XVII. Tuyul Thriller dan Pasien Baru

Selasa, 23 Januari 2018
-Adira

Kalau memang bisa dikatai tuyul, anak itu memang demikian. Tubuhnya masih merah, sepasang tangannya bahkan hanya seukuran batang eskrim, dan entah cuma perasaanku saja atau memang kepala anak itu semakin lama semakin membesar? Hidrosefalus, kalau tidak salah ingat. Kepala membengkak karena cairan yang bertumpuk di dalam otak.

Semakin lama kutelaah anatominya, kusadari anak berperawakan kurcaci itu menderita heterotaxy dengan kondisi yang sangat mengenaskan-aku jadi merasa bersalah sudah menginjak dia di undakan parkir.

Semua perasaan iba itu lenyap dalam sekejap tatkala wajah minimalisnya bergerak tak lazim. Dari dalam ceruk tengah kepala besar itu, mulutnya kian melebar merobek paksa pipi besar tuyul itu.

Insting mengatakan kalau sekarang adalah waktu yang paling tepat untuk kembali olahraga malam, pergi jauh-jauh sebelum tentakel yang sama keluar dari dalam tuyul, seperti gadis barusan. Baru selangkah kuberdiri, sosok kecil itu lebih dulu memekik. Suaranya melengking, meski tak semenyakitkan suara ultrasonik tadi, tetap saja membuatku lari tunggang-langgang buru-buru binti kalang kabut.

Tak lagi kuindahkan rambut yang semakin lepek dibasahi darah dari telinga. Sekop dan sabit kusambar, menjadi teman singkat seperjalanan menyusuri lorong dengan banyak hiasan bercak merah estetik. Kaki telanjang sudah puas merasakan dingin, sekarang peluh bercucuran sedingin ubin.

Tuyul itu-jahat sekali kukatai dia demikian-menyeret tubuhnya. Bukan, lebih tepat kalau sesuatu yang keluar dari kepala yang seakan menyeret makhluk tanpa rambut itu terseok-seok. Jarak kami semakin terkikis, aku berbelok tajam di pertigaan berikutnya merasakan sensasi dingin menusuk lambungku kala monster di belakang mengeluarkan suara, entah campuran buang angin atau bersendawa.

Sungguh, tentakel-tentakel itu mengerikan! Aku tak sanggup melihatnya, ini seperti zombie di game Resident Evil, tetapi versi lebih nyata dan benar-benar dikejar.

Paha serta betis mulai pegal, terlalu banyak lari. Napas sudah diujung, dadaku sesak nyaris tersedak ludah sendiri. Di depan, ruangan besar menunggu. Bahaya! Bisa-bisa pasien lain join mengejar!

Aku tak punya pilihan lain selain berhenti dan menghadapinya. Sekop di tangan kiriku berpindah tempat, sejurus kemudian tubuh ini sudah berbalik menantang makhluk setinggi paha. Tentakel panjangnya sigap berusaha menangkap pergelangan tangan dan kakiku, memaksa diri ini melompat mundur seketika.

Dua dari enam tentakel menjulur ke depan, tangan kiriku mengayunkan sabit kuat-kuat, memotongnya singkat. Makhluk itu menggelepar marah, kesakitan. Tak kusia-siakan kesempatan untuk mendorongnya dengan ujung sekop. Tentakel itu meronta, dua lagi hendak menghentikanku, tetapi tangan kiri ini lebih cepat-

Sial! Itu hanya pengalih perhatian! Dua tentakel lainnya menyeret kakiku menjauh, membuat tubuh ini limbung kehilangan keseimbangan dan jatuh berdebum di lantai, nyaris berpelukan dengan dua potongan tentakel sebelumnya.

Gelapnya sekitar membuat penglihatanku kurang fokus, para tentakel mulai membelit bagian bawah tubuhku dari betis hingga tungkai, merambat lagi hingga setengah pahaku nyaris mati rasa. Di mana sabitku?! Terlalu gelap di sini untuk melihat daripada lorong sebelumnya.

"CUMBANA!"

Tanganku terulur, meraba-raba ubin mencari senjata yang jatuh. Itu dia sabitku! Namun, terlambat. Tuyul itu secara sukarela melepaskan belitannya, berlari riang ke arah ruangan besar di depan.

Panggilan itu, gadis yang menyerukan kata cumbana adalah kode untuk mereka semua berkumpul?!

