11 : Relationship with a Lie
"Silahkan masuk, Matt! Anggap rumah sendiri."
Yudha langsung meninggalkan Matt sesaat setelah membukakan pintu flat miliknya, menuju ke arah dining room yang letaknya di sebelah ruang tamu.
Sementara Matt tengah asyik mengamati setiap sudut ruangan milik gurunya tersebut.
Lumayan mewah, nggak terlalu besar dan nggak terlalu kecil. Cocok untuk pasangan muda yang baru menikah.
Matt jadi sedikit heran mengapa guru muda seganteng dan super sexy seperti Yudha itu masih saja single sampai hari ini. Apa dia nggak laku? Bahkan pemuda itu sama sekali nggak bisa menemukan tanda-tanda bila gurunya itu pernah terlibat jalinan asmara dengan seseorang. Semua hanya memajang foto-foto pribadi Yudha. Sendirian.
Sepertinya Yudha memiliki selera dan kriteria yang tinggi untuk bisa menjadi pasangannya, pikir Matt dalam hati.
"Matt... kamu mau minum apa?" teriak Yudha dari kejauhan tapi masih dalam jangkauan pandangan Matt sebab ruangan itu memang nggak bersekat. Nggak ada dinding pemisah seperti layaknya apartment pada umumnya. Hanya dua buah kamar tidur saja yang terlihat berdiri sendiri dengan pintu yang tertutup.
"Terserah, Mas..." balas pemuda itu sambil menjatuhkan pantatnya di atas sofa beludru ruang tamu yang empuk.
"Nih... tangkap, Matt!"
Yudha langsung melempar sekaleng minuman bersoda ke arah murid kesayangannya itu, ketika dia sudah berada di dekat ujung sofa.
"Makasih Mas," ucap Matt sesaat setelah minuman kaleng itu mendarat dalam dekapan tangannya.
"Jadi, apa yang hendak kamu bicarakan dengan Mas?" tanya Yudha penasaran tanpa berbasa-basi seraya menaruh pantatnya disamping Matt. Sangat dekat.
"Hmm... saya homo, Mas," tembak Matt langsung nggak pakai berbelit-belit.
"Hahaha... Mas sudah tahu itu bahkan sebelum kamu umumkan," ejek Yudha sambil tertawa ringan.
"Sial! Ini bukan sebuah pengumuman, Mas. Ini pengakuan jujur dari saya. Mas harus hargai itu, karena Mas adalah orang pertama yang tahu rahasia besar saya."
"Iya-iya... Mas minta maaf," ucap Yudha sembari langsung mencuri kecup pipi Matt secepat kilat.
"Mas..." Matt terkejut, nggak menyangka dapat perlakuan seperti itu dari Yudha. "Ok... dimaafkan!" sambung Matt lagi sambil tersenyum.
"Hmm... lalu kamu atas atau bawah?" pancing Yudha.
"Apa itu maksudnya, Mas?" tanya Matt polos sambil mengerutkan dahinya.
Yudha langsung mendekatkan bibirnya pada telinga Matt, berniat membisikkan sesuatu. "Top atau Bottom?"
"Yang terakhir, Mas!"
Yudha terhenyak sambil langsung menarik kepalanya menjauh. "Astaga! Yang benar saja kamu, Matt!"
Matt menganggukkan kepalanya enteng sambil menatap manis gurunya itu.
"Uhh... Ok. Tapi maaf, Mas malah jadi penasaran sekarang. Emm... sudah berapa banyak pria yang menidurimu, Matt?"
Matt menggelengkan kepalanya.
"Hah? For God sake, Matt! Lalu darimana kamu tahu bila kamu adalah seorang bottom? Believe me Matt, penampilanmu itu lebih meyakinkan untuk menjadi seorang Top!" decak Yudha takjub sambil kemudian mengurut keningnya, masih berusaha untuk percaya.
"Mas mau bukti? Boleh..." tantang Matt seraya mengembangkan senyuman mesum di kedua belah bibirnya.
"Mak-maksudmu, Matt?"
Tanpa aba-aba, tangan Matt langsung meraih pipi Yudha sembari dengan cepat melahap bibir gurunya yang ranum itu.
