16 : Sorry, I don't Like You
"Dasar brengsek kamu, Ken! Aku kan sudah memperingatkanmu jangan pernah mengganggu Matt!"
"Kenapa, Nick? Kenapa? Apa kamu suka padanya, hah?"
Nick terdiam, nggak mau terpancing oleh sahabatnya yang terus mengolok. Pemuda itu tampak berusaha keras mengontrol emosi yang perlahan mulai mengusir kewarasannya.
"Kenapa kamu diam saja, Nick? Ayo jawab! Apa kamu suka pada pemuda homo nggak tahu diri itu, hah? Atau kamu malu mengakui bila kamu juga homo sama sepertinya? Dasar faggot!"
"Diamm... BANGSAT!!!" Sebuah bogem mentah mendarat telak di wajah Ken. Membuat pemuda itu langsung jatuh tersungkur di hadapan Nick.
Ken meludah bercampur darah ke atas tanah. Lalu dia segera bangkit terduduk seraya menengadah ke atas, menatap tajam ke arah Nick nggak terima. Jemari tangannya tampak meraba ujung bibirnya yang mulai terasa perih akibat sobek. "Bagus, Nick! Bisa-bisanya kamu menghajar sahabatmu sendiri hanya demi bocah homo itu? Kamu bahkan nggak memberiku kesempatan untuk menjelaskan duduk perkaranya. Ckckck... memang luar biasa dia itu! Apa dia memakai lubang pantatnya untuk menggodamu, hah?"
"Anjing! Tutup mulutmu, Ken! Jangan menghina dia!" Nick langsung membungkukkan badan sembari melayangkan lagi tinjunya ke wajah pemuda angkuh itu hingga membuatnya kembali tersungkur.
Emosi Nick benar-benar memuncak sekarang, membuat dia kehilangan akal sehatnya. Dia tampak kesetanan penuh amarah. Tangannya langsung meraih kerah seragam Ken sambil kemudian dicengkeram erat untuk menarik paksa kepala sahabatnya itu ke atas. Lalu dia kembali menghujani wajah tampan Ken dengan tinjunya tanpa ampun.
"Woii... hentikan, Nick! Apa-apaan kamu itu, hah!"
"Matt?" Nick tersentak kaget yang membuat aksi brutalnya terhenti sejenak. Lalu dia menoleh ke arah pemuda yang ternyata sudah berdiri nggak jauh dari situ, masih dengan tangan mengepal dan terangkat siap menghajar Ken yang tampak nggak berdaya di bawahnya.
"Lepaskan dia, Nick! Kamu bisa membunuhnya!"
"Nggak!! Nggak akan, Matt!! Lebih baik dia mati terlebih dulu sebelum dia bisa mencelakaimu. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, Matt!"
"Cukup, Nick! Hentikan! Apa kamu sadar dengan ucapanmu barusan, hah? Jangan lupa dia itu sahabat baikmu sendiri, Nick!" Matt tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia nggak mau Nick yang tengah dibutakan amarah menyesali perbuatannya di kemudian hari. Sebab pemuda itu pernah merasakan sakitnya kehilangan seorang sahabat yang sangat dia sayangi.
"Justru karena aku mengenalnya dengan baik, aku harus melakukan hal ini, Matt! Dia nggak akan pernah berhenti berusaha sebelum tujuannya tercapai. Pikirannya hanya dipenuhi siasat busuk untuk mencelakaimu. Dan aku nggak mau mengambil resiko itu, Matt. Aku nggak mau selalu khawatir sebab aku nggak bisa menjagamu setiap saat. Jadi lebih baik kubereskan saja masalah ini dari akarnya biar aku bisa tenang. Please, sebaiknya kamu nggak usah ikut campur! Kamu tinggal tunggu beresnya saja, OK!"
"Hahaha... so sweet banget kamu, Nick! Cuihh... menjijikkan! Dasar pasangan homo laknat!" Ken meludah hingga mengenai wajah Nick yang masih mencengkeram erat kerah seragamnya. Membuat darah pemuda urakan itu kembali mendidih dan semakin kalap.
"Tutup mulutmu, anjing!!" Nick mendaratkan lagi sebuah pukulan kuat pada wajah Ken yang membuat darah segar langsung mengucur dari lubang hidungnya.
"Hentikan, Nick!" Matt langsung bergegas maju seraya menarik kasar bahu Nick sebelum kemudian menghantam pipi pemuda itu dengan tinjunya. Nick yang nggak siap langsung terhuyung mundur beberapa langkah ke belakang hingga cengkeraman pada seragam Ken terlepas.
