X. Dua Goresan Melintang

Senin, 22 Januari 2018
—Adira

Saat kelopak mata tersingkap ke atas, awalnya sekelilingku menjadi kabur samar tak beraturan. Perlu sekiranya dua sampai tiga kali kedipan untuk melihat bahwa seisi ruangan ini dipenuhi alat-alat serba putih mengkilap.

Jantungku berdebar kencang kala berhasil mengingat kejadian sebelumnya, tepat sebelum—entah bagaimana caranya—aku pingsan. Ruang ini pasti milik Dokter Flo, tidak salah lagi. Hanya dia satu-satunya penghuni sehat di sini.

Sadar bahwa tubuhku enggan digerakkan, membuat pikiran ini semakin panik luar biasa. Pikiran-pikiran aneh mulai menyusupi kepalaku, tentang bagaimana kalau aku menjadi salah satu dari pasien ini? Bagaimana kalau aku disulap jadi mirip seperti Putri?!

Lampu benderang menyorot menyadarkanku bahwa dia tidak membawaku ke lantai permukaan. Ini masih di dalam tanah, yang artinya lebih sulit untuk keluar bahkan sekadar berteriak minta tolong. Hanya lantai paling bawah yang memiliki listrik, aku belum bisa menyimpulkan dari mana itu berasal.

Alkohol tercium pekat pada indraku, disertai dingin menusuk tulang dari punggung membuat dada ini semakin cepat memompa darah. Aku tidak bisa bergerak—semakin panik lagi—tubuhku dibelit ikat pinggang hitam dari sisi ke sisi, turut mengikat kedua tangan di masing-masing pinggang.

Dilirik sekilas pun aku tahu, kalau seragam putih abu-abu milikku sudah tersingkap sebagian pada area perut—untung bukan di bawahnya. Ada garis titik-titik biru di sana. Oh astaga, apa-apaan ini?! Aku kudu nyari Altair, jangan diem aja, ayo mikir! Pasti ada cara buat lepas, seenggaknya tangan lah!

Kutarik napas dalam-dalam, menggelinjang mengembungkan perut demi melepaskan tangan. Sejauh ini tidak ada suara sama sekali, benda-benda berkilauan hanya bergeming menyaksikanku membuat wajah aneh menahan buang air besar. Terlalu sulit, ikatannya terlalu kencang sampai otot perutku merasa keram.

Aku kehilangan orientasi waktu, tidak ada jam di sini. Pori-poriku bereaksi, mengeluarkan sisa-sisa metabolisme berupa cairan. Kemeja putihku mulai basah, meski udara sekitar dingin akibat air conditioner.

Perlahan, satu persatu tanganku mulai terbebas, membantu tangan yang lainnya menarik sabuk besi. Bagus! Brankar tanpa kasur tempatku berbaring berderit kehilangan bobot tubuhku tanpa aba-aba.

Pertama, yang harus kucari adalah senjata. Ada banyak di sini, tinggal pilih sambil celingukan—takut tiba-tiba dia muncul dari belakang macam film horor. Kakiku berdiri gemetar, sepatuku raib secara ajaib, membiarkan rasa sakit perut mau buang air besar menjalar lantaran dinginnya lantai.

Buru-buru kuperbaiki kancing seragam yang terbuka, membiarkannya terbebas di luar rok selututku. Aku tak yakin ini tempat apa, dari beberapa alat terlihat mengerikan, hanya erlenmeyer, pinset, dropper, dan peralatan lab biasa sekolah yang kukenali.

Ada yang aneh dari tubuhku yang biasanya, kepala ini seakan berputar lantas penglihatanku meremang. Padahal aku yakin sudah minum tablet tambah darah dari sekolah minggu lalu. Tidak, jangan begini dulu, aku harus keluar dari sini.

Banyak mesin-mesin medis yang tak kumengerti selain alat kejut jantung. Salah satunya mirip dengan alat penyangga tubuh Putri. Benda-benda ini jelas mahal, bagaimana bisa Dokter Flo mampu membelinya sebanyak ini?

Langkahku perlahan mundur, hingga mendapati meja dengan baki aluminium berisi macam-macam peralatan bedah. Kuambil satu pisau kecilnya sebagai senjata, lantas celingukan mencari pintu keluar. Dalam sekali lihat pun, sudah tampak memang hanya ada satu pintu di sisi terjauh dariku. Namun, akan berbahaya kalau tiba-tiba Dokter Flo melompat dari balik sana sambil berteriak, "Bakekok!"

Ruangan hening, aku seakan bisa mendengar apapun, dan memang tidak ada derap langkah kaki sesiapa. Kali ini, mungkin tidak ada salahnya aku keluar atau sekadar membuka pintu. Harus berani, karena kalau tidak sekarang bisa-bisa aku kehilangan momen melarikan diri.

Pintu terbuka, tidak dikunci sama sekali. Lorong putih menyambutku, persis seperti yang kulewati beberapa saat lalu bersama Altair. Kamera CCTV di atas sudah padam, lelaki itu yang meretasnya.

Astaga ke mana anak itu?! Mana aku nggak hafal jalan keluar pula.

Ponsel juga tasku menghilang bersama sepatu, dan sekarang aku tidak tahu di mana jalan keluar bahkan Dokter Flo. Tidaklah lucu kalau saat keluar nanti kami berpapasan dan main kejar-kejaran.

