XV. Kuyang Modern

Part ini saya bernapas dulu ya :'v yang ngetik ikut ngos-ngosan soalnya shshshhs.

Selasa, 23 Januari 2018
—Adira

Adzan isya berkumandang, teredam oleh teriakan histeria di ruang tunggu rumah sakit tua yang telah lama ditinggalkan pemiliknya karena bangkrut. Satu-satunya suara yang mengetahui tempat persembunyian kami hanyalah biarpet dan glitch, berasal dari jantung lama Putri di sudut ruangan.

Mereka masih meronta-ronta tidak jelas di luar sana, sedangkan aku dan Altair nyaris melongo mengamati seisi ruangan Putri yang dipenuhi peralatan medis dan listrik. Rasanya seperti praktek biologi sekaligus prakarya secara bersamaan.

Aneh kelihatannya saat kamu mencoba berbicara dengan sebuah—aku tak yakin bisa menyebutnya orang—benda yang ... hidup dan bergerak!

"Ingat eksperimen kepala anjing dan jantung buatan itu?" Putri berpendar, menarik kabel-kabel panjang di punggungnya—kalau itu memang pantas disebut punggung alih-alih kotak perkakas.

Tidak ada yang menjawab, dada kami masih berpesta pora begitu suara dentuman seakan-akan menabrak meja resepsionis. Posisi kami siap siaga, Putri membiarkanku mengambil tongkat infus lamanya, sedangkan Altair menemukan kunci inggris yang tercecer untuk dijadikan senjata.

Tiba-tiba suara desingan terdengar, seirama bersama desisan uap. Suatu pembangkit listrik bekerja, bagaimana bisa?!

"Dokter memprogramku untuk mengendalikan gedung ini. Listrik, cahaya, ruangan mana saja yang dipantau hampir keseluruhan. Termasuk yang tadi itu." Benda aneh serupa gelembung di bawah tenggorokannya bergerak perlahan, mungkin dia menghela napas.

Aku tak mampu menahan diri untuk tidak menjatuhkan rahang. Pertama, aku tahu seberapa mahalnya alkes medical ventilator. Kedua, kini terpecahkan sudah mengapa lantai di bawah kami ini memiliki bau yang tidak sedap dan menyengat dari lantai lainnya. Terakhir, bagaimana bisa Dokter Flo mempercayai gadis belia seperti Putri?!

"Bisa langsung bahas strategi aja, nggak? Udah mau jam 8—eh kamu abis ngapain?!" Telunjuknya mengarah pada panel-panel menyala merah dan hijau, kemudian masang tampang sakit hati begitu mendapati banyak monitor di dekat langit-langit.

"Itu buat nutup pintu besi secara otomatis. Cuma berlaku di dalem gedung ini. Jadi sementara waktu, orang-orang itu nggak bisa pergi ke lantai dua." Tubuhnya yang serupa kuyang itu menghadap kami setelah sebelumnya mengerjakan sesuatu di pojok.

Suara-suara bising lagi-lagi mengusik ketenanganku. Tidak ada lagi debaran jantung, itu sudah normal. Yang tidak normal di sini adalah ... kurasa nyaris tidak ada.

Altair beralih menatapku dengan tatapan mengintimidasi, persis seperti yang biasa dia lakukan di kelas kalau berhadapan dengan orang lain. "Sumpah, aku kesel. Jangan liatin aku kayak gitu, rasanya pengen kupukul. Jadi cepet bikin rencanamu, atau aku yang ambil alih."

Diam-diam aku juga menaruh kesal padanya, tetapi yang kulakukan hanya melengos tak mau memperparah keadaan. "Putri, selain kamu, siapa lagi yang ada di lantai satu?"

Gadis tanpa tubuh, yang menyisakan sepenggal kepalanya hingga batas batang tenggorok itu terdiam sebentar. "Ada satu cewek di poli saraf, kalo nggak salah. Sama harusnya ada satu lagi, tapi dia udah mangkat beberapa hari lalu. Operasinya gagal, otak ibu-ibu satu itu berhenti bekerja setelah obat pemenangnya habis."

Tiga puluh empat orang, tersisa tujuh di gedung ini, dan dua belas di gedung pendamping. Totalnya sembilan belas.

