mas gelandangan pun saya tetap mau..."
"Sialan kamu, Matt! Masak pacar sendiri didoakan jadi gelandangan," protes Yudha memotong nggak terima. "Lalu jika kamu nggak kecewa, kenapa mukamu jadi seperti kehilangan semangat gitu, Matt?"
"Saya cuma sedih Mas, harus belajar dengat giat mengejar ketinggalan. Saya paling benci buku pelajaran. Mana saya orangnya oon lagi. Aahhh..." Matt menggusak kasar rambutnya resah.
"Tenang, Matt. Masih ada Mas yang bisa mengajarimu." Salah satu tangan Yudha langsung menyahut tangan pemuda itu untuk digenggamnya erat. "Mas kan sudah janji akan membantumu sekuat tenaga agar bisa naik kelas tahun ini. Jadi kamu nggak perlu khawatir, yah."
Matt mengangguk, seperti muncul secercah harapan baru dalam hatinya. "Thanks yah, Mas..."
Genggaman erat tangan Yudha berhasil mengusir kekhawatiran yang sempat melanda hatinya barusan. Lagi-lagi hati Matt tersentuh. Dia lantas menatap lekat wajah Yudha yang tengah fokus menyetir, memandang lurus ke depan mengawasi jalan. Pikiran pemuda itu menerawang sedikit ke belakang.
Matt teringat jika Yudha lah orang yang sudah berbesar hati membantunya mencari jejak keberadaan mendiang Ben meski harus mengorbankan perasaannya sendiri. Pria itu juga yang menemani saat Matt kehilangan cinta pertamanya. Pria yang sama itu juga yang selalu membuatnya bernafsu saat berada di dekatnya.
Ah, Matt merasa sangat bersyukur bisa bertemu dan mengenal wali kelas sebaik Yudha. Tampaknya dia harus segera mencari cara mendepak Nick keluar dan membiarkan Yudha menaklukan hatinya, seutuhnya. Matt membulatkan tekad hanya akan mencintai wali kelasnya yang super sexy itu mulai detik ini.
"Ah, akhirnya sampai juga, Matt..." Yudha menghentikan laju mobil sedannya yang sudah terparkir sempurna di area parkir basement apartment. Dia menoleh ke arah Matt. yang ternyata sedari tadi enggan mengalihkan pandangan, menatapnya lekat sambil mesam-mesem nggak jelas. "Kenapa kamu senyum-senyum sendiri seperti itu, Matt?"
"Nggak papah, Mas. Saya hanya merasa sedang jatuh terperosok ke dalam jurang cinta Mas. Terlalu dalam hingga saya nggak bisa keluar lagi. Jadi Mas harus tanggung jawab sekarang."
"Hahaha... bisa saja kamu, Matt! Please, berhenti menggombali Masmu ini! Mas mau meleleh rasanya."
"Jangan di sini Mas kalau mau meleleh. Tapi nanti lelehkan saja di dalam, hehe..." Matt mengulas senyum mesum seraya buru-buru melepas sabuk pengaman. Pemuda itu tampak nggak sabaran ingin segera turun dari mobil.
"Ok... ok... tapi sebelum kita turun, Mas punya oleh-oleh buatmu." Yudha mengangsurkan badannya ke belakang melalui celah tengah kursi. Dia meraih sebuah paper bag yang terletak di atas jok belakang, lalu menyerahkannya pada pemuda yang tengah memandanginya.
"Wahh... apa ini, Mas?" Matt terkejut kegirangan saat paper bag itu sudah berpindah ke atas tangannya. "Kenapa Mas jadi repot-repot seperti ini? Terima kasih ya, Mas!"
Yudha mengangguk sambil melepas senyum. Sementara jemari Matt sibuk membongkar segel bagian atas paper bag. Dia sudah nggak sabar ingin melihat isi di dalamnya. Jarang-jarang dia mendapat oleh-oleh selain dari kedua orang tuanya. Salahkan pergaulannya yang buruk, berteman dengan berandalan sekolah yang dalam otak mereka hanya ada tawuran dan tawuran, hingga nggak sempat memberi perhatian satu sama lain. Mungkin hanya Ben satu-satunya teman yang pernah memberinya buah tangan saat mendiang sahabatnya itu kembali dari berpergian selama liburan sekolah.
Kedua mata pemuda ganteng itu mengerjap kaget saat jemarinya berhasil menarik keluar sebuah arloji pria mewah dari dalam paper bag.
"Woww... bagus sekali, Mas!" Matt berdecak kegirangan sembari langsung mencopot jam tangan miliknya, menggantinya dengan yang baru.
"Kamu suka?"
Matt mengangguk-angguk sambil tersenyum. Hatinya kembali menghangat. Matt merasa sudah mengambil keputusan yang tepat, menggantikan cinta pertamanya dengan cinta seorang pria dewasa. Perhatian yang didapat dari wali kelasnya itu sungguh nggak kalah besar dari mendiang sahabatnya.
