12 : Don't Let Your Guard Down
"Ingat Matt, langsung pulang! Jangan keluyuran kemana-mana!" pesan Yudha saat mobil yang dia kemudikan telah berhenti di depan sebuah Mitsubishi Pajero berwarna hitam, di parkiran sekolah yang tampak lenggang sebab hari sudah menjelang malam.
Hanya terlihat beberapa mobil dan motor yang terparkir di sana menemani mobil Matt. Sepertinya itu milik siswa yang biasa menggunakan fasilitas lapangan outdoor sekolah untuk sekadar berolah raga di malam hari. Lumayan, gratisan, nggak perlu keluar biaya sewa lapangan.
Matt mendengus sebal. "Iya... iya... nggak usah bawel kayak emak-emak gitu, Mas."
Itu adalah kalimat pertama yang terlontar dari kebisuan Matt sepanjang perjalanan dari apartment Yudha menuju sekolah.
"Matt, apa kamu masih marah sama Mas?"
"Nggak, kok! Sudah, saya mau turun dulu. Hati-hati di jalan, Mas. Bye..."
"Tunggu, Matt! Hmm... nggak ada ciuman perpisahan buat Mas?"
"Haha... ogah!" sahut Matt sambil segera membuka pintu mobil dan langsung turun. Lalu dengan pelan dia menutup pintu sedan itu, bukan membantingnya. Dia masih mencoba menahan rasa jengkelnya.
"Brengsek!!!"
Matt langsung mengumpat kesal saat mobil Yudha sudah berlalu dari hadapannya. Dia lantas berjalan cepat menuju ke arah Toyota Avanza berwarna silver -- yang sedang terparkir nggak jauh dari mobilnya -- untuk mencari pelampiasan emosi. Dia tentu nggak ingin mengerjai mobilnya sendiri.
Ngesex belum sampai orgasme pasti membuat seorang pria frustasi. Rasanya seperti sedang tegang nonton film action di bioskop namun tiba-tiba mati lampu. Menyesakkan dada dan bawaannya jadi ingin marah terus seperti sedang datang bulan.
"Dasar guru PHP! Yudha bangsat! Yudha tai!" umpat Matt sambil menghujani ban mobil itu dengan tendangannya berkali-kali.
"Sial, kenapa alarmnya jadi bunyi?"
Matt langsung menghentikan aksinya sebab terkaget oleh bunyi yang memecah kesunyian malam. Tapi dia nggak kabur karena dia bukan pengecut. Dia berniat akan meminta maaf pada pemilik mobil itu.
Nggak lama berselang, terlihat dua orang siswa mengenakan seragam basket tengah berlari kecil mendekat ke arah mobil yang berisik itu. Sepertinya salah satu dari mereka adalah pemilik mobil tersebut.
Matt langsung bisa mengenali kedua pria berwajah ganteng itu. Mereka berdua tampak sangat hot dan keren dibalut kaos tanpa lengan itu. Tangan mereka tampak kokoh dengan tonjolan otot bisep dan trisep yang begitu menggiurkan, serta mengkilap dibasahi keringat. Sungguh terkesan sangat manly dan sexy, yang tentu saja mengusik ketenangan adik kecil Matt.
Tapi Matt buru-buru meralat pikirannya. Hanya satu saja yang terlihat menawan diantara mereka berdua itu. Sedang yang satunya jelek banget dan nggak menarik. Malah mendadak membuat Matt jadi semakin sebal. Huh, Matt jadi ingin menonjok mukanya yang sok kegantengan itu meski memang ganteng nyatanya.
"Kamu!"
Pemuda yang tengah membawa remote mobil di genggaman tangannya tampak terkejut dengan kehadiran Matt disana. Sementara pemuda satunya malah terlihat cengengesan sendiri sambil memperhatikan Matt.
"Oh... hai Kak..." Matt mencoba ramah.
"Woii... cong, kamu disini juga ternyata. Habis ngapain kamu kok belum pulang? Habis dibooking Om-Om, ya?" potong salah seorang dari mereka sebelum Matt menyelesaikan ucapannya.
"Anjing! Jaga mulutmu, Nick!"
"Wuih... galak juga sekarang kamu, cong!"
