VIII. Ekspedisi Subjek 001
Sabtu, 20 Januari 2018
—Adira
Dua hari lalu, aku dan Arga Altair hanyalah dua teman sekelas yang kebetulan sekali bakal semeja selama sisa semester depan sebelum akhirnya akan naik kelas sebelas. Dan hari ini dengan mengejutkannya, semua pandangan itu berubah drastis. Aku tidak pernah membayangkan akan melakukan hal berbahaya dengan anak itu.
Sebelum ini, kami memang sering bicara-sebenarnya kerja sama ulangan-saat di kelas. Namun, hari ini percakapan kami akan lebih dari biasanya.
Tiba-tiba Altair yang tertutup menceritakan semuanya padaku. Alasan mengapa dia kemari seorang diri sebelumnya, merekrutku menjadi partner, dan menjelaskan kalau semuanya bukan kebetulan belaka.
Kakak laki-lakinya bernama Aqila. Menghilang pada 20 Desember 2017 setelah izin berangkat ke kampus dan tidak kembali hingga hari ini. Orang tua Altair melapor polisi atas hilangnya putra sulung mereka. Pencarian dilakukan hingga seminggu ke depan, tak membuahkan hasil apapun.
Altair mengatakan padaku kalau kakaknya terlihat aneh belakangan sebelum menghilang. Masalah kafein, gangguan tidur, insomnia, dan lain sebagainya. Semua itu berhubungan dengan koran di laci meja belajar milik Aqila.
Dari sanalah dia memberi nama Dokter Flo, berusaha mencari kakaknya hingga tempat ini. Iklan baris di sana terselip kecil di antara iklan layanan masyarakat, tidak menutup kemungkinan Altair tidak melihatnya.
Saat itu aku diam, menyusulnya di tangga bawah dengan cepat berkat langkahnya yang panjang-panjang. Takut salah bicara, kuputuskan mendengarnya hingga habis.
"Aku yakin kakakku ada di sini," lanjutnya, kini berhenti di depan pintu merah yang sebelumnya pernah kudorong dan berisi jejeritan membuat bulu kuduk berdiri.
Kami berdiri bersisian, kulirik dia tanda masih mendengarkan dengan seksama. Raut wajahnya berubah, dingin seperti biasanya di kelas. Kudengar giginya bergemeletuk, tangan mengepal di sisi-sisi tubuh mungkin siap meninjuku sebagai pelampiasan.
"Map yang kubuka tadi ... berisi nama dan data lengkapnya." Mata Altair memerah, juga pipinya. Sekali gerakan tangan menyapu paras, semua rona itu hilang, berganti senyum tipis. "Dira, kamu janji mau bantuin, 'kan?" Dia menoleh, mata sayu menatapku bercampur semangat menemukan kakaknya.
Tidak ada basa-basi, aku mengangguk. "Gak usah ditanya, emang itu tujuanku ke sini!" Senyumku ikut terbit, menyemangati Altair.
Wajahnya mendekat, sedikit menunduk karena kurangnya tinggiku. "Katanya cuma mau cari jalan pintas?" Senyumnya berubah makna, sebelum akhirnya terkekeh geli dan membuka pintu di depan kami. "Dikatakan pada map biru, 'Eksperimen Tidur Rusia' untuk pasien Muhammad Aqila. Kurasa kamu nggak bakal kaget sama apa yang ada di depan kalo udah nyebut peristiwa itu."
Selama ini, tidak pernah sekali pun terbayang bahkan doa kupanjatkan, untuk dapat bermain Criminal Case sungguhan. Pernah kudengar sekali Eksperimen Tidur Rusia itu di sekolah, anak OSIS pelakunya saat LDK.
Pintu terbuka, Altair menyeretku masuk dengan tatapannya. Bau obat-obatan khas langsung menusuk—bagiku yang sudah biasa melayani nenek dengan insulin dan antek-anteknya, bau ini sungguh mengerikan.
Eksperimen Tidur Rusia, diujicobakan pada lima narapidana dengan iming-iming bebas hukuman seandainya bisa bertahan tidak tidur selama sebulan penuh. Hampir semua korbannya mati akibat memutilasi diri sendiri lantaran frustrasi atau delusi. Sisanya saat direhabilitasi dan diberi obat penenang, jantung mereka ikut tenang dan tak lagi pernah berdetak.
Kamar-kamar pasien senyap, aku tidak mendengar apapun dari sana. Lagi-lagi Altair membawaku berkeliling lantai tiga, melewati bagian tengah rumah sakit yang bolong itu. Kali ini, entah mungkin hanya perasaanku saja, langkah lelaki itu tidak luwes seperti biasa.
"Kamu yakin, 'kan, sekarang bukan jadwalnya Dokter Flo ke sini?" tanyaku memastikan. Karena sampai saat ini, satu-satunya yang menjadi musuh kami hanyalah dokter itu—kecuali tiba-tiba genre banting setir jadi action apocalypse, dan kami berakhir menjadi zombie.
