XVI. Subjek 003
Selasa, 23 Januari 2018
-Adira
Kudengar detak jantung Altair semakin cepat setelah menarik kami tiarap, sejajar dengan lantai di bawah kursi-kursi panjang. Telunjuknya menempel di bibirku, sebelum memberi isyarat untuk berguling lebih dulu ke kursi yang lain.
Aku menggeleng samar, tidak berani dan terlalu berisiko padahal perut ini hampir tidak kuat melihat genangan yang mulai merambatiku perlahan.
Altair menarik kepalaku mendekat lantas berbisik, "Kita muter. Sembunyi di balik brankar kemaren, Dir." Tangan kirinya menepuk ubun-ubunku kuat-kuat. "Percaya sama aku, kita bakal ke lantai dua lewat tangga lain."
Menoleh sejenak, sosok tinggi itu semakin dekat. Baiklah, kalau memang itu maunya, aku yakin dia punya rencana bila dilihat dari raut wajah Altair. Semoga subjek 003 tidak melihatku berguling di antara gelap.
Perlu dua kali gerakan dan dorongan untukku nyaris membentur kaki kursi dan dinding ujung. Kepalaku sedikit pening, bukan masalah besar. Kuacungkan jempolku padanya di seberang sana.
Tangan kanan Altair bergerak, memberiku aba-aba serta gestur bibir untuk merangkak ke depan perlahan. Kuturuti saja semua perintahnya dari pada melawan dan membuat keributan lagi.
Dari jarak sekitar lima belas meter, siluet besar seukuran pria dewasa itu bergerak-gerak aneh. Kilat-kilat kecil mengikutinya, entah mungkin itu petir atau listrik seperti di film-film fantasi. Sementara di bawah kursi-kursi panjang, aku masih berusaha merangkak ala tentara perang, Altair menyusulku berguling di belakang sana. Jarak kami terpaut tiga meter.
Semakin dekat jarak kami, barulah kutahu apa maksud Putri bahwa pasien ini hampir mirip dengannya. Separuh tubuh subjek 003 adalah logam, dibelit oleh kabel-kabel rumit yang memercikkan kembang api kecil pada bagian punggung dan tumit.
Otakku disusupi sejumput pertanyaan mengenai apa sebenarnya motif dari Dokter Flo mengumpulkan mereka semua, bahkan mengganti sebagian tubuhnya dengan benda lain dan masih dipaksa untuk tetap hidup. Dia gila! Mungkin pria itu berhubungan dengan deep web, tempat penjualan organ ilegal di internet.
Tanpa sadar aku menahan napas, posisi kami sejajar begitu subjek 003 melangkah perlahan melewati kami. Dalam kegelapan, pakaian hijau kebiruan yang biasa dipakai pasien berkelepak kala angin kencang berembus dari arah taman.
Bahkan sampai punggungku bersembunyi di balik tumpukan brankar, napas ini tak mampu bekerja dengan baik. Altair tiba beberapa detik kemudian dengan peluh bercucuran di pelipisnya.
"Subjek 003 buta, matanya diambil dan mungkin dia lagi nyari." Telapak tangan bergestur kasar berukuran lebih besar dariku itu gemetaran. "Bahayanya, pendengaran dia bagus, jadi kayaknya nggak apa kalo kita keluar sekarang."
Kuraih raih tangannya, merasakan sensasi hangat sejenak di tengah keringat dingin. Belum sempat kuucapkan tujuan kami, dari balik brankar yang kami sandari desingan logam mulai berderap cepat. Aku menarik Altair untuk berseluncur di lantai dengan darah sebagai pelumas, anak itu terkejut luar biasa dan melepas sepasang sendalnya untuk dilempar di dekat brankar tadi.
Pria itu menghancurkan tempat kami meletakkan pantat, membabi-butanya sampai remuk-remuk hingga tegel bergemeletuk. Dari jarak teramat dekat parasnya menakutkan. Bahkan rahang serta sebagian tengkorak subjek 003 terbuat dari logam, entah isinya seperti apa.
Pakaian kami basah oleh darah, aku mengeluh dalam hati tentang betapa sulitnya semua ini dibersihkan kalau sudah kering nanti. Padahal di depan Altair, seorang cyborg tengah mengamuk menghancurkan dinding berkramik. Sama sekali tidak ada bebunyian yang keluar dari bibir dingin itu, hanya gesekan-gesekan logam menjadi backsound pengiring.
Dengan sebelah tangannya, Altair memberiku kode untuk segera pergi dari sini. "Tangga di area lain," ujarnya tanpa suara.
Pelan, begitu pelan kami menarik langkah. Namun, keadaan benar-benar sedang bermusuhan denganku. Pinggang tak sengaja menyenggol kursi panjang, membuatnya berdirit dan cyborg itu spontan menoleh.
"Lari!" desis Altair tegas, tak peduli lagi dengan pria itu. Posisi kami sudah ketahuan!
Logam-logam cyborg itu menjerit, menggantikan empunya yang mungkin tak memiliki suara. Langkahnya lebar-lebar menyusul kami yang berlari tunggang-langgang.