"Tunggu, apa yang sebenarnya terjadi di luar sana? Kok tetiba pasien dari basemant bisa ke permukaan?" Tiang penyangga tubuhnya kembali bergerak, kali ini bunyi berdesing menghidupkan beberapa monitor di atas sana. "Aku nggak liat apa-apa dari tadi soalnya—"

"Aku," sanggah Altair, "yang meretas sistemmu, sori."

Mereka terlibat perdebatan kecil, di mana Putri tidak terima CCTV-nya dihack, dan Altair melakukan pembelaan untuk semua itu. Teman semejaku menuding bahwa yang melepaskan tahanan adalah Putri, karena sebelumnya sudah kujelaskan kalau tidak ada kunci yang mengait kandang-kandang pasien.

Masalah semakin membesar ketika salah satu monitor Putri mengalami kerusakan. Layarnya hanya menampilkan semut maraton dengan latar hitam-putih, kemudian menjalari satu persatu monitor lainnya.

Sekali lagi, ada yang aneh dan perasaanku semakin tidak enak. Bebunyian di luar mendadak berkurang drastis, tetapi aku tak bisa melihat apa yang terjadi di luar karena semua kameranya mati.

"Heh, diem!" bentakku, menarik Altair mundur sebelum menghambur Putri. Kupisahkan mereka berdua dan menggeram pelan. "Putri! Aku masih mau nanya!"

Setengah menit kemudian, barulah mereka reda. Tidak sepenuhnya, hanya menyisakan adu pelototan kecil yang segera hilang begitu lampu di ruangan dua kali tiga ini berkedip-kedip cepat.

"Itu kamu?" tanyaku memastikan, mendongak menatap segala peralatan elektronik yang mulai eror, tak terkecuali Putri. "Plis, itu apaan?!"

Altair merapat, menyembunyikanku di balik punggungnya dan bersiap dengan kunci inggris. "Sudah kubilang jangan percaya sama pasien!"

Apa yang terjadi? Kalau ini memang benar ulah Putri, kenapa dia ikut terkena imbas buruknya?

Napas Putri berangsur-angsur hilang bersama listrik yang padam. "Subjek 003," bisiknya membiarkan rambut panjang itu tertunduk lesu dan menjuntai tak keruan. "Harusnya dia udah mati."

"Siapa subjek 003?!" desakku, keluar dari lindungan Altair. Kudekati Putri, memperbaiki posisi rambut dan kepalanya.

"Pasien gagal, mirip sepertiku tapi versi yang lebih kuat—" Gadis itu tercekat di ujung napasnya, mirip cegukan mematikan. "Tinggalkan aku. Ada belasan pasien yang harus kamu selamatkan. Selama subjek 003 masih di sekitar sini, jaringan listrik akan terganggu. Matikan—"

Senyap. Tak ada lagi bunyi glitch, desingan pelan benda elektronik bekerja, kendatipun gemeretak jantung buatan. Tiba-tiba saja aku merasa sendirian, seakan ditinggal pergi jauh orang tuaku saat kecil dulu.

Ada rasa ingin menangis, kemudian otakku mendramatisir keadaan dengan mengingat tujuan utama ke sini adalah menyelamatkannya. Bahkan kami belum mulai langkah pertama, tetapi semuanya lebih dulu hancur di bawah kaki.

"Adira, kita nggak bisa lama-lama di sini," tegur Altair dalam gelap, samar-samar kudengar tepak kaki lain dari luar bersamaan gerak lelaki itu hendak mendorong pintu.

"Bentar," tahanku, mencekal tangannya. Dia mungkin masih marah dan aku tahu sebabnya. "Ada yang mau ke sini, mumpung aman kita bahas dulu abis ini mau ke mana." Mati-matian kutahan suaraku agar tidak bergetar.

Seperti dugaanku, dia melengos mau tidak mau mengikutiku menjauh dari pintu. "Apa lagi sekarang? Tadinya kupikir kita bisa jadi partner yang klop." Altair membuang wajah, enggan menatapku.

Dia marah karena aku berusaha membuat strategi—itu bagiannya, dan ini sangat kekanak-kanakan. Kalau begini terus, tidak akan ada untungnya.

"Aku nggak tau kudu apa."

Senyap melingkupi kami sebelum akhirnya dia berdecih. "Tadi 'kan kamu mau nyusun rencana. Gimana, sih—"

"Jangan gitu! Tadi pagi kamu bilang nyesel, sekarang malah kesel—astaga aku nggak pernah paham cara cowok mikir!" Tubuhku merosot di dekat bangkai Putri yang tertunduk.