Hawa tidak enak menyerangku, menekan ulu hati sedemikian rupa hingga kesulitan bernapas. Aura di sini lebih mencekam dari pada lantai dua atau satu, lebih gelap pula karena kertas penutup jendela lebih tebal.
Baru saja, kami melewati meja resepsionis. Tidak ada apa-apa di sana, hanya debu setebal make-up selebriti di depan layar kaca. Aku berhenti sejenak mengamati undakan dan tangga yang ditutup pagar besi panjang. Berbeda dengan dua lantai sebelumnya yang pagarnya tidak ditutup, dibiarkan berkarat begitu saja.
"Tengah hari selalu menjadi waktu Dokter Flo buat pergi ke Gedung Pendamping. Gak usah khawatir," jawab Altair enteng.
Bila dilihat sekilas pun, semua orang akan tahu ada yang salah dengan lantai tiga. "Ada yang salah, kah?"
"Tumben nanya?"
Aku menggeleng kuat-kuat, menyingkirkan segala macam pikiran tidak benar yang hanya akan mengganggu sugesti. "Kamu aneh. Langkahmu beda."
Kupikir dia akan diam saja, atau minimal mendengkus tidak suka. Nyatanya, lelaki itu terkekeh geli—dia senang melakukannya. "Ternyata kamu sadar." Altair berbelok di pertigaan lorong, menyempatkan diri menoleh ke belakang demi menatapku. "Iya, aku nggak hafal lingkungan lantai tiga, hehe."
Sebelum aku sempat meninjunya dengan macam-macam hujatan tentang betapa menyebalkannya sosok Arga Altair, dia berhenti mendadak. Wajah dan bahuku menabraknya telak. Alih-alih mengomel, telapak tangan dingin itu meraih milikku dan menggenggam erat.
"Di sini," katanya, menghadap dinding kaca besar, "aku nggak berani buka." Netra gelap itu bergetar, menyiratkan sebuah ketakutan besar dalam diri seorang Altair. "Terlalu banyak risiko, kayaknya emang bukan waktu yang tepat."
Pada detik pertama, aku sama sekali tidak tahu apa yang anak ini bicarakan. Begitu secuil ingatan menampar otak, baru kupahami bahwa apa yang anak ini cari sudah berada di depan mata kami.
Kubiarkan Altair meremas tanganku kuat-kuat. "Kalo kamu nggak pernah ke sini sebelumnya," kataku hati-hati, "kok kamu tau ini ruangan kakakmu?"
"Cuma ada tiga pasien di lantai ini, dua di antaranya perempuan, dan semuanya ada di ruang terpisah." Dia maju selangkah, menyentuh permukaan kaca dengan tangan kanannya. "Dua yang lain udah kita lewatin, cuma sisa ruang ini doang."
Rasa bersalah merayapiku. Kenapa aku malah penasaran sama lantai ini, sih?! Harusnya aku nurut aja sama Altair, kalo gitu kan nggak bakal jadi kek gini!
"Nggak usah masang muka gitu. Aku emang mau ngajak kamu ke lantai ini." Seakan bisa membaca pikiranku, Altair mengeratkan genggamannya. "Soalnya kamu perlu tau, dan nggak selamanya kita bareng terus. Tugasmu, nahan aku kalo tiba-tiba berontak mau ke sini. Oke?"
Setelah hari itu usai, Altair lekas-lekas menyeretku keluar rumah sakit itu sebelum Dokter Flo kembali dari Gedung Pendamping. Kami melewati tangga emergency exit, turun ke bawah seperti orang kesurupan karena mendengar dua pasien gadis menjerit-jerit dan menyerukan bahwa dia masih waras, bahkan memanggil nama Arga Altair.
Di lantai bawah, taman mini gersang menyambut tepakan langkah berlari kami. Aku memimpin di depan, mendorong tiap pintu kaca yang menghalangi. Saat melewati poli-poli, mencapai meja resepsionis, gadis setengah kuyang itu masih bertahan di sana bersama dengan alat-alat penunjang hidupnya.
Kusempatkan diri menghampiri, sekadar bertanya dan membuat perjanjian. Ini terdengar gila, tetapi aku sungguhan melakukannya. Sementara Altair menunggu di pintu depan.
Gadis itu bernama Putri, seumuran denganku dan Altair. Tak lagi takut dengannya, aku berani mendekat, mengamati lamat-lamat tubuhnya yang tidak utuh.
Hanya kepala Putri yang normal hingga batas pangkal lehernya saja. Bisa kulihat jantung berdarah-darah itu berdetak tanpa rusuk pelindung. Paru-parunya ... entah, aku tak bisa memahami bagaimana cara benda asing itu bekerja memompa udara. Seluruh tubuh gadis itu disangga tiang besi kokoh, dililit kabel kusut dari belakangnya.
Dokter Flo sungguh membuat Putri menjadi sosok yang lain, ini keterlaluan. Aku berjanji akan kembali membebaskannya kalau dia bersedia tutup mulut dan memberi kami informasi berharga. Semuanya setuju, setelah itu Altair berdecak di depan pintu.