"Asem! Ngajak berantem kamu, hah?" Matt segera memajukan badannya dengan tangan yang mengepal.
"Stop! Kamu kenal dia, Nick?" Pria yang berdiri di sebelah Nick mencoba menengahi yang membuat Matt langsung menghentikan langkahnya.
"Yup. Dia dulu satu sekolah denganku waktu SD, Ken."
"Oh, I see." Ken lantas menoleh, menatap tajam ke arah Matt menunjukkan kebenciannya. "Kamu ngapain disini, hah? Kamu apakan mobilku itu sampai alarmnya bunyi? Kamu sengaja ingin cari gara-gara denganku?"
"Sorry-sorry, jadi ini mobil Kak Ken, ya?" Matt jadi nggak enak hati setelah mengetahui jika mobil itu milik Ken yang terlihat kurang suka padanya. Dia jadi bingung mencari alasan karena nggak mungkin dia berterus terang jika dia habis menendang-nendang ban mobil itu. Yang ada Ken malah akan semakin membencinya. "Emm... anu... tadi itu..." Matt menggaruk-garuk kepalanya, stuck.
"Sudahlah, Matt! Simpan saja penjelasanmu, aku nggak butuh! Kenapa kamu selalu saja berbelit-belit seperti ini, hah? Mungkin jika kamu bisa tegas sedikit, nyawa Ben nggak perlu melayang sia-sia. Aku sangat membencimu, Matt!" semprot Ken ketus.
"Kak Ken, aku... sorry..."
Kata-kata Ken barusan sungguh membuat luka kehilangan Ben dalam hati Matt kembali terasa perih. Rasa bersalah mulai meliputi pikirannya lagi. Pemuda itu menjadi terdiam sambil menatap nanar kakak mendiang sahabatnya itu.
"Sudahlah, relakan saja adikmu itu, Ken. Mau sampai kapan kamu terus-terusan seperti ini?"
"Entah, Nick. Aku masih nggak terima. Tapi sudahlah, ayo kita kembali. Melihat mukanya sungguh membuatku jadi muak dan emosi." Ken langsung bergegas pergi, berjalan menjauh meninggalkan Matt.
"Hei... cong, kenapa kamu jadi diam saja seperti itu?" Bukannya pergi mengikuti Ken, Nick malah asyik memperhatikan wajah Matt yang tampak sendu.
"Tch... bukan urusanmu! Terus kenapa kamu masih saja di sini, hah? Pergi sana!" Matt langsung menyalak dari kesedihannya.
"Wow... wow... sabar donk, cong. Galak amat! Hmm... kamu sudah kemajuan yah sekarang, sudah nggak ngondek seperti dulu lagi. Ini baru yang namanya lakik, cong!"
"Banyak bacot yah kamu sekarang. Sudah pergi sana! Atau kamu minta aku remas lagi manukmu itu, hah!"
"Boleh! Coba saja kalau bisa, cong!" tantang Nick sambil menaikkan salah satu alisnya.
"Nick...!!" teriak Ken dari kejauhan memanggil sahabatnya itu.
"Siap, Ken! Aku meluncur sekarang! Aku pergi dulu yah, cong. Bye..." pamit Nick sambil dengan cepat menoel dagu Matt yang nggak sempat dia tepis.
"Jangkrik!!" umpat Matt jengkel sambil mengusap-usap jijik dagunya dengan kain seragam yang membalut lengannya. Matt nggak mau dagunya kena panu atau koreng setelah disentuh tangan Nick yang baginya najis. Lebih mengerikan daripada disentuh banci sekelas Sam. Sampai kapan pun Nick adalah orang yang paling dibencinya melebihi siapa pun juga.
Matt jadi menggerutu sendiri, mengutuki musuh bebuyutannya itu sambil melangkahkan kaki masuk ke dalam mobil miliknya. Baru saja tangannya menyalakan mesin mobil, ponselnya bergetar di dalam saku celananya. Sebuah pesan masuk di account Line miliknya. Dia sudah nggak pakai BBM lagi. Dia trauma menggunakan aplikasi yang sering error dan sudah memakan korban itu.
Yudha Wibisana: Kamu dimana, Matt? Read.