Baiklah, apa yang harus kulakukan sekarang adalah menunggu sambil membiarkan pintunya terbuka. Persetan kalau cara ini tidak berhasil, aku tawakal. Kucari tempat sembunyi, di mana jarak pandangku mencakup luas ruangan ini dan mampu mengamati ke mana arah pria itu pergi.

Dari balik almari, kuatur napas mempersiapkan diri sebelum lari tanpa alas kaki. Setelah ini aku harus mampu menghafal denah lantai paling bawah, kalau beruntung menemukan tas juga ponselku dan menghubungi Altair.

Lima menit berjalan, ketukan sepatu mulai terdengar. Tidak seperti sepatu sekolah yang memiliki sol lembut, aku yakin ini Dokter Flo. Benar saja, pria itu panik kala mendapati pintu terbuka lebar, lantas berderap masuk menghambur ruangan, semakin panik saat mendapatiku tak ada di tempat yang seharusnya.

Ini pertama kalinya kulihat wajah Dokter Flo. Kisaran kepala tiga, masih muda, dengan kacamata persegi panjang bertengger di hidung mancungnya. Dia lebih tinggi dari yang kuduga, dan tak akan kupungkiri fakta bahwa dia memang tampan dengan mata gelap berkharisma.

Sayangnya, dia langsung menghambur keluar lagi sambil berlari tunggang-langgang ke arah kanan tanpa memeriksa ruangan ini. Bagus! Ini saatku berlari!

Aku keluar dari tempat persembunyian, kembali mendengarkan dengan seksama sekitar sebelum melongok ke luar ruangan. Derap langkahnya tak lagi terdengar, menghilang menjauh di ujung lorong. Tak mau membuang waktu, berjingkat-jingkat melarikan diri menjauhinya ke arah lorong yang lain. Lari demi sepasang ginjalku tetap utuh dan mencuci darahku dengan baik!

Biarlah napas menderu tak tentu arah serta kepala pening luar biasa. Selama bau tadi masih ada, artinya aku belum jauh dari ruang percobaan.

Tempat besar menyambutku dengan banyak kurungan-kurungan besi. Gelap, pencahayaan di sini lebih redup dari lorong sebelumnya. Aku berbelok, menyisir tiap lorong tanpa berhenti berlari. Semakin jauh semakin gelap, tak kupedulikan penerangan selama masih bisa melihat.

"CUMBANA!"

"Anjir—" Tubuh sontak merapat ke sisi lain tiang-tiang besi rapat. Kaget luar biasa saat jeritan disertai sepasang tangan terjulur keluar dari kurungan di sebelah kanan.

Kurasakan rambutku ditarik halus, pelan sekali hingga aku tak menyadarinya. Benda panjang itu merambat membelah tiap helai, mencapai kulit kepalaku dengan mudah. Sekujur tubuhku merinding seketika, menarik diri dari jari-jari berdarah itu.

Dari balik kegelapan, sosok anak kecil muncul dengan wajah berantakan. Nyaris tak ada sekat di antara kedua mata kecilnya, lantas menyatu dengan hidung dan mulut di tengah-tengah kepala. Badannya bugil, tak mengenakan pakaian apapun kecuali celana pendek mirip boxer cokelat.

Aku menutup mulut dengan kedua tangan, tak menyangka sama sekali akan ada makhluk seperti itu dalam rumah sakit ini. Kakiku semakin lemas macam jeli encer, sambil menunduk kepala tak kunjung mendapat solusi keluar dari sini dengan cepat.

Namun, berdiam di sini pun percuma. Dokter Flo bisa menemukanku kalau tidak segera bergerak. Maka kuputuskan bangkit, mendongak demi menatap segerombolan tangan menjulur seakan siap menangkapku seandainya jatuh. Itu mengerikan!

Belasan tangan menadah di sana berusaha meraihku, tak terkecuali anak kecil tadi dengan tangannya yang ternyata hanya sepanjang botol air mineral. Kuterabas semuanya, tanpa pikir panjang. Beberapa dari mereka menjambak rambut serta seragamku, tetapi tak ada yang mampu menyeret dengan mudah.

Kurungan berganti lorong gelap di ujung pintu. Napasku kembali menderu, ini gila! Tidak ada langkah kaki terdengar kecuali jeritan tertahan para tahanan di belakang sana. Satu dua memintaku membebaskan mereka dengan tangan berdarah-darah, sebelah matanya hilang, bahkan ada yang perutnya terbuka lebar mengeluarkan isi-isi organ.

Anehnya, mereka tidak mati. Kemungkinan besar alat pada ruang aku disekap tadi adalah ESU, hingga darah yang dikeluarkan pasien tidaklah banyak dan meminimalisir terjadinya meninggal kehabisan darah.

Kubuka paksa pintu di hadapanku, meninggalkan mereka yang terus jejeritan memintaku menyelamatkan mereka. Di depan sana, lampu merah menyala terang, menyinari sosok pria berkemeja lengan pendek bertepatan menoleh padaku.

Sama sekali tidak kuperlambat laju lariku, mengejarnya di tempat yang merentangkan kedua tangan. Itu Altair, katakan padaku kalau itu memang dia dan bukan salah satu pasien lepas!

Jarak kami semakin mengecil, begitu pula penglihatanku. Kepala ini semakin berat rasanya, seakan aku bisa jatuh kapan saja. Tanpa kusadari, langkahku perlahan terhenti. Sosok di ujung sana berlari menangkapku tepat sebelum semuanya gelap dan aku sungguhan ambruk.

~('-' 1300 words '-')~
D'/E/U

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top