Aku bangkit, tak akan membiarkan kepala tentakel itu menemui teman-temannya. Sekali lagi hampir terpeleset cairan merah-aku yakin berwarna merah meski tak melihat warnanya begitu jelas-, kususul makhluk itu berlari kecil. Jarak kami semakin dekat, kuayunkan sabit dengan kedua tangan kuat-kuat. Ya Tuhan maafkan diriku!

Sekali pukul, ujung sabit menghantam telak tengkoraknya, menelan hampir tiga perempat besi karatan itu. Darah meleber dari puncak kepala sebesar bola basket, tentakel berhenti menggelepar, sebelum akhirnya berbalik padaku.

Kok belum mati?!

Terpaksa aku memutar arah, dan memang dia mengejar balik! Aduh kenapa jadi begini?! Meski langkahku lebih lebar dan cepat, tetap saja mengerikan dikejar sosok berbentuk aneh!

Tanpa sadar, kakiku menendang sebuah tongkat panjang. Sekop! Demi apapun, aku rela berbalik dan mengambilnya. Monster itu semakin mendekat, dua tentakel hampir menggapaiku kalau saja sekop ini tak lebih dulu mendorong masuk sabit di atas kepalanya lebih dalam.

Sosok itu jejeritan, bergerak-gerak aneh berusaha melepaskan gagang kayu dari sabit. Dari ujung lorong, sebuah kepala mengintip dengan rambut menjuntai, hanya sebuah siluet karena sekitarku sangat minim cahaya.

Seandainya cerita ini bergenre horor, mungkin itu adalah suster ngesot-mengingat tempat kakiku berpijak saat ini adalah bekas rumah sakit, terbengkalai pula. Namun, yang lebih kutakutkan sekarang adalah makhluk nyata yang mampu menyentuh bahkan membunuhku kalau tertangkap.

Jadi aku berlari, kembali melalui lorong sebelumnya tergesa-gesa begitu perasaan tidak enak mulai muncul. Ditambah, aku tak bisa membiarkan Altair menunggu di lantai dua sendirian, kami tidak seharusnya berpisah terlalu lama.

Tepak langkah menggema di belakangku, mereka mengejar!

Aduh! Sedari tadi bahkan tak ada tangga yang terlihat. Rasaku hampir seluruh gedung bagian belakang taman mini sudah habis kujelajahi. Lima menit terakhir hanya kuhabiskan untuk main kejar-kejaran dan sepertinya sudah cukup untuk memberiku cap sebagai pembunuh.

Berpikir, aku harus berpikir di mana terdapat ... tangga! Ya, emergency exit memiliki tangga! Kenapa baru sekarang kepikirkan?!

Kulangkahkan kaki ini lebar-lebar, berusaha lolos dari kejaran entah makhluk apa di belakang, sambil terus melihat ke depan. Tidak ada yang tahu kalau sewaktu-waktu ada pasien sempoyongan dan bisa menggigit kapan saja. Tiba di tikungan, telapak kaki telanjangku nyaris terpeleset genangan darah untuk keberapa kalinya-aku lupa, sangking seringnya.

Tunggu.

Ke mana perginya jasad wanita yang lehernya kubedah dengan sekop kebun? Aku yakin sekali sudah menikam pasien itu di sini, tidak mungkin salah ingat! Tak ada waktu untuk berpikir hal yang tidak perlu. Toh, selama dia mati, bukan masalah besar bagi kami.

Penglihatanku mulai beradaptasi, cahaya sedikit lebih besar intensitasnya di sini lantaran beberapa koran masih mampu ditembus sinar bulan dari luar kaca jendela.

Di mana, sih, pintu emergency exit-nya?! Kalau di lantai dua dan tiga pintu itu berada di bagian belakang, itu artinya aku harus melewati taman mini untuk mencapainya. Itu terlalu jauh dari tempatku berada saat ini, melewati kantin lagi. Sementara Altair entah di mana, langkahku terus-terusan melarikan diri dari cewek gila yang mau jejeritan memanggil kawan-kawannya.

Napasku hampir sampai di ujung tenggorokan, tetapi kaki ini terus memaksakan kehendak mengingat apa yang ada di belakang sana. Aku harus berhenti sejenak, tapi di mana? Padahal betis ini sudah lelah luar biasa, berdenyut menyingsing panas dari dalam. Kurang cairan, kerongkonganku kering, kepala pening.

Sinar remang semakin terlihat terang, menyambutku keluar dari lorong gelap menuju taman mini. Udara berembus setelah peluh bercucuran deras di punggung dan pelipis, turut membentuk kumis air.