Altair diam, sedetik kemudian dia menyusulku berjongkok. "Sori. Kayaknya aku ... rada childish—"

"Emang!" serobotku kesal, lantas menghela napas panjang, berbalik membelakanginya sebelum menjadikan punggung Altair sandaran. "Sekarang, baiknya gimana? Aku nggak punya bakat nyusun rencana."

Tempatku bersandar bergetar pelan, dia ikut menarik napas dalam-dalam. "Kita ke lantai 2 dulu," putus Altair pada akhirnya, "masih ada pasien di sana, abis itu kumpul di lantai tiga. Itu dulu, selanjutnya dipikirin di sana."

Aku nyaris terjungkal kala Altair tiba-tiba menarik punggungnya dan bangkit. Kaus lengan panjangku nyaris basah diguyur keringat asam selepas maraton malam. Tak jauh berbeda dengan dia yang kini mengulurkan tangannya.

"Janji nggak ada ngambek-ngambek kayak bocah lagi, Ra. Aku nggak mau habisin masa remaja buat drama alay." Sekali lagi, Altair membuang wajah, kali ini dengan emosi berbeda.

Kusambut tangannya, melupakan bahwa penampilan kami sebelas-duabelas dengan gelandangan. Celana panjangku berdebu tercampur peluh, dan aku bahkan tak lagi mengenakan sendal.

Tak ada suara apapun lagi di luar. Sepertinya mereka pergi, tidak ada yang bisa memastikan kalau tidak melihatnya secara langsung.

Pandangan kami bertemu beberapa saat dalam gelapnya ruangan Putri, sebelum memutuskan kalau aku yang akan melihat keadaan di luar. Pelan-pelan kudorong pintu kayu halus itu, berusaha tidak menimbulkan suara apapun.

Gelap, ada sedikit perbedaan di sini. Entah bagaimana bisa keadaan menjadi sedikit lebih berkabut. Penglihatanku beradaptasi dengan sekitar, dan memang tak ditemukan pasien sama sekali—lebih-lebih karena terhalangi meja resepsionis besar.

"Kalo emang nggak ada, maju aja, Dir."

Memang benar, saat tubuhku melesak perlahan di balik meja seperempat bola, tidak terdengar apa-apa kecuali debat jantungku sendiri. Kuberanikan diri untuk melongok kecil, celingukan sebelum berdiri seutuhnya dan mengembuskan napas lega.

Darah di mana-mana, bekas goresan, seretan darah, juga cipratan hampir mengecat ulang dinding-dinding dan kursi panjang. Telapak kakiku bahkan terpaksa memijak di genangan sakral demi berkelit keluar dari balik meja resepsionis.

Kalian tidak akan percaya kalau ada dua potong usus yang tercecer di lantai. Bulu romaku berdiri semua, ditambah dinginnya lantai dan malam membuat rasa ingin buang air semakin besar.

"Sumpah, mereka ngapain aja sih?" desis Altair berdiri di sebelahku. "Dan yang Putri bilang, ada subjek 003 yang hampir mirip sama dia. Berarti pasien itu punya kendali terhadap sistem keamanan atau benda-benda elektronik di sini."

Manikku mendapati sesuatu yang mengerikan. Sebuah tubuh, tergeletak di tengah ruangan dengan kepala terlepas, berenang di kolam air merah. Rongga dadanya terbuka, memuntahkan organ dalamnya secara eksplisit.

Ini bisa menjadi petunjukku bagaimana cara pasien-pasien itu membunuh korban. Jadi kudekati jasad itu pelan-pelan, Altair mengekor di belakang ikut penasaran.

"Mereka mengambil matanya—" kata-kataku terhenti di ujung begitu Altair sadar bahwa kami tidak sendirian.


~('-' 1450 words '-')~
G/F/U

Dengan ini, saya nyatakan Blunder sudah pas 20.000 kata, wahai editor dan admin sekalian.

Memperingati itu, dan jatah ngetik saya tinggal 10k kata untuk seminggu terakhir, chapter-chapter berikutnya mungkin akan berlabel 18+ dengan gore atau bacok-bacokan.

Semoga nggak parah :'v tetep saya usahakan untuk bisa dinikmati oleh kalangan usia di atas 13 tahun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top