Yudha Wibisana: Ingat, jangan keluyuran. Langsung pulang. Read.
Yudha Wibisana: Jangan di read saja, tapi dibalas dong, Matt. Read.
Yudha Wibisana: Mas tahu kamu masih marah. Ok, nggak papa. Mas paham dan nggak akan menyalahkanmu. Read.
Yudha Wibisana: Ini semua memang salah Mas dan kamu memang berhak untuk marah. Mas minta maaf. Kamu langsung pulang, yah. Menurutlah sama Mas, please. Hati-hati di jalan. Mas sangat sayang sama kamu, Matt. Read.
Matthew Prakoso: Saya juga sayang sama Mas.
Matt nggak mau kecolongan lagi seperti dulu, dia harus bisa membalas perasaan orang yang disayanginya. Tapi tentu bukan Matt namanya jika dia menurut begitu saja. Terlebih dia juga masih jengkel pada gurunya itu.
Matt langsung mematikan gadget itu dan memasukkannya ke dalam tas sekolah yang dia tinggal di mobil sebelumnya. Sepertinya Matt butuh hiburan. Kehilangan sahabat dan nafsu yang nggak kesampaian, tentu bukan hal yang mudah untuk diabaikan. Hanya stay di rumah saja pasti merupakan ide buruk. Malah membuat kepikiran dan makin stres.
Matt segera melajukan mobilnya meninggalkan parkiran sekolah. Dia berencana pulang ke rumah untuk sekadar berganti pakaian dan membuang waktu sebentar, lalu pergi mencari sebuah pub. Nggak perlu yang gay bar. Asal tenggorokannya dibasahi beberapa tenggak alkohol, dia pasti bisa melupakan keruwetan pikirannya saat ini.
**********
Matt kini sudah berada di depan sebuah pub yang terletak di lantai dasar sebuah hotel mewah berbintang lima di kawasan Surabaya Barat. Pemuda itu langsung merangsek masuk, melewati pengunjung yang berjubel untuk mencari tempat duduk, sembari telinganya dijejali dentuman keras musik trance yang tengah dimainkan oleh DJ.
Matt lantas segera memesan sebotol black label dan sebucket es batu. Sembari menunggu pesanannya datang, kedua mata Matt mulai mengamati keadaan di sekitarnya. Nggak terlalu menarik sebab hanya didominasi oleh wanita-wanita malam yang memakai pakaian super mini kayak kehabisan bahan. Bahkan beberapa dari mereka ada yang mulai terpikat dengan kegantengan Matt.
"Maaf, aku gay." Itu adalah ucapan Matt kesekian kalinya untuk mematahkan niat para wanita penghibur yang mencoba mendekatinya. Pemuda itu mendecak sebal sambil mulutnya mulai mengecap alkohol dari pesanan minuman yang sudah datang.
Matt baru akan menghabiskan gelas pertama minumannya, saat dia mendadak melihat pemandangan yang membuatnya terhenyak kaget. Dia sedikit tersedak sembari kemudian mengucek kedua matanya, berusaha meyakinkan jika yang sedang disaksikannya itu nyata.
Matt melihat seorang Om-Om berperut buncit -- mengenakan busana formal lengkap dengan jas dan dasi -- tengah duduk di atas sofa VIP sambil melingkarkan tangan kanannya di bahu seorang pemuda ganteng yang duduk di sebelahnya. Sementara tangan kirinya tampak asyik mengelus paha pemuda yang terlihat sama sekali nggak keberatan itu. Malah dia tampak tersenyum kecil menanggapi perlakuan pria setengah baya berkumis lebat mirip Pak Raden, di sebelahnya.
Matt menggelengkan kepala nggak percaya. Apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh teman sebangkunya di tempat itu? Mengapa dia harus diam saja saat dipegang-pegang oleh pria genit yang sudah berumur itu? Matt juga sangat yakin bila pria buncit tersebut bukan kerabat Lee dilihat dari perlakuan nggak senonoh pada temannya itu. Apa Lee sedang berkencan dengan seorang Om-Om untuk bayaran yang tinggi? Dengan kata lain apa dia seorang gigolo atau kucing atau pelacur pria atau apalah sebutannya?