Tapi Yudha segera mendorong pelan dada murid kesayangannya itu, hingga pagutan bibirnya pun terlepas. "Kamu yakin, Matt? Mas nggak mau nanti kamu menyesalinya," ucap Yudha pelan sambil menatap lekat kedua mata muridnya itu.
Matt menganggukkan kepalanya sambil tersenyum getir. "Saya sangat yakin, Mas. Memang pada awalnya saya ingin Ben yang pertama kali mengentot saya. Tapi dia sudah pergi. Dia sudah melewatkan kesempatan emasnya. Jadi saya ingin Mas Yudha yang pertama kali menggagahi saya. Maukan Mas, please?"
"Thanks, Matt. Mas sangat hargai niatmu itu. Tapi Mas jadi merasa nggak layak mendapat kehormatan itu, Matt."
Mendadak, terbesit kebimbangan di hati guru muda itu. Yudha nggak menyangka jika dia bakal jadi yang pertama buat Matt.
"Siapa bilang? Mas itu sempurna dimata saya. Bukannya Mas pernah bilang suka sama saya? Atau Mas mau menarik kembali kata-kata itu?"
"Nggak, Matt!! Mas masih tetap suka sama kamu bahkan semakin besar. Mas sudah benar-benar jatuh cinta padamu. Jangan pernah kamu ragukan itu! Tapi..." Yudha nggak sanggup melanjutkan kata-katanya.
"Tapi? Tapi kenapa, Mas? Baiklah, saya beritahu Mas sekarang. Saya juga suka sama Mas. Bahkan mungkin sejak pertama kali saya bertemu Mas di ruang guru waktu itu. Tenang saja, saya nggak sedang cari pelarian sebagai pengganti Ben. Dia memang cinta pertama saya tapi Mas cinta kedua saya. Terlebih saya nggak mau meratapi kepergiannya berlarut-larut, pacaran saja juga belum. Jadi nggak usah banyak drama, life must go on!"
Yudha hanya termangu sambil mencerna kata-kata muridnya itu. Hatinya seakan terbelah menjadi dua. Perasaan bahagia dan khawatir datang bersamaan.
Dia memang sangat menginginkan pemuda itu menjadi kekasihnya. Tapi saat kesempatan itu datang pada akhirnya, keraguan hebat malah menyelimuti pikirannya. Apa dia bisa memulai suatu hubungan dengan sebuah kebohongan di baliknya? Lantas sampai kapan dia mampu menutupi kenyataan yang pasti akan membuat mereka berdua tersakiti?
"Kenapa Mas diam? Apa Mas kurang yakin? Apa Mas masih meragukan keseriusan saya?" tanya Matt menyelidik saat mulai bisa membaca gurat kecemasan di wajah gurunya yang ganteng itu.
"Haha... nggak, Matt. Mas percaya kok. Mas cuma kaget. Mas nggak menyangka saja, hari yang Mas paling nanti-nantikan secepat ini datangnya. Yaitu saat kamu mau menerima cinta Mas. Rasanya baru tadi siang deh, kamu menolak Mas," kilah Yudha segera. Dia nggak ingin Matt jadi berpikiran yang bukan-bukan menafsirkan keheningannya barusan.
Yudha merasa sebaiknya dia membuang jauh sejenak kekhawatirannya. Karena tentu hal itu akan merusak suasana yang seharusnya membuatnya sangat bahagia. Murid yang dia sayangi sudah di depan mata untuk bisa segera direngkuhnya. Yudha tentu nggak mau melewatkan kesempatan berharga itu. Kata orang mubazir namanya.
"Mas..."
"Ya?"
"Let's do it!"
Matt lantas mendaratkan kembali bibirnya pada permukaan bibir Yudha. Namun kali ini Yudha langsung membalasnya. Mereka berciuman penuh perasaan. Bibir mereka saling melumat lembut satu sama lain.
Matt memejamkan kedua matanya saat kedua tangan Yudha menangkup pipinya. Dia terbuai sambil menikmati permainan bibir Yudha yang memagut bibirnya memutar pelan. Dia nggak menyangka ciuman pertamanya akan seindah itu.
Matt menghayati betul setiap lumatan yang dia berikan pada bibir gurunya itu. Setiap inci bibir Yudha sungguh membuat jiwa Matt melayang-layang. Bahkan dia merasa seperti sebuah mimpi jadi kenyataan. Ciuman ala Perancis sesama pria yang biasanya hanya bisa dia tonton dari bokep gay favoritnya, kini menjadi kenyataan dengan dirinya yang berperan sebagai aktor utama.
