VI. Main Lego

Sabtu, 20 Januari 2018
Adira

Lorong lengang setelahnya, aku bangkit kala pendengaranku tak lagi menangkap suara ketukan sepatu Dokter Flo. Suasana masih gelap, tetapi jejak seretan darah di lantai membuat aura menjadi berbeda. Kalau disuruh memilih berhadapan dengan hantu atau manusia, mungkin akan kupilih hantu, karena manusia dengan akalnya jauh lebih menyeramkan dibanding hantu yang cekikikan.

"Ayo," ajakku, keluar dari balik brankar dan mengendap perlahan menuju lorong di balik tangga naik.

Bulu kudukku seketika meremang, merasakan sensasi dingin yang menjalar melewati udara berdesir dari atas. Sudah kubulatkan nyali dan tekadku, bahwa ada nyawa manusia di atas sana yang harus diselamatkan. Tujuan kami saat ini adalah membebaskan semua pasien sambil berusaha meyakinkan polisi.

Jantungku kembali maraton di dalam dada, tetapi inilah yang kusuka. Criminal Case tidak hanya permainan sekarang, kami bermain di dalamnya.

Saat aku menoleh, Altair sudah mengekor lantas mengangguk menyikapiku. Dari raut wajahnya, semudah itu membaca adrenalin penasaran bercampur senang.

Kami memutuskan berjalan bersisian sambil celingukan sana-sini. Semakin jauh kami melangkah, semakin pekat tercium aroma khas rumah sakit. Udara juga semakin dingin nan pengap lantaran tidak ada sirkulasi udara yang lancar dan kurangnya cahaya matahari masuk.

Kalau di lantai sebelumnya kami menjumpai banyak ruangan poli umum, lantai dua adalah koridor kosong dengan banyak belokan di sudut-sudutnya. Begitu kami lolos dari undakan dan anak tangga, meja informasi besar menyambut dengan setumpuk dokumen bersampul map merah dan biru.

Altair bertukar pandang denganku. Di sini cahayanya lebih baik ketimbang di bawah sana. Jendela-jendela berlapis koran masih mempersilakan sinar mentari masuk meski intensitasnya sangat kecil.

"Jejak seretan darahnya ilang, Ra." Tangannya sibuk membolak-balik dokumen. Tidak ada debu di meja ini, artinya Dokter Flo memang lebih sering mendekam di sini dan membaca kertas-kertas itu.

Dia benar, jejaknya menghilang begitu saja setelah anak tangga paling atas habis. Ke mana mereka pergi? Dokter itu tidak mungkin terbang atau semacamnya, ini bukan novel fantasi.

Di tengah kebingunganku, ketukan sepatu kembali terdengar dari lorong lainnya. Gawat! Mereka mendekat!

Lelaki yang tadinya mengernyit kala membuka dokumen, kerutan di dahinya semakin dalam. Altair memberiku kode untuk segera menyusulnya di balik meja informasi besar.

Dengan mudah aku memutarinya, tetapi saat mataku menangkap sesosok lain dengan blus putih mematung di ujung lorong lain, di sana aku tahu ada sesuatu yang lebih berbahaya menunggu kami seandainya tidak keluar secepat mungkin.

Tanganku ditarik paksa keluar dari lorong, jauh berdebum di atas tubuh Altair yang juga rebah. Bersamaan, jeritan gadis kecil tadi menggema sepanjang koridor mampu membuatku refleks menyingkir dan menutupi kedua telinga.

Altair mengikutiku bersembunyi, meringkuk di bawah meja seperempat bola. Perlu kuakui, jeritan gadis itu menyelamatkan kami dari bunyi berbedum. Karena setelahnya, Dokter Flo sungguhan datang, hanya terhalang selapis kayu dari tangannya yang memegang scalpel tajam.

Aku tak lagi tahu apa yang terjadi di ujung lorong sana begitu jeritan gadis tadi tiba-tiba menghilang. Perasaanku campur aduk, mulai berpikir apakah dia memberi tahu posisi kami. Yang bisa kami lakukan sekarang hanya bersembunyi karena takut.

"Semua ini dokumen pasien," desis Altair, suara baritonnya menjadi samar di telingaku. "Kuhitung cepat dua puluh empat map merah, dan sepuluh map biru. Total kemungkinan ada tiga puluh empat orang yang ditahan di sini."