Demi Tuhan, dia masih terlalu muda untuk melakukan pekerjaan hina seperti itu. Tapi Matt nggak mau menghakimi, mungkin Lee punya alasan tersendiri meski nggak akan pernah bisa membenarkan apa yang tengah dia perbuat itu.
Belum juga Matt selesai berkutat dengan pikirannya sendiri, Lee terlihat sudah bangkit dari tempat duduknya. Sepertinya dia hendak pergi meninggalkan pub itu dengan pria buncit yang masih saja merangkul erat bahunya.
Matt segera beranjak dari duduknya, meninggalkan minuman alkohol yang masih belum habis ditenggaknya. Ada yang lebih menarik perhatiannya. Dia ingin diam-diam membuntuti Lee, tapi bukan ingin ikut campur urusan teman sebangkunya itu. Dia hanya penasaran ingin tahu hendak pergi ke mana Lee dengan pria berbadan tambun itu. Entah kenapa Matt merasa peduli pada pemuda yang sudah perhatian padanya meski sedikit.
Matt terus mengekor kedua orang buruannya itu keluar dari pub hingga sampai ke lobby hotel. Om yang berperut buncit itu tampak maju mendekat pada meja receptionist, sementara Lee menunggu agak jauh di belakang.
"Apa mereka berdua hendak menyewa kamar di hotel itu?" pikir Matt dalam hati, sembari melongokkan kepalanya untuk mengintai dari balik pilar yang menyembunyikan tubuhnya.
Setelah menerima sesuatu dari uluran tangan salah seorang receptionist, Om gendut itu segera menyusul Lee yang sudah berjalan dulu menuju ke arah lift, yang akan membawa para tamu ke kamar hotel. Tampak pria genit itu langsung bergelayut manja pada bahu Lee saat keduanya masuk ke dalam pintu lift yang terbuka dan lenyap dari pandangan Matt.
"Astaga, apa yang akan kamu lakukan dengan pria yang lebih cocok sebagai ayahmu itu, Lee? Apa kamu melakukan semua ini demi uang?" tanya Matt dalam hati menyesalkan tindakan teman sebangkunya itu.
Matt berpikir akan kembali ke pub lagi. Memikirkan Lee yang bertindak nekat itu malah membuat kepalanya jadi makin pusing. Belum juga hilang beberapa masalah yang menyita pikirannya, seperti kabar Ben yang mendadak meninggal, Yudha yang menggantung nafsunya, serta Ken yang menuduhnya sebagai pembunuh, sekarang malah ditambah masalah Lee -- calon teman baiknya -- yang sepertinya berprofesi sebagai pria bayaran.
Ah, mungkin Matt sebentar lagi akan jadi gila jika dia nggak segera mabuk.
Namun tampaknya kesialan masih saja terus menghampiri pemuda itu. Saat dia menarik badan keluar dari persembunyiannya, terdengar suara lantang seorang pria memanggil, yang sukses membuat dia menoleh ke arah sumber suara.
"Hei, cong! Kamu di sini juga rupanya? Sama siapa?" Nick tampak sumringah melihat kehadiran Matt disana.
"Shit! Kenapa aku harus bertemu dia lagi. Arghh... nggak Sam nggak Nick semua seperti sedang membuntutiku kemana-mana. Tai!"
"Tch... bukan urusanmu, ngerti!" Matt mendecak sebal.
"Nick, aku tunggu di dalam!" celetuk seorang pria yang muncul dari balik punggung Nick sambil menatap penuh benci ke arah Matt sebelum membuang mukanya.
Dia adalah Ken yang sedang menggandeng mesra seorang gadis belia berparas cantik, berjalan melewati Matt dengan angkuhnya menuju ke pintu masuk pub yang terletak nggak jauh dari lobby hotel.
Sedang Matt hanya bisa menggerakkan kedua bola matanya mengikuti sepasang kekasih itu berjalan menjauh. Dia masih menyayangkan sikap Ken, yang menganggap dia sebagai pembunuh Ben, adiknya itu.
"Sudahlah, nggak usah diambil hati, cong. Jangan terlalu dipikirkan. Mending kamu ikut aku saja ke dalam. Kita having fun bareng, cong. Yuk!" ajak Nick yang langsung berbuah wajah masam dari Matt.