Matt mulai mendesah nikmat, menahan gairah yang perlahan naik dan mengambil alih pikirannya. Otaknya jadi kotor gegara adegan bokep yang mulai menari-menari dalam benaknya. Dia mulai susah mengontrol nafsunya. Tempo ciumannya menjadi cepat dan berubah liar. Nafasnya mulai terengah-engah. Bahaya! Matt jadi lupa daratan.
Kedua Tangan Matt langsung mencengkeram kasar kemeja Yudha. Lumatan bibirnya semakin panas dan penuh nafsu. Setali tiga uang dengan Yudha. Libidonya juga mulai terbakar. Ciumannya pun semakin mengganas sambil mulai memainkan lidahnya.
Matt mendengus saat lidah Yudha menerobos masuk ke dalam rongga mulutnya. Badannya sedikit bergetar menahan sensasi geli dan nikmat saat lidah Yudha menggelitik langit-langit mulutnya. Dia pun mulai menghisap-hisap bibir Yudha bagian bawah yang membuat gurunya itu mendesah nikmat.
Penis Matt mulai menggeliat, membesar dan mengeras di balik sempaknya. Membuat nafsu pemuda itu semakin menggebu nggak terkontrol. Dia mulai main kasar dan nggak sabaran.
Krakk.....
Terlihat beberapa butir kancing mencelat dari kemeja Yudha lalu berjatuhan di atas lantai. Dada bidang Yudha yang well build dan sexy itu kini terekspos di hadapan Matt meski sedikit tertutup oleh kain nggak berkancing dibagian pinggirnya.
Yudha menghentikan ciumannya sambil menatap heran muridnya itu. "Matt... ini?" Yudha tentu saja nggak marah. Dia hanya nggak menyangka muridnya itu berevolusi jadi serigala buas yang siap menerkamnya hidup-hidup.
"Sudah, Mas diam saja. Jangan banyak bacot. Nanti saya ganti kemeja Mas itu. Sekarang biarkan saya menikmati tubuh Mas. Ini adalah hukuman buat Mas yang sudah berani menggoda saya di ruang ganti waktu itu!"
"Ow, jadi kamu masih dendam sama Mas? Ok, Mas pasrah. Mas nggak nyangka kamu benar-benar nakal, Matt!"
Baru saja Yudha mengatupkan mulutnya, Matt sudah langsung menyeruduk tubuh kekar gurunya itu hingga jatuh terlentang di atas sofa, ditindihnya.
Dia lantas segera menciumi dada kekar Yudha dengan liar dan ganas, sambil sesekali menjilatnya. Nafas Matt semakin memburu, menyapu setiap jengkal kulit dada gurunya itu. Aroma cologne musk bercampur keringat yang menguar dari tubuh Yudha, sungguh membuat Matt makin mabuk kepayang.
Puas menggauli dadanya, Matt segera beralih menuju tonjolan imut berwarna coklat terang yang menggiurkan di tengah bongkahan daging yang membusung itu. Dengan rakus, Matt langsung mengulum puting Yudha sambil sesekali menghisapnya kuat hingga guru muda itu meracau dan mendesis keenakan.
Matt segera menurunkan salah satu tangannya menuju ke arah bongkahan yang semakin membesar di tengah selangkangan Yudha. Jemari tangan Matt mulai mengelus dan menggesek pelan penis gurunya yang masih terbungkus celana kain itu, sambil lidahnya terus menjilati puting Yudha bergantian kiri dan kanan.
Tubuh guru muda itu tampak menggelinjang sambil terus meracau dan mendesah nikmat, merasakan sensasi rangsangan dari dua arah. Putingnya mengerut dan penisnya menegang.
"Aww... sakit, Matt!" pekik Yudha tiba-tiba disela desahannya karena Matt menggigit salah satu nipplenya.
"Ups... sorry, Mas. Saya gemas melihat pentil punya Mas. Mengingatkan saya ketika masih menyusu dalam gendongan mama, saat masih kecil dulu. Seingat saya juga, mama nggak pernah protes waktu saya gigit pentilnya dulu. Dia tetap saja menyodorkan susunya ke saya. Jadi saya pikir Mas bakal suka hehe..."