Pandanganku berpendar sejenak, celingukan dengan cepat menentukan ke mana harus diambil setelahnya. Sudah diputuskan, tetapi lebih dulu aku harus sembunyi!

Menyakiti diri sendiri dengan debaran jantung mungkin salah satu bakat terpendam dariku. Sepasang telinga di sisi kanan kiri wajah kerap kali mengeluarkan cairan hangat, menetes melalui leher hingga turun ke baju.

Di belakang bilik toilet, kusandarkan punggung sesaat sebelum merosot terduduk di ubin kering kamar mandi. Napas berangsur-angsur normal, memperbaiki detak jantung meski masih terdengar jelas di telinga. Kutemukan karet untuk mengikat rambut, menyeka gerah di tengkuk.

Kedua kelopak mata sudah terpejam, mendengarkan dengan seksama suara-suara samar yang mengerikan. Tadi itu aku beruntung, mampu mengecohnya di pertigaan lorong dan lekas masuk jalan panjang ke toilet.

Sekop masih setia, berdiri bisu di satu sisi dinding menjadi saksi adegan kejar-kejaran. Perlahan, keningku mengernyit merasakan nyeri di bagian dalam telinga, bersamaan dengan itu sepasang langkah kaki terdengar melalui depan pintu masuk toilet. Aku menahan napas, berdoa dalam hati semoga tidak ada yang masuk.

Semakin lama, suara itu semakin samar hingga akhirnya menghilang. Entah telingaku yang bermasalah atau dia benar-benar tak lagi ada di sini. Pukul berapa sekarang, tidak ada yang bisa memberitahuku.

Pintu emergency exit hanya tinggal beberapa langkah saja. Aku hanya perlu keluar dan berbelok dua kali untuk mencapai besi berwarna merah itu. Diam-diam, lambungku bergemuruh dari dalam, memberi sinyal sekaratnya tubuh.

Kubuka mataku buru-buru, merampas sekop dan berjalan cepat ke arah pintu, kemudian kembali mendengarkan sekitar. Bagus! Tidak ada yang ke sini, sekiranya akan aman beberapa menit ke depan!

Lorong sepi, menyisakan bercak-bercak darah yang sudah tampak biasa di mataku. Tak membuang waktu, lekas-lekas kususuri lorong gelap berhawa dingin. Indra penciumanku tak kunjung membaik, walau tak ada ingus, tetap saja bebauan tidak tercium sama sekali. Mungkin, kalau hidungku berfungsi dengan normal, aku akan muntah pelangi membau aroma anyir di sepanjang jalan.

Dari tempatku berjalan pelan, pintu merah sudah terlihat. Masalahnya sekarang adalah apa yang ada di dalamnya, aku harus sudah siap. Langkah semakin pelan, tiba di depan selapis besi itu dan berhenti.

Satu, hitungku dalam hati, menempelkan telapak kaki pada pintu. Dua ... tiga!

Kakiku mendorong paksa, berusaha tidak terlalu keras agar besi tak menghantam dinding di belakangnya dan menciptakan bunyi keras. Kosong. Tidak ada apa-apa di dalamnya. Tangga-tangga spiral lebih terang dari lorong akibat semen-semen putih dan ventilasi besar terbuka membuat sinar bulan semakin banyak masuk.

Celingukan sekali lagi, aku memutuskan cepat bergerak ke atas sebelum ada yang ke sini. Mudah saja naik tangga, selanjutnya jantungku kembali berdebar-debar takut hendak membuka pintu di lantai dua. Apa yang menunggu di depan sana, aku tidak tahu.

Lagi-lagi kupejamkan mata, mendengarkan dengan penuh penghayatan, berusaha mencari di mana sumber suara dan lokasinya. Setelah dipikir-pikir lagi, pasien di lantai ini hanya ada dua, menurut data Altair, mereka adalah Amanda—si gadis cyborg—dan satu lagi bernama Neil. Pasien lain dari basemant harusnya belum sampai di sini. Kalau iya, harusnya sudah ada bekas darah atau gores-gores tidak jelas yang mereka buat.

Tanganku menempel pada pintu dingin, menarik napas panjang sebelum mendorongnya perlahan tanpa menimbulkan bunyi. Bulu kudukku berdiri menyambut atmosfer berbeda dengan di bawah sana.

Rasanya aneh, kini karena aku percaya sendirian di lantai ini, ketakutanku berubah. Benak secara otomatis berpikir berlebihan, mengatakan bahwa setiap tempat terbengkalai memiliki penunggu gaib. Itu pula yang membuatku lari terbirit-birit ke arah bagian tengah bangunan yang bolong.