Matt terpaksa berbuat demikian sebab perkataannya nggak digubris oleh pemuda yang tengah kesetanan membabi buta memukuli sahabatnya sendiri. Hanya dengan cara ini dia bisa menghentikan kegilaan Nick.
"Kenapa kamu memukulku, Matt?" tanya Nick datar dengan tatapan heran ke arah Matt, sambil mengusap darah segar yang meleleh dari mulut dengan kain lengan seragamnya. Emosinya mereda seketika.
"Ulahmu sudah sangat keterlaluan, Nick! Butuh berapa kali kubilang kalau aku nggak butuh perhatianmu, hah? Kamu bukan siapa-siapaku, Nick! Jangan berpikir dengan berbuat demikian aku akan bersimpati padamu. Jangan harap! Selamanya aku akan selalu membencimu, Nick!"
"Sebenci itukah kamu padaku, Matt?" tanya Nick kembali dengan tatapan sendu penuh kekecewaan.
Deg... hati Matt mendadak terasa perih. Entah kenapa pertanyaan Nick barusan terasa mengiris hatinya. "Iya benar, Nick! Aku sangat sangat membencimu! Dan aku mau mulai detik ini kamu enyah dari hidupku! Jangan pernah menggangguku lagi, Nick! Aku ingin hidup tenang! Aku bisa menjaga diriku sendiri, ngerti!"
"Oh... baiklah Matt, aku mengerti.... " Nick menghela nafas panjang sembari mengangguk-anggukan kepala. "Aku memang nggak akan pernah bisa jadi baik di depan matamu sekeras apa pun aku berusaha. Fine, its OK! Aku memang layak mendapatkannya. Aku nggak akan menyalahkanmu. Maaf, sudah mengganggu ketenangan hidupmu selama ini..." Nick menghirup nafas dalam-dalam sebab rongga dadanya mendadak terasa begitu sesak saat ini.
"Bos, ayo kita pergi dari sini!"
Bos yang sedari tadi berdiri mematung di belakang Matt, segera berlari mengejar Nick yang terlihat meninggalkan tempat itu dengan tergesa. Dia bisa turut merasakan kekecewaan hebat yang sedang menggelayuti hati ketuanya saat ini.
"Apa aku baru saja melakukan sebuah kesalahan?" tanya Matt dalam hati saat kedua matanya nggak berkedip, menatap pias punggung lebar Nick yang semakin menjauh dari pandangannya.
Baru kali ini pemuda itu merasa ragu dengan sikapnya pada Nick. Seharusnya dia merasa bahagia jika mulai sekarang pemuda norak itu nggak bakal pernah muncul lagi di hadapannya untuk cari gara-gara. Namun mengapa hatinya nggak mau sejalan dengan pikirannya saat ini?
Ah sudahlah, Matt meyakinkan diri bila dia sudah melakukan hal yang benar. Sampai kapan pun dia nggak akan pernah mengijinkan dirinya tertarik pada pemuda urakan yang sudah membuat masa kecilnya jadi kelam. Terlebih Ken lebih membutuhkan pembelaan sebelum dihabisi Nick, meski nyatanya pemuda angkuh itu sangat membencinya. Anggap saja ini sebagai balas budi sebab kemarin Matt sudah diselamatkan oleh kakak mendiang sahabatnya itu.
"Kamu baik-baik saja, Ken?" tanya Matt bersimpati sambil menundukkan kepala sedikit ke bawah, menatap wajah Ken yang dipenuhi lelehan darah bercampur peluh, masih terduduk lemas di atas tanah halaman belakang sekolah.
Bukannya menjawab atau berterima kasih, Ken hanya diam saja sambil malah melengos nggak ingin memandang Matt yang melangkah semakin dekat.
Pemuda ganteng itu langsung menurunkan badannya hingga berjongkok setelah sampai di depan Ken. "Ayo, aku antar ke UKS untuk mengobati lukamu!"
"Nggak perlu! Aku bisa jalan sendiri!" sahut Ken masih saja ketus.
"Sudah, jangan banyak protes!"
Dengan cepat Matt langsung menggapai lengan Ken sambil kemudian dikalungkan pada lehernya. Ken yang pada awalnya mencoba memberontak akhirnya menyerah juga sebab memang kondisinya nggak memungkinkan untuk melawan kekuatan Matt. Lantas pemuda angkuh itu membiarkan dirinya dipapah sembari terus memandangi wajah pemuda yang sudah menolongnya itu dengan tatapan yang sulit diartikan, sepanjang perjalanan menuju ruang UKS sekolah.