Masih dilanda euforia tertekan, aku menoleh hingga bersitatap dengannya. Hidung kami bahkan nyaris bersentuhan. "Mukamu merah," celetukku, berusaha menghilangkan perasaan tidak enak sejenis takut mati dan penasaran.

Teman semejaku itu mundur membuang muka, memindahkan punggung tangannya di depan pipi. "Jangan bahas itu sekarang. Dokumen ini jelas berhubungan sama yang di bawah-"

"Tunggu!" selaku, menepis tangannya dari map merah. Indraku mendapati sesuatu, bunyi glitch ... bukan, ini bunyi generator! "Di sini ada bengkel?"

Dia menggeleng, turut mendengarkan sekitar. "Ini bukan suara motor, ini generator pembangkit listrik, genset!"

Aku tidak pernah melihat genset perkins di luar gedung. Hanya gazebo-gazebo kecil dekat taman di hutan mini belakang sana. Dari mana genset itu? Ini aneh. Listrik dari PLN pasti sudah diputus sejak beberapa tahun silam.

Namun, untuk apa dia menyalakan listrik sekarang? Atau jangan-jangan dia memang sudah mengetahui kami di sini?! Dokter Flo menjauh, anak kecil tadi lenyap, juga wanita dengan kepala perban, dan sekarang genset. Apa yang sebenarnya dia rencanakan?

"Kita nggak bisa buang-buang waktu di sini." Altair bangkit lebih dulu, melirik sana-sini sebelum berdiri dan membantuku dengan pegangannya.

Koridor benar-benar legang sekarang. Pikiran aneh mulai masuk satu persatu menyusupi kepalaku dengan konspirasi-konspirasi tidak jelas mengenai tempat ini. Genset masih berdesis, tetapi lampu di sekitar kami tak kunjung menyala sejak tadi.

Pekerjaan dokter apa yang memerlukan listrik ... astaga! Kenapa baru sadar sekarang?!

"Hei, di mana biasanya dokter Flo jam segini?" tanyaku mendesak Altair, mencengkeram pergelangan tangannya.

Lelaki itu terkejut, tetapi tetap menjawab kalau pria yang kucari sedang berada di gedung ini bagian depan lantai dua. Maka segera dia paham maksudku bertanya barusan.

"Tuh, 'kan. Ada untungnya punya partner," gumam Altair seraya menarikku berbelok menuju lorong selanjutnya.

Kami melewati belasan pintu-pintu besi tertutup kamar pasien. Satu-dua terlihat kusam dan mengeluarkan cairan aneh dari sela di bawah. Tempat ini sama sekali tidak seperti bayanganku pada rumah sakit di film-film. Tidak ada bangsal mengerikan yang tinggal karat saja, di sini masih rapi dan tertata.

Hawa semakin dingin, kami terus berjalan dengan Altair memimpin di depanku. Baik aku maupun Altair, sama-sama berusaha melangkah dalam senyap sambil menengok-nengok mengamati sekitar. Suasana sepi membuatku sadar ada yang tidak beres di sini.

Dugaanku benar saat Altair tiba-tiba memperlambat langkah dan menempatkan telunjuk di depan bibir. Kami semakin mendekati Dokter Flo. Ujung pelipisnya berkeringat, begitu pula dengan tanganku.

Desingan lembut mulai terdengar, seperti suara desisan kasar menyayat besi. Tepak langkahku sungguhan berhenti di depan sebuah pintu dengan kaca buram. Dari sana semua suara itu berasal, juga jeritan pelan yang tak kudengar sebelumnya. Seseorang tengah dibungkam di dalam sana, meronta menggerakkan sesuatu berbahan besi.

"Altair," panggilku, untuk pertama kali dari sekian lama menyebut namanya. Kukibaskan tangan, menyuruhnya segera mendekat padaku. Namun, di luar dugaan lelaki itu menolak, memasang telapak tangan tegas yang ditujukan untukku.

Dia lantas berderap lebih dulu menyingsing sisa lorong. Entah apa yang dia lakukan, tetapi kalau seperti ini, dadaku berdebar merasa tidak aman karena ditinggal sendirian.

