1 : It's me Matt
Panggil dia Matt karena dia nggak mau dipanggil Dave dari David. Terkesan so homo baginya. Mengingatkan pada presenter infotainment yang melambai itu. Dave H******
Meski gay, dia punya prinsip. Dia harus bersikap memenuhi kodratnya sebagai seorang pria sejati. No sissy, no melambai dan no ngondek. Baginya nggak ada yang namanya setengah-setengah. Hanya pria dan wanita, titik. Selebihnya, mahkluk jadi-jadian dan dia membencinya.
Bukan tanpa alasan Matt membenci hal yang berbau kebencong-bencongan. Atribut itu pernah melekat pada dirinya ketika dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Nalurinya sebagai bot sempat menyesatkannya.
Pada awalnya semua baik-baik saja dan terasa menyenangkan baginya. Teman-teman sekelasnya menyukai sifat kemayu dan luwesnya itu. Seorang bot memang pandai bergaul. Tutur kata yang melambai-lambai dan cenderung lebay, sangat menghibur dan menyenangkan hati siapa saja yang mendengarnya. Terlebih mereka masih kecil dan polos. Belum bisa mengerti apa yang namanya ngondek ataupun bencong.
Tapi semua berubah saat Matt duduk di kelas 3 SD. Kengondekannya berbuah bully-an dari kakak kelasnya, Nick siswa kelas 5.
Tubuh Nick yang lebih besar dan tinggi dari Matt memudahkannya untuk menganiaya mahkluk imut itu. Bukan hanya ejekan yang menusuk hati Matt, tapi dia juga dilecehkan secara fisik.
Pantat Matt sering diremas Nick karena menurutnya kelewat montok seperti pantat cewek. Kepalanya sering ditoyor saat Nick mengoloknya "bencong". Air liur Nick pun nggak jarang muncrat, membasahi wajah Matt saat ejekan itu terlontar dari mulut Nick yang berjarak nggak jauh dari wajahnya. Untungnya wajah Matt tetap mulus dan nggak panu-an akibat ludah yang berbisa itu.
Matt sering tiba-tiba nyungsep karena kesandung ketika Nick lewat. Bocah itu sengaja menjegal kaki Matt yang lemah ketika berpapasan dan sukses membuatnya jatuh terjungkal.
Nick juga sering membuat Matt menangis dengan cara menguncinya di kamar mandi sekolah. Tapi herannya, selalu ada yang membukakan pintu kamar mandi saat dia hampir pingsan karena kehabisan air mata akibat menangis ketakutan. Matt nggak pernah tahu siapa orangnya. Dia ingin berterima kasih tapi nggak pernah punya kesempatan bertemu.
Seringkali Matt harus menahan lapar karena uang sakunya habis dipalak Nick dan kedua anteknya. Matt juga pernah beberapa kali mengompol di celana, karena sanking takutnya dan kegelian saat Nick dengan jahilnya memasukkan seekor cicak di bagian belakang seragamnya ketika pulang sekolah.
Matt selalu menjadi bulan-bulanan kakak kelasnya itu dan kedua temannya. Matt ingin melapor pada guru atau pada kedua orang tuanya, namun ancaman Nick yang akan menghajarnya sampai babak belur selalu berhasil menggagalkan niatnya. Matt terlalu pengecut dan penakut.
Dia memilih untuk diam dan nggak ingin siapapun mengetahui kelemahannya. Dia menerima semua perlakuan Nick dengan pasrah. Perlahan tapi pasti, karakter Matt mulai mengeras ditempa olokan dan ejekan yang menyakitkan hati serta pelecehan fisik oleh kakak kelasnya itu. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa kelak dia akan menjadi sosok yang lebih kuat dan tangguh.
Matt juga mulai menjauhi hal-hal yang berbau bencong sambil mulai membenci karena tersimpan kenangan pahit di dalamnya.
Beruntung, Matt harus meninggalkan kota kelahirannya itu dan pindah ke Jakarta saat dia lulus dari sekolah dasar. Papanya mendapat bisnis besar di ibukota. Matt senang karena dia nggak perlu khawatir bertemu lagi dengan kakak kelasnya yang dibencinya setengah mati itu di jenjang pendidikan SMP. Dia nggak perlu takut Nick mempengaruhi murid lain untuk membully-nya jika mereka berada di satu sekolahan lagi. Mereka kini sudah berlainan kota.
Matt memulai menata lembaran hidupnya yang baru di kota metropolitan. Dia mengubur dalam-dalam masa kecilnya yang kelam dan penuh penghinaan. Dia ingin menjadi Matt yang baru. Seorang pria yang gagah perkasa.
Matt jadi suka berolah raga terutama yang berbau kekerasan dan adu jotos khas pria. Dia mengambil les taekwondo dan boxing diluar jam belajarnya. Sedang untuk kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, dia memilih basket dan futsal.
Dia juga menemukan cinta pertamanya saat duduk di bangku kelas VIII SMP. Dia jatuh cinta pada Ben, sahabat baiknya sendiri seperti kebanyakan para gay pada umumnya.