Ketimbang lantai satu, aku lebih jelas menghafal letak-letak ruangan di lantai dua. Altair sudah beberapa kali mengajakku melewati tempat ini. Dari atas, sekilas siluet gelap berlarian cepat menyusuri koridor terbuka taman mini.

Kini kepalaku berpikir, di mana harusnya teman semejaku itu berada. Dia pasti menungguku di satu tempat ... meja resepsionis, mungkin? Tidak ada salahnya ke sana, 'kan?

Sepanjang jalan menyusuri lorong, kepalaku tak berhenti berpikir, apakah memang ada dia di sana. Atau nanti yang kutemui adalah mayatnya saja, atau bangkainya sedang dieksekusi beberapa pasien bersama gigi-giginya.

Terus kutajamkan pendengaran, hanya itu satu-satunya indra yang mampu diandalkan sekarang. Dari ujung lorong, meja resepsionis sudah terlihat meski samar lantaran penerangan minim. Tidak ada tanda-tanda keberadaannya di sana.

Kuremas erat-erat sekop dalam genggaman, menggigit bibir bawah sambil terus berharap anak itu benar-benar menungguku dengan kondisi utuh

Semakin dekat, kusadari sebuah jambul mencuat dari balik meja kayu seperempat bola. Menyadari hal itu, cepat-cepat aku memutari meja dan mendapatinya tengah mengenggelamkan wajah di kedua lutut.

Tak mampu kutahan diriku untuk tidak menghambur ke pelukannya. Itu jelas Altair, kali ini aku tidak mungkin salah. Lelaki itu bergerak pelan, tersentak dengan gerakanku yang tiba-tiba. Daguku bersandar di ceruk lehernya, samar-samar mendengar sisa isak tangis lelaki itu.

Ah ... akhirnya! Ada perasaan lega luar biasa menyambut dadaku. Altair juga demikian, sepasang lengannya melingkar di punggungku, memperbaiki posisi kakinya agar lebih leluasa.

"Ini beneran Adira, 'kan?" tanyanya dengan suara bergetar. Oh astaga aku rindu suara bariton itu!

Sekop kucampakkan begitu saja, masih betah bertengger pada Altair dan hangat dirinya. "Hmm, menurutmu?"

Dia terkekeh, meraih kepalaku untuk menatapnya dengan benar. "Sori, tapi kita nggak bisa lama-lama di sini. Udah hampir tengah malam ... lagian kenapa lama banget?!" dengkusnya kesal, meninju pelan lenganku.

Kuceritakan semuanya dari awal, dan reaksinya hanya manggut-manggut mengiyakan. Altair yang sudah menyusun rencana, tersenyum aneh melihat sekop tergeletak di lantai, bertanya dari mana kudapatkan benda itu.

"Dari gudang. Aku nggak mau balik ke lantai satu buat nyari gituan lagi. Di bawah serem!" Kuletakkan pantatku duduk di sampingnya. "Udah lama nunggu?"

Altair menggeleng. "Abis om-om serem itu teriak-teriak memegangi kepala di kantin, dia mati karna telinganya berdarah dan ... idunno kepalanya ikutan kayak mau pecah gitu. Telingamu gimana?"

Aku hanya berdeham sebagai jawaban. Tubuh ini sungguhan lemas, seakan tak sanggup lagi berdiri. Pada akhirnya, kepalaku lunglai dan jatuh di bahu kiri Altair. Aku hanya ingin istirahat sejenak .... "Kamu sama sekali nggak jawab pertanyaanku."

Lelaki itu terdiam sejenak. "Enggak lama. Abis itu aku ketemu cewek gila ... dan ya ... itu—"

"Kamu bunuh dia?" sanggahku cepat, mendengarkan detak jantungnya semakin cepat.

"Nggak sengaja ... aku—" Dia berhenti sendiri, menyadari sesuatu. "Pokoknya, ada yang mau kukenalin nggak lama lagi. Aku ketemu dia di lantai ini."

Tunggu, bagaimana dia mendapat seseorang waras di sini?! Pendengaranku menangkap langkah kaki perlahan seseorang, tetapi tubuhku terlalu lemas untuk sekadar bangkit dan mengambil sekop dan berjaga-jaga.

"Namanya Neil," ujar Altair, membantuku mendongak untuk melihat siapa yang datang. "Pasien."