"Kita? Hah? Apa kamu sedang gila, Nick? Ogah, mending aku pulang daripada harus ke dalam bareng kamu! Lagian, nggak usah sok akrab gitu, deh! Sampai kapan pun aku nggak mau jadi temanmu. Kamu dan aku akan selalu bermusuhan selamanya, ngerti!"
Mabuk bersama musuh bebuyutan sungguh bukan gagasan yang bagus. Matt pasti akan dikerjai habis-habisan oleh Nick saat dia mabuk. Jadi dia putuskan untuk pergi dari tempat itu.
"Yah kok gitu sih, cong. Kamu masih dendam sama aku, yah? Itu kan sudah lama berlalu, cong. Masa kamu mau membenciku sampai seumur hidup?"
"Iya, kalau perlu nanti di surga aku nggak mau melihat wajah jelekmu itu. Jadi kamu ke neraka saja, sana!"
"Tapi cong, aku..."
"Honey, ayo kita masuk!" potong seorang cewek manja yang mendadak muncul di sebelah Nick, sambil mengalungkan tangannya pada lengan pemuda itu, hendak mengajaknya masuk ke dalam pub.
"Ih... apaan sih! Masuk saja dulu sama Bos, sana! Di dalam juga ada Ken dan Cindy yang sudah masuk duluan. Kamu cari saja meja mereka di dalam! Aku masih ada urusan dengan teman lamaku," sergah Nick risih sambil menghentakkan lengannya kasar, ingin melepas tautan tangan cewek berwajah manis di sebelahnya itu.
"Kamu kok jadi kasar gini sih, hon? Tadi maksa-maksa ngajak aku ke sini. Eh, sekarang malah diginiin. Jadi menyesal aku ikut."
"Ow, jadi kamu terpaksa ikut aku? Ok, baiklah! Bos, antar dia pulang!" Nick lantas menoleh ke arah Bos yang ternyata sedang berdiri di belakangnya. Dia memberi kode pada temannya itu untuk segera menyingkirkan gadis di sebelahnya, yang sudah menganggu obrolannya dengan Matt. Bos pun menganggukan kepala tanda mengerti.
"Nick, kamu..." Gadis itu memicingkan matanya, menatap tajam ke arah Nick sambil mengacungkan telunjuknya. Dia nggak terima.
"Kenapa?" tanya Nick enteng dengan wajah menantang.
"Nggak nyangka ternyata kamu sejahat ini sama aku, Nick!" desis gadis itu kecewa.
"Sudah, sudah... ayo Nat, kita masuk ke dalam saja. Sepertinya ketua ada urusan penting dengan teman lamanya." Bos segera menarik paksa cewek yang terlihat mulai frustasi dengan sikap Nick yang mendadak jadi dingin padanya.
"Awas ya, Nick! Kamu nggak bakal aku kasih jatah meski nanti kamu mohon-mohon padaku. Ayo Bos, kita masuk! Aku lama-lama jadi muak melihat wajah pria brengsek ini!"
Nat langsung menggandeng tangan Bos. Dengan perasaan jengkel dia meninggalkan Nick berdua dengan Matt.
"Whatever!" timpal Nick nggak peduli. Lantas dia segera menoleh kembali ke arah Matt. "Sorry, cong hehe... Dia itu memang aneh. Dia suka sekali memanggilku honey, padahal pacar pun bukan. Aku masih single kok, cong."
"Hah? Terus apa hubungannya denganku? Mau dia itu pacarmu kek, atau istrimu kek, aku juga nggak peduli. Tck..."
"Tentu kamu harus peduli donk, cong. Karena mulai hari ini aku memutuskan akan mengejarmu. Aku suka sama kamu, cong!" Nick tersenyum lebar, memamerkan barisan rapi giginya.
"Sinting! Minggir! Aku mau lewat! Lama-lama bisa ketularan nggak waras jika aku masih disini terus! Dasar gila!"
Matt lantas menghalau kasar tubuh Nick ke samping karena dia tetap nggak mau beranjak dari tempatnya. Dia sudah menghalangi jalan pemuda itu.
"Lho... lho... mau kemana kamu, cong? Tunggu!"