Matt nggak yakin bila teman sekelas yang duduk semeja dengannya itu gay, apalagi menyukainya. Dia memutuskan untuk diam-diam mencintai sahabatnya itu secara sepihak. Tentu saja hal itu nggak diketahui dan disadari oleh Ben karena sifat Matt yang sudah nggak gemulai lagi seperti cowok pada umumnya bahkan terkesan lebih tegas. Yang Ben tahu, Matt adalah sahabat terbaik yang pernah dia punya.
Sayangnya mereka harus berpisah saat keduanya lulus dari bangku SMP. Ben harus pindah ke Surabaya mengikuti keluarganya. Papanya yang seorang PNS dimutasi ke kota kelahiran Matt itu.
Di tahun pertama pendidikan SMAnya, Matt masih sering mengontak Ben lewat telpon selulernya. Dia rindu pada sahabatnya itu. Dia rindu masa kebersamaan mereka.
Sama halnya dengan Ben. Dia juga merindukan kehadiran Matt disisinya. Ben baru tersadar jika dia butuh Matt ketika jarak memisahkan mereka. Dia juga sadar bila dia mulai menyukai cowok itu, tapi Ben nggak berani berterus terang karena takut Matt berpikiran aneh tentang dirinya. Ben berpikir Matt terlalu gahar dan maskulin. Dia mengira sahabatnya itu pasti seorang straight sejati. Ben nggak ingin persahabatannya dengan Matt hancur gegara perasaan terlarangnya itu. Dia nggak ingin Matt menjauhinya. Ben lebih memilih untuk diam-diam mencintai dari jauh sahabat terbaiknya itu.
Tapi Ben hanyalah seorang manusia biasa yang memiliki batas kesabaran. Akhirnya dia menyerah. Ben memutuskan untuk menyatakan perasaan terpendamnya yang semakin lama semakin membebani hidupnya. Dia ingin jujur pada sahabat baiknya itu. Dia ingin mengangkat ganjalan itu dari hatinya meski berujung pada penolakan. Tapi setidaknya dia lega sudah mengutarakan isi hatinya pada Matt.
Sialnya, yang namanya HP tiba-tiba nge-hang dan error di saat kritis, ternyata bukan hanya terjadi di sinetron-sinetron saja. Matt juga mengalaminya ketika dia sedang asyik ber-BBM-an dengan Ben.
Benny Sujatmiko
(R) Matt ada hal serius yang mau kuberitahu padamu. Tapi janji jangan marah ya.
Matthew Prakoso:
(R) Apa itu? Kenapa aku harus marah?
Benny Sujatmiko:
(R) Pokoknya janji dulu jangan marah. Aku sudah nggak kuat memendam ini terlalu lama. Aku tersiksa.
Matthew Prakoso:
(R) Lebay amat! Apaan? Jangan bikin penasaran donk! Iya, aku janji nggak bakalan marah. Don't worry, you are the best friend that I ever had after all.
Benny Sujatmiko:
(R) Thanks, you are also the best friend in my life. Hmm...susah mau ngetiknya Matt. Aku malu.
Matthew Prakoso:
(R) Kenapa harus malu Ben?
Benny Sujatmiko:
(R) Karena aku menyukaimu Matt T_T Sorry.
Matthew Prakoso:
(R) Hah? Kamu nggak lagi mabuk kan Ben?
Benny Sujatmiko:
(R) Please, jangan marah. Aku nggak berharap lebih, bisa menjadi sahabatmu saja aku sudah puas. Tapi aku harus mengatakan ini biar hatiku lega. Kamu jangan menjauhiku ya.
Matthew Prakoso:
(D) Serius kamu Ben?
Benny Sujatmiko is typing...
Selesai. Hanya sampai disitu percakapan mereka yang terpampang di layar HP Matt sebelum nge-hang. Hati Matt berbunga.
Tangan Matt mulai mengibas-ngibaskan gadget itu sambil berharap penyakitnya sembuh. Diketokin ke permukaan meja, ditiup, dibanting ke atas kasur, semua sudah dilakukan Matt, tapi tetap saja HP itu mogok.
Akhirnya dengan terpaksa dia mencabut baterainya sebentar lalu kemudian memasangnya lagi.
Gelap. Hanya layar berwarna hitam saat Matt menekan tombol power kecil di bagian sisi kanan benda tersebut. Kini HP itu bahkan nggak menyala sama sekali. Dengan nggak sabaran, Matt mulai memukul-mukulkan HP itu ke permukaan telapak tangannya. Semakin lama semakin keras. Tapi tetap saja HP itu nggak bereaksi.
"HP taiii... Sialann!!!" Umpat Matt menggeram jengkel sambil membanting keras HP itu jatuh ke atas lantai hingga casing, baterai dan spare part lainnya berserakan, tercecer di atas lantai.