"Ampun, Matt. Tolong jangan digigit yah, sayang. Diemut atau disedot saja boleh... ekh... Matt... akh... enak..."
Yudha belum sempat menyelesaikan kalimatnya tapi Matt sudah kembali melahap putingnya sembari jemari tangan pemuda itu meremas-remas pelan batang kemaluannya hingga menegang sempurna.
Tersadar jika penis gurunya sudah memaksa ingin keluar, kedua tangan Matt segera membuka pengait celana kerja milik Yudha. Matt lantas mengangsurkan tubuhnya kebawah, melepas tindihannya pada tubuh Yudha. Dengan cekatan dia langsung memelorot kain panjang itu hingga tersisa boxer berwarna putih yang masih menempel di pinggang Yudha. Tinggal satu lembar lagi yang menghalangi Matt untuk bisa melahap penis pertama dalam hidupnya.
Matt langsung membenamkan wajahnya pada bagian tengah selangkangan Yudha. Dia mengendusi batang kejantanan gurunya itu sambil mulai menciuminya penuh nafsu. Lidahnya pun tergoda untuk menjilati setiap inci rudal yang sudah menegang itu, hingga mengecap jelas pada permukaan boxer yang basah oleh air liurnya.
Lenguhan dan desah nikmat nggak terelakkan terlontar dari mulut Yudha. Rasa cinta yang besar membuat segala sesuatu yang dilakukan pemuda itu pada tubuhnya terasa begitu menggairahkan, meski hanya sebuah service amatiran dari seorang yang baru pertama kali melakukannya.
Termotivasi oleh lenguhan nikmat Yudha, Matt lantas menarik kebawah boxer milik gurunya itu hingga sebuah benda mencuat dengan tegak di hadapannya, sangat mengundang birahi untuk segera melahapnya.
Tangan Matt langsung menggenggam erat penis Yudha sambil mulai mengocoknya. Semakin lama semakin kasar hingga Yudha mengerang sambil tubuhnya sesekali mengejang. "Nghh... Ow... shit, Matt! Nghh... ugh..."
Matt lantas mengecup kepala penis itu sambil kemudian membuka mulut lebar-lebar untuk segera memasukan ke dalam mulutnya.
"Hai... kontol, aku datang!" Matt bergumam semangat dalam hati sambil memejamkan kedua matanya.
Hap...!! Matt mengecap angin. Nggak ada penis di dalam mulutnya. Sial, Yudha ternyata sudah menarik tubuhnya menjauh hingga batang kemaluannya terlepas dari genggaman tangan Matt.
Yudha tampak beranjak dari atas sofa dan berangsur ke bawah, merangkak dengan cepat di atas lantai untuk mendekati onggokan celana kerjanya yang mengeluarkan bunyi berisik. Rupanya ada sebuah panggilan masuk di ponselnya yang terletak di dalam salah satu sakunya. Kedua mata Yudha terbelalak saat mendapati sebuah nama yang muncul di layar gadget miliknya itu. Dia langsung bangkit berdiri sambil berjalan sedikit menjauh, membelakangi Matt.
"Haloo... ada apa, yang?" bisik Yudha sangat pelan saat ponsel itu sudah menempel pada telinganya. Dia nggak mau sampai Matt mendengar percakapannya.
Sementara Matt masih dalam posisinya meringkuk di atas sofa. Dia menjadi gemas sampai menggigit kulit sofa sebab acara menikmati burung gurunya itu batal. Lalu dia segera menarik tubuhnya sambil kemudian meletakkan pantatnya di atas sofa.
Matt kini terduduk sambil melayangkan pandangannya ke arah siluet tubuh Yudha yang tampak terpahat sempurna meski dari belakang. Otot-otot tampak menghiasi permukaan punggung Yudha yang lebar. Bongkahan bubble buttnya juga terlihat menggiurkan, sangat menggoda untuk diremas atau diceples -- spanking. Meski Matt seorang bot tetap saja pantat seorang pria bisa membuatnya terangsang. Terlebih itu adalah milik Yudha, orang yang paling dekat dengannya saat ini.