Sesungguhnya ini memalukan, dua orang lelaki memapahku dengan tampang celemotan darah memutari gedung besar. Sial memang, tubuh ini benar-benar lemas tak mampu digerakkan. Semua otot dalam badan rasanya lumpuh total, tetapi menyisakan nyeri berdenyut-denyut.

Altair memperkenalkan Neil padaku, pasien transplantasi kornea yang tiba di sini dua minggu lalu. Saat pertama kali dua cowok itu bertemu, Neil sampai terisak dan bersujud syukur karena masih ada orang yang mau menolongnya keluar dari sini. Laki-laki itu dua tahun lebih tua dari kami, duduk di bangku akhir SMA.

"Di mana kamu dapet Amanda?" Altair memulai sesi diskusi setelah Neil mengantar ke masuk kami ke salah satu ruangan tertutup, kamar operasi mungkin.

Diterangi cahaya flash ponsel, tiga orang remaja duduk melingkar di dekat meja operasi. Peralatan bedah berkilauan memantulkan kembali sinar-sinar silau flash.

Laki-laki berperawakan jangkung itu berdeham, membenarkan posisi baju toska yang dia kenakan. "Ruang gigi, aku ngunci dia di sana. Usai operasi kemaren, pita suaranya diambil dokter. Kurasa nggak bakal ada yang sadar kalo bocah itu nggak gedor-gedor pintu."

Untuk keberapa kalinya, aku kembali merasakan sesuatu yang ganjil sedang terjadi di sekitar kami. Memang tidak ada suara apapun di sekitar, artinya lantai ini memang aman kalau tidak dekat-dekat dengan dua tangga. Namun, masalahnya mungkin ada di ingatanku. Aku melupakan satu hal.

Selama sesi diskusi, bibirku lebih banyak terkunci. Paling-paling hanya mengangguk atau menimpali, Altair paling banyak menjelaskan, dia tahu banyak hal tentang gedung ini lebih dariku dan Neil.

Menurut informasi teman sebangkuku, gedung ini sebenarnya punya empat tangga dan satu lift, mengingat luasnya bangunan, tidak mungkin para dokter berdesakan berebut tangga dalam keadaan darurat. Yang pertama adalah di bagian depan, langsung di dekat meja resep. Kedua, letaknya sedikit tersembunyi di bagian Utara gedung, dekat jembatan penghubung. Terakhir, hanya berjarak beberapa meter dari kantin, berlawanan dengan arah yang kuambil saat kabur dari subjek 003.

"Serius mau bantai semua pasien?" desis Neil keberatan. Dilihat pandangannya saja, senior satu itu sudah menampakkan gelisah dan tatapan tak menyenangkan.

Namun, Altair mana pernah mempertimbangkan kondisi emosi lawan bicaranya. Yang terpenting bagi anak itu adalah mencapai ending bahagia yang bisa dinikmati dia dan sekelilingnya. "Tujuan kita ke lantai tiga ... mungkin ada pasien lain yang bisa diselamatkan dan perlu bantuan. Kita bisa keluar bareng-bareng kalo gitu."

Kalau ditanya ... aku, sih, setuju saja dengan rencananya. Itu sudah paling rasional dan bagus demi kebaikan bersama. Telingaku masih tak mendengar apa-apa, semoga saja memang masih aman.

Lima belas menit berlalu, kini semuanya hening berusaha menyimpan tenaga. Sekop andalanku setia di pangkuan. Meski tidak ada suplai makanan pasti, Neil mengaku sudah beberapa kali dikirimi makanan normal seperti daging, sayuran, dan air mineral. Dia menyimpan setengah botol air yang diberikannya padaku—hanya karena aku satu-satunya perempuan di antara mereka.

Tengah malam menyingsing naik, Altair mulai memaksa kami kembali bergerak. Strateginya simpel, naik ke lantai tiga melewati tangga emergency exit—hanya tangga itu yang lebih besar dari yang lainnya.

Kupejamkan mata, menghela napas perlahan dan kembali mendengarkan sekitar. Debar jantung tak lagi jadi masalah buatku. Namun ....

"Ada sesosok di balik pintu—"


~('-' 2600 words '-')~
N/F/U

Sumpis aku nggak sempet revisi >:v
Doakan saja besok tamat :'v

Masih tersisa 5400 kata dan 4 chapter lagi untuk diketik :v endingnya sudah ketemu :3 jadi meski nggak selesai tepat waktu, cerita ini bakal tamat paling sehari dua hari setelah deadline :v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top