Namun mendadak terbesit tanda tanya besar dalam pikiran pemuda ganteng itu. Jam tangan merk Panerai yang kini melingkar keren pada pergelangan tangan kirinya itu asli bukan KW. Keluaran terbaru pula, dilengkapi dengan teknologi perpetual calendar, dimana pengguna nggak perlu khawatir salah hari, tanggal ataupun bulan.
Matt tentu bisa langsung membedakan mana yang asli dan mana yang KW. Semenjak kecil, ayahnya suka memanjakan dirinya dengan arloji-arloji mewah pemberiannya. Jadi pemuda itu sudah terbiasa dengan jam tangan pria branded nan mewah. Dia juga bisa menaksir harga benda penunjuk waktu pemberian Yudha itu nggak kalah mahalnya dari koleksi milik pribadinya. Berkisar puluhan juta rupiah.
Kening Matt mengernyit bingung. Bukannya mau meremehkan penghasilan seorang guru biasa, tapi akan butuh waktu bertahun-tahun bagi wali kelasnya itu untuk membelikan arloji sekelas yang melingkar keren di tangannya kini. Sementara Yudha sendiri bilang dia baru beberapa bulan menjadi guru olahraga di sekolahnya. Bukankah ini namanya pemborosan? Atau jangan-jangan Yudha kredit dan bayarnya nyicil sepuluh tahun kayak angsuran rumah demi menyenangkan dirinya? Atau kemungkinan lain Yudha memang calon pemilik sekolah dan sedang berpura-pura jadi guru biasa untuk menguji seberapa besar perasaan Matt pada gurunya itu?
"Silahkan turun, tuan muda..."
Suara Yudha langsung membuyarkan lamunan Matt, seiring pintu mobil di sebelahnya bergeser keluar. Matt hanya bisa melongo menyaksikan tingkah wali kelasnya yang baginya terkesan norak. Dia bahkan nggak sadar Yudha sudah turun dari mobil untuk membukakan pintu untuknya gegara tenggelam dalam lamunan tentang jam tangan mewah itu.
"Tadi katanya ingin cepat-cepat ke apartment Mas. Sekarang sudah sampai kok malah bengong seperti itu? Ayo turun donk, Matt..." Yudha kembali buka suara saat mendapati Matt yang mematung, nggak segera beranjak bangkit dari duduknya.
"Eh... i-iya Mas saya keluar, maaf..." Matt segera melangkahkan kakinya menuruni mobil setelah kesadarannya kembali.
"Kalau jam tangan itu mengganggu pikiranmu, baiklah Mas jujur saja deh sama kamu. Itu jam tangan KW kok, Matt. Kamu jangan terlalu memikirkan harganya. Maaf, Mas cuma bisa memberimu itu sekarang. Tapi Mas janji suatu saat akan membelikanmu yang asli bahkan yang limited edition kalau perlu." Yudha mencoba menenangkan. Rupanya dia sangat sadar apa yang membuat anak didiknya itu risau.
Matt langsung menghambur memeluk pria yang berdiri di hadapannya. Dia tahu betul Yudha sedang mencoba berbohong untuk menenangkan perasaannya. Matt merasa sangat bahagia saat ini dan juga... kembali horny. Jadi ya sudah, Matt nggak mau mempermasalahkan jam tangan mewah itu lagi sebab ada yang lebih urgent dan mendesak yang harus dia lakukan sekarang.
"Sekarang saatnya saya membalas kebaikan Mas, hehe..." bisik Matt penuh maksud, seraya melepas pelukan sebab dia sadar masih berada di tempat umum.
Matt nggak mau mengambil resiko jika sampai ada penghuni lain yang menyaksikan dua orang pria berpelukan lama di parkiran basement. Dia nggak ingin sampai membuat nama baik wali kelasnya tercoreng di tempat tinggalnya sendiri.
Yudha hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala takjub membalas ajakan terselubung murid kesayangannya itu. Dia merasa sangat bahagia sembari mengayunkan kaki penuh semangat hendak menuju kamarnya di lantai atas, sementara Matt mengekor di belakangnya dengan penuh antusias dan beribu pikiran mesum yang kembali merajai otaknya.
Semoga saja ini adalah hari perayaan belah duren bagi Matt. Yihaaa!!!
TBC
Arrgghhh... jari saya mendadak kaku setelah menulis part ini dari HP. Mungkin juga efek kelamaan vakum.
Saya yakin pasti banyak yang sudah lupa sama cerita ini akibat terlalu lama terbengkalai. Jadi enaknya sepak terjang Matt ditutup saja sampai sini atau diteruskan? Mengingat kelanjutannya yang nggak pasti kapan keluarnya.
Ya sudah gitu aja. Saya tunggu vomentnya seperti biasa. Thank you very much :)
Have a nice day!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top