Telapak kakiku kembali merasakan dinginnya lantai dan udara malam, bergerak cepat membelah suhu yang semakin menurun dengan joging malam. Jantungku berdebar tak keruan lagi, mampu kudengar dengan sangat jelas bersama milik Altair.
Napasku memburu berlomba keluar-masuk melewati jengkal tenggorokan berdesak-desakan. Kupaksa memang kaki ini berlari menjajari Altair seraya menghindar dari bogem mentah cyborg tiga meter di belakang.
Hampir mencapai taman mini, Altair menarikku berbelok ke lorong gelap yang belum pernah kulalui sebelumnya. Cyborg itu kembali menjerit kecil, terdengar menyeramkan sekaligus mengiris gendang telinga. Tangan besinya berusaha menggapai tubuhku sambil mengejar.
Tidak ada di antara kami yang mau memelankan pacu lari. Melewati persimpangan, kami bimbang sejenak. Kala kudapati tabung pemadam api menggantung indah di satu sisi dinding. Dengan cepat kusambar benda berwarna merah itu, memecahkan kotak kacanya demi melemparkan benda itu tepat di wajah cyborg.
"Mon maap, Om!" jeritku, kembali berlari meninggalkan pria di sana menggeleng-gelengkan kepalanya pening.
Sisi lain lantai satu yang tak pernah kujumpai adalah ruang operasi, ruang dokter, ruang rontgen, dan kantin di bagian paling belakang. Ruang besar menyambut kami, dijajari para meja juga kursi, dan pada satu sisinya memiliki dinding berupa kaca besar yang menampilkan kondisi di luar ruangan.
Kala netraku mendapati meja etalase panjang, lekas-lekas kuajak Altair ke sana. Nalarnya, kalau memang rumah sakit ini terpaksa ditinggalkan, harusnya masih ada perlengkapan lama sama seperti properti di ruangan lain.
Kami berhasil mencapai meja kantin panjang saat cyborg tadi celingukan di ambang mulut lorong tempat kami masuk. Kutemukan beberapa pisau dapur yang sedikit berkarat—bukan masalah, toh kalau kubunuh juga mereka bukan manusia lagi. Altair mengambil panci presto, dan tampang kami memungkinkan bakal memenangkan konten cosplay Disney Tangled.
Altair meletakkan telunjuk di depan bibir, mengibas-ibaskan tangan memberi kode agar aku mengikutinya menyelinap keluar dari sana perlahan. Jemari besar itu menggenggam gagang panci presto erat-erat di depan dada, sambil tetap menjagaku untuk tetap berada di belakang punggung tegap.
Kurasa, subjek 003 itu sengaja mematikan listrik di sini agar menyusahkan kami melihat dengan jelas. Beruntung kantin memiliki jendela lebar yang dengan senang hati mempersilakan cahaya bulan masuk dengan jumlah banyak. Meski yang kulihat hanya samar-samar dan rata-rata berwarna kebiruan gelap, setidaknya ini lebih dari cukup untuk mengetahui di mana posisi lawan.
Cyborg itu masih bergeming di tempatnya, mungkin mendengarkan dengan seksama gerak-gerik kami. Altair mulai memikirkan cara bagaimana kami bisa keluar dari sini, padahal pintu masuk dan keluarnya menjadi satu, dihalangi tubuh besar pria sebesar babon.
Begitu penglihatan renang ini menemukan kotak tisu berdebu, rumah minimalis bagi laba-laba kecil, langsung kuraih tanpa ba-bi-bu lagi. Pemuda yang melihat aksiku itu tertegun, mencekal tanganku agar tidak membunyikan beda sembarangan.
Kepalanya mendekat, berbisik di telingaku, "Dia pintar, ingat? Mungkin dia nggak bakal nyari dari mana sumber suaranya, tapi dari mana asal benda itu dilempar."
Masuk akal, aku mengangguk memasang ekspresi 'jadi harus gimana?' dan Altair mulai berbisik di telingaku, menjelaskan rencananya panjang-panjang.
***
Sekuat tenaga aku berlari berkelok-kelok di antara lorong-lorong berkelit lantai satu. Peluh tak lagi kuindahkan, menetes begitu saja membasahi bekas-bekas bercak kecokelatan di baju. Rambutku beterbangan sangking cepatnya laju lari dan embusan angin yang berlawanan.
Tanpa sadar menyakiti diri sendiri dengan kuatnya pacuan jantung, tetapi bukan itu yang penting sekarang. Satu lagi lorong gelap berhasil mempertemukanku dengan lorong yang lebih panjang dengan banyak pintu berderet. Di samping degup dalam tubuh, kudengar pula desisan mengerikan dari belakangku secara mendadak.
Spontan kaki telanjang ini tak mampu berhenti berlari, hanya demi mengatur napas pun tak sempat lagi. Jeritan kencang mulai terdengar di belakang, terpaut beberapa meter dariku saat ini.