Matt nggak peduli nasib HPnya yang hancur nggak berbentuk itu. Dia masih sangat jengkel karena nggak sempat mengutarakan isi hatinya yang juga menyukai Ben. Dia sekarang malah takut jika Ben salah paham karena tiba-tiba HPnya mati sesaat setelah cowok itu menembaknya. Dia nggak mau Ben menganggap dia menolak cintanya. Dia juga sangat menyukai Ben.
Tapi Matt terlalu ceroboh, dia nggak ngesave no telpon Ben di otaknya. Yang Matt tahu semua kontak Ben ada di HPnya itu. Matt jadi lemas dan lesu seperti kekurangan gizi. Badannya yang mulai tumbuh kekar akibat gila olah raganya itu membuat lututnya terasa berat menopangnya.
Dengan kondisi super galau, Matt terduduk di atas pinggiran ranjangnya meratapi nasib. Dia mulai berpikir mungkin Ben bukan jodohnya, hingga hal sekonyol ini pun bisa menjadi penghalang hubungan mereka.
Malam itu merupakan terakhir kalinya Matt berkomunikasi dengan Ben. Cowok itu nggak pernah mengontak Matt lagi meski keesokan harinya Matt langsung membeli sebuah HP baru. Matt selalu menunggu sahabatnya itu menghubunginya namun hal itu nggak pernah terjadi.
Entah Ben marah atau malu karena merasa ditolak, yang pasti dia nggak pernah mengontak sahabat terbaiknya itu lagi. Matt jadi kehilangan jejak cinta pertamanya itu.
Perasaan bersalah mulai membayangi Matt yang membuat dia semakin menggilai olah raga untuk mengalihkan keresahan di hatinya. Dia juga mulai menjadi pecandu nikotin. Dia sering sembunyi-sembunyi merokok di sela-sela jam sekolahnya.
Matt mulai terjerumus arus kehidupan remaja berandalan untuk mengisi kekosongan hatinya karena ditinggal pergi pemiliknya, Ben. Dia sering ikut tawuran dan mulai menjadi sosok yang disegani lawannya karena ternyata Matt jago berantem. Sendirian, dia bisa mengalahkan tiga orang sekaligus dengan tangan kosong. Ada kepuasan tersendiri pengganti kekosongan di hatinya ketika berhasil menghajar lawannya sampai babak belur.
Saat Matt menginjak kelas XI SMA, dia juga sering membully dan memalak adik kelasnya yang terlihat melambai ceria. Dia mulai menjadi monster yang mengerikan bagi kaum gay, bencong dan sejenisnya.
Tapi, takdir sepertinya masih sayang Matt. Dia nggak mau Matt semakin tumbuh menjadi pemuda bermasalah dan bermasa depan suram. Papanya mendapat bisnis yang sangat menggiurkan di Surabaya yang membuat keluarganya mendadak pindah lagi.
Matt harus ikut pindah ke kota kelahirannya itu. Kedua orang tuanya ingin mengawasi pertumbuhan anaknya yang semakin liar itu. Bahkan nggak jarang mereka dipanggil ke sekolah akibat ulah brutal Matt membully murid lainnya.
Dibantu teman berandalnya, Matt pernah menelanjangi salah satu teman sekelasnya yang kelewat ngondek di depan umum, yang membuat siswa itu menangis histeris. Bahkan dia sampai takut untuk datang lagi ke sekolah.
Matt juga pernah beberapa kali mengunci siswa yang gemulai dan melambai di kamar mandi, seperti yang pernah dia alami dulu. Bedanya, Matt nggak pernah punya incaran khusus, hanya semua siswa yang terlihat lemah dan melambai. Nggak seperti Nick yang selalu mengincar dirinya sebagai objek bully-an.
Kali ini orang tuanya nggak mau kecolongan dengan memindahkan Matt ke sekolah SMA yang terkenal disiplin di Surabaya. Bahkan mereka kenal dengan kepala sekolahnya dan memintanya untuk membantu mengawasi anaknya di sekolah itu.
Mau nggak mau, Matt harus kembali ke kota asalnya itu. Kota yang penuh kenangan pahit masa kecilnya. Kota yang ingin dia lupakan.
Tapi di sisi lain, timbul secercah harapan dihatinya untuk menemukan cinta pertamanya di sana. Dia ingin mencari sahabat baiknya itu yang sudah lebih dulu pindah ke kota itu. Dia ingin meluruskan kesalah pahaman yang pernah terjadi di antara mereka. Sampai saat ini pun, Matt masih sangat mencintai Ben sahabatnya itu.
TBC
Sorry kalau ceritanya abal-abal dan idenya cetek. Aku cuma ingin menulis tentang bot yang manly dan kekar seperti imajinasiku hahaha...
Voment yah kalau merasa berminat untuk cerita ini dilanjutkan. Aku kurang PD sebenarnya untuk menulis karena kurang ahli dan bahasanya belepotan + banyak typo. Ancur deh pokoknya T_T
Moga-moga masih ada yang berkenan membacanya.
Thank you.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top