Seandainya Matt boleh memilih, dia ingin menggeletakkan Ken di belakang sekolah biar tahu rasa. Bahkan kalau perlu, dia akan ikut menghajar pemuda angkuh itu juga karena sudah menghina dirinya habis-habisan di depan Nick. Kesombongan dan keangkuhan pun masih sempat Ken tampilkan meski kondisinya sudah nggak berdaya. Argghh... gatal rasanya tangan Matt ingin menonjok wajah pemuda di sebelahnya itu bukan malah membopongnya seperti yang dia lakukan sekarang.
Rupanya pemuda ganteng itu masih belum terima disebut pasangan homo laknatnya Nick. Sungguh merupakan aib terbesar dalam hidup Matt jika sampai menjalin hubungan dengan musuh bebuyutannya sendiri. Amit-amit jabang bayi, Matt nggak mau hal itu sampai terjadi.
Tapi sudahlah, terkadang hutang budi memang butuh korban perasaan, terlebih pada orang yang membenci dirinya.
**********
"Astaga naga bonar, kenapa dia sampai penyok-penyok gitu mukanya, Nak? Apa kalian berdua habis berantem? Ih, pasti rebutan cewek yah kalian itu? Ckckck... kelakuan anak muda jaman sekarang memang brutal. Hmm... tapi beruntung banget sih cewek itu diperebutkan dua siswa ganteng seperti kalian. Seandainya Ibu yang jadi cewek itu, ahh... mau mati rasanya saking bahagianya!"
Seorang wanita berseragam putih-putih dengan genitnya langsung nyerocos nggak jelas saat melihat Matt dan Ken masuk ke ruang UKS sekolah. Sepertinya dia adalah guru yang mendapat giliran piket menjaga ruang kesehatan siswa itu.
"Sudah Bu, jangan banyak tanya. Kasihan teman saya butuh segera diobati lukanya. Lagian siapa juga yang berantem demi seorang cewek? Kalaupun iya, saya nggak mungkin repot-repot membawa dia kemari. Mending saya tinggalin saja dia di tempat kejadian terus saya pergi dengan cewek yang diperebutkan itu."
Guru wanita itu hanya menelengkan kepala sambil menatap sedikit serius wajah pemuda yang sedang berbicara memberi penjelasan di depannya. Lalu dia manggut-manggut paham, menganggap alasan Matt masuk akal dan bisa diterima nalarnya meski sebenarnya pemuda ganteng itu tengah mengarang indah.
"Dia tadi hanya jatuh menggelundung dari tangga lantai dua. Untungnya saya kebetulan lewat jadi bisa langsung membawa dia kesini. Benar kan itu, Ken?"
Matt melotot ke arah pemuda yang tengah dia bopong di sebelahnya supaya nggak membuka mulut. Dia nggak mau sampai guru UKS itu tahu bila Nick yang sudah menghajar Ken hingga wajahnya benjut dan sobek di ujung bibir serta pelipis bagian kiri. Entah kenapa nalurinya ingin melindungi pemuda norak itu. Dia nggak mau Nick sampai masuk BP dan terkena masalah.
Aneh, ada apa gerangan dengan Matt? Tumben dia perhatian pada musuh bebuyutannya. Apa karena pemuda ganteng itu merasa Nick sudah membelanya dan kini saatnya dia membalas budi? Apa jangan-jangan Matt mulai suka pada pemuda norak itu tanpa dia sadari? Entahlah, hanya Matt sendiri dan Tuhan yang tahu alasannya.
"Ow... seperti itu. Baiklah, sekarang kamu tolong Ibu baringkan temanmu itu di atas kasur, yah!"
Matt menganggukan kepala sembari melanjutkan memapah Ken berjalan ke arah kasur di dekat situ. Lalu Matt segera kembali pada Ibu penjaga UKS yang terlihat berdiri memperhatikan gerak-geriknya, sesaat setelah memindahkan beban berat di bahunya ke atas ranjang berseprai putih.
"Kamu namanya siapa, sayang? Kok Ibu baru lihat kamu hari ini. Kamu murid baru, yah?" Wanita itu langsung membuka mulutnya saat melihat Matt sudah berdiri di depannya.
"Iya benar, saya murid baru disini, Bu. Nama saya Matthew. Ibu boleh panggil saya Matt."
"Ow... Matthew, nama yang bagus cocok sama orangnya. Kamu kelas berapa, sayang?" tanya guru wanita itu masih saja kegenitan.
"XI-1, Bu!"
"Astaga, ternyata kamu anak didiknya Pak Yudha yang ganteng itu. Wah hebat! Matt pasti pintar yah, sampai bisa masuk ke kelas pilihan itu?"