Tiga menit lalu, aku dan Altair sepakat untuk berpisah. Memang pilihan buruk, tetapi hanya ini yang bisa kami lakukan agar tetap selamat. Lelaki itu akan menjadi pengalih perhatian, mengorbankan dirinya untuk umpan main kucing-kucingan bersama subjek 003 supaya aku menjauh dari mereka.
Tujuanku adalah lantai dua, mengambil semua berkas pasien, membawanya ke tempat aman. Waktu tersisa dua menit lagi—kuhitung mandiri—sebelum Altair menyalakan suara ultrasonik dari ponselnya. Itulah mengapa dia menyuruhku pergi jauh-jauh, mengingat pendengaranku hampir sama dengan subjek 003.
"Ya Allah, maaf kalo Adira bacok orang. Kayaknya mereka udah mati, nggak ada larangan bunuh orang mati, 'kan?" ujarku menyemangati diri sendiri.
Sebelum pasien di belakang mengejar, sempat kutemukan gudang penyimpanan dengan segepok alat berkebun. Salah satunya adalah sabit yang kini berayun seiriama dengan langkah lari. Satunya lagi sekop bertali sudah terselempang indah di punggung.
Aku buta arah, tak menemukan denah rumah sakit sedari tadi, asal belok sana-sini. Mungkin ini memang saatnya, sebelum pasien lainnya ikut mengejar, sebaiknya kuakhiri saja pelarian ini.
Tepat di ujung lorong, telapak kakiku nyaris terpeleset, memaksa berhenti untuk memutar tubuh. Kuluncurkan sekop dari pundak, mengambil ancang-ancang untuk balas menerjang gadis kesurupan itu.
Jarak kami tinggal semeter, kuayunkan kaki kananku menendang rusuknya dengan sekali gerakan. Wajah sekop di tanganku menghantam telak pada pipi kirinya, membuat suara pertemuan dua benda keras dan balutan bunyi retak. Perempuan yang kuduga sudah disuntik hormon berlebih itu menggeram, mencoba berdiri tegap setelah kutampar dengan besi dingin.
Ini semakin menyeramkan, ketika aku mendapati separuh bagian tubuhnya mulai mengeluarkan belatung sertamerta busuk. Semua itu belum apa-apa, pasien di depanku semakin menggila, sudut-sudut bibirnya mulai robek menyiramku dengan cairan keramat. Sebelum dia mengeluarkan sejenis tentakel dari dalam sana, lebih dulu kudorong dirinya agar rebah secara paksa, menginjak kedua pahanya kuat-kuat, menahannya dengan bobotku.
Di titik ini, napasku tercekat. Namun, keputusan yang tepat harus kubuat segera. Mata sekop sudah sejajar dengan batang tenggoroknya. Dengan sekali gerakan, sembari menahan napas, kuhentakkan kuat-kuat benda itu di sana, membuatnya menjerit seketika, memegangi kedua pergelangan kakiku.
Mudah kulepaskan cekalannya, lantas menarik sekop itu untuk ditusukkan kembali pada lehernya yang sudah separuh terbuka. Kali ini, kulimpahkan semua bobot tubuhku untuk membantu sekop melesak lebih dalam pada lehernya.
Jeritan terlahir mulai pudar, bersamaan tinta merah membasahi telapak sampai mata kaki, bahkan ujung celanaku turut luntur olehnya.
Napasku ngos-ngosan, turun dari atas tubuhnya. Diriku langsung luluh lantak ke lantai, memegangi kedua sisi kepala, menutupi telinga erat-erat. Tak tahan lagi untuk menjerit, kubuka mulutku untuk berteriak bersama suara menyakitkan itu.
Argh! Aku tidak bisa menyuruhnya berhenti, sebab hanya itu satu-satunya cara untuk membunuh subjek 003. Namun, cara ini pula yang membuatku ikut merasakan nyeri berdenyut di gendang telinga dalam. Kepalaku rasanya mau pecah!
Waktu seakan berhenti berjalan, menyiksaku tiap detiknya yang tanpa sadar membuat telinga kanan mengeluarkan cairan serupa genangan kuinjak. Perlahan, menyayat tiap jengkal isi terdalam pendengaran, suara dari ponsel Altair menghilang sebelum aku mau jatuh kayang.
Kudapati diriku sendiri meringkuk, dengan rambut yang lebih berantakan dari sebelumnya, juga anak kecil berkulit semerah darah.
~('-' 1700 words '-')~
J/F/U
Aes memulai mode mematikan ( ꈍᴗꈍ)
update tanpa revisi dengan jumlah kata panjang-panjang.
Udah 5 hari terakhir woi :( masih ada satu arc lagi yang harus dituntaskan.
Dannnnn
Kalo dibolehin sama Nyai Bon (~‾▿‾)~
Nanti saya bikin tambahan chapter khusus yang nggak diikutsertakan lomba lari ini :3
Plissss KALO ADA PLOT HOLE CEFAAT KASIH TAU >:V
Oke sekian terima ginjal ( ꈍᴗꈍ)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top