Nick langsung berlari ke arah Matt, berniat menyusulnya. Dia lantas meraih tangan Matt yang berhasil membuat langkahnya terhenti.
"Lepas!!!" Matt langsung menepis kasar tangan Nick. Lalu segera melanjutkan kembali jalannya menuju ke pintu keluar, meninggalkan Nick yang tampak tengah memandangi punggungnya semakin menjauh.
"AKU SUKA KAMU, CONG...!" teriak Nick nggak tahu malu yang membuat banyak mata di lobby itu menatapnya heran bercampur jijik. Namun ada juga beberapa wanita yang tampak kegirangan sambil badannya menggigil seperti sedang kedinginan. Nggak salah lagi, mereka pasti kumpulan para fujo.
Matt nggak peduli sambil terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Dia merasa malu bukan main dengan tingkah gila Nick. Bukannya tersentuh ataupun senang tapi malah stres. Disukai oleh musuh bebuyutannya sendiri merupakan puncak kejadian buruk yang menimpanya hari ini. Cukup, Matt ingin segera pulang ke rumah.
**********
Matt terhenyak kaget saat sampai di parkiran mobil. Keempat ban mobilnya kempes, nggak tersisa sama sekali anginnya. Sepertinya belum cukup juga kesialan yang dia alami hari ini.
Dia menoleh kesana kemari dan mendapati mobil Toyota Avanza Silver milik Ken sedang terparkir nggak jauh dari sana.
Nick. Entah kenapa hanya nama itu yang langsung muncul di pikiran Matt meski yang dia lihat adalah mobil milik Ken. Bisa saja Nick ikut menumpang mobil sahabatnya itu atau mobil Nick terparkir nggak jauh dari sekitaran area itu, Matt mengambil kesimpulan. Sayangnya Matt nggak tahu mobil Nick yang mana, jadi dia nggak bisa membalas dendam.
Alhasil pemuda itu cuma bisa menggeram penuh emosi dengan kejengkelan yang memuncak sampai ubun-ubun. "Awas kamu, Nick! Akan kupotong kontolmu itu biar mampus sekalian. Bilangnya suka, tapi kelakuan kayak tai. Dasar suka-suka jembut! Jancokkk!!"
Matt segera membuka pintu mobilnya, untuk mengambil ponselnya. Terdapat beberapa miss called dan notifikasi pesan Line terbaru saat dia menyalakan gadgetnya itu. Tapi Matt mengacuhkannya karena lebih penting untuk menghubungi layanan taxi saat ini.
Dia nggak mungkin minta Yudha untuk menjemput, sebab malah akan menambah masalah dengan guru yang disayanginya itu. Matt sudah melanggar larangan Yudha dan dia sadar akan hal itu.
Nggak berselang lama, sebuah taxi blue bird pun datang. Matt berencana langsung pulang ke rumah, meninggalkan mobilnya di sana. Dia akan menyuruh mekanik kenalan orang tuanya untuk mengambil mobilnya itu besok.
Nggak lupa sebelum sampai rumah, Matt mampir sebentar ke alfamart untuk membeli beberapa butir Antimo. Rupanya dia ingin tidur lelap malam ini, melupakan segala permasalahannya. Hari yang berat bagi pemuda itu dengan segala macam problem yang menderanya. Dia berharap besok akan lebih baik lagi dari hari ini.
Namun sayang, perjalanan hidup yang penuh liku baru saja akan dia mulai. Matt harus menyiapkan fisik dan mentalnya menghadapi berbagai macam konflik yang akan segera menyongsongnya.
Selamat tidur, Matt!
TBC
Sorry untuk update yang molor, karena aku lagi repot banget. Jadi sebagai gantinya part ini aku buat panjang. Moga-moga aja nggak bosen.
Sampai part ini, kira-kira enaknya Matt jadian sama siapa akhirnya? Setiap karakter sudah mulai terlihat plus minusnya meski belum semua.
Anyway masih tertarik nggak sih dengan kelanjutan cerita ini? Sorry aku jadi kepo nih, hmm...
Tetap voment yah, biar nanti aku curi-curi ambil waktu untuk update lagi hihihi...
Thank you very much.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top