XIV. Banting Setir
Selasa, 23 Januari 2018
-Adira
Sekujur tubuhku merinding membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka menghilang! Dua lelaki itu, yang tangannya busuk sebelah mirip zombie apocalypse telah terbebas dari kurungannya.
Altair tampak menyadarinya kala melihatku berhenti demi mematung bengong. Namun, cepat-cepat anak itu menarikku kembali setelah suara dobrakan di belakang semakin keras menggema.
"Jadi ini penyebab pintu kaca satu lantai di atas terkunci sebelumnya." Telapak tangan Altair berkeringat, menuntun kami berbelok menuju lorong panjang arah kami pulang. "Dira, sori buat ponsel sama tasnya. Ntar semua catetan bisa pinjem aku."
Di saat seperti ini, sempat-sempatnya dia membahas hal seperti ini. Yang penting sekarang adalah keluar dari lantai paling bawah. Padahal baru saja kami memasukinya beberapa menit lalu, dan misi pertama kami mengambil tasku sudah gagal pada lima belas menit pertama. Sekarang pula, nasib kami kejar-kejaran dengan pasien di sini.
Sebisa mungkin kualihkan pikiranku dari debar jantung, kembali pada suara-suara aneh yang terus bermunculan melingkupi seluruh ruangan. Langkahku semakin pelan begitu mendekati pintu keluar menuju parkiran. Di titik ini, suara desisan gas selain terdengar jelas.
Ada yang bocor.
Aku tidak bisa mencium bau apapun lantaran penciuman ini terganggu, hidungku buntu. Sepertinya hujan-hujanan kemarin berdampak pada kesehatanku.
"Masih kuat lari, 'kan?" Dia berhasil membuka pintu dengan susah payah, bertepatan para pasien berdarah-darah itu berlalu melewati lorong.
Dadaku tidak bisa tenang, tetapi aku tetap mengangguk. Saat ini yang dibutuhkan adalah terus berpikir rasional. Anggaplah misi ruang bawah tanah ini gagal total, semua pasien menjadi zombie!
Gelap gulita menyambut kami melarikan diri menuju undakan. Parkiran tak lagi sepi setelah bunyi pijakan kaki tanpa alas serupa kecipak air menyingsing telingaku. Makin erat pula kuremas telapak Altair, memberinya kode untuk berhenti.
Kami tidak sendirian di lapangan luas ini. Seorang, mungkin lebih-aku tidak dapat memastikannya-sedang berkeliaran jalan-jalan santai, entah menunggu kami dengan apa di tempat tanpa cahaya.
"Siapa lagi di lantai ini?" tanyaku berbisik amat pelan, ragu kalau Altair mendengarnya.
Kali ini, arah laju kami berubah tak lagi lurus dengan pintu ruangan tadi, melainkan berbelok ke sudut kiri. Aku tidak tahu apa yang anak ini rencanakan, setidaknya dia lebih hafal jalan daripada diriku.
Sesaat kemudian, sinar terang membuat siluet panjang tubuhku memancar dari belakang kami. Beberapa meter di belakang pintu didobrak paksa hingga penyok dan aku tak yakin masih bisa ditutup lagi. Segerombolan pasien menghancurkannya, lantas berlarian kembali mengejar kami di ruangan yang sangat luas.
Altair semakin panik, napasnya terdengar jelas di telingaku tak mengindahkan pegangan tangan kami yang terguncang-guncang. Bisa kubayangkan wajah paniknya menarikku menanjak melalui undakan jalur mobil melintas.
Paru-paruku seakan tersedak gumpalan kapas besar, menyumpal epiglotis begitu saja. Bunyi hik meluncur begitu kerasnya dari arah kami berlari jinjit-jinjit. Sialan! Kenapa di saat kayak gini malah cegukan segala?!
"CUMBANA!"
Seandainya olimpiade maraton berlangsung selama maraknya virus zombie, percayalah diriku seratus persen bakal jadi pemenang di podium utama. Beda cerita dengan situasi di mana telingaku seakan mau pecah saat ini juga lantaran suara-suara absurd masuk begitu saja. Ingin teriak rasanya, menyaingi jerit-jeritan tertahan itu menusuk pendengaran.
Tubuhku luluh saketika, melepas genggaman Altair demi menutupi kedua telingaku seraya meringkuk di lantai kotor. Rahangku mengeras, menggertakkan geraham-geraham berusaha menahan teriakan yang sudah di ujung batang tenggorok.
Sakit! Argh, suara berdenging memantul-mantul di sekeliling lorong telingaku. Rasa sakitnya menjalar hingga leher, menarik urat-urat hingga bagian belakang daun telinga dan kepala ini rasanya mau pecah!
Lelaki itu berbalik demi meraih kedua lenganku kembali. "Dir, gerbangnya ditutup!"