Lelaki itu bersikeras mengantarku pulang, melewati jalan pintas yang kutemukan seminggu lalu. Katanya, "Aku sekalian pulang. Kayaknya kita tetanggaan."
Benar saja, rumah kami hanya selisih satu rukun tetangga. Aku tidak pernah menyadarinya, berhubung baru pindah kurang dari dua tahun, dan jarang keluar rumah kalau tidak ada hal penting.
Saat kami tiba di depan pagar rumahku, ayah mencegat Altair untuk pulang dengan tatapan mengintimidasi. Ini konyol, ayah pikir kami pergi jalan-jalan manis berdua. Lalu kakakku keluar, dengan tatapan yang sama mengintimidasinya seperti ayah.
Aku menepuk jidat, menunduk malu di depan Altair. Anak itu bahkan dengan santainya mengatakan kalau kami adalah teman sekelas dan semeja sambil tersenyum manis serta menunduk.
Ayah menawari Altair mampir, dan sialnya anak itu setuju untuk minum teh hijau. Lagi-lagi aku menepuk jidat, kenapa jadi kayak gini, sih?! Mereka bicara banyak, sesekali terdiam kehabisan topik, tetapi ternyata banyak yang ayah ingin tanyakan tentangku di sekolah—topik semua orang tua. Entah sejak kapan orang-orang di rumah menjadi posesif.
Berkali-kali kulirik Altair, memberikannya kode untuk cepat pulang dan berhenti bicara tentang betapa ributnya aku di kelas. Tak tahu dia yang tolol dan tidak mengerti, atau memang sengaja pura-pura tidak tahu untuk menggodaku.
Selepas tengah hari itu, ayah dan Kak Raya menggelar sidang di ruang tengah, dengan aku sebagai tersangka. Tentu Altair sudah pulang, dan ibu belum kembali dari rumah temannya.
"Kenapa nggak bilang kalo bawa temen cowok?" Salah satu pertanyaan Raya sambil bersedekap, memasang tampang serius. Ayah juga demikian, bertanya apa yang memotivasiku menyeret Altair ke rumah.
Kubilang pada mereka, bahwa kami hanya teman sekelas yang kebetulan semeja—alibi paling kuat. Mereka tidak lantas puas dengan jawabanku, dan terus bertanya hingga ibu pulang membawa makanan.
Sudah, begitu saja sisa siang itu. Malamnya, kupikir bisa tidur nyenyak, sial seribu sial, tugas baru dari guru fisika belum kukerjakan. Tunggu! Belum selesai sampai di sana nasib sialku. Altair mengirim pesan, untuk pertama kalinya sejak kami sekelas.
Tak kubalas pesannya, melanjutkan tugasku yang masih tiga soal lagi. Bukan Altair namanya kalau tidak pemaksaan, menuntutku sesuai dengan rencananya. Lelaki itu menelpon tengah malam, hampir membuatku spontan melempar ponsel ke lemari pakaian.
"Jangan ganggu, plis. Digibahin orang serumah, tau!" desahku pelan, menghempaskan tubuh pada ranjang dan bergelung bersama selimut biru. "Apa? Cepetan, sini kalo mau sekalian ngerjain fisika."
Terdengar kekehan dari seberang sana, bersama deru napasnya menabrak mikrofon. "Ayahmu asik, kakakmu juga," ujar Altair pada akhirnya, "soal tugas fisika, aku kurang satu nomor. Tapi bukan itu yang mau kubahas malem ini."
Aku terdiam, menyadari nada bicaranya yang tiba-tiba berubah serius. "Hm, kudengerin."
"Kamu beneran mau bantuin aku, 'kan?"
"Kok ragu? Ini udah serius," balasku, mengernyit mencium bau-bau terselubung dari kalimatnya barusan.
"Kukirim map keseluruhan rumah sakit itu. Besok Senin kita balik ke sana, ambil bukti apapun tanpa ketauan Dokter Flo, terus kasih ke polisi," jelasnya, ada suara ketukan di ujung sana entah itu apa, "kalo nggak siap, kamu masih bisa berhenti di sini. Tapi selanjutnya, kamu nggak bisa berhenti tengah jalan."
Sudah kuduga, ciri khas bicara baku saat-saat seperti ini hanya milik Altair. "Aku ikut. Apa misi selanjutnya?"
"Kita bakal masuk ke Basemant."
ARC 1 - END
Cuma arc 1 doang yang berakhir, masih ada 2 arc lagi yang menunggu di depan— /padahal deadline tinggal 2 minggu lagi. Mampukah seorang Aes lolos dari kejaran deadline? Saksikan terus kisahnya kejar-kejaran (。•̀ᴗ-)✧
(Dengan ini saya beri tahu pada para juri dan admin Leonie, kalau naskah sudah memasuki 10.050 kata '–')/ ini cek point, ya)
~('-' 1700 words '-')~
Z/E/U
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top