"Nggak, Bu. Saya dimasukkan kelas itu justru karena saya kurang pintar. Ibu kepala sekolah ingin saya bergaul dengan anak pintar di bawah bimbingan Pak Yudha supaya siapa tahu saya jadi ketularan pintar, hehe..." ujar Matt malu-malu sambil cengengesan.
"Ow, pasti itu, sayang! Jangan khawatir, Ibu sangat yakin nilai akademismu pasti bisa bagus di bawah asuhan Pak Yudha yang ganteng meski beliau itu guru baru di sini. Nggak ada satupun guru yang berani macam-macam dengannya. Yang wanita klepek-klepek dengan pesonanya walau dia agak arrogant dan sombong. Yang pria cuma bisa mengelus dada iri dengan kepopulerannya."
Hah, arrogant dan sombong? Matt kurang setuju dengan dua atribut yang melekat pada guru kesayangannya itu. Baginya Yudha itu supel dan sangat sabar sejak pertama mereka bertemu. Ingin rasanya Matt protes menyanggah tapi nggak mungkin dia lakukan.
Apa nanti pikiran guru wanita itu jika ada seorang murid yang membela wali kelas yang bahkan baru beberapa hari dia kenal? Jadi lebih baik Matt diam saja sambil membulatkan kedua belah bibirnya plus mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Kamu harus bisa mengambil hati wali kelasmu itu, sayang. Patuhi segala perintahnya dan jadilah anak kesayangannya."
Matt jadi mesam-mesem sendiri nggak jelas sebab dia merasa sudah menjadi murid "kesayangan" guru sexy itu. Bahkan kurang sedikit saja mereka berdua akan berakhir bergelut di ranjang bila nggak ada telfon dari si pengganggu perusak acara.
"Asal Pak Yudha buka mulut, semua guru pasti mematuhinya untuk memberimu nilai yang baik. Karena beliau adalah calon pemilik sekolah ini."
Senyuman langsung menyingkir dari bibir pemuda ganteng itu. Dahinya mengernyit heran sembari menelan ludah membasahi tenggorokan yang mendadak terasa tercekat. "Maksud Ibu apa?"
"Lho, apa kamu belum tahu tentang hal itu, Matt?"
Matt menggelengkan kepala. Kedua matanya langsung terfokus pada wajah guru wanita di depannya. Dia jadi sangat penasaran. Detak jantungnya pun mendadak bertabuh dengan kencang. Matt harus bisa menyiapkan hati mendengar informasi yang mungkin akan mengubah status hubungannya dengan Yudha. Bisa menjadi lebih intim atau bahkan kandas sebelum dimulai.
"Pak Yudha itu..."
"Bu, jangan lupa kalau ada pasien yang perlu diobati di sini! Eh, malah asyik ngobrol di sana. Nanti saya laporkan ke kepala sekolah lho, sudah menelantarkan siswa yang terluka parah."
"Aduh maaf, saya lupa... " Ibu guru UKS itu langsung menimpali ancaman Ken. "Lain kali disambung lagi yah, sayang. Kalau ada waktu luang, main-main saja kemari!" Setelah berpesan singkat wanita itu langsung buru-buru meninggalkan Matt untuk segera merawat luka siswa yang tengah terbaring nggak sabaran di atas salah satu ranjang di tempat itu.
Matt tampak kesal akibat rasa penasarannya nggak tersalurkan. Dia jadi bertanya-tanya dalam hati apa maksudnya Yudha adalah calon pemilik sekolah? Tapi sudahlah, kesehatan Ken lebih penting saat ini. Mungkin nanti dia bisa tanyakan sendiri pada yang bersangkutan, sekembalinya wali kelas yang ganteng dan sexy itu dari luar kota.
"Matt kamu boleh kembali ke kelasmu sekarang. Biar Ken istirahat dulu di sini!" ucap wanita itu sesaat setelah rampung membersihkan dan mengobati luka di wajah pemuda yang kini tampak tengah berleyeh-leyeh santai di atas kasur ruang UKS.
"Hmmm... nanti saja deh, Bu. Saya ingin di sini dulu sebentar. Badan masih terasa capai dan pegal juga habis memapah Ken barusan. Nanti kalau sudah segar, saya pasti kembali ke kelas." Matt beralasan. Sebenarnya dia hanya merasa malas kembali ke dalam kelas untuk mendengarkan pelajaran yang membosankan. Lebih baik dia meletakkan kepala di atas kasur UKS yang empuk daripada di atas meja kayu yang keras.