Gila, apa yang anak itu lakukan? Sudah semenit aku hanya berdiri mematung, menatap lorong dan pintu bergantian sambil bengong. Tidak bisa begini saja, tetapi Altair menyuruhku tetap di sini. Kalau aku menyusulnya lalu malah berakhir tersesat, itu tambah bahaya lagi.

Harus ada sesuatu yang kulakukan. Langkahku mulai bergerak, menoleh ke belakang sekadar mencari sesuatu, apa saja itu. Malang, yang kutemukan hanyalah pot besar tanpa tanaman tiga meter dari tempatku berdiri. Terlalu berat, aku tidak mungkin bisa-

Tiba-tiba semua suara dari dalam sana berhenti. Jantungku menggedor dada dengan cepat, insting menyuruhku agar segera pergi dari sini, tetapi ke mana?!

Peduli amat, aku tidak bisa bersembunyi, maka dari itu jalan sebelumnya adalah lorong terdekat. Altair terlalu jauh untuk kuraih, aku harus pergi sekarang!

Tubuhku melesat, melepas sandal agar tidak menimbulkan bunyi lebih keras. Begitu punggungku terhalang dinding pucat nan dingin, benar saja pintu di sana terbuka menimbulkan derit engsel menjerit.

Kondisi jantungku tak lagi normal, ini terlalu berbahaya! Kepalaku mengintip sejenak-Dokter Flo kemari!

Aduh, gimana ini?! Mikir, Adira!

Satu-satunya pilihanku hanyalah kembali ke meja resepsionis ... MEJA RESEPSIONIS! Ya, itu pasti tujuannya saat ini. Tanpa basa-basi, aku meneruskan langkahku berlari, berbelok tajam melewati meja seperempat bola dan undakan tangga, lurus menuju lorong lainnya. Tak kuindahkan dinginnya keramik menggelitik telapak kakiku, yang penting sekarang adalah tidak ketahuan.

Benar, aku memutar. Kala kaki telanjangku nyaris terpeleset, mataku mendapati netra Altair jauh di lorong gelap sana. Di sisi lain, Dokter Flo mulai memilih map-map perlahan.

Tidak ada waktu lagi, ini kesempatanku mengambil gambar apa yang ada di dalam ruangan tadi. Begitu aku berlari, lelaki di seberang sana terperangah melihatku kini menjadi atlet maraton dadakan.

Kalau perhitunganku tidak meleset, Dokter Flo memerlukan waktu satu menit untuk mencapai ujung lorong dan melihatku keluar dari ruangan tadi. Itu artinya, maksimal waktu yang kupunya hanyalah tiga perempat menit dari sekarang. Kakiku tak kunjung berhenti berlari hingga kuraih ambang pintu besi.

Napasku memburu bersama debar jantung. Apa yang ada di dalam sana bukanlah hal yang enak dipandang. Seorang gadis kecil dengan perut terbelah, mengeluarkan beberapa organ yang masih berdenyut keras. Tanganku sampai gemetar membuka ponsel, entahlah jemari ini tak keruan lagi amplitudonya.

Hasil foto sudah kudapatkan, bodoh amat hasilnya bisa dilihat nanti. Sekarang lari untuk harga sepasang ginjalku yang masih lengkap!

Rupanya Altair sudah menungguku di ujung lorong, seakan menyemangatiku berlari lebih cepat. Saat tanganku mampu menyentuhnya, tubuh ini hampir kehilangan keseimbangan dan terjatuh menimpanya.

Itu hampir! Altair mampu menyangga tubuhku agar tetap berdiri bersandar pada dinding dengan dia memegangi lengan dan punggungku.

"Kayaknya cukup hari ini, ayo pergi."

Seenak jidat dia mengatakannya. Aku nyaris mati jantungan di sana! Tidak kusuarakan kalimat barusan, menggantinya dengan anggukan lemah dan wajah melengos. Dadaku masih naik-turun, sementara Altair melirik lorong lain melihat Dokter Flo.

"Ke mana aja kamu?" tanyaku sinis begitu dia membantuku lagi untuk berdiri. Lututku seketika terasa seperti jeli, hingga jauh di bahunya.

Lelaki itu sigap menahanku, sambil terkekeh. "Menyiapkan rencana tengah hari. Kamu masih kuat jalan? Kayaknya kita nggak bakal pulang dulu."

~('-' 1500 words '-')~

T/E/U

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top