Matt segera membuka kait celana seragamnya hendak mengeluarkan penisnya yang nggak kunjung tidur sedari tadi. Sepertinya dia sudah nggak kuat menahan rasa ngilu dan sesak yang ditimbulkan dari tekanan adik kecilnya itu pada kain celananya. Kemudian Matt memelorotkan sedikit sempaknya sambil menarik keluar burungnya yang sudah menegang dengan sempurna.
Tangan kirinya segera membuka beberapa kancing seragamnya agar bisa menelusup masuk melalui celahnya untuk meraih putingnya. Matt memilintir pelan putingnya sambil tangan kanannya mulai mengocok-ngocok batang kemaluannya itu hingga melelehkan precum pada bibir atasnya. Dia sangat menikmati pemandangan yang terpampang di hadapannya saat ini.
Saat Matt sedang asyik mengerjai tubuhnya sendiri, mendadak Yudha membalikkan badannya ke arah Matt. Kelihatannya guru muda itu sudah mengakhiri pembicaraan di ponselnya. Dia tampak tersenyum sambil menggelengkan kepala saat melihat Matt yang semakin liar mengocok penisnya karena mendapat pergantian pemandangan yang lebih sexy dari sebelumnya. Sayangnya penis Yudha terlihat sudah dalam kondisi melemas hendak tertidur.
"Maaf Matt, sepertinya kamu bisa melanjutkan aksimu itu nanti di rumah. Mas harus segera mengantarmu kembali ke sekolah untuk mengambil mobilmu. Mas ada urusan mendadak yang nggak bisa ditinggalkan."
"Mas jangan becanda donk! Tanggung nih, Mas! Atau Mas bantuin deh biar cepat keluar," ucap Matt sambil memasang wajah mesum.
"Mas serius, Matt. Mas janji lain kali pasti Mas ladeni berapa ronde pun yang kamu minta. Tapi untuk sekarang Mas sungguh nggak bisa. Mas benar-benar minta maaf karena Mas harus segera pergi menemui pemilik yayasan sekolah. Ada keperluan mendesak yang harus segera dirundingkan dengan Mas," tukas Yudha sambil memungut kemeja dan celananya yang berserakan di atas lantai.
"Ok... Ok... saya mengerti. Memang urusan pekerjaan harus diutamakan. Lagian buat apa mengurusi keinginan seorang murid yang nggak berarti apa-apa buat Mas."
Matt terlihat kecewa sambil segera memasukkan kembali burungnya ke dalam sangkar dan mengancingkan kembali seragamnya. Lalu dia segera bangkit berdiri sambil kemudian berjalan menuju ke arah pintu keluar flat itu.
"Matt, jangan marah sama Mas, please. Mas juga nggak ingin semua ini terjadi. Kalau bisa, Mas juga ingin menghabiskan waktu bersamamu. Tapi posisi Mas cuma seorang guru yang harus menurut pada atasan."
"Iya Mas, it's Ok. Santai saja! Saya nggak marah sama Mas kok. Jadi Mas nggak usah khawatir," ujar Matt enteng dari posisinya berdiri di depan pintu, sambil memperhatikan Yudha yang sudah mengenakan kembali celananya.
Lain di mulut lain di hati. Itulah peribahasa yang tepat buat menggambarkan perasaan Matt saat ini. Hatinya sedang mendongkol karena Yudha harus segera pergi. Dia merasa jengkel dan geram karena nggak jadi bercinta dengan gurunya itu. Sepertinya Matt masih tetap harus menyandang status perawan kali ini.
"Shit! Sampai kapan aku harus terus perawan seperti ini? Aku sudah lewat tujuh belas tahun. Mengapa ada saja halangan yang merintangi? Mulai dari meninggalnya Ben dan sekarang Mas Yudha yang harus pergi mendadak di tengah-tengah pergumulan kami. Kampret! Apa perlu aku ngentot dengan siapa saja yang mau denganku tanpa main perasaan? Tai... susah amat jadi orang benar!"
TBC
Hai everybodeh, maaf yah kalau updatenya lama karena lagi repot banget sama kerjaan. Kayak ada yang nungguin cerita ini saja huhuhu...
Jadi kalau vomentnya banyak buat part ini nanti aku usahain deh curi-curi waktu buat melanjutkan cerita ini. *ngarep.com
Moga-moga kalian masih suka dengan cerita ini.
Thank You very much and see you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top