"Ya sudah nggak apa-apa, sayang. Kalau begitu Ibu titip sebentar yah ruang UKSnya. Ibu mau pergi ke kelas Ken mengijinkan dia untuk istirahat di sini sampai jam pulang sekolah. Ibu tinggal dulu, yah!"
"Baik, Bu! Terima kasih."
Yes! Matt bersorak dalam hati kegirangan mengikuti langkah guru wanita itu keluar ruang UKS. It's time for boci alias bobo ciang. Dengan semangat, Matt langsung berlari kecil menuju kasur UKS di mana terdapat seorang pemuda tengah membaringkan tubuh di atasnya.
"Geser!"
"Egh... mau apa kamu, hah?" Ken tampak terkaget, sedikit panik dan mulai salah tingkah.
"Aku mau tidur. Mataku sudah nggak kuat. Aku ingin segera tidur. Cepat, geser sedikit!" titah Matt nggak sabaran.
"Kenapa kamu nggak tidur di kasur seberang saja, hah? Ranjang ini terlalu sempit untuk kita berbagi."
"Nggak!!! Aku maunya di sini! Guru UKS tadi pasti marah jika aku tidur di atas kasur satunya sebab aku nggak sedang sakit. Siapa tahu nanti ada siswa lain yang lebih membutuhkan kasur itu daripada aku. Jadi sudah jangan banyak protes! Ayo cepat geser!"
"Tapi... tapi... "
"Buruan geser! Jangan buat aku emosi! Mau aku tambahi luka di wajahmu itu, hah? Biar nggak ada orang yang bisa mengenalimu lagi! Mau?" Matt menyeringai sembari mulai memencet-mencet bagian luka di wajah Ken yang sudah tertutup plester.
"Aw... sakit, bego! Iya... iya... aku menurut!"
Ken segera menarik badannya ke sisi pinggir kasur yang lain, memberi cukup celah setelah nggak tahan lukanya terasa ngilu dan perih akibat kejahilan tangan Matt. Dia juga langsung memunggungi pemuda ganteng yang tengah berdiri di dekat ranjang, berniat menyembunyikan wajahnya dari serangan nakal Matt.
Entah kenapa, tiba-tiba jantung Ken mulai berdegub nggak karuan seiring dia menunggu Matt merebahkan diri di sampingnya. Pemuda angkuh itu merasa sedikit gelisah akan berbagi ranjang dengan pemuda yang seharusnya dia benci, bukan malah membuat dia jadi nervous nggak jelas.
"Sialan, kenapa dia nggak segera saja membaringkan tubuhnya di sebelah?" Ken mengumpat dalam hati sebab dia makin merasa akward dan grogi nggak karuan.
Semenit... dua menit... lima menit.. terlewati, Ken masih merasa kosong di sebelahnya.
"Shit! Gimana aku mau istirahat kalau seperti ini caranya? Kenapa dia nggak segera berbaring saja, sih! Bikin jantung jadi ribet saja ini orang. Argghh... jembut!" Ken akhirnya memutar kepala seraya badannya otomatis merebah sedikit ke bagian tengah kasur.
"Jancokkk!!" Ken langsung mengumpat nggak terima saat melihat pemandangan di depannya. Matt sudah tertidur pulas.
Ternyata pemuda ganteng itu hanya duduk di atas kursi lipat sembari meletakkan kepala di pinggiran kasur. Sial, apa baru saja dia berharap Matt tidur di sebelahnya? Ken merutuki kebodohannya dalam hati karena berpikir terlalu jauh. Dia bahkan nggak sempat mendengar kapan Matt menaruh kursi di dekat ranjang sebab terlalu sibuk mengurusi kegugupan nggak jelas yang mendadak menyelimutinya barusan.
Ken lantas segera menarik tubuhnya hingga terduduk di atas ranjang. Dia memandangi sebentar sosok yang sedang menelungkupkan kepala di depannya. Lalu dia mengulurkan salah satu tangannya untuk membelai lembut rambut pemuda yang sudah menolongnya dari amukan sahabatnya sendiri.
"Permainan baru saja dimulai, Matt. Aku pasti menghancurkanmu! Kamu harus membayar perbuatanmu pada Ben. Siapkan hati dan mentalmu sebab aku pastikan nggak akan ada seorangpun yang bisa menolongmu. Termasuk Nick atau Pak Yudha sekalipun!"
TBC
Next part nunggu chapter 14, 15 dan chapter ini masing-masing 200 votenya. Sekalian saya mau rehat sebentar lagi sibuk banget kerjaan.
Thank you very much buat waktu yang diluangkan membaca cerita nggak jelasku ini :).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top