"Kecilkan suaramu!" bentakku tanpa sengaja meninggikan nada satu oktaf.
Dia tampak geram, terbukti dari kuatnya cekalan di lenganku. Namun, lelaki itu tetap memaksaku bergerak dengan cara menyeret tubuhku ke arah pintu kaca. Sementara aku memejamkan mata erat-erat terus menahan nyeri berdenyut pada seluruh kepalaku terutama telinga dalam.
Sesuatu mendekati kami, saat menutup kelopak mata dapat kulihat sesuatu yang samar. Seperti peta lokasi, otakku mampu memproyeksikan gambar ruangan ini beserta getaran-getaran udara yang dibuat pada tiap gerakan asing. Ini mengagumkan sekaligus menyeramkan untukku.
Ini bukan saatnya rebahan, pikirku memaksa tubuh ini bangkit. Tak akan kubiarkan Altair berjuang sendirian seperti kemarin, kali ini aku yang harus membantunya keluar.
Kutepis tangannya. "Cepat buka pintu kacanya. Aku bisa bangkit sendiri!" Sekuat mungkin kutahan semua rasa pening yang membentur kepala.
Begitu mendapat isyarat tanganku mengusirnya, anak itu segera paham dan berlari lebih dulu. Harus ada pengalihan perhatian untuk memancing para zombie itu, setidaknya mengulur waktu sejenak memberi kami ruang untuk melarikan diri.
Kupejamkan mataku, lebih rileks dari sebelumnya. Peta tiga dimensi kembali bisa kubayangkan, sebentar lagi menurut perhitunganku mereka akan tiba menghambur lantai ini.
"CUMBANA!"
Tepat sekali! Kulepas sendalku dengan sekali gerakkan, melemparnya sekuat tenaga menjauhi pintu kaca. Lantas tanpa alas kaki lagi, aku bangkit menerjang Altair yang sudah siap di depan pintu terbuka menyambutku.
Tubuh ini merosot, meluncur sambil berpegangan pada punggung Altair. Aku rebah di atasnya, tetapi tidak ada waktu untuk sekadar bertukar tatapan dan memulai adegan banting setir genre. Tak sengaja kuinjak betisnya saat berusaha bangun, setidaknya kami berhasil berdiri normal dan mengunci kembali pintu kaca itu.
Dada Altair naik turun seusai mengunci pintu. "Bau apa ini?!" Diraihnya lagi tanganku, menuju undakan ke atas.
Aku hendak menyusulnya, tepat setelah sesuatu melingkari seluruh kaki kiriku. Nyaris memekik kaget, kuhentakkan kedua kaki dengan paksa sebelum sosok serupa tuyul itu memanjati badanku hingga atas.
Sosok pendek dengan wajah rusak itu hampir menggigitku seandainya Altair tidak refleks menendang tubuh mungilnya. Makhluk aneh dengan tubuh manusia berkulit kemerahan menggeliat di lantai hendak bangun lagi.
Altair buru-buru menarikku kembali ke atas, sementara para pasien menyeret tubuhnya paksa menaiki undakan melewati pintu kaca lantai paling bawah.
Udara malam langsung menyambut kami, juga bebauan khas rumah sakit karatan. Secepat ibu-ibu angkat jemuran, kusambar pagar besi turunan tangga, menutupnya rapat-rapat juga memasang kaitan.
Suasana mendadak lebih sunyi. Tidak ada lagi bunyi desisan gas, atau orang-orang gila berlarian di sekeliling. Namun, keheningan inilah yang terasa ganjil dan lebih menyeramkan ketimbang sebelumnya.
Kakiku lemas seperti seluruh tulang berubah menjadi jeli empuk. Detak jantungku seirama dengan deru napas, kudengar juga milik Altair yang empunya sedang bersandar pada dinding dekat kursi tunggu besi panjang.
Kayaknya ada yang ganjil ... atau ketinggalan. Tapi apa?
"Kamu hafal semua pasien di lantai permukaan?" tanyaku di sela mengatur napas, tanpa perlu susah-susah menoleh ke arah lelaki itu untuk mendapat jawabannya.
Dia berdeham, kemudian bangkit dan membantuku serta-merta berdiri. "Enggak. Ada tiga puluh empat, walau sepertiganya ada di gedung sebelah, masih ada dua puluh dua yang ndekem di sini—ayo, kita kudu gerak lagi!"
Pertama kali kami memasuki tempat ini bersama, seingatku ada dua pasien di lantai dasar. Salah satunya Putri, kuyang buatan dengan alkes medical ventilator dan kabel-kabel rumit penunjang hidup, juga pasien buta tuli melempari kami dengan pisau bedah mahal. Keberadaan pasien terakhir itu masih dipertanyakan, terutama setelah dia hilang di ujung jejak seretan berdarah lantai dua. Namun, sepertinya aku melupakan fakta satu lagi pasien di dalam poli.
Usai memutari taman mini, langkah kami berhenti tepat di mulut lorong. Altair menahanku, sorot matanya menatap lurus nan nyalang ke depan. Di antara kursi-kursi besi panjang, seorang gadis kecil merangkak di antara blus kebesarannya sambil menunduk.
"Subjek satu per empat. Anak yang mengalami pertumbuhan lebih cepat dari anak-anak normal—pengidap progeria." Terengah-engah napasnya, hampir berbunyi seperti orang bengek. "Dia cuma perlu dua bulan satu minggu untuk melanting keluar bareng plasenta, alias prematur kebablasan."
"Berarti nggak bahaya, 'kan? Soalnya yang di belakang udah mau nyampe," desakku menariknya keluar dari pancaran sinar bulan taman mini. Kalau memang benar mereka zombie yang mau bedah kepala kita, kurasa dunia luar masih cukup aman. Mengingat basemant sudah ditutup dan pintu-pintu kemungkinan dikunci Dokter Flo.
Mengendap-endap kami lewati pasien itu. Aku ingat saat melewatinya sebelum ke basemant, suara gadis itu masih serupa anak-anak lulus SD. Dia bersenandung pelan, memainkan ujung rambutnya yang menyapu lantai. Baru kusadari sebuah tali panjang melingkar di lehernya, tersambung dengan salah satu ruangan.
Altair bergidik sejenak, memaksaku menyusulnya cepat-cepat sebelum bengong mengamati subjek itu. "Terus? Apa maumu sekarang?" Dari nadanya, anak itu terdengar kurang suka bahkan bisa dibilang marah. Entahlah, aku tak pernah bisa memahami emosinya.
"Kita kumpulin yang masih waras ke lantai tiga—"
"Nggak ada yang benar-benar waras di tempat ini!" bentaknya.
Keningku mengernyit. "Kenapa kamu jadi emosian?! Jangan OOC, deh!" sungutku kesal.
Gelap menyelimuti kami seutuhnya, berteman dengan cahaya samar pantulan sinar dari taman mini. Suhu semakin menurun di sekitar, atmosfernya lantas berubah setelah bunyi kelontang membelah udara dan menimbulkan bunyi berulang nyaring.
Kami sontak menoleh bersamaan, sebelum akhirnya lanjut berlari tunggang-langgang begitu menyadari sesuatu. Pagar besi di ujung undakan itu telah dirantas para pasien tidak waras.
Gadis kecil di tengah ruangan itu menjerit kaget, memperparah suasana sekitar menjadi lebih menegangkan. Dia mulai menangis, membuatku ikut panik. Teriakannya mengundang para pasien dari ruang bawah tanah kemari, terbukti suara mereka mulai berdesakan di koridor belakang sana.
"Adira!" Suara lembut itu memanggilku untuk sekadar menoleh dan memahami maksudnya.
Dari meja resepsionis, Putri menggerakkan tiang infusnya memberi tahu agar kami mendekatinya segera. Altair jelas tidak percaya pada pasien, tetapi setelah kuberi tahu kalau Putri lebih normal, ditambah keadaan yang semakin mendesak, akhirnya dia mengalah dan mendengkus sebelum akhirnya mau menurut.
Tepat setelah kami memutari meja resepsionis itu, terhitung delapan orang gila memporak-porandakan ruang tunggu membuat bebunyian gaduh. Hal yang tidak pernah kuduga terjadi, tepat sebelum kepalaku melongok masuk ruangan Putri.
Tiga orang wanita di sana menjadi korban Centipede. Netraku membulat kaget, bagaimana bisa Dokter Flo mengerjakan tiga orang sekaligus untuk disambung layaknya kelabang?! Kupikir perlu beberapa hari untuk memaksa mereka menurut, ini gila!
Sebuah telapak tangan besar menangkup wajahku, menutupi kedua mata dan menarikku masuk dengan satu gerakan. Membiarkan para pasien di luar sana jejeritan tetap mencari kami.
~('-' 1600 words '-')~
E/F/U
Duhai pembaca Blunder yang setia nan budiman/woman alangkah baiknya saya minta maaf terlebih dahulu di chapter ini :'v
Saya ngetik cerita ini tuh ngebut, jadi saya bener-bener minta maaf kalo ada sesuatu yang kurang bahkan plot hole :'v
Dan ya, chapter ini menandai pre check point karena cerita udah ⅔ rampung :'3 dan itu artinya, minggu depan tersisa 8 chapter lagi untuk saya publish, dan satu chapter terakhir yaitu epilog khusus cerita ini di tanggal 15 nanti :'v
Doakan Blunder tamat di waktu yang tepat :'v dan tolong tampar saya kalau ada adegan tidak masuk akal :v akan saya perbaiki secepatnya ( ꈍᴗꈍ)
Sekian